Share

Bab 2. Desas-desus Tetangga

Penulis: Fajria Alting
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-13 14:59:57

Azkara masuk kembali ke dalam rumah dengan kedua tangan terkepal. Rasa kantuk dan lelahnya hilang sudah. Obrolan para tetangga itu mengganggunya. Gelisah, kakinya bergerak tanpa henti hingga mondar-mandir mirip setrika di ruang tamu yang sempit itu. Aroma debu yang pekat membuatnya bersin-bersin.

Pria lulusan SMK pembangunan itu memutuskan untuk membersihkan rumah sambil menunggu Shafira kembali daripada memikirkan yang tidak-tidak.

Banner bertuliskan 'dijual' itu sudah dilepas dengan paksa saking kesalnya. Perutnya sudah minta diisi tapi dapur kosong melompong tak ada sisa bahan makanan dilemari butut yang bagian bawahnya sudah agak miring dan pintunya sebagian sudah lepas dari engselnya. Bahkan air galon dan gas pun habis tak bersisa sama sekali.

Sebenarnya ia berencana membeli bahan makanan ke warung Bu Siti yang beberapa rumah dari rumahnya, tapi mendengar obrolan ibu-ibu tadi sepertinya Azkara memilih mengurungkan niatnya. Terlalu malas menanggapi omongan nyinyir para tetangga yang belum tentu benar.

Ia mungkin akan berbelanja ke minimarket dan membeli makanan matang saja di warung Bu Indah di ujung jalan Desa. Ia tak siap dengan komentar para tetangga tentang istrinya. Sementara gas dan air galon lebih baik memesannya lewat WA saja. Tapi rencana tinggal rencana. Maksud hati menghindar dari kelompok ibu-ibu gosiper, ternyata malah bertemu di minimarket yang letaknya di ujung jalan Desa Respati.

“Eh, Kar, udah pulang?”

Wanita berusia tiga puluhan bernama Kalina langsung menghampiri Azkara saat melihatnya berada di depan meja kasir dan menyalaminya

Kalina yang sedang membawa anak perempuannya yang berusia 3 tahun jajan di minimarket malah menunda niatnya hingga membuat anaknya rewel. Azkara tersenyum dan membungkuk menggoda bocah berambut keriting itu. Bocah bernama Kayla itu tertawa terbahak-bahak karena digelitiki Azkara.

“Om, Ateu Shapila Kabul cama Om pake mobil badus,” celoteh Bocah bernama Lira itu polos.

Azkara terkesiap mendengar ucapan cadel itu. Kepalanya mendadak terasa kosong. Ia menatap mata bulat gadis kecil itu tak percaya. Meskipun diucapkan oleh anak kecil. Tapi kata-kata itu pasti didapatnya dari orang-orang di sekitarnya, kan? Kalina langsung pucat pasi, tampak serba salah dan kikuk.

Niatnya memang menghampiri Azkara untuk mencari info agar bisa bergosip dengan ibu-ibu lain dan bikin konten di toktok. Ternyata sang putri kecil telah membongkar kedoknya duluan.

Dasar anak bawel!

Kalina merutuki putrinya dalam hati.

“Heehe, jangan dianggep, ya, anak ini mah suka asal ngomongnya, namanya juga anak-anak hehe…” Kalina buru-buru klarifikasi karena takut pemuda tampan di hadapannya itu marah, menyembunyikan putrinya di belakang badannya.

“Apa maksudnya ini, Bu?” suara Azkara terdengar lirih, seperti menahan emosi.

Kalina langsung panik.

“Nggak, kok, nggak…”

Bocah kecil itu tampak tak senang dengan sikap sang ibu, menarik-narik ujung roknya yang sebatas lutut. Kepala kecilnya muncul di balik kaki sang ibu.

“Mama gak boleh bo’ong, kata bu gulu doca!” tegurnya keras pada sang ibu kesal karena disalahkan.

Kalina meringis.

Ni, anak, gak ngerti situasi aja. Pingin tak masukin perut lagi, deh!

Kalina kelimpungan antara menjelaskan kepada Azkara dan kepada putrinya yang masih balita. Apalagi tatapan mata pemuda yang selalu lembut itu terlihat tajam, seolah ingin menguliti isi hatinya. Tiba-tiba Kalina merasa bersalah. Jika saja ia tak bergosip di hadapan putrinya, tak mungkin gadis kecil itu akan membongkar rahasia omongannya sendiri.

