LOGINHana berdiri di depan altar di Shinden (aula suci), cahaya pagi yang pucat menyaring melalui jendela shoji keemasan. Ia mengenakan mofuku hitam yang menyerap semua warna, termasuk warna kehidupan. Tidak ada peti kayu hinoki, tidak ada jenazah utuh. Hanya empat wadah perak kecil yang tersemat di altar: potongan jubah Kaisar, manik-manik doa Permaisuri, jimat kayu Kenji, dan pita rambut sutra Reiko.
Di sekelilingnya, para biksu kekaisaran sedang menyelesaikan ritus Reikon Kantei, ritual langka Penegasan Jiwa, mengamankan arwah keluarga yang hilang ke dalam benda pusaka tersebut. Itu adalah pemandangan yang menyayat, upaya putus asa untuk memberikan penutupan spiritual pada kehancuran fisik yang tak terbayangkan. Hana merasakan kuku jarinya menekan telapak tangan. Di depannya, adalah duka suci. Di balik kepalanya, di lorong-lorong Istana, adalah keheningan politik yang berbahaya. Aroma tajam krisan putih yang seharusnya menenangkan justru terasa menyesakkan. Ia adalah seorang Putri yang kembali ke Istana, namun kini terasa asing di tempat yang dulu ia tinggalkan; tempat itu telah menjadi medan politik yang rapuh. Hana mulai sadar betapa berat beban yang menantinya: duka tak terobati, tanggung jawab takhta yang mendadak, dan ancaman nyata dari faksi-faksi yang siap mengambil keuntungan. Ia teringat malam sebelumnya. Perangainya yang hangat dan ceria kini harus ditukar dengan ketajaman pikiran dan perhitungan seorang pemimpin. Ia teringat jelas wajah tegas Jenderal Moriyama semalam di ruang konsultasi. Jenderal itu, guru dan orang kepercayaan mendiang Kaisar, kini adalah pendukung utama Hana, sebuah benteng tradisi di tengah Dewan yang terpecah. "Yang Mulia," ujar Moriyama dengan nada mendesak yang rendah. "Saya bersyukur Anda dan Pangeran Pendamping selamat. Tetapi Kerajaan ini rapuh. Ada suara-suara di Dewan yang menuntut penobatan segera untuk menjamin stabilitas. Mereka menggunakan stabilitas sebagai kedok untuk mengendalikan transisi ini." Hana mengangguk. Ia merasakan tekanan itu—seperti racun yang merembes. Setiap detik adalah ancaman. "Penobatan yang terburu-buru adalah jebakan. Tapi penundaan tanpa alasan akan dianggap kelemahan. Kita harus bertindak cepat, Moriyama-sensei." Moriyama mencondongkan tubuh ke depan, matanya penuh perhitungan. "Kita harus menggunakan tradisi untuk melindungi Anda. Mengingat ketiadaan jenazah utuh, kita telah melakukan yang terbaik secara fisik. Tetapi secara spiritual, jiwa Yang Mulia Kaisar dan keluarga membutuhkan waktu empat puluh sembilan hari untuk mencapai pencerahan." "Saya mengusulkan, agar takhta ini didirikan di atas fondasi spiritual yang tak tergoyahkan, kita harus mengumumkan masa berkabung resmi selama empat puluh sembilan hari (Shijūkunichi)." Hana dan Akira bertukar pandang. Di mata Akira, ada kilatan realisasi strategis. Mereka menyadari bahwa Moriyama baru saja memberikan mereka senjata paling ampuh: waktu, yang dibungkus dengan kesucian tradisi agama. "Jenderal benar," kata Akira, naluri strategisnya langsung menyala. "Masa 49 hari adalah perisai yang sempurna." Hana bangkit dari duduknya, ketenangan yang dingin merayapi wajahnya. Tekadnya kini mengeras. Ia melihat Moriyama bukan hanya sebagai pendukung, tetapi sebagai mentor yang menunjukkan celah strategis, mengubah tradisi menjadi taktik. "Mari kita susun rencana kita berdasarkan 49 hari ini, Jenderal," ujar Hana. "Tujuan kita bukan hanya berduka, tetapi memastikan bahwa ketika penobatan dilakukan, tidak ada satu pun faksi yang dapat menentangnya." "Penundaan ini harus diumumkan sebagai tindakan kekuatan spiritual, bukan keengganan," kata Hana. "Dengan menjadikan masa berkabung 49 hari didasari oleh tradisi religius suci, kita mengunci oposisi yang dipimpin oleh pihak-pihak seperti faksi Asakura. Tidak ada bangsawan, betapapun ambisiusnya, yang berani menuntut penobatan segera. Mereka akan terlihat menentang tradisi suci Yamashiro dan tidak menghormati jiwa Kaisar." Akira maju ke depan. "Di bawah kedok duka, aktivitas saya akan luput dari pengawasan. Saya yakin pengeboman ini terkait dengan pekerjaan saya, atau setidaknya konspirasi besar yang mengincar Istana. Jenderal, saya membutuhkan tujuh minggu