“Tanganmu dingin sekali, Ojo-sama. Apakah kau merasa takut?”
Profesor Akira meraih tangan istrinya perlahan, menggenggam dengan lembut seolah memberikan sedikit kehangatan. Mereka berada di dalam kabin jet pribadi militer. Jemari Hana yang ramping terasa membeku di telapak tangannya. Matanya yang biasanya memancarkan kecerahan kini terlihat sedikit berkabut. “Ini aneh sekali, bukan?” balas Hana, suaranya berbisik, hampir tenggelam dalam dengung halus mesin pesawat. “Aku akan pulang ke rumah tempat lahirku, tapi aku merasa bahwa aku akan dihukum mati setiba di sana.” Bahu Hana bergidik perlahan, rasa dingin menjalar ke tengkuknya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir bayangan-bayangan gelap. “Aku mengerti.” Akira menariknya mendekat, memeluk bahunya. “Perasaan itu wajar. Kau kembali sebagai 'Putri terakhir' setelah sekian lama, kembali ke tempat yang menyimpan begitu banyak memori—sekaligus kembali ke dalam sarang masalah. Tapi apa kau lupa?” Akira meraih lembut dagu Hana, memaksa mata mereka bertemu. Senyumnya teduh, penuh keyakinan. “Apa kau lupa, kalau aku akan selalu ada di sisimu? Aku tidak akan pernah melepaskanmu.” Ia mencium bibir istrinya perlahan, ciuman yang dalam, sebuah janji tanpa kata di tengah ketidakpastian. Mereka terpaksa berpisah saat pintu kabin terbuka, menampakkan Jenderal Moriyama yang berdiri dengan postur kaku. “Uhmm… maaf jika kedatanganku mengganggu, Ojo-sama,” suara dalam milik Jenderal Moriyama tiba-tiba memecah suasana mesra sepasang kekasih itu. Wajah Jenderal tua itu terlihat sedikit memerah, canggung. Akira melepaskan Hana dan berbalik, senyum tipis terulas di wajahnya. “Kami sudah siap, Jenderal. Kami menghargai kerahasiaan dan kecepatan pengaturan jet ini,” kata Akira. “Tapi aku ada sedikit kendala yang harus diatasi sebelum kita benar-benar lepas landas. Apakah Jenderal bisa membantu?” Suara Akira penuh ketenangan namun juga penuh perhitungan. Moriyama meluruskan punggungnya. “Katakan saja padaku, Profesor. Aku pasti akan membantumu. Demi keselamatan Yang Mulia dan demi stabilitas Yamashiro, aku siap melakukan apa saja.” “Mengenai laboratorium dan penelitianku. Aku tak bisa meninggalkannya begitu saja. Semua data dan material itu adalah kunci bagi pengembangan obat anti virus mutakhir yang kita butuhkan untuk menghadapi krisis kesehatan global. Apakah Jenderal dapat mengatur agar semua material dan peralatan laboratoriumku—termasuk data-data sensitif—dapat segera dan aman untuk dipindahkan menyusul ke Yamashiro?” Jenderal Moriyama mengangguk sambil tersenyum lebar. Masalah ini lebih mudah dari dugaan awalnya. “Tentu… tentu bisa, Profesor! Itu masalah kecil. Saya akan menugaskan Letnan Takeshi, ajudan terbaik saya, untuk mengawal tim pemindahan. Saya akan instruksikan mereka untuk bekerja cepat dan di bawah kerahasiaan tertinggi! Apa ada seseorang yang bisa mendampingi mereka di lab?” “Bagus! Terima kasih banyak atas bantuanmu, Jenderal. Asistenku, Lotty, sudah menunggu di laboratorium untuk memberikan daftar inventaris dan memastikan semuanya ditangani dengan benar. Aku akan mengirim pesan padanya sekarang untuk menghubungimu.” “Baiklah kalau begitu. Letnan Takeshi akan berkoordinasi langsung dengan asistenmu,” kata Moriyama, lalu berbalik kepada Hana. “Ojo-sama, kita harus segera terbang. Setiap menit kita berada di darat, resikonya semakin besar.” Hana