Padahal ia hanya bergosip kepada sang suami dan para ibu-ibu tetangga tentu saja. Sang putri kecil hanya melongo mendengarnya berapi-api mengobrol dengan mereka.

“Ata Mama… Ateu shapila Kabul syama om-om kaya pake bobil, coalnya om Akal miskin…”

Azkara tanpa sadar mengepalkan kedua tangannya. Gigi-giginya bergemeretak. Wajah tampannya mengeras. Sang bocil cuek Bebek keukeuh menjelaskan hasil gosipan ibunya dengen para tetangga tanpa menyadari wajah Kalina pucat seperti mayat. Bibirnya yang bergincu tebal sudah tertarik ke samping, sementara pikirannya sibuk traveling mencari alasan pembenaran. Ia bahkan tak berani mengangkat muka atau menatap kaki panjang Azkara secara langsung, melainkan melalui bayangannya di pavin block.

Nafas Azkara terdengar kasar dan berat. Ia sudah menduga ada yang tidak beres dengan menghilangnya Shafira sejak ia kembali ke rumah. Pekerjaannya yang berat sebagai pekerja di lokasi proyek yang jauh dari rumah memaksanya harus tinggal di bedeng khusus yang disediakan perusahaan konstruksi untuk para pekerja agar lebih hemat waktu, tenaga dan biaya. Sehingga ia bisa mengirimkan uang untuk kebutuhan istrinya itu dan sedikit menabung untuk rencana umroh mereka berdua dan modal usaha.

“Ibu sebaiknya jujur sama saya, apa ibu tahu kemana istri saya pergi?” Suara Azkara bergetar dalam kepahitan karena mendengar ucapan si bocil.

Kalina ragu sejenak, terlihat berpikir sebelum akhirnya menghela nafas panjang.

“Iya, Kar, waktu itu kita ngeliat istrimu sering pulang pergi diantar cowok pake mobil SUV, belanja banyak, jalan-jalan, terakhir ngeliat sebulan lalu, cowok itu jemput Fira, Fira bawa koper gede, abis itu ga pernah liat dia lagi, denger-denger dari desa tetangga, ibunya si Fira bilang mereka mau jalan-jalan ke Hongkong…”

Kalina tak sanggup melanjutkan ceritanya melihat wajah keruh Azkara. Ia tak tega. Meskipun suka bergosip, tapi hatinya tak tega melihat penderitaan orang lain. Ia menundukkan kepala sambil menarik tangan putrinya, hendak berpamitan. Tapi suara Azkara berikutnya membuatnya mengurungkan niatnya.

“ibu tahu siapa cowok itu? Terus kenapa dia mau jual rumah saya…?”

Kalina terdiam sejenak.

“Kata si fira, sih kalian berdua mau pindah, gak tahu, sih cowok itu siapa, mereka ketemuannya juga nggak di rumah, tapi dipertigaan Simpang, kaya janjian gitu, mungkin takut ditegur tetangga…”

Azkara terdiam cukup lama di depan minimarket. Bahkan sampai tak mendengar suara Kalina dan putrinya yang berpamitan. Wajah wanita itu tampak lesu, seperti merasa bersalah dan juga iba pada tetangganya. Walau bagaimanapun rahasia terlanjur dibocorkan putrinya.

Nggak sengaja, kan, namanya juga. Sampai kalina dan putrinya tak terlihat lagi. Pria itu masih berdiri mematung di tempat parkir. Tiba-tiba Azkara merasa tubuhnya kehilangan tenaga, limbung, lalu terduduk lemas di teras minimarket. Memantik kerutan keheranan dari orang-orang yang lewat. Lenyap sudah keinginannya berbelanja.

Beberapa menit kemudian Azkara membawa tubuh tegapnya kedalam minimarket, membeli beberapa kebutuhan pokok. Setelah itu pemuda berambut pendek tersebut menyeret tubuh lelahnya berbelok ke warung nasi Bu Siti di samping minimarket, membeli lauk-pauk dan sayuran matang. Meski lelah jiwa dan raga, urusan perut tak bisa ditunda, kan. Juga untuk menghindari pertemuannya dengan orang-orang yang dikenalnya, terutama para tetangga.

