Share

BAB 9

Author: Capoeng Biru
last update Last Updated: 2025-10-14 11:00:23

​Konvoi kendaraan tempur ringan dan pengangkut barang melaju perlahan menembus kabut tipis yang menyelimuti dataran tinggi. Di dalamnya, Lotty Alden—asisten kepercayaan Akira—menyandarkan kepala pada kaca jendela yang bergetar lembut. Rasa lelah akibat perjalanan lintas benua yang berlanjut dengan perjalanan darat yang melelahkan mulai menumpulkan indranya. Ia masih terkantuk-kantuk, sementara di kursi depan, Letnan Takeshi Kido tampak tidak tersentuh oleh kelelahan. Matanya yang tajam tetap waspada, memantau cakrawala.

​Tiba-tiba, kendaraan berhenti. Bunyi gesekan ban dan suara komando singkat mengusik Lotty dari kantuknya.

​“Kita sudah tiba,” ujar Takeshi tanpa menoleh.

​Lotty menggosok matanya dan melongok ke luar. Ia terkesiap.

​Di hadapannya membentang Gerbang Utama Yamashiro, sebuah struktur kolosal yang tampak mustahil. Gerbang itu sendiri terbuat dari kayu hitam tua, dihiasi dengan ukiran naga dan awan bergaya zaman Edo, tetapi di atasnya, menara-menara pengawas baja krom berkilauan di bawah cahaya fajar. Kabel-kabel serat optik dan antena parabola melilit tiang-tiang kayu raksasa, menyatukan masa lalu yang megah dengan teknologi yang paling mutakhir.

​Di belakang gerbang itu, Lotty bisa melihat siluet kota. Atap-atap kayu melengkung yang elegan—ciri khas arsitektur kuil kuno Yamashiro—berdampingan dengan menara komunikasi ramping dan dinding-dinding kaca gedung pencakar langit. Lentera batu tradisional menyala redup, melemparkan bayangan oranye di kaki bangunan beton yang dingin. Asahime, Ibu Kota Yamashiro itu adalah sebuah kontradiksi yang menawan dan membingungkan.

​“Ya Tuhan,” Lotty berbisik, matanya membesar karena takjub. “Ini… seperti berjalan ke masa lalu dan masa depan sekaligus.”

​Takeshi akhirnya berbalik, tatapannya dingin. “Selamat datang di rumah yang tidak pernah tidur, Dokter. Di sini, sejarah adalah peta jalan dan teknologi adalah pelindung.”

​Konvoi mereka tidak langsung masuk. Di perbatasan luar, mereka disambut oleh pasukan penjaga kerajaan—pria dan wanita berseragam hitam, mengenakan pelindung tubuh futuristik dan membawa senapan serbu yang tampak berat. Proses pemeriksaan sangat ketat; setiap panel kendaraan dibuka, setiap bagasi digeledah, dan bahkan Lotty harus menunjukkan identifikasi berulang kali. Tidak ada senyum, tidak ada keramahan, hanya profesionalisme militer yang sangat disiplin. Lotty menyaksikan sistem keamanan yang super canggih ini dengan rasa hormat yang bercampur dengan kegelisahan—Asahime adalah sebuah benteng, bukan hanya kota.

​Begitu diizinkan masuk, konvoi bergerak cepat melalui jalanan kota yang masih sepi. Lotty berharap peralatan lab milik Akira, yang berisi sampel biologis sangat penting, akan langsung dibawa ke fasilitas penelitian di istana. Tapi Takeshi membelokkan konvoi ke kompleks yang berbeda.

​Mereka berhenti di Markas Penelitian Militer Yamashiro, sebuah bangunan beton masif, rendah, dan menjulang. Tempat itu tidak memiliki estetika istana; tidak ada lentera batu atau atap melengkung, hanya gerbang baja, kawat berduri, dan menara pengawas. Inilah pos utama Letnan Takeshi Kido.

​Lotty turun dari kendaraan, langsung disambut oleh aroma dingin metal, debu, dan yang paling dominan, aroma minyak senjata. Di dalam, penerangan didominasi lampu neon redup yang berkedip-kedip. Lantai beton dipenuhi jejak kaki bot dan dihiasi dengan palet kayu yang berisi amunisi dan peralatan komunikasi. Markas itu terasa seperti bunker.

