Share

Bab 8

Author: Capoeng Biru
last update Last Updated: 2025-10-13 16:42:09

​Pagi itu di Laboratorium Prof. Akira terasa seperti di medan perang, meski tidak ada sebutir pun peluru ditembakkan. Aroma formalin dan disinfektan bercampur dengan bau debu yang berterbangan dari peti-peti kayu yang menumpuk. Di tengah kekacauan itu, Lotty bergerak cepat namun panik, mencoba mengamankan peralatan riset paling sensitif.

​“Tolong, Kotak Merah J-12 ini harus dipisahkan! Sensor sensitivitasnya akan hancur hanya karena getaran rem mendadak! Sial, kenapa Jenderal Moriyama harus memilih hari ini?!” Lotty menggerutu, memegang tablet di satu tangan dan menyeka keringat di dahinya dengan lengan baju yang lain. Waktu keberangkatan yang diperintahkan militer tinggal dua jam, dan ia merasa separuh dari kerja keras Prof. Akira akan hancur di tengah jalan.

​Pintu ganda baja laboratorium terbuka dengan gebrakan, memaksa semua orang di ruangan itu menoleh. Udara dingin disiplin militer langsung menyelimuti ruangan.

​Di ambang pintu, berdiri tegak Letnan Takeshi, dikelilingi oleh empat orang prajurit elit yang membawa senjata otomatis. Takeshi adalah definisi dari efisiensi yang menakutkan: seragamnya tanpa cela, matanya setajam baja, dan ekspresinya datar seperti permukaan air yang beku. Ia maju satu langkah, melipat secarik surat perintah resmi dari Jenderal Moriyama.

​“Nona Lotty,” suaranya rendah dan monoton, memotong setiap keributan. “Sesuai perintah militer, Operasi Pemindahan harus dimulai tepat pukul 10:00. Saya mengambil alih pengawasan logistik. Semua barang yang telah dipeti harus segera dimuat.”

​Lotty langsung berbalik, wajahnya memerah karena frustrasi. “Anda tidak mengerti, Letnan! Itu barang riset biokimia kelas P-4! Peralatan Cryo-Spectrometer butuh kontrol suhu konstan; getaran yang sedikit saja bisa merusak sampel genetik langka di dalamnya!”

​Takeshi tidak bergeming. “Perintah menyebutkan prioritas adalah kecepatan dan keamanan fisik. Kami akan menggunakan kendaraan anti-guncangan. Tidak ada pengecualian, Nona.”

​“Pengecualian ini menyangkut kelangsungan hidup penelitian yang bisa menyelamatkan ribuan orang!” Lotty membentak, tangannya menunjuk peti yang baru saja ia labeli. “Kau tahu bedanya antara kultur sel dan granat tangan, Letnan?”

​Takeshi menggeser pandangannya dari surat perintah ke mata Lotty. “Keduanya berbahaya jika salah tangan, Nona Lotty. Sekarang, menjauhlah dari area pemuatan atau saya terpaksa menganggap Anda sebagai penghalang operasi.”

​Ketegangan listrik menyelimuti mereka. Lotty yang ekspresif, berapi-api, dan berjuang demi ilmu; dihadapkan dengan Takeshi yang dingin, disiplin, dan tunduk pada otoritas. Perbedaan dunia mereka—ilmu vs. militer—adalah tembok tebal, namun di tengah adu argumen cepat itu, sebuah spark yang tak terduga mulai menyala. Mereka berdua sama-sama berjuang demi satu tujuan: melindungi apa yang ada di laboratorium ini.

​Saat jam menunjukkan pukul 22:00, konvoi militer besar yang terdiri dari enam truk lapis baja dan dua kendaraan komando meninggalkan Midtown, menarik perhatian setiap mata di sepanjang jalan protokol. Tujuannya: markas rahasia di Yamashiro, benteng alam di pegunungan yang tersembunyi.

​Di dalam kendaraan komando yang kedua, Lotty duduk dengan gelisah. Layar tablet di pangkuannya menampilkan kurva data suhu dan getaran peti-peti sensitif. Ia lebih khawatir pada angka-angka digital itu daripada kemungkinan serangan.

​Tiba-tiba, suara tenang Takeshi terdengar dari radio komunikasi internal.