Tiba di depan rumah, sekali lagi Azkara menatap bangunan yang menjadi saksi kebersamaanya selama tiga tahun dengan sang istri tercinta dengan seksama. Pantas saja wanita itu ingin menjualnya dan kabur dengan laki-laki kaya. Karena ia tak punya banyak uang untuk menyenangkannya.

Tapi apa harus seperti ini?

Kemana perginya Shafiranya yang alim, sabar dan penurut?

Apa selama ini Shafira tak ikhlas dengan kehidupan mereka yang serba kekurangan? Kenapa ia tak mengatakannya langsung? Dengan begitu ia akan tahu keinginan sebenarnya sang istri. Dirinya sudah bekerja keras, berusaha menyenangkan sang istri. Bahkan merelakan sebagian besar upahnya untuk dikirim kepada Shafira agar wanita itu senang.

Bahkan tabungan umroh…

Tunggu!

Tabungan umrohnya!!

Azkara nyaris melompat sambil berlari kencang menuju lemari using di kamar sempitnya. Sebuah buku kecil yang diterbitkan bank menarik perhatiannya saat membuka laci dalam lemari itu. Dengan jantung berdebar dibukanya lembaran-lembaran berisi laporan bank atas simpanannya selama ini. Tiba di halaman berisi saldo akhir….

Deg.

Apa?!

Sepuluh ribu lagi?!!

Azkara terjajar ke belakang, mundur hingga kakinya menabrak tepi kasur. Alhasil, tubuh jangkungnya terjengkang ke belakang dan terduduk di alas tidur yang mulai keras itu. Kedua tangannya tampak gemetar. Mengepal tandpa sadar saat mentap nyalang deretan angka di lembaran itu.

Tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ditatapnya bolak-balik bagian depan yang terulis nama pemilik rekening dan lembar berisi info tentang saldo tadi. Ia berharap salah melihat. Mungkin bukan buku rekeningnya, atau bukan sepuluh ribu.

Tidak!

Seharusnya ada delapan puluh juta di rekeningnya. Tidak mungkin ia salah menghitung. Ia tahu persis karena selalu mencatatnya dibuku harian dengan cermat. Buku itu saksi perjuangannya sejak kecil. Sejak duduk di bangku kelas 5 SD, ia bertekad ingin memberangkatkan ibunya umroh.

Setelah melihat perjuangan sang ibu membesarkannya, Azkara bertekad ingin memberikan hadiah istimewa kepada wanita yang paling dicintainya itu, yaitu mewujudkan impian wanita yang telah melahirkannya ke tanah suci.

Azkara berniat untuk pergi umroh bersama ibunya. Namun takdir berkata lain. Sang ibu meninggalkannya selamanya setelah lelah berjuang melawan gagal ginjal yang dideritanya selama setahun sebelum dirinya menikahi Shafira. Azkara merasa seluruh tulang dilepas perlahan dari tubuhnya.

Tiba-tiba gawai di saku celananya berbunyi. Azkara telonjak. Menatap layar benda pintar itu dahinya berkerut dalam.

Jovin?

Sepasang mata teduhnya berkilat.

“Hai, Bro!” Suara Jovin riang seperti biasanya, beberapa oktav di atas suara orang normal pada umumnya.

“Waalaikumsalam,” balas Azkara menyindir.

“Assalamu alaikum hehe,” Jovin Mahendra, sahabatnya sejak SMP.

“Pakabar, Bro, lemes banget suaranya?”

“Baik. Alhamdulillah,” sahut Azkara malas.

Azkara merasa telah menjadi orang munafik karena berbohong, karena dirinya sudah pasti tak baik-baik saja. Tapi ia sungguh sedang tak ingin berbasa-basi.

“Bro! Sori banget gua belom bisa ngembaliin sertifikat lo dalam bentuk aslinya, ya, uangnya masih diputer-puter buat modal. Tapi gua ganti dengan saham PT. MAZ, perusahaan gua mulai lancar, nih. Jadi sahamnya kita bagi ya, lo dapet 5 % saham. Deviden bulan ini ada 15 milyar. Belom banyak, sih, itu dulu yang bisa gua kasih, ya, Bro,” ucapan Jovin membuat Azkara tertegun sejenak.

“Apa maksudmu, Jov? Saham 5 %? Deviden?”

Azkara kebingungan sendiri, sepertinya otaknya memang sedang berkelana saat Jovin menjelaskannya barusan. Dan berusaha kembali ke kepalanya beberapa detik yang lalu.

