Dering suara bel di pintu masuk yang bernada nyaring, membelah keheningan yang nyaman, seketika membawa Akira dan Hana kembali dari lembah kenangan mereka. Hana tersentak kecil, air mata yang masih membasahi pipinya belum sepenuhnya mengering.
“Biar aku yang melihat ke depan, Hana-chan. Basuhlah wajahmu terlebih dahulu,” ujar Akira dengan lembut. Tangannya terangkat, jari-jarinya yang panjang menyisir lembut anak rambut Hana yang halus. Sentuhan itu menyampaikan kasih sayang yang menenangkan, tetapi mata Akira sudah menunjukkan bayangan kesadaran yang dingin. Hana mengangguk pelan, jemarinya membalas genggaman tangan Akira sejenak sebelum dilepaskan. Ia menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan kembali ketenangannya, sementara Akira melangkah menuju pintu depan, hatinya diselimuti firasat yang memberat—firasat yang kini telah bertransformasi menjadi kepastian yang tak terhindarkan. Akira mendorong pintu kayu berukir itu. Di ambang pintu, sesosok pria setengah baya berdiri tegak, memancarkan aura disiplin yang menusuk. Pakaian perwira militernya yang berwarna biru tua terlihat rapi, dengan deretan lencana dan tanda jasa yang berkilauan ditimpa cahaya senja. Posturnya lurus, bahunya lebar, dan tatapannya tajam. Jenderal Moriyama! Akira segera mengenali pria di hadapannya. Ia adalah Jenderal Moriyama, guru pribadi dan orang kepercayaan mendiang Kaisar Minamoto. Kedatangannya adalah realitas pahit dari semua ketakutan yang telah mereka abaikan selama bertahun-tahun. “Selamat sore, Professor Takumi. Senang dapat bertemu dengan Anda kembali,” suara Jenderal Moriyama dalam, bernada perintah, dan penuh wibawa. “Selamat sore, Jenderal. Silakan masuk. Hana-san ada di ruang keluarga.” Akira menyingkir, mempersilakan sang Jenderal masuk. Mereka berdua berjalan menuju ruang tengah. Hana berdiri di sana, membelakangi mereka, menatap sebuah bingkai foto. Saat Hana membalikkan badan, matanya yang sembab bertemu dengan tatapan Moriyama. Ekspresi Hana berubah kaku, mengambil jarak formal sang Putri Mahkota. “Jenderal Moriyama,” sapa Hana. “Yang Mulia Putri,” Moriyama membalas. Moriyama melangkah maju, lalu, dengan gerakan yang tegas namun penuh hormat, ia menjatuhkan diri berlutut di lantai kayu di hadapan Hana. Pemandangan seorang Jenderal berlutut di tengah toko bunga adalah simbol beratnya situasi ini. “Aku rasa kalian berdua sudah tahu maksud kedatanganku yang tiba-tiba ini,” kata Moriyama, suaranya kini sedikit bergetar. Ia berbicara kepada lantai. Hana memejamkan mata sesaat. “Yang Mulia Kaisar, Permaisuri, Putra Mahkota Kenji serta Putri Reiko, semuanya tewas, Yang Mulia,” potong Moriyama, suaranya dipenuhi kesedihan yang brutal. “Vila peristirahatan di Hutan Utara… diledakkan. Mereka semua mangkat kemarin malam.” Keheningan yang mematikan meliputi ruangan. Moriyama melanjutkan, nada suaranya berubah menjadi permohonan yang mendesak. “Tidak ada ahli waris lain, Yang Mulia. Anda adalah satu-satunya yang tersisa dari garis keturunan Minamoto. Yamashiro berada dalam kekacauan dengan adanya kekosongan tahta. Para Baron mulai bergerak. Musuh kita, Republik Kazan, juga mulai mencium darah.” Ia mengangkat kedua tangannya. “Yamashiro membutuhkan Anda. Kembalilah ke Yamashiro, Putri. Ambillah tanggung jawab Anda sebagai Kaisar, hamba memohon!” Hana mundur selangkah, tangannya menutupi mulut. Ia menggelengkan kepala. “Tidak. Aku tidak yakin aku