mengangguk, tatapannya kini lebih mantap. Ia kembali meraih tangan Akira dan kali ini, ia yang menggenggam lebih erat. Mereka meninggalkan kabin, menuju landasan pacu. Jet militer itu membelah langit malam. Hana dan Akira dibawa ke Yamashiro dengan pengawalan ketat oleh Moriyama dan beberapa pengawal pribadi. Penerbangan itu sunyi, namun di luar sana, dunia berteriak. Media internasional mengejar kabar “Putri terakhir yang kembali.” Jet mereka mungkin tidak terlacak, tetapi berita kepulangan Hana adalah headline utama. Spekulasi liar bermunculan; apakah ia kembali untuk memimpin? Apakah ia berada di balik ledakan sebagai upaya kudeta? Semuanya berkisar pada nama Hana. Di dalam kabin, Akira terlihat sangat melindungi. Ia memastikan Hana duduk di posisi paling aman, jauh dari jendela kabin. Ia jarang berbicara, tetapi setiap tarikan napas Hana diperhatikannya. Gerak-geriknya lembut namun posesif, sebuah dinding tak terlihat yang ia dirikan di sekeliling istrinya. “Kau terlalu tegang, Aki Sayang. Cobalah untuk santai sedikit,” ujar Hana, mencoba memecahkan ketegangan itu. Hana berusaha tegar, meski ia tahu betul gejolak di dadanya tak jauh berbeda dengan suaminya. “Aku? Kau yang baru saja mengucapkan akan dihukum mati,” balas Akira, nada suaranya lembut, namun matanya tetap waspada, mengawasi setiap pergerakan. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan. “Aku tidak akan membiarkan sehelai rambutmu disentuh oleh siapapun yang punya niat jahat. Kita akan tiba dengan selamat, dan kita akan menang. Kita hanya harus melalui penerbangan ini.” “Aku tahu.” Hana mengusap lembut punggung tangan Akira. “Hanya saja, aku tak menyangka akan seperti ini. Kembali ke rumah dalam kondisi genting—terbang diam-diam seperti seorang buronan.” “Ini adalah panggung besar, Hana. Dan para buronan yang cerdas selalu tahu bagaimana memanfaatkan panggung itu,” bisik Akira, senyumnya menyeringai tipis. “Kau adalah magnet. Kau akan menarik semua serangga keluar dari sarangnya. Kita akan temukan siapa yang harus kita hancurkan duluan.” Jenderal Moriyama, yang duduk di belakang mereka, berdeham. Waktunya untuk berbicara hal serius. “Profesor, Ojo-sama. Ada hal yang harus saya sampaikan. Ini bukan tentang masalah politik di permukaan, tapi tentang ancaman yang nyata dan langsung.” Akira dan Hana menoleh ke arahnya, ekspresi mereka seketika serius. “Katakan, Jenderal,” desak Akira. Moriyama menatap tajam, matanya yang tua kini memancarkan kewaspadaan. “Ledakan di Vila… penyelidikan awal menunjukkan bahwa ada perencanaan yang sangat matang, dilakukan oleh orang dalam, oleh orang yang tahu seluk-beluk Istana. Ini berarti…” Ia menarik napas panjang, suaranya tercekat. “Ini berarti pelaku bom bisa ada di dalam istana. Atau, mereka memiliki mata dan telinga di sana. Kembalinya Anda, Ojo-sama, adalah pemicu. Mereka akan bergerak. Kita harus sangat hati-hati terhadap siapapun, bahkan terhadap pelayan istana yang sudah mengabdi puluhan tahun.” Keheningan kembali menyelimuti kabin, kali ini lebih dingin dan menusuk. Hana merasakan kembali ketakutan itu, tapi ia berusaha menolaknya. Pengkhianat di Istana? “Informasi itu sangat penting, Jenderal. Terima kasih.” Ekspresi Hana tidak menunjukkan kejutan, justru ketenangan yang dingin. “Kami akan bertindak dengan asumsi itu. Bagaimana dengan perlindungan kami setibanya di sana?” “Semua pengawal yang saya bawa adalah