“Heu’euh, bener! Gua belom bisa ngambil sertifikat lo di bank, jadi gua ngembaliinnya dalam bentuk saham aja, ok? Kita bagi sahamnya. Lo dapet 5 % saham di PT. MAZ grup. Lo tau, kan PT. MAZ? Perusahaan baru, sih. Baru beberapa taun beroperasi di bidang properti dan konstruksi. Alamatnya di Jakarta, ntar gua kasih, lo kesini minggu depan buat tanda tangan serah terima saham, ya, ntar gua kasih alamatnya.”

Azkara melongo mendengar penjelasan Jovin panjang-lebar itu. Otaknya berputar. Sibuk mencerna berita mengejutkan itu. Sepertinya prosesor di otaknya harus segera diganti.

Pentium tiga ketinggalan jaman!

Ia kesulitan mencerna berita gembira ini dengan cepat.

“Maksudmu aku punya saham 5 % di PT. MAZ? Perusahaanmu?”

“Ho’oh.”

“Gua transfer ke rekening lo pembagian deviden bulan ini, 15 milyar.”

Azkara terkejut bukan main. Apa Jovin serius?

“Udah dulu, oke, gua masih ada meeting sama klien, lo nanti ke Jakarta, gua tunggu di kantor minggu depan buat tanda tangan transfer saham. See you gays, prend!”

Ting!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bos Baru yang merakyat (2)

    Azkara manggut-manggut setuju. "Siap lah!" pekiknya semangat Jovan langsung menyodorkan telapak tangannya mengajak tos. Widiyanto tersenyum senang karena tugasnya berkurang. Ada orang lain yang bakal dikerjain si bos sekarang. Semoga gajiku dan bonusnya ga berkurang, do'anya tulus buat diri sendiri. "Kapan lo bila mulai kerja? besok? minggu depan?" kejar Jovan tak sabar Azkara termenung beberapa saat. Mempertimbangkan banyak hal, termasuk renovasi rumahnya yang akan dimulai besok. Pekerjaannya di proyek, ia sempat berpikir akan meninggalkannya saja. Mungkin harus ke proyek dulu mengambil gaji terakhirnya. "Bulan depan apa kamu nggak keberatan? Aku masih harus ke proyek ngambil gaji terakhir sama benerin rumahku yang udah nggak layak huni." Jovan manggut-manggut mencoba memahami situasi sahabatnya itu. "Oke, awal bulan depan lo harus udah mulai bertugas di divisi desain dan perencanaan. Sebagai salah satu asisten desainer. Jangan lupa untuk mendaftar kuliah jurusan des

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bos Baru yang merakyat

    "Selamat pagi, Pak Azkara, perkenalkan, saya widyanto, asisten pribadi Pak Jovan," pria muda itu mengulurkan tangan sambil tersenyum ramah "Eh, iya, saya Azkara," Azkara gugup menyambut ukuran tangannya dengan ragu, merasa bingung memilih menyalaminya atau menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada seperti bersalaman dengan yang buka marham. Ini karena karena ia tak pernah bersalaman akrab dengan orang-orang dari kalangan berada. Azkara merasa minder sendiri. "Silahkan masuk, Pak, Pak Jovan sudah menunggu." Widiyanto membuka pintu lebar-lebar mempersilahkan Azkara masuk ke ruang megah. Azkara tertegun di depan pintu. Begitu pintu terbula lebar, ia dapat melihat sebuah ruangan CEO yang mewah dengan perabotan berkelas. Tata letak perabotan dan desain interiornya menunjukkan jiwa seni yang tinggi. Di belakang meja kantor berukuran besar dengan setumpuk dokumen dan laptop serta tulisan CEO bertengger di atasnya, duduk seorang pemuda seusianya yang hampir tak dikenaliny