bisa. Aku sudah lama meninggalkan semua itu.” “Apakah dengan keadaan seperti saat ini Yang Mulia masih memiliki pilihan?” Moriyama mendesak, kepalanya masih tertunduk. “Melarikan diri dari takdir Anda? Setelah tragedi yang menimpa keluarga Anda? Apakah itu yang diajarkan ayah Anda?” Kata-kata Moriyama menghantam dengan telak. Akira, yang selama ini diam di belakang, melangkah maju. Ia tidak lagi menatap Moriyama, melainkan menatap Hana dengan intensitas yang tenang, namun penuh tekad. Ia sudah melalui pergolakan ini di dalam hatinya dan kini, ia telah menemukan jalannya. “Jenderal Moriyama,” kata Akira, suaranya terdengar jernih dan tegas, memotong permohonan Moriyama. “Aku mohon, berdirilah.” Moriyama mengangkat kepala, tampak terkejut. “Aku rasa, kami sudah mengerti,” lanjut Akira, tanpa basa-basi. Ia tidak lagi menggunakan nada seorang professor yang santai, tetapi suara seorang pria yang mengambil alih situasi. “Bahwa kami tidak bisa berdalih lagi.” Akira melangkah hingga ia berdiri tepat di samping Hana, tangannya menggenggam jemari Hana, sebuah isyarat dukungan yang mutlak. “Hana akan kembali,” tegas Akira. Kalimat itu diucapkan dengan keyakinan, mengejutkan Hana dan Moriyama sekaligus. Mata Hana membulat, menoleh menatap Akira. Air mata yang menumpuk di matanya bercampur dengan kebahagiaan. Ia menunggu Akira mengatakan bahwa ini adalah pengorbanan yang menyakitkan, bahwa ia membenci takdir ini, namun yang ia temukan adalah dukungan yang tak tergoyahkan. Akira menoleh ke Hana, senyum kecil—sedih, namun penuh cinta—tersungging di bibirnya. “Aku adalah suamimu, Hana-san. Di mana pun takdir membawamu, aku akan berada di sana. Jika Yamashiro membutuhkan seorang Kaisar, aku akan memastikan Kaisar itu adalah istriku. Kita akan menghadapinya, bersama-sama.” Genggaman tangan Akira pada jemari Hana menguat, menyalurkan panas dan kekuatan. Bagi Akira, toko bunga ini mungkin adalah benteng, tapi sekarang, benteng itu telah runtuh. Ia sadar, kehidupan yang sederhana telah berakhir. Ia tahu dan sadar benar, dia baru saja menandatangani dimulainya perang politik dan mungkin militer. Ia tahu, mereka akan berjalan ke dalam sarang ular, di mana setiap Daimyo dan setiap anggota Dewan Tetua akan memandang Hana, dan terutama dirinya, dengan curiga. Ia, seorang profesor sejarah biasa, kini harus berdiri di sebelah seorang Kaisar di negara yang terancam perang saudara dan invasi. Akira tahu betul betapa beratnya tantangan ini. Kehidupan mereka akan berubah dari aroma tanah menjadi bau mesiu. Namun, melihat wajah Hana yang mulai meredakan ketakutannya, digantikan oleh sedikit sinar tekad, Akira tidak menyesal. Ia kembali menatap Moriyama, yang kini telah bangkit berdiri dengan ekspresi lega dan penuh syukur. “Tapi ada syaratnya, Jenderal,” lanjut Akira, nada suaranya kembali formal dan serius. “Kami adalah pasangan. Ke mana pun ia pergi, aku juga. Aku akan berada di Yamashiro sebagai suaminya, dan aku akan berada di sisinya di setiap langkah yang ia ambil.” Moriyama tersenyum lebar. Ia menundukkan kepala hormat. “Tentu, Professor Takumi. Kehadiran Anda akan menjadi kehormatan bagi Yamashiro.” “Mulai sekarang, Hana tidak akan bergerak sendiri,” tegas Akira, menatap lurus ke mata Moriyama. “Kami akan membicarakan detail kepulangan ini. Anda boleh menginap di penginapan, Jenderal. Kami akan siap berangkat besok pagi.” Moriyama mengangguk dan memberi hormat militer yang