​Lotty menghela napas, rasa frustrasinya meluap setelah menahan diri sejak tiba di Yamashiro.

​“Letnan,” katanya, menunjuk pada tumpukan kantong pasir di sudut koridor. “Bagaimana penelitian, terutama yang melibatkan sensitivitas biologis tingkat tinggi, bisa berjalan dengan aroma minyak senjata di udara dan getaran dari kendaraan tempur yang lalu lalang?”

​Takeshi tidak menunjukkan reaksi. Ia mengawasi anak buahnya mengeluarkan peti-peti berisi peralatan lab dengan efisien.

​“Di sini, Dokter,” jawabnya datar, suaranya memantul di koridor beton yang dingin. “Bahkan ilmu pengetahuan harus siap bertempur. Laboratorium yang aman adalah laboratorium yang bisa dipertahankan. Ruangan-ruangan ini terisolasi, anti-getaran, dan memiliki keamanan lapis sepuluh. Kami tidak akan mengambil risiko sampel Akira jatuh ke tangan yang salah hanya demi kenyamanan atau estetika laboratorium yang bersih. Tugas Anda adalah berinovasi. Tugas kami adalah menjamin Anda hidup cukup lama untuk melakukannya.”

​Kata-kata itu dingin, keras, dan menusuk, tetapi juga mengandung logika yang sulit dibantah. Lotty terdiam. Ia menyadari bahwa di dunia ilmiahnya, ancaman terbesar adalah kontaminasi silang. Di dunia Takeshi, ancaman terbesar adalah pengkhianatan dan perang. Dunia mereka terpisah jurang yang dalam. Lotty merasa tidak nyaman, tapi ia mulai menghormati cara kerja militer yang mengutamakan keamanan absolut di atas segalanya.

​Penyimpanan peralatan biologis sensitif menjadi titik gesekan pertama mereka.

​Lotty telah mengamankan beberapa kotak di sebuah ruangan yang disediakan, yang sebenarnya adalah ruang komunikasi yang dialihfungsikan. Lotty membutuhkan suhu yang stabil, penerangan yang cukup, dan akses yang mudah untuk memeriksa kondisi sampel setelah perjalanan jauh.

​Takeshi muncul, wajahnya tegas, dan menuntut agar kotak-kotak yang berisi media kultur dan bahan penelitian inti segera dipindahkan ke ruang penyimpanan bawah tanah.

​“Bawah tanah adalah tempat teraman dari serangan udara atau penyusup,” ia bersikeras, melipat tangannya di dada. “Sistem keamanan di sana adalah yang terbaik.”

​“Saya menolak, Letnan,” balas Lotty, nadanya sedikit meninggi. “Perangkat ini membutuhkan suhu stabil, idealnya 20 derajat C dan kelembaban rendah. Ruang bawah tanah pasti dingin, lembap, dan berpotensi menyebabkan kondensasi yang merusak sensitivitas sensor serta media kultur. Risikonya lebih besar daripada manfaatnya.”

​“Risiko militer lebih tinggi daripada risiko biologis, Dokter.”

​“Tanpa sampel yang utuh, risikonya adalah penelitian kita gagal sebelum dimulai!” Lotty membalas.

​Ketegangan di antara mereka menajam, mencerminkan benturan antara logika militer yang brutal dan kebutuhan ilmiah yang presisi.

​Namun, alih-alih memerintah dengan kekuasaan militer, Takeshi melakukan sesuatu yang tidak terduga: ia mengalah sedikit. “Jelaskan padaku. Dengan bahasa yang sederhana. Mengapa alat-alat ini begitu rapuh?”

​Lotty menarik napas, terkejut dengan permintaan itu. Untuk pertama kalinya, ia melihat fleksibilitas dan, mungkin, empati di balik wajah dingin Letnan itu. Ia mulai menjelaskan dengan sabar, menunjuk ke perangkat-perangkat rumit:

​“Ini adalah inkubator portabel. Jika suhu turun mendadak, sel-sel yang kita pelajari akan mati. Ini—mikroskop khusus ini—membutuhkan kalibrasi yang sangat akurat. Kelembaban akan menyebabkan jamur, membuatnya tidak dapat digunakan. Mereka bukan amunisi, Letnan. Mereka adalah instrumen presisi.”

