“Aki sayang… apakah kau yakin akan membiarkan aku menjadi Kaisar?” Hana berusaha membaca wajah Akira, sambil menggenggam tangan pria itu.
Mereka duduk berdekatan di bangku kecil dalam keheningan toko bunga. Aroma lavender dan jasmine yang seharusnya menenangkan, terasa berat oleh beban keputusan besar. Hana menatap suaminya, mencari kepastian di mata pria yang selalu menjadi jangkar rasionalitasnya. Akira tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan menarik Hana lembut ke dalam pelukannya. Kehangatan tubuhnya, aroma samar buku dan eucalyptus yang selalu melekat pada kulitnya, adalah satu-satunya kenyamanan yang Hana miliki di tengah badai duka dan intrik politik ini. Ia membenamkan wajahnya di dada Akira, membiarkan suaminya mengusap rambutnya. “Hime-chan,” bisik Akira, suaranya dalam dan menenangkan. Ia mencium kening istrinya lama, sebuah janji tanpa kata. “Tentu saja aku yakin. Aku tidak hanya yakin, aku memastikan kau yang mengambil alih tahta.” Hana mendongak, matanya yang indah tampak keruh oleh air mata yang tertahan. “Tapi kenapa? Aku ingin kita kembali ke sini, hidup tenang. Aku tahu tahta adalah warisanku, tapi aku takut… takut kehilanganmu.” Akira tersenyum kecil, senyum yang meredakan kekhawatiran Hana. Ia mengusap pipi istrinya dengan punggung tangannya yang lembut. “Sayangku, apa kau tahu kenapa aku bersikeras agar kau mengambil alih tahta, dan kita pindah berdua ke Yamashiro?” Hana menelengkan kepalanya, berpikir sejenak, lalu menggeleng perlahan. “Sayangku,” kata Akira, merapikan anak rambut Hana. “Jika kau berkeras untuk bertahan diluar kerajaan, itu bukan saja membuat posisi kita dalam bahaya, tapi bisa saja kita akan menjadi target sepenuhnya, dan kita akan butuh waktu lama untuk membalas mereka.” Akira menarik napas dalam-dalam. “Hanya dengan dirimu berada di puncak kekuasaan, dan aku berada tepat di sisimu, maka akan membuatmu mudah untuk melakukan penyelidikan tanpa dicurigai. Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi sarang ular itu sendirian. Kita akan menjadi mata dan telinga satu sama lain. Kau adalah Kaisar, dan aku adalah Penasihat Utama-mu. Siapa yang akan berani menyentuh Penasihat Utama, yang kebetulan adalah suami Kaisar, di dalam Istana mereka sendiri?” Hana terhenyak mendengar penuturan suaminya. Lelaki yang biasanya hanya bergelut dengan hitungan dan rumus ilmiah, ternyata berpikir jauh ke depan, bukan hanya melindungi, tapi merencanakan langkah politik yang cerdik. Ide untuk pindah berdua ke Istana, dengan Akira di sisinya, memberikan keberanian baru bagi Hana. “Kau benar,” bisik Hana, matanya kini memancarkan api tekad. “Aku tidak akan membiarkan mereka lolos. Kita akan membawa keadilan bagi keluargaku, dan kita akan melakukannya bersama.” Mereka berdua mulai menyusun rencana yang lebih rinci. Mereka tahu, kepulangan mereka ke Yamashiro harus terkesan cepat dan alami, sebagai reaksi kesedihan. “Kita harus bergerak cepat,” ujar Hana, mengambil pena. “Aku harus menerima mahkota secepatnya untuk mencegah kekosongan kekuasaan yang bisa dimanfaatkan Dewan Penasihat. Kau, Aki, harus punya peran resmi yang memberimu akses dan keamanan.” “Aku akan masuk sebagai Kepala Konsultan Ilmiah Kekaisaran,” jawab Akira, suaranya tenang. “Jabatan itu akan memberiku hak untuk meminta akses ke setiap catatan, laporan forensik lama, dan laboratorium apa pun di Yamashiro. Aku bisa mencari bukti racun atau zat asing, dan mengawasi setiap orang yang berinteraksi denganmu atas nama ‘kesehatan’ dan ‘keamanan’ Kaisar.” Hana tersenyum bangga pada kecerdasan suaminya. “Sempurna. Kita akan mencari orang-orang yang paling diuntungkan dari tragedi ini: para menteri pertahanan, keuangan, dan Ketua Dewan Penasihat. Mereka adalah daftar target utama kita.” Akira mengangguk, lalu mendekat lagi, tatapannya melembut. Ia meraih tangan Hana dan mengecupnya. “Kita tidak akan pernah berpisah, Hime-chan. Kita akan tidur di ranjang yang sama, makan di meja yang sama, dan menghadapi setiap intrik yang mereka lemparkan bersama-sama. Ini adalah janji kita.” Momen romantis itu, sebuah pengingat bahwa di balik gelar dan ancaman, mereka hanyalah suami istri yang saling mencintai, memberi mereka energi untuk kembali fokus pada kegelapan yang menanti. Akira tahu, kini saatnya untuk mengungkapkan rahasia terbesar. Ia menarik napas dalam-dalam, mengambil cangkir tehnya, dan meminumnya perlahan. “Hana, ada satu bagian lagi dari rencana kita, sebuah perlindungan absolut yang akan memastikan kita tetap hidup di tengah Istana,” kata Akira, matanya memancarkan ketegangan. “Ini tentang penelitianku.” Hana mengernyit. “Tentang obat anti-virus itu?” Akira mengangguk. “Beberapa bulan yang lalu, aku berhasil menyempurnakan strukturnya. Aku menemukan obat yang bisa melindungi seluruh populasi dari virus. Tapi dalam prosesnya, aku menemukan potensi yang jauh lebih mengerikan.” Wajah Hana berubah tegang. “Struktur molekuler itu, jika dimodifikasi hanya sedikit, akan membalikkan fungsinya sepenuhnya. Ia tidak lagi menjadi penyembuh, tapi menjadi senjata kimia paling dahsyat yang pernah ada.” Akira berbisik, memejamkan mata sesaat karena rasa jijik pada penemuannya sendiri. “Aku menamakannya ‘Proyek Pemanen’.” Hana menatapnya, bingung dan takut. “Kenapa kau menyimpannya, Aki? Kenapa tidak kau hancurkan?” “Aku berusaha, Hime-chan. Tapi aku menyadari, di dunia intrik politik ini, terutama di Yamashiro, kebaikan saja tidak cukup untuk bertahan hidup. Kita membutuhkan kartu as, sebuah deterrent,” jelas Akira, ekspresinya kembali tenang dan penuh perhitungan. “Selama musuh menduga kita memiliki kemampuan untuk menghancurkan mereka sepenuhnya, mereka akan berpikir dua kali sebelum menyerangmu. Ini adalah kekuatan yang seimbang—senjata yang harus disimpan tersembunyi, tetapi selalu siap digunakan.” Ia kemudian melanjutkan, menunjukkan inisiatifnya. “Itu sebabnya aku bersikeras kita pindah berdua ke Yamashiro. Aku sudah merencanakan ini. Kita akan memindahkan labku. Peralatan dan reagen penting dari lab lamaku di Midtown harus dibawa masuk ke Istana.” Hana menyadari betapa jauh suaminya telah berpikir. Ini bukan hanya rencana politik, ini adalah operasi keamanan pribadi yang ekstrem. “Kau ingin memindahkan Proyek Pemanen ke dalam Istana?” tanya Hana, suaranya bergetar. Membawa ancaman pemusnah massal ke jantung kekuasaan terasa gila, namun juga sangat meyakinkan. “Tentu saja,” jawab Akira. “Sebagai Kepala Konsultan Ilmiah, aku akan meminta alokasi ruangan tertutup dan terisolasi untuk risetku. Kita akan memilih salah satu terowongan atau ruang bawah tanah yang terlupakan di Yamashiro. Aku akan merekonstruksi lab itu di sana. Dengan begitu, senjata itu akan berada tepat di bawah tahtamu, di bawah pengawasanku. Kita akan aman, dan kita akan punya kekuatan untuk menuntut keadilan.” Hana mencondongkan tubuhnya ke depan, mencengkram tangan Akira, matanya kini penuh kekaguman dan cinta, bercampur dengan ketakutan yang mendalam. “Aki… Kau benar-benar