sempurna, kemudian berbalik dan meninggalkan ruangan. Akira dan Hana ditinggalkan sendirian di ruangan yang terasa sunyi. Keheningan yang ada kini bukan lagi karena ketakutan, melainkan karena ketegangan sebuah keputusan besar. Hana berbalik sepenuhnya, memeluk Akira erat, menyembunyikan wajahnya di dada suaminya. “Terima kasih, Akira-kun. Aku… aku takut sekali.” Akira membalas pelukannya, membelai rambut Hana dengan lembut. “Jangan pernah takut, Hana. Kita sudah memilih satu sama lain. Kita sudah memilih takdir ini. Sekarang, kita hanya perlu menaklukkannya.” Meskipun kata-katanya penuh kepastian untuk Hana, dalam pelukan hangat itu, Akira tahu bahwa ia baru saja berjanji untuk menyeberangi lautan badai yang tak terbayangkan, dan ia tidak tahu apakah mereka akan tenggelam atau berlayar. Namun, ia tidak akan melepaskan tangan Hana.“Tanganmu dingin sekali, Ojo-sama. Apakah kau merasa takut?”Profesor Akira meraih tangan istrinya perlahan, menggenggam dengan lembut seolah memberikan sedikit kehangatan. Mereka berada di dalam kabin jet pribadi militer. Jemari Hana yang ramping terasa membeku di telapak tangannya. Matanya yang biasanya memancarkan kecerahan kini terlihat sedikit berkabut.“Ini aneh sekali, bukan?” balas Hana, suaranya berbisik, hampir tenggelam dalam dengung halus mesin pesawat. “Aku akan pulang ke rumah tempat lahirku, tapi aku merasa bahwa aku akan dihukum mati setiba di sana.”Bahu Hana bergidik perlahan, rasa dingin menjalar ke tengkuknya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir bayangan-bayangan gelap.“Aku mengerti.” Akira menariknya mendekat, memeluk bahunya. “Perasaan itu wajar. Kau kembali sebagai 'Putri terakhir' setelah sekian lama, kembali ke tempat yang menyimpan begitu banyak memori—sekaligus kembali ke dalam sarang masalah. Tapi apa kau lupa?”Akira meraih lembut dagu H
“Aki sayang… apakah kau yakin akan membiarkan aku menjadi Kaisar?” Hana berusaha membaca wajah Akira, sambil menggenggam tangan pria itu. Mereka duduk berdekatan di bangku kecil dalam keheningan toko bunga. Aroma lavender dan jasmine yang seharusnya menenangkan, terasa berat oleh beban keputusan besar. Hana menatap suaminya, mencari kepastian di mata pria yang selalu menjadi jangkar rasionalitasnya. Akira tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan menarik Hana lembut ke dalam pelukannya. Kehangatan tubuhnya, aroma samar buku dan eucalyptus yang selalu melekat pada kulitnya, adalah satu-satunya kenyamanan yang Hana miliki di tengah badai duka dan intrik politik ini. Ia membenamkan wajahnya di dada Akira, membiarkan suaminya mengusap rambutnya. “Hime-chan,” bisik Akira, suaranya dalam dan menenangkan. Ia mencium kening istrinya lama, sebuah janji tanpa kata. “Tentu saja aku yakin. Aku tidak hanya yakin, aku memastikan kau yang mengambil alih tahta.” Hana mendongak, matanya
Dering suara bel di pintu masuk yang bernada nyaring, membelah keheningan yang nyaman, seketika membawa Akira dan Hana kembali dari lembah kenangan mereka. Hana tersentak kecil, air mata yang masih membasahi pipinya belum sepenuhnya mengering. “Biar aku yang melihat ke depan, Hana-chan. Basuhlah wajahmu terlebih dahulu,” ujar Akira dengan lembut. Tangannya terangkat, jari-jarinya yang panjang menyisir lembut anak rambut Hana yang halus. Sentuhan itu menyampaikan kasih sayang yang menenangkan, tetapi mata Akira sudah menunjukkan bayangan kesadaran yang dingin. Hana mengangguk pelan, jemarinya membalas genggaman tangan Akira sejenak sebelum dilepaskan. Ia menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan kembali ketenangannya, sementara Akira melangkah menuju pintu depan, hatinya diselimuti firasat yang memberat—firasat yang kini telah bertransformasi menjadi kepastian yang tak terhindarkan. Akira mendorong pintu kayu berukir itu. Di ambang pintu, sesosok pria setengah baya berdiri t