​Takeshi: “Perhatian Unit Satu. Saya mendeteksi bayangan. Dua unit drone pengintai. Ketinggian rendah. Bersiap, ini bukan patroli rutin.”

​Jantung Lotty langsung berdebar. Bayangan tragedi kerajaan, yang menewaskan keluarga Kaisar dan menghancurkan vila peristirahatan yang tersembunyi beberapa hari lalu, terasa nyata bahkan di tengah jalan kota yang remang-remang. Musuh di balik bayangan itu masih aktif.

​“Kecepatan! Tingkatkan kecepatan!” perintah Takeshi.

​Konvoi itu berderu lebih kencang. Kemudian, suara gesekan logam di udara terdengar. Lotty melihat keluar jendela—dua titik cahaya kecil bergerak cepat, melesat menuju konvoi.

​“Mereka mengunci kita!” teriak salah seorang prajurit di sebelahnya.

​Takeshi memberi perintah yang tajam.

​Takeshi: “Unit Dua, evakuasi cepat. Prioritas adalah aset kargo! Saya ulangi, evakuasi cepat!”

​Seketika, kendaraan Lotty tersentak hebat saat rem mendadak diinjak. Semua orang terhuyung. Dalam kekacauan singkat itu, Lotty melihat ke sudut kendaraan. Kotak data Micro-Genom Prof. Akira—kotak kecil berwarna perak yang berisi kunci penelitian—tergelincir dari ikatannya dan hampir jatuh ke lantai. Jika data itu rusak, semua sia-sia.

​Tanpa berpikir, Lotty membuka pintu kendaraan yang baru saja berhenti. “Tidak bisa! Aku harus mengambilnya!”

​Ia melompat keluar, mengabaikan teriakan peringatan prajurit. Ia meraih kotak perak itu, namun saat ia berbalik untuk masuk kembali, drone pertama meledak di udara, sangat dekat. Getaran ledakan itu seperti palu godam.

​Detik berikutnya, sebuah tangan baja mencengkeram lengannya. Lotty ditarik dengan kekuatan brutal kembali ke dalam kendaraan, jatuh menimpa kursi. Pintu dibanting tertutup. Sesaat setelah itu, kendaraan komando itu melesat lagi, menghindari serpihan drone yang terbakar.

​Napas Lotty terengah-engah. Ia mendongak. Takeshi berdiri di atasnya, tubuhnya menjadi perisai dari kaca jendela. Tatapan tajamnya membara.

​“Kau…sangat ceroboh,” desis Takeshi, suaranya mengandung kemarahan yang tertahan.

​Lotty masih memeluk erat kotak data. Ia melihat sekilas sisi lain di balik wajah batu itu. Matanya tidak hanya menampilkan teguran militer, tetapi juga kekhawatiran sesaat, sebuah kegagalan singkat dari disiplinnya yang sempurna. Ia baru saja diselamatkan oleh seorang Letnan yang ia tuduh dingin dan tak berperasaan.

​Koneksi emosional pertama mereka terbentuk bukan dari kata-kata, tapi dari momen aksi, di bawah bayangan bahaya yang sama.

​Konvoi akhirnya berhenti di pos pemeriksaan perbatasan yang sepi, sebuah benteng kecil yang berbatasan dengan wilayah pegunungan. Para prajurit berhamburan untuk mengisi bahan bakar dan melakukan pengecekan keamanan menyeluruh.

​Lotty duduk sendirian di tangga belakang kendaraan komando, membiarkan udara malam yang dingin menusuk kulitnya. Ia menyeruput kopi instan pahit yang ia buat dari termos, memandang ke kegelapan pegunungan yang mulai menjulang.

​Sebuah bayangan mendekat. Lotty mendongak dan melihat Takeshi berdiri di belakangnya. Ia duduk di sebelahnya, menjaga jarak sopan, namun tidak mengatakan apa-apa. Lotty tahu dia sedang menunggu laporan.

​Tiba-tiba, Takeshi melepas jaket militer tebalnya dan menaruhnya di pundak Lotty. Jaket itu terasa hangat dan membawa sedikit aroma mesiu yang samar.

​“Udara di perbatasan lebih dingin,” katanya singkat.