orang-orang yang saya percaya seumur hidup saya. Selain itu, setibanya di sana, saya akan meminta Ojo-sama dan Profesor hanya berinteraksi dengan orang-orang yang saya saring ketat. Saya mohon, jangan pernah keluar dari ruangan khusus Anda tanpa pengawasan saya atau Letnan Takeshi,” pinta Moriyama. “Akan kami lakukan,” jawab Hana tegas. “Baiklah, saya akan memeriksa komunikasi dengan pangkalan udara. Kita akan tiba dalam dua jam,” kata Moriyama, lalu beranjak menuju kokpit. Akira kembali menggenggam tangan Hana, memijat lembut. “Dengar, kau harus fokus pada tujuan kita, bukan pada ketakutan itu. Mereka ingin kita takut. Jangan berikan kepuasan itu pada mereka. Mereka harus tahu bahwa Sang Kaisar sudah pulang.” “Aku hanya memikirkan semua orang yang harus kita singkirkan,” balas Hana, tatapannya kini berubah, memancarkan api tersembunyi. Sementara itu, ratusan kilometer di belakang mereka, di lab Profesor Akira, hiruk-pikuk pengemasan sedang terjadi. Lotty—asisten Akira yang cerdas dan terorganisir—berdiri di tengah-tengah kekacauan ilmiah yang terstruktur. Di depannya, Letnan Takeshi—ajudan Jenderal Moriyama yang muda dan bersemangat—mengawasi para prajurit yang cekatan. “Letnan, pastikan peti dengan label merah ini ditangani paling hati-hati. Itu adalah sampel kultur hidup yang sangat penting untuk penelitian anti virus. Suhu harus dijaga ketat, dan harus selalu tegak lurus,” instruksi Lotty, suaranya lantang. Ia terlihat lelah tetapi fokus. Letnan Takeshi, memberi hormat. “Siap, Nona Lotty. Tim saya sudah dilatih untuk penanganan material sensitif. Semua peti akan diletakkan di dalam kontainer berpendingin khusus yang diangkut dengan truk. Saya jamin, tidak akan ada satu data pun yang hilang, dan tidak ada satu tetes pun yang tumpah dalam perjalanan darat ke Yamashiro.” “Bagus.” Lotty tersenyum tipis. “Profesor Akira sangat mengandalkan Anda. Semua data ini adalah dasar dari penelitiannya, dan sangat penting bagi masa depan Yamashiro. Anggaplah ini lebih penting dari nyawa Anda sendiri.” Takeshi mengangguk penuh semangat. “Itu adalah sumpah kami. Kami akan berkemas semua material dan peralatan di laboratorium, dan kami akan segera menyusul ke Yamashiro setelahnya melalui jalur darat yang sudah diamankan. Kami akan tiba paling lambat 12 jam setelah kedatangan Ojo-sama.” “Kami mengandalkan Anda, Letnan,” kata Lotty, kembali memeriksa daftar inventarisnya. “Pastikan mobil terakhir dirombak total untuk menyembunyikan server utama. Aku ingin mobil itu terlihat seperti truk pengiriman sayuran biasa.” “Sudah diatur. Kamuflase penuh. Kami bahkan menaburkan sedikit daun kering di atapnya,” balas Takeshi, lalu ia memberi perintah kepada anak buahnya dengan gerakan tangan yang cepat. Pekerjaan pemindahan itu berjalan cepat, efisien, dan tanpa suara, sebuah operasi rahasia yang tersembunyi. Lotty dan Takeshi adalah roda-roda kecil yang vital, yang memastikan bahwa ketika Hana kembali untuk menghadapi takdirnya, ia akan memiliki senjata paling canggih—ilmu pengetahuan dan data—yang dipersenjatai oleh suaminya. Di dalam jet, Akira melihat ke luar jendela kecil. Di bawah sana, daratan Yamashiro mulai terlihat. Pegunungan terjal dan lembah-lembah curam menyambut. Akira mengusap rambutnya perlahan. Ia menatap mata Hana, tatapannya membakar. “Musuh yang paling berbahaya adalah musuh yang memakai topeng kawan, Hana. Di sana, di