“Aki… Ayahanda…” Suara Hana tercekat di tenggorokannya, bagai sebuah gelembung kaca yang kian membesar, yang tak sanggup ia pecahkan. Kata-kata itu lebih merupakan hembusan napas yang menyakitkan untuk dikeluarkan dengan susah payah daripada sebuah panggilan kepada mendiang Ayahnya. Akira, pria yang menghabiskan hidupnya di laboratorium yang tenang, di antara angka-angka dan data ilmiah, kini bergerak secepat yang ia bisa, jauh melampaui kecepatannya saat mengejar hipotesis ilmiah. Ia berlari, menjejak karpet tebal itu dengan terburu-buru, menangkap tubuh istrinya yang tiba-tiba luruh, seolah semua tulang di tubuhnya mendadak menyerah. Sebelum lutut Hana menyentuh lantai kayu yang dingin, lengan Akira sudah mendekapnya. Hana menangis dengan suara tertahan. Sebuah jeritan tanpa suara merobek dadanya, mengoyak pita suaranya, membiarkan gelombang kesedihan yang telah membatu di rongga dadanya kini tumpah ruah. Ia mencengkram kemeja putih bersih Akira, sekuat ia menggenggam sisa-sisa
“Selamat pagi Miss O’hare.” Suara merdu Hana melayang melintasi etalase kaca, berbaur dengan semerbak lilin beraroma honeysuckle dan manisnya udara pagi. Wanita tua itu, punggungnya sedikit membungkuk dan dengan rambutnya yang seputih salju, sudah berdiri di ambang pintu, seperti jam weker yang tepat waktu. Kepala Hana miring sedikit saat ia melihat ke tumpukan buket yang sudah terikat rapi di konter. “Biar kutebak… seikat Tulip Kuning?” Hana melanjutkan, senyumnya merekah seperti kelopak di pagi hari. Matanya yang cokelat berkilauan menangkap pantulan cahaya dari vas kaca di depannya. “Kau tahu benar favoritku, Hana-chan.” Ms. O’hare tertawa kecil, suara yang selalu menghangatkan hati Hana. Tangan keriputnya yang dihiasi bintik-bintik penuaan bergerak meraih buket yang sudah disiapkan Hana—lima kuntum tulip kuning yang mekar sempurna, diikat dengan pita rami sederhana. “Bunga-bunga di tokomu adalah yang tercantik di Midtown,” puji wanita lanjut usia itu sambil mengeluar
“Ayah, kita benar-benar akan berlibur ke Vila Matahari Pagi kan?” Suara Putri Reiko Yamashiro melengking penuh harap, memecah kesunyian yang diselingi gemerisik daun di taman istana. Wajah mungilnya memancarkan cahaya, kedua matanya yang gelap membulat penuh, berkilauan seperti kelereng di bawah sinar pagi. Kakinya yang tak sabar terus melompat-lompat kecil di tempat, membuat pita-pita merah di rambutnya ikut menari. Kegirangan yang membuncah dari diri gadis berusia tujuh tahun itu terasa begitu menular. “Reiko-chan…berhenti meloncat-loncat,” suara lembut Permaisuri Yuriko mengalun, tanpa ada nada ketegasan yang berlebihan, namun cukup untuk menahan gerakan Reiko. Gadis kecil itu memang berhenti, tapi hanya sekejap, bibirnya mengerucut sedikit sebelum ia kembali berlari-lari kecil, langkahnya ringan seolah menginjak udara, sambil bersenandung lirih sebuah lagu rakyat. Kaisar Minamoto terkekeh pelan. Matanya yang tajam melembut saat melihat tingkah laku putri bungsunya. Tawa kec