​Lotty menarik jaket itu lebih rapat. Kimia antara mereka terasa lebih lembut kali ini, jauh dari ketegangan pagi hari.

​“Terima kasih, Letnan,” ucap Lotty, menatapnya. “Apa kau selalu se-serius ini, Letnan?”

​Takeshi memandang ke arah dataran yang mereka tinggalkan. “Serius menyelamatkan hidup orang, ya.”

​Keheningan kembali menyelimuti mereka, hanya diselingi oleh suara mesin truk yang sedang dihidupkan.

​Lotty menunduk, memainkan tutup kopi instan. “Termasuk hidupku tadi?”

​Takeshi menggeser pandangannya untuk menatapnya. Kali ini, tidak ada nada emosi. Hanya sebuah pernyataan fakta, sejelas laras senapan.

​“Termasuk hal itu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bangkitnya Sang Kaisar Wanita   BAB 9

    ​Konvoi kendaraan tempur ringan dan pengangkut barang melaju perlahan menembus kabut tipis yang menyelimuti dataran tinggi. Di dalamnya, Lotty Alden—asisten kepercayaan Akira—menyandarkan kepala pada kaca jendela yang bergetar lembut. Rasa lelah akibat perjalanan lintas benua yang berlanjut dengan perjalanan darat yang melelahkan mulai menumpulkan indranya. Ia masih terkantuk-kantuk, sementara di kursi depan, Letnan Takeshi Kido tampak tidak tersentuh oleh kelelahan. Matanya yang tajam tetap waspada, memantau cakrawala. ​Tiba-tiba, kendaraan berhenti. Bunyi gesekan ban dan suara komando singkat mengusik Lotty dari kantuknya. ​“Kita sudah tiba,” ujar Takeshi tanpa menoleh. ​Lotty menggosok matanya dan melongok ke luar. Ia terkesiap. ​Di hadapannya membentang Gerbang Utama Yamashiro, sebuah struktur kolosal yang tampak mustahil. Gerbang itu sendiri terbuat dari kayu hitam tua, dihiasi dengan ukiran naga dan awan bergaya zaman

  • Bangkitnya Sang Kaisar Wanita   Bab 8

    ​Pagi itu di Laboratorium Prof. Akira terasa seperti di medan perang, meski tidak ada sebutir pun peluru ditembakkan. Aroma formalin dan disinfektan bercampur dengan bau debu yang berterbangan dari peti-peti kayu yang menumpuk. Di tengah kekacauan itu, Lotty bergerak cepat namun panik, mencoba mengamankan peralatan riset paling sensitif.​“Tolong, Kotak Merah J-12 ini harus dipisahkan! Sensor sensitivitasnya akan hancur hanya karena getaran rem mendadak! Sial, kenapa Jenderal Moriyama harus memilih hari ini?!” Lotty menggerutu, memegang tablet di satu tangan dan menyeka keringat di dahinya dengan lengan baju yang lain. Waktu keberangkatan yang diperintahkan militer tinggal dua jam, dan ia merasa separuh dari kerja keras Prof. Akira akan hancur di tengah jalan.​Pintu ganda baja laboratorium terbuka dengan gebrakan, memaksa semua orang di ruangan itu menoleh. Udara dingin disiplin militer langsung menyelimuti ruangan.​Di ambang pintu, berdiri tegak Letnan Takeshi, dikelilingi oleh emp

  • Bangkitnya Sang Kaisar Wanita   BAB 7

    Hana berdiri di depan altar di Shinden (aula suci), cahaya pagi yang pucat menyaring melalui jendela shoji keemasan. Ia mengenakan mofuku hitam yang menyerap semua warna, termasuk warna kehidupan. Tidak ada peti kayu hinoki, tidak ada jenazah utuh. Hanya empat wadah perak kecil yang tersemat di altar: potongan jubah Kaisar, manik-manik doa Permaisuri, jimat kayu Kenji, dan pita rambut sutra Reiko.​Di sekelilingnya, para biksu kekaisaran sedang menyelesaikan ritus Reikon Kantei, ritual langka Penegasan Jiwa, mengamankan arwah keluarga yang hilang ke dalam benda pusaka tersebut. Itu adalah pemandangan yang menyayat, upaya putus asa untuk memberikan penutupan spiritual pada kehancuran fisik yang tak terbayangkan.​Hana merasakan kuku jarinya menekan telapak tangan. Di depannya, adalah duka suci. Di balik kepalanya, di lorong-lorong Istana, adalah keheningan politik yang berbahaya. Aroma tajam krisan putih yang seharusnya menenangkan justru terasa menyesakkan. Ia adalah seorang

