Sebuah notifikasi melayang di gawainya muncul. Azkara buru-buru membuka kunci selulernya dan aplikasi mbanking miliknya. Detik berikutnya jantungnya berdetak lebih kencang. Azkara memelototi sambil buru-buru menghitung angka nol di saldo rekeningnya yang baru saja bertambah.
Rekening lain miliknya bertambah 15 milyar! Dalam hitungan detik saja saldonya bertambah 15 milyar!! Untungnya rekening ini bukan untuk tabungan umroh. Azkara memang membuka rekening khusus untuk tabungan lain-lainnya yang justru sering habis tak bersisa. Notifikasi lain masuk berupa SMS. 15.000.500.000… 15 milyar! Beneran! Azkara merasa dirinya hampir pinsan kehabisan nafas. Jovan benar-benar telah mentransfer devidennya bulan ini. Apa itu berarti ia akan mendapatkan trasnferan 15 milyar tiap bulan? Azkara bangkit buru-buru memacu motor bututnya ke ATM terdekat. Ia harus mengganti nomor PIN nya segera.Jika tidak, Mungkin sang istri akan segera mengosongkannya lagi. Tidak! Enak saja! Ini uangnya! Azkara memutuskan mengambil 1 juta untuk pegangannya dan mengganti nomor PIN ATM nya. Jika dalam keadaan biasa mungkin ia akan memberitahukan kabar gembira ini kepada Shafira dan membiarkan wanita kesayangannya itu belanja baju branded dan tas hermes kesukaannya. Ia akan memanjakannya secara wajar. Mungkin ia akan mentransfer sebagian uang itu kepada istrinya sebagai nafkah yang layak. Tapi sekarang semua itu terlihat konyol baginya. Ia tak akan memberitahu wanita itu isi rekeningnya sekarang. Uang ini miliknya. Kecuali jika Shafira bertaubat. Tapi semua tak lagi sama. Wanita itu sudah berani kabur dengan lelaki lain. Tak layak lagi kembali padanya. Gawainya berdering lagi. Kali ini telepon dari nomor Bank swasta terkenal. “Halo, selamat siang, Pak Azkara,” sapa seorang wanita sopan dan formal. “Selamat siang?” Azkara mengerutkan dahi kebingungan. “Maaf, Pak Azkara, saya dari BCI, mohon ijin bertanya, ya, Pak, kapan Bapak akan mulai mencicil pinjamannya?” Azkara bagai disambar petir. Hampir saja menjatuhkan gawainya. “Pinjaman? Pinjaman apa, ya, Bu?” “Begini, Pak, tiga bulan lalu Ibu Shafira meminjam uang dari bank kami dengan jaminan sertifikat rumah Bapak sebanyak 30 juta…” “Apa??” Pekik Azkara memekakan telinga, sepertinya petugas bank itu buru-buru menjauhkan telinganya dari gagang telepon sambal meniup-niup alat pendengarannya dengan tangan. “Saya nggak pernah ngajuin pinjeman, saya juga nggak pernah nyuruh istri saya minjem ke bank pake sertifikat rumah orang tua saya!” Azkara meradang. “Mohon maaf, Pak, tapi Ibu Shafira melampirkan surat kuasa dari Bapak…” Fix! Shafira benar-benar keterlaluan! Azkara mengepalkan tangannya yang bebas. Kepulangannya kali ini disuguhi kejutan tak terduga dari wanita itu. Kejutan yang sangat ‘menyenangkan! Sore hari. Azkara menenteng dua buah galon kosong di kedua tangannya. Motor butut yang telah menemaninya sejak SMA, peninggalan sangat ayah telah terparkir cantik di depan pintu. Setelah mengikat kepala botol besar itu dengan seutas tali rapia, pemuda bertubuh atletis karena terbiasa