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Babak baru

    Azkara menatap bangunan berlantai 18 di hadapannya takjub. Kekaguman terhadap sosok sang sahabat, Jovan tak dapat disembunyikan dari ekspresinya. Ia tak percaya akan menjadi bagian dari perusahaan yang sedang berkembang ini. PT. MAZ grup, nama yang dipakai Jovan merupakan gabungan nama mereka berdua, Jovan Mahendra dan Azkara, M dari Mahendra dan Az dari Azkara. Azkara mengamati orang-orang yang berlalu lalang di sekelilingnya. Kebanyakan mereka pegawai perusahaan ini dilihat dari seragam formal yang dipakai. Ada juga pria wanita dengan setelan jas seperti petinggi perusahaan. Azkara seketika menghentikan langkahnya, mengamati penampilannya sendiri. Meski memakai celana bahan dan kemeja, tapi terlihat bekel dan murahan. Kepercayaan dirinya luntur seketika. Berbagai kekhawatiran menghampirinya. Antara diusir atau diolok-olok. Harapan untuk masuk ke dalam kantor dengan lancar menguap entah kemana. Azkara tertegun. Meski penampilan bukan yang utama, dan bukan pula jaminan seseorang

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 8. Perpisahan

    Azkara menatap pasangan tak punya malu di hadapannya dan berkas bertuliskan gugatan cerai di tangannya bergantian. Sebuah senyum terbit di wajah tampannya. Dengan santai melemparkannya kembali berkas itu ke tangan Shafira seraya menggeleng-geleng tak percaya dengan tingkah laku istrinya itu. Shafira tertegun menatap senyum indah itu. Sesuatu yang selalu membuatnya terpukau pada sosok sederhana itu. Cepat-cepat ditepisnya perasaan itu jauh-jauh. Ia tak butuh wajah tampan. Tak perlu tubuh gagah. Hidup itu butuh duit! Bukan butuh senyum!! "Tanda tangan sekarang!" Hadiknya melemparkan kembali berkas itu ke wajah tampan suaminya. Azkara sibuk membolak-balik berkas di tangannya. Hanya sekilas membacanya. Ia sudah melihat poin-poin yang dicantumkan oleh pihak pemohon. Senyum di wajahnya semakin lebar. Bahkan lebih tepat disebut seringai. Dingin dan sinis. Wajah-wajah di hadapannya semakin suram menatapnya. Azkara melemparkan kembali berkas itu kepada Shafira. Konyol! Benar

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 7.. Kedatangan Shafira

    Azkara termenung menatap bangunan reot peninggalan orang tuanya. Bangunan berdinding setengah bata, dan setengahmya ditutup triplek itu nampak kusam dan berlubang di beberapa tempat. Membayangkan sang istri yang kini tengah bersenang-senang dengan pria lain dan ibunya. Hatinya dibakar rasa sakit yang membara. Ia tahu, belum bisa memberikan harta yang layak untuk kehidupan rumah tangganya. Tapi apa pantas dikhianati istri dan mertuanya seperti ini. Dari keterangan Bu Meria bahkan Azkara baru mengetahui jika mereka mulai merenovasi rumah besar-besaran hanya berselang satu minggu setelah ia berpamitan berangkat bekerja di Jakarta beberapa bulan lalu. Dan laki-laki itu yang mengomandoi sendiri pembangunannya. Dari cerita itu Azkara dapat menyimpulkan jika laki-laki itu bukan mandor atau arsitek. Agak terlalu berlebihan jika bangunan rumah itu dibuat oleh arsitek. Meski tampak lebih besar tapi bangunan dua lantai itu tak ada nilai seni sama sekali. Lelaki itu tampaknya malah seperti

  • Bangkitnya si Pria Miskin yang Patah Hati   Bab 6. Ulah Shafira

    Azkara mengikuti kedua petugas bank menyusuri lorong di depan deretan kantor. Tiba di depan lift, kedua pria itu masuk ke dalam lift yang pintunya memang terbuka karena ada orang yang keluar. Lift berhenti di lantai 10. Sepertinya ini lantai teratas. Tidak seperti di lantai 1 yang penuh dengan orang, baik nasabah maupun pegawai bank yang lalu lalang maupun antri, lantai 10 nampak sepi. Didepan sebuah pintu besar yang nampak kokoh, kedua pria itu berhenti. Sebuah meja tinggi dan panjang dengan kedua ujung melengkung indah bertuliskan sekretaris direktur, ditempatkan di samping pintu. Seorang wanita cantik dengan dandanan khas pegawai bank menyambut mereka secara profesional tapi juga akrab. Ketiganya masuk ke dalam ruangan setelah dipersilahkan oleh sang sekretaris bernama Windi itu dan menantar mereka ke dalam. Azkara menengadah membaca tulisan Loan Officer di pintu sambil berjalan masuk mengikuti mereka. "Bapak yakin tidak akan menuntut Bu Shafira karena pemalsuan tanda tanga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status