​Takeshi mendengarkan, matanya mengikuti setiap penjelasan. Ia tidak menyela, ia hanya menyerap informasi itu. Ia kemudian mengeluarkan tablet militer dari sakunya, dan mulai mencocokkan kebutuhan suhu Lotty dengan data keamanan markas.

​“Baik,” katanya, menyimpulkan. “Kita gunakan Gudang Beta. Posisinya di tengah lantai dasar. Dindingnya berlapis baja, tapi sistem ventilasinya terpisah. Kita bisa pasang pengatur suhu khusus dan saya akan menempatkan dua penjaga di luar pintu 24 jam sehari.”

​Saat mereka bergerak menuju Gudang Beta, sebuah momen kecil terjadi. Lotty tersandung pada kabel lantai dan tanpa sengaja menjatuhkan sebuah sensor kecil yang sangat mahal dari kantong jas lab-nya. Takeshi, yang berjalan sedikit di depannya, bereaksi dengan kecepatan kilat. Tangannya yang besar dan kuat bergerak spontan, menangkap perangkat kecil itu hanya beberapa milimeter sebelum menyentuh lantai beton.

​Lotty terdiam, menatap sensor di telapak tangan Takeshi. Sebuah senyum tipis—tulus—terukir di wajahnya.

​“Refleks yang luar biasa, Letnan,” pujinya.

​“Tugas saya menangkap masalah sebelum terjadi, Nona Lotty,” jawabnya singkat, menyerahkan kembali sensor itu. Ia kembali ke sikapnya yang tenang, tetapi Lotty tahu. Ada kehangatan halus, hampir tak terlihat, yang mulai terbentuk di antara mereka, rasa saling menghormati yang lahir dari efisiensi yang berbeda.

***

​Matahari telah lama terbenam, dan dinginnya malam mulai merangkak masuk. Setelah seharian yang melelahkan dalam mengatur, memeriksa, dan berdebat, Lotty keluar dari Gudang Beta, mengunci pintu di belakangnya, dan berjalan ke luar. Ia duduk di tangga beton markas, menarik napas dalam-dalam.

​Di kejauhan, Kota Asahime bersinar. Ribuan lentera kecil di jalanan dan taman memancarkan cahaya oranye lembut, memotong kabut malam. Pemandangan itu tenang, anggun, tetapi keheningannya terasa berat, seperti keheningan setelah badai besar.

​Langkah kaki terdengar mendekat. Takeshi, kini tanpa helm dan body armor berat, hanya mengenakan seragam utilitas lapangan, mendekat dan duduk dua anak tangga di bawah Lotty. Ia membawa dua kaleng kopi hangat dari mesin otomatis, menyerahkan salah satunya pada Lotty.

​“Kopi hitam. Tidak ada susu,” ujarnya.

​“Terima kasih,” Lotty berbisik, memegang kaleng logam yang hangat, menghargai isyarat kecil itu.

​Mereka duduk dalam diam selama beberapa saat, memandangi kota.

​“Negaramu indah, Letnan,” Lotty memulai, memecah keheningan. “Sangat indah. Tapi… terasa sepi.”

​Takeshi mengambil seteguk kopinya. “Kebanyakan keindahan di sini adalah hasil dari kehilangan,” katanya dengan nada yang lebih lembut dari yang pernah didengar Lotty. “Kami pernah hancur total. Kami membangunnya kembali dengan mengambil yang terbaik dari sejarah dan mengkombinasikannya dengan pertahanan terbaik di masa depan. Tapi harga dari keindahan dan keamanan ini adalah kewaspadaan abadi. Kami hidup dalam keheningan yang waspada, Dokter.”

​Lotty terdiam. Kata-kata itu lebih mengungkapkan tentang dirinya dan bangsanya daripada semua ceramah politik. Ia sadar betapa dalamnya luka bangsa ini setelah tragedi yang merenggut nyawa Kaisar mereka dan menyebabkan kehancuran yang hampir fatal. Ia menatap Takeshi, yang tatapannya kini lurus ke depan, ke arah sebuah bukit yang memancarkan cahaya paling terang.