Jenius Berbahaya-ku. Itu gila, tapi itu adalah satu-satunya cara untuk memastikan keselamatan kita.” “Kita akan melakukannya malam ini juga,” kata Akira, bangkit berdiri dan menarik Hana bersamanya. “Aku sudah mengatur transportasi. Aku akan menyamar sebagai pemindahan aset pribadi, dan aku akan mengurus enkripsi akhir untuk Kode Alpha—data Proyek Pemanen—sebelum kita meninggalkannya. Saat kita memasuki Yamashiro, kita tidak hanya membawa Kaisar baru, kita juga membawa ancaman terbesar yang pernah ada di Kekaisaran ini.” Hana menatap sekeliling toko bunga mereka untuk yang terakhir kalinya. Aroma bunga yang telah menjadi rumah mereka kini harus mereka tinggalkan. Ia berbalik, memeluk suaminya erat-erat, mencium bibirnya dengan penuh gairah, sebuah ciuman perpisahan bagi kehidupan lama mereka, dan sebuah janji untuk pertempuran yang akan datang. “Aku mencintaimu, Aki,” bisik Hana, matanya kini berkilat penuh tekad. “Mari kita rebut kembali takhta ini dan hancurkan mereka.”“Tanganmu dingin sekali, Ojo-sama. Apakah kau merasa takut?”Profesor Akira meraih tangan istrinya perlahan, menggenggam dengan lembut seolah memberikan sedikit kehangatan. Mereka berada di dalam kabin jet pribadi militer. Jemari Hana yang ramping terasa membeku di telapak tangannya. Matanya yang biasanya memancarkan kecerahan kini terlihat sedikit berkabut.“Ini aneh sekali, bukan?” balas Hana, suaranya berbisik, hampir tenggelam dalam dengung halus mesin pesawat. “Aku akan pulang ke rumah tempat lahirku, tapi aku merasa bahwa aku akan dihukum mati setiba di sana.”Bahu Hana bergidik perlahan, rasa dingin menjalar ke tengkuknya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir bayangan-bayangan gelap.“Aku mengerti.” Akira menariknya mendekat, memeluk bahunya. “Perasaan itu wajar. Kau kembali sebagai 'Putri terakhir' setelah sekian lama, kembali ke tempat yang menyimpan begitu banyak memori—sekaligus kembali ke dalam sarang masalah. Tapi apa kau lupa?”Akira meraih lembut dagu H
“Aki sayang… apakah kau yakin akan membiarkan aku menjadi Kaisar?” Hana berusaha membaca wajah Akira, sambil menggenggam tangan pria itu. Mereka duduk berdekatan di bangku kecil dalam keheningan toko bunga. Aroma lavender dan jasmine yang seharusnya menenangkan, terasa berat oleh beban keputusan besar. Hana menatap suaminya, mencari kepastian di mata pria yang selalu menjadi jangkar rasionalitasnya. Akira tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan menarik Hana lembut ke dalam pelukannya. Kehangatan tubuhnya, aroma samar buku dan eucalyptus yang selalu melekat pada kulitnya, adalah satu-satunya kenyamanan yang Hana miliki di tengah badai duka dan intrik politik ini. Ia membenamkan wajahnya di dada Akira, membiarkan suaminya mengusap rambutnya. “Hime-chan,” bisik Akira, suaranya dalam dan menenangkan. Ia mencium kening istrinya lama, sebuah janji tanpa kata. “Tentu saja aku yakin. Aku tidak hanya yakin, aku memastikan kau yang mengambil alih tahta.” Hana mendongak, matanya