  • Bangkitnya Sang Kaisar Wanita   BAB 6

    ​“Tanganmu dingin sekali, Ojo-sama. Apakah kau merasa takut?”​Profesor Akira meraih tangan istrinya perlahan, menggenggam dengan lembut seolah memberikan sedikit kehangatan. Mereka berada di dalam kabin jet pribadi militer. Jemari Hana yang ramping terasa membeku di telapak tangannya. Matanya yang biasanya memancarkan kecerahan kini terlihat sedikit berkabut.​“Ini aneh sekali, bukan?” balas Hana, suaranya berbisik, hampir tenggelam dalam dengung halus mesin pesawat. “Aku akan pulang ke rumah tempat lahirku, tapi aku merasa bahwa aku akan dihukum mati setiba di sana.”​Bahu Hana bergidik perlahan, rasa dingin menjalar ke tengkuknya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir bayangan-bayangan gelap.​“Aku mengerti.” Akira menariknya mendekat, memeluk bahunya. “Perasaan itu wajar. Kau kembali sebagai 'Putri terakhir' setelah sekian lama, kembali ke tempat yang menyimpan begitu banyak memori—sekaligus kembali ke dalam sarang masalah. Tapi apa kau lupa?”​Akira meraih lembut dagu H

  • Bangkitnya Sang Kaisar Wanita   Bab 5

    ​“Aki sayang… apakah kau yakin akan membiarkan aku menjadi Kaisar?” Hana berusaha membaca wajah Akira, sambil menggenggam tangan pria itu. ​Mereka duduk berdekatan di bangku kecil dalam keheningan toko bunga. Aroma lavender dan jasmine yang seharusnya menenangkan, terasa berat oleh beban keputusan besar. Hana menatap suaminya, mencari kepastian di mata pria yang selalu menjadi jangkar rasionalitasnya. ​Akira tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan menarik Hana lembut ke dalam pelukannya. Kehangatan tubuhnya, aroma samar buku dan eucalyptus yang selalu melekat pada kulitnya, adalah satu-satunya kenyamanan yang Hana miliki di tengah badai duka dan intrik politik ini. Ia membenamkan wajahnya di dada Akira, membiarkan suaminya mengusap rambutnya. ​“Hime-chan,” bisik Akira, suaranya dalam dan menenangkan. Ia mencium kening istrinya lama, sebuah janji tanpa kata. “Tentu saja aku yakin. Aku tidak hanya yakin, aku memastikan kau yang mengambil alih tahta.” ​Hana mendongak, matanya

  • Bangkitnya Sang Kaisar Wanita   Bab 4

    ​Dering suara bel di pintu masuk yang bernada nyaring, membelah keheningan yang nyaman, seketika membawa Akira dan Hana kembali dari lembah kenangan mereka. Hana tersentak kecil, air mata yang masih membasahi pipinya belum sepenuhnya mengering. ​“Biar aku yang melihat ke depan, Hana-chan. Basuhlah wajahmu terlebih dahulu,” ujar Akira dengan lembut. Tangannya terangkat, jari-jarinya yang panjang menyisir lembut anak rambut Hana yang halus. Sentuhan itu menyampaikan kasih sayang yang menenangkan, tetapi mata Akira sudah menunjukkan bayangan kesadaran yang dingin. ​Hana mengangguk pelan, jemarinya membalas genggaman tangan Akira sejenak sebelum dilepaskan. Ia menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan kembali ketenangannya, sementara Akira melangkah menuju pintu depan, hatinya diselimuti firasat yang memberat—firasat yang kini telah bertransformasi menjadi kepastian yang tak terhindarkan. ​Akira mendorong pintu kayu berukir itu. Di ambang pintu, sesosok pria setengah baya berdiri t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status