​“Mereka sudah tiba di sana,” Takeshi melanjutkan, suaranya kembali datar. Ia merujuk pada Istana Yamashiro. “Prof Akira dan Putri Hana ada di sana. Besok pagi, setelah Anda beristirahat, kita juga akan dipanggil ke dalam lingkaran.”

​Lotty memejamkan mata. Panggilan resmi ke istana. Dunia politik dan intrik akan dimulai. Malam ini adalah batas waktu mereka—dua orang asing—untuk bernapas lega sebelum terjun ke dalam tugas yang bisa menentukan nasib dunia.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bangkitnya Sang Kaisar Wanita   BAB 9

    ​Konvoi kendaraan tempur ringan dan pengangkut barang melaju perlahan menembus kabut tipis yang menyelimuti dataran tinggi. Di dalamnya, Lotty Alden—asisten kepercayaan Akira—menyandarkan kepala pada kaca jendela yang bergetar lembut. Rasa lelah akibat perjalanan lintas benua yang berlanjut dengan perjalanan darat yang melelahkan mulai menumpulkan indranya. Ia masih terkantuk-kantuk, sementara di kursi depan, Letnan Takeshi Kido tampak tidak tersentuh oleh kelelahan. Matanya yang tajam tetap waspada, memantau cakrawala. ​Tiba-tiba, kendaraan berhenti. Bunyi gesekan ban dan suara komando singkat mengusik Lotty dari kantuknya. ​“Kita sudah tiba,” ujar Takeshi tanpa menoleh. ​Lotty menggosok matanya dan melongok ke luar. Ia terkesiap. ​Di hadapannya membentang Gerbang Utama Yamashiro, sebuah struktur kolosal yang tampak mustahil. Gerbang itu sendiri terbuat dari kayu hitam tua, dihiasi dengan ukiran naga dan awan bergaya zaman

  • Bangkitnya Sang Kaisar Wanita   Bab 8

    ​Pagi itu di Laboratorium Prof. Akira terasa seperti di medan perang, meski tidak ada sebutir pun peluru ditembakkan. Aroma formalin dan disinfektan bercampur dengan bau debu yang berterbangan dari peti-peti kayu yang menumpuk. Di tengah kekacauan itu, Lotty bergerak cepat namun panik, mencoba mengamankan peralatan riset paling sensitif.​“Tolong, Kotak Merah J-12 ini harus dipisahkan! Sensor sensitivitasnya akan hancur hanya karena getaran rem mendadak! Sial, kenapa Jenderal Moriyama harus memilih hari ini?!” Lotty menggerutu, memegang tablet di satu tangan dan menyeka keringat di dahinya dengan lengan baju yang lain. Waktu keberangkatan yang diperintahkan militer tinggal dua jam, dan ia merasa separuh dari kerja keras Prof. Akira akan hancur di tengah jalan.​Pintu ganda baja laboratorium terbuka dengan gebrakan, memaksa semua orang di ruangan itu menoleh. Udara dingin disiplin militer langsung menyelimuti ruangan.​Di ambang pintu, berdiri tegak Letnan Takeshi, dikelilingi oleh emp

  • Bangkitnya Sang Kaisar Wanita   BAB 7

    Hana berdiri di depan altar di Shinden (aula suci), cahaya pagi yang pucat menyaring melalui jendela shoji keemasan. Ia mengenakan mofuku hitam yang menyerap semua warna, termasuk warna kehidupan. Tidak ada peti kayu hinoki, tidak ada jenazah utuh. Hanya empat wadah perak kecil yang tersemat di altar: potongan jubah Kaisar, manik-manik doa Permaisuri, jimat kayu Kenji, dan pita rambut sutra Reiko.​Di sekelilingnya, para biksu kekaisaran sedang menyelesaikan ritus Reikon Kantei, ritual langka Penegasan Jiwa, mengamankan arwah keluarga yang hilang ke dalam benda pusaka tersebut. Itu adalah pemandangan yang menyayat, upaya putus asa untuk memberikan penutupan spiritual pada kehancuran fisik yang tak terbayangkan.​Hana merasakan kuku jarinya menekan telapak tangan. Di depannya, adalah duka suci. Di balik kepalanya, di lorong-lorong Istana, adalah keheningan politik yang berbahaya. Aroma tajam krisan putih yang seharusnya menenangkan justru terasa menyesakkan. Ia adalah seorang