Dering suara bel di pintu masuk yang bernada nyaring, membelah keheningan yang nyaman, seketika membawa Akira dan Hana kembali dari lembah kenangan mereka. Hana tersentak kecil, air mata yang masih membasahi pipinya belum sepenuhnya mengering. “Biar aku yang melihat ke depan, Hana-chan. Basuhlah wajahmu terlebih dahulu,” ujar Akira dengan lembut. Tangannya terangkat, jari-jarinya yang panjang menyisir lembut anak rambut Hana yang halus. Sentuhan itu menyampaikan kasih sayang yang menenangkan, tetapi mata Akira sudah menunjukkan bayangan kesadaran yang dingin. Hana mengangguk pelan, jemarinya membalas genggaman tangan Akira sejenak sebelum dilepaskan. Ia menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan kembali ketenangannya, sementara Akira melangkah menuju pintu depan, hatinya diselimuti firasat yang memberat—firasat yang kini telah bertransformasi menjadi kepastian yang tak terhindarkan. Akira mendorong pintu kayu berukir itu. Di ambang pintu, sesosok pria setengah baya berdiri t
“Aki… Ayahanda…” Suara Hana tercekat di tenggorokannya, bagai sebuah gelembung kaca yang kian membesar, yang tak sanggup ia pecahkan. Kata-kata itu lebih merupakan hembusan napas yang menyakitkan untuk dikeluarkan dengan susah payah daripada sebuah panggilan kepada mendiang Ayahnya. Akira, pria yang menghabiskan hidupnya di laboratorium yang tenang, di antara angka-angka dan data ilmiah, kini bergerak secepat yang ia bisa, jauh melampaui kecepatannya saat mengejar hipotesis ilmiah. Ia berlari, menjejak karpet tebal itu dengan terburu-buru, menangkap tubuh istrinya yang tiba-tiba luruh, seolah semua tulang di tubuhnya mendadak menyerah. Sebelum lutut Hana menyentuh lantai kayu yang dingin, lengan Akira sudah mendekapnya. Hana menangis dengan suara tertahan. Sebuah jeritan tanpa suara merobek dadanya, mengoyak pita suaranya, membiarkan gelombang kesedihan yang telah membatu di rongga dadanya kini tumpah ruah. Ia mencengkram kemeja putih bersih Akira, sekuat ia menggenggam sisa-sisa
“Selamat pagi Miss O’hare.” Suara merdu Hana melayang melintasi etalase kaca, berbaur dengan semerbak lilin beraroma honeysuckle dan manisnya udara pagi. Wanita tua itu, punggungnya sedikit membungkuk dan dengan rambutnya yang seputih salju, sudah berdiri di ambang pintu, seperti jam weker yang tepat waktu. Kepala Hana miring sedikit saat ia melihat ke tumpukan buket yang sudah terikat rapi di konter. “Biar kutebak… seikat Tulip Kuning?” Hana melanjutkan, senyumnya merekah seperti kelopak di pagi hari. Matanya yang cokelat berkilauan menangkap pantulan cahaya dari vas kaca di depannya. “Kau tahu benar favoritku, Hana-chan.” Ms. O’hare tertawa kecil, suara yang selalu menghangatkan hati Hana. Tangan keriputnya yang dihiasi bintik-bintik penuaan bergerak meraih buket yang sudah disiapkan Hana—lima kuntum tulip kuning yang mekar sempurna, diikat dengan pita rami sederhana. “Bunga-bunga di tokomu adalah yang tercantik di Midtown,” puji wanita lanjut usia itu sambil mengeluar
“Ayah, kita benar-benar akan berlibur ke Vila Matahari Pagi kan?” Suara Putri Reiko Yamashiro melengking penuh harap, memecah kesunyian yang diselingi gemerisik daun di taman istana. Wajah mungilnya memancarkan cahaya, kedua matanya yang gelap membulat penuh, berkilauan seperti kelereng di bawah sinar pagi. Kakinya yang tak sabar terus melompat-lompat kecil di tempat, membuat pita-pita merah di rambutnya ikut menari. Kegirangan yang membuncah dari diri gadis berusia tujuh tahun itu terasa begitu menular. “Reiko-chan…berhenti meloncat-loncat,” suara lembut Permaisuri Yuriko mengalun, tanpa ada nada ketegasan yang berlebihan, namun cukup untuk menahan gerakan Reiko. Gadis kecil itu memang berhenti, tapi hanya sekejap, bibirnya mengerucut sedikit sebelum ia kembali berlari-lari kecil, langkahnya ringan seolah menginjak udara, sambil bersenandung lirih sebuah lagu rakyat. Kaisar Minamoto terkekeh pelan. Matanya yang tajam melembut saat melihat tingkah laku putri bungsunya. Tawa kec