Istana, kita akan bermain catur dengan bidak-bidak yang tak terlihat. Kau harus mampu menjadi Kaisar, yang dapat melihat, memimpin, dan menghancurkan serangan.” “Aku pasti akan melakukannya,” bisik Hana, menarik napas panjang, ia merasakan kekuatan baru muncul dari ketegangan itu. “Aku akan menjadi Kaisar yang kejam jika memang harus. Aku akan melindungi orang-orang kita.” Akira tersenyum. “Itu baru istriku.” Tiba-tiba, jet mulai menurunkan ketinggian dan bermanuver. Dengungan mesin berubah menjadi suara angin yang menderu kencang di badan pesawat. Moriyama kembali masuk, wajahnya menunjukkan kelegaan yang bercampur dengan kehati-hatian. “Ojo-sama, Profesor. Kita sudah tiba di Yamashiro. Pendaratan akan dilakukan di pangkalan rahasia. Selamat datang kembali di Yamashiro.”“Tanganmu dingin sekali, Ojo-sama. Apakah kau merasa takut?”Profesor Akira meraih tangan istrinya perlahan, menggenggam dengan lembut seolah memberikan sedikit kehangatan. Mereka berada di dalam kabin jet pribadi militer. Jemari Hana yang ramping terasa membeku di telapak tangannya. Matanya yang biasanya memancarkan kecerahan kini terlihat sedikit berkabut.“Ini aneh sekali, bukan?” balas Hana, suaranya berbisik, hampir tenggelam dalam dengung halus mesin pesawat. “Aku akan pulang ke rumah tempat lahirku, tapi aku merasa bahwa aku akan dihukum mati setiba di sana.”Bahu Hana bergidik perlahan, rasa dingin menjalar ke tengkuknya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir bayangan-bayangan gelap.“Aku mengerti.” Akira menariknya mendekat, memeluk bahunya. “Perasaan itu wajar. Kau kembali sebagai 'Putri terakhir' setelah sekian lama, kembali ke tempat yang menyimpan begitu banyak memori—sekaligus kembali ke dalam sarang masalah. Tapi apa kau lupa?”Akira meraih lembut dagu H
“Aki sayang… apakah kau yakin akan membiarkan aku menjadi Kaisar?” Hana berusaha membaca wajah Akira, sambil menggenggam tangan pria itu. Mereka duduk berdekatan di bangku kecil dalam keheningan toko bunga. Aroma lavender dan jasmine yang seharusnya menenangkan, terasa berat oleh beban keputusan besar. Hana menatap suaminya, mencari kepastian di mata pria yang selalu menjadi jangkar rasionalitasnya. Akira tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan menarik Hana lembut ke dalam pelukannya. Kehangatan tubuhnya, aroma samar buku dan eucalyptus yang selalu melekat pada kulitnya, adalah satu-satunya kenyamanan yang Hana miliki di tengah badai duka dan intrik politik ini. Ia membenamkan wajahnya di dada Akira, membiarkan suaminya mengusap rambutnya. “Hime-chan,” bisik Akira, suaranya dalam dan menenangkan. Ia mencium kening istrinya lama, sebuah janji tanpa kata. “Tentu saja aku yakin. Aku tidak hanya yakin, aku memastikan kau yang mengambil alih tahta.” Hana mendongak, matanya
Dering suara bel di pintu masuk yang bernada nyaring, membelah keheningan yang nyaman, seketika membawa Akira dan Hana kembali dari lembah kenangan mereka. Hana tersentak kecil, air mata yang masih membasahi pipinya belum sepenuhnya mengering. “Biar aku yang melihat ke depan, Hana-chan. Basuhlah wajahmu terlebih dahulu,” ujar Akira dengan lembut. Tangannya terangkat, jari-jarinya yang panjang menyisir lembut anak rambut Hana yang halus. Sentuhan itu menyampaikan kasih sayang yang menenangkan, tetapi mata Akira sudah menunjukkan bayangan kesadaran yang dingin. Hana mengangguk pelan, jemarinya membalas genggaman tangan Akira sejenak sebelum dilepaskan. Ia menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan kembali ketenangannya, sementara Akira melangkah menuju pintu depan, hatinya diselimuti firasat yang memberat—firasat yang kini telah bertransformasi menjadi kepastian yang tak terhindarkan. Akira mendorong pintu kayu berukir itu. Di ambang pintu, sesosok pria setengah baya berdiri t