  • Bangkitnya Sang Kaisar Wanita   BAB 6

    ​“Tanganmu dingin sekali, Ojo-sama. Apakah kau merasa takut?”​Profesor Akira meraih tangan istrinya perlahan, menggenggam dengan lembut seolah memberikan sedikit kehangatan. Mereka berada di dalam kabin jet pribadi militer. Jemari Hana yang ramping terasa membeku di telapak tangannya. Matanya yang biasanya memancarkan kecerahan kini terlihat sedikit berkabut.​“Ini aneh sekali, bukan?” balas Hana, suaranya berbisik, hampir tenggelam dalam dengung halus mesin pesawat. “Aku akan pulang ke rumah tempat lahirku, tapi aku merasa bahwa aku akan dihukum mati setiba di sana.”​Bahu Hana bergidik perlahan, rasa dingin menjalar ke tengkuknya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir bayangan-bayangan gelap.​“Aku mengerti.” Akira menariknya mendekat, memeluk bahunya. “Perasaan itu wajar. Kau kembali sebagai 'Putri terakhir' setelah sekian lama, kembali ke tempat yang menyimpan begitu banyak memori—sekaligus kembali ke dalam sarang masalah. Tapi apa kau lupa?”​Akira meraih lembut dagu H

  • Bangkitnya Sang Kaisar Wanita   Bab 5

    ​“Aki sayang… apakah kau yakin akan membiarkan aku menjadi Kaisar?” Hana berusaha membaca wajah Akira, sambil menggenggam tangan pria itu. ​Mereka duduk berdekatan di bangku kecil dalam keheningan toko bunga. Aroma lavender dan jasmine yang seharusnya menenangkan, terasa berat oleh beban keputusan besar. Hana menatap suaminya, mencari kepastian di mata pria yang selalu menjadi jangkar rasionalitasnya. ​Akira tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan menarik Hana lembut ke dalam pelukannya. Kehangatan tubuhnya, aroma samar buku dan eucalyptus yang selalu melekat pada kulitnya, adalah satu-satunya kenyamanan yang Hana miliki di tengah badai duka dan intrik politik ini. Ia membenamkan wajahnya di dada Akira, membiarkan suaminya mengusap rambutnya. ​“Hime-chan,” bisik Akira, suaranya dalam dan menenangkan. Ia mencium kening istrinya lama, sebuah janji tanpa kata. “Tentu saja aku yakin. Aku tidak hanya yakin, aku memastikan kau yang mengambil alih tahta.” ​Hana mendongak, matanya

  • Bangkitnya Sang Kaisar Wanita   Bab 4

    ​Dering suara bel di pintu masuk yang bernada nyaring, membelah keheningan yang nyaman, seketika membawa Akira dan Hana kembali dari lembah kenangan mereka. Hana tersentak kecil, air mata yang masih membasahi pipinya belum sepenuhnya mengering. ​“Biar aku yang melihat ke depan, Hana-chan. Basuhlah wajahmu terlebih dahulu,” ujar Akira dengan lembut. Tangannya terangkat, jari-jarinya yang panjang menyisir lembut anak rambut Hana yang halus. Sentuhan itu menyampaikan kasih sayang yang menenangkan, tetapi mata Akira sudah menunjukkan bayangan kesadaran yang dingin. ​Hana mengangguk pelan, jemarinya membalas genggaman tangan Akira sejenak sebelum dilepaskan. Ia menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan kembali ketenangannya, sementara Akira melangkah menuju pintu depan, hatinya diselimuti firasat yang memberat—firasat yang kini telah bertransformasi menjadi kepastian yang tak terhindarkan. ​Akira mendorong pintu kayu berukir itu. Di ambang pintu, sesosok pria setengah baya berdiri t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status