untuk memulai penyelidikan rahasia tanpa gangguan formal dari Dewan atau keamanan Istana. Mereka akan fokus pada ritual, bukan pada saya." Moriyama mengangguk. "Saya akan pastikan Pangeran Pendamping mendapatkan keleluasaan penuh. Kessho (kesunyian) Istana akan menjadi keuntungan terbaik Anda." "Di akhir masa ini," Hana menyimpulkan, "saya harus menunjukkan kepada semua orang bahwa saya yang memegang kendali atas jadwal kekaisaran, bukan Dewan atau faksi lama. Saya akan menggunakan 49 hari ini untuk menyusun narasi Era baru kita, Yamashiro yang modern tetapi berakar kuat. Penobatan saya akan menjadi awal yang tak terbantahkan." Keesokan harinya, Balai Resmi penuh sesak. Udara terasa tegang, dipenuhi antisipasi politik. Para bangsawan dan pejabat menunggu. Mereka mengira akan menyaksikan seorang Putri yang rapuh membuat pengumuman yang dapat mereka manfaatkan. Hana, didampingi Akira, maju ke podium. Langkahnya terukur, tatapannya tenang. "Atas saran bijaksana dari Jenderal Moriyama, pendukung setia takhta," suara Hana terdengar lantang dan berwibawa, memberi penekanan pada dukungan penting di hadapan Dewan yang skeptis, "dan sejalan dengan ajaran leluhur kita, saya, sebagai pewaris takhta Yamashiro, menetapkan masa berkabung resmi selama empat puluh sembilan hari." Ia melanjutkan dengan nada yang menegaskan bahwa keputusan ini adalah tindakan kekuatan, sebuah dekrit strategis. "Selama masa suci ini, semua urusan kenegaraan yang tidak mendesak ditangguhkan. Pangeran Pendamping Akira dan saya akan memasuki periode meditasi dan perencanaan yang ketat. Kami akan menggunakan tujuh minggu ini untuk memastikan bahwa penobatan saya adalah awal dari era yang stabil, yang dibangun di atas fondasi spiritualitas yang kokoh, bukan respons panik terhadap tragedi." Keputusan itu diterima dengan keheningan kaku di Dewan—bukti betapa efektifnya strategi mereka. Keheningan itu sendiri adalah kemenangan pertama Hana. Saat mereka meninggalkan Balai Resmi, Jenderal Moriyama membungkuk dalam-dalam, senyum tipis yang tulus terukir di wajahnya menunjukkan kepuasan. "Kau melakukannya dengan sempurna, Yang Mulia. Mereka tidak berani menentang tradisi. Perisai sudah terpasang." Akira mencondongkan tubuh ke Hana, bisikannya penuh tekad. "Empat puluh sembilan hari. Investigasi dimulai sekarang. Sekarang, kita harus menentukan: apakah kita akan mengorbankan diri kita yang bebas demi takhta dan kebenaran, atau membiarkan Yamashiro jatuh.”Konvoi kendaraan tempur ringan dan pengangkut barang melaju perlahan menembus kabut tipis yang menyelimuti dataran tinggi. Di dalamnya, Lotty Alden—asisten kepercayaan Akira—menyandarkan kepala pada kaca jendela yang bergetar lembut. Rasa lelah akibat perjalanan lintas benua yang berlanjut dengan perjalanan darat yang melelahkan mulai menumpulkan indranya. Ia masih terkantuk-kantuk, sementara di kursi depan, Letnan Takeshi Kido tampak tidak tersentuh oleh kelelahan. Matanya yang tajam tetap waspada, memantau cakrawala. Tiba-tiba, kendaraan berhenti. Bunyi gesekan ban dan suara komando singkat mengusik Lotty dari kantuknya. “Kita sudah tiba,” ujar Takeshi tanpa menoleh. Lotty menggosok matanya dan melongok ke luar. Ia terkesiap. Di hadapannya membentang Gerbang Utama Yamashiro, sebuah struktur kolosal yang tampak mustahil. Gerbang itu sendiri terbuat dari kayu hitam tua, dihiasi dengan ukiran naga dan awan bergaya zaman
Pagi itu di Laboratorium Prof. Akira terasa seperti di medan perang, meski tidak ada sebutir pun peluru ditembakkan. Aroma formalin dan disinfektan bercampur dengan bau debu yang berterbangan dari peti-peti kayu yang menumpuk. Di tengah kekacauan itu, Lotty bergerak cepat namun panik, mencoba mengamankan peralatan riset paling sensitif.“Tolong, Kotak Merah J-12 ini harus dipisahkan! Sensor sensitivitasnya akan hancur hanya karena getaran rem mendadak! Sial, kenapa Jenderal Moriyama harus memilih hari ini?!” Lotty menggerutu, memegang tablet di satu tangan dan menyeka keringat di dahinya dengan lengan baju yang lain. Waktu keberangkatan yang diperintahkan militer tinggal dua jam, dan ia merasa separuh dari kerja keras Prof. Akira akan hancur di tengah jalan.Pintu ganda baja laboratorium terbuka dengan gebrakan, memaksa semua orang di ruangan itu menoleh. Udara dingin disiplin militer langsung menyelimuti ruangan.Di ambang pintu, berdiri tegak Letnan Takeshi, dikelilingi oleh emp
Hana berdiri di depan altar di Shinden (aula suci), cahaya pagi yang pucat menyaring melalui jendela shoji keemasan. Ia mengenakan mofuku hitam yang menyerap semua warna, termasuk warna kehidupan. Tidak ada peti kayu hinoki, tidak ada jenazah utuh. Hanya empat wadah perak kecil yang tersemat di altar: potongan jubah Kaisar, manik-manik doa Permaisuri, jimat kayu Kenji, dan pita rambut sutra Reiko.Di sekelilingnya, para biksu kekaisaran sedang menyelesaikan ritus Reikon Kantei, ritual langka Penegasan Jiwa, mengamankan arwah keluarga yang hilang ke dalam benda pusaka tersebut. Itu adalah pemandangan yang menyayat, upaya putus asa untuk memberikan penutupan spiritual pada kehancuran fisik yang tak terbayangkan.Hana merasakan kuku jarinya menekan telapak tangan. Di depannya, adalah duka suci. Di balik kepalanya, di lorong-lorong Istana, adalah keheningan politik yang berbahaya. Aroma tajam krisan putih yang seharusnya menenangkan justru terasa menyesakkan. Ia adalah seorang
“Tanganmu dingin sekali, Ojo-sama. Apakah kau merasa takut?”Profesor Akira meraih tangan istrinya perlahan, menggenggam dengan lembut seolah memberikan sedikit kehangatan. Mereka berada di dalam kabin jet pribadi militer. Jemari Hana yang ramping terasa membeku di telapak tangannya. Matanya yang biasanya memancarkan kecerahan kini terlihat sedikit berkabut.“Ini aneh sekali, bukan?” balas Hana, suaranya berbisik, hampir tenggelam dalam dengung halus mesin pesawat. “Aku akan pulang ke rumah tempat lahirku, tapi aku merasa bahwa aku akan dihukum mati setiba di sana.”Bahu Hana bergidik perlahan, rasa dingin menjalar ke tengkuknya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir bayangan-bayangan gelap.“Aku mengerti.” Akira menariknya mendekat, memeluk bahunya. “Perasaan itu wajar. Kau kembali sebagai 'Putri terakhir' setelah sekian lama, kembali ke tempat yang menyimpan begitu banyak memori—sekaligus kembali ke dalam sarang masalah. Tapi apa kau lupa?”Akira meraih lembut dagu H
“Aki sayang… apakah kau yakin akan membiarkan aku menjadi Kaisar?” Hana berusaha membaca wajah Akira, sambil menggenggam tangan pria itu. Mereka duduk berdekatan di bangku kecil dalam keheningan toko bunga. Aroma lavender dan jasmine yang seharusnya menenangkan, terasa berat oleh beban keputusan besar. Hana menatap suaminya, mencari kepastian di mata pria yang selalu menjadi jangkar rasionalitasnya. Akira tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan menarik Hana lembut ke dalam pelukannya. Kehangatan tubuhnya, aroma samar buku dan eucalyptus yang selalu melekat pada kulitnya, adalah satu-satunya kenyamanan yang Hana miliki di tengah badai duka dan intrik politik ini. Ia membenamkan wajahnya di dada Akira, membiarkan suaminya mengusap rambutnya. “Hime-chan,” bisik Akira, suaranya dalam dan menenangkan. Ia mencium kening istrinya lama, sebuah janji tanpa kata. “Tentu saja aku yakin. Aku tidak hanya yakin, aku memastikan kau yang mengambil alih tahta.” Hana mendongak, matanya
Dering suara bel di pintu masuk yang bernada nyaring, membelah keheningan yang nyaman, seketika membawa Akira dan Hana kembali dari lembah kenangan mereka. Hana tersentak kecil, air mata yang masih membasahi pipinya belum sepenuhnya mengering. “Biar aku yang melihat ke depan, Hana-chan. Basuhlah wajahmu terlebih dahulu,” ujar Akira dengan lembut. Tangannya terangkat, jari-jarinya yang panjang menyisir lembut anak rambut Hana yang halus. Sentuhan itu menyampaikan kasih sayang yang menenangkan, tetapi mata Akira sudah menunjukkan bayangan kesadaran yang dingin. Hana mengangguk pelan, jemarinya membalas genggaman tangan Akira sejenak sebelum dilepaskan. Ia menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan kembali ketenangannya, sementara Akira melangkah menuju pintu depan, hatinya diselimuti firasat yang memberat—firasat yang kini telah bertransformasi menjadi kepastian yang tak terhindarkan. Akira mendorong pintu kayu berukir itu. Di ambang pintu, sesosok pria setengah baya berdiri t