“Aki… Ayahanda…” Suara Hana tercekat di tenggorokannya, bagai sebuah gelembung kaca yang kian membesar, yang tak sanggup ia pecahkan. Kata-kata itu lebih merupakan hembusan napas yang menyakitkan untuk dikeluarkan dengan susah payah daripada sebuah panggilan kepada mendiang Ayahnya. Akira, pria yang menghabiskan hidupnya di laboratorium yang tenang, di antara angka-angka dan data ilmiah, kini bergerak secepat yang ia bisa, jauh melampaui kecepatannya saat mengejar hipotesis ilmiah. Ia berlari, menjejak karpet tebal itu dengan terburu-buru, menangkap tubuh istrinya yang tiba-tiba luruh, seolah semua tulang di tubuhnya mendadak menyerah. Sebelum lutut Hana menyentuh lantai kayu yang dingin, lengan Akira sudah mendekapnya. Hana menangis dengan suara tertahan. Sebuah jeritan tanpa suara merobek dadanya, mengoyak pita suaranya, membiarkan gelombang kesedihan yang telah membatu di rongga dadanya kini tumpah ruah. Ia mencengkram kemeja putih bersih Akira, sekuat ia menggenggam sisa-sisa
“Selamat pagi Miss O’hare.” Suara merdu Hana melayang melintasi etalase kaca, berbaur dengan semerbak lilin beraroma honeysuckle dan manisnya udara pagi. Wanita tua itu, punggungnya sedikit membungkuk dan dengan rambutnya yang seputih salju, sudah berdiri di ambang pintu, seperti jam weker yang tepat waktu. Kepala Hana miring sedikit saat ia melihat ke tumpukan buket yang sudah terikat rapi di konter. “Biar kutebak… seikat Tulip Kuning?” Hana melanjutkan, senyumnya merekah seperti kelopak di pagi hari. Matanya yang cokelat berkilauan menangkap pantulan cahaya dari vas kaca di depannya. “Kau tahu benar favoritku, Hana-chan.” Ms. O’hare tertawa kecil, suara yang selalu menghangatkan hati Hana. Tangan keriputnya yang dihiasi bintik-bintik penuaan bergerak meraih buket yang sudah disiapkan Hana—lima kuntum tulip kuning yang mekar sempurna, diikat dengan pita rami sederhana. “Bunga-bunga di tokomu adalah yang tercantik di Midtown,” puji wanita lanjut usia itu sambil mengeluar
“Ayah, kita benar-benar akan berlibur ke Vila Matahari Pagi kan?” Suara Putri Reiko Yamashiro melengking penuh harap, memecah kesunyian yang diselingi gemerisik daun di taman istana. Wajah mungilnya memancarkan cahaya, kedua matanya yang gelap membulat penuh, berkilauan seperti kelereng di bawah sinar pagi. Kakinya yang tak sabar terus melompat-lompat kecil di tempat, membuat pita-pita merah di rambutnya ikut menari. Kegirangan yang membuncah dari diri gadis berusia tujuh tahun itu terasa begitu menular. “Reiko-chan…berhenti meloncat-loncat,” suara lembut Permaisuri Yuriko mengalun, tanpa ada nada ketegasan yang berlebihan, namun cukup untuk menahan gerakan Reiko. Gadis kecil itu memang berhenti, tapi hanya sekejap, bibirnya mengerucut sedikit sebelum ia kembali berlari-lari kecil, langkahnya ringan seolah menginjak udara, sambil bersenandung lirih sebuah lagu rakyat. Kaisar Minamoto terkekeh pelan. Matanya yang tajam melembut saat melihat tingkah laku putri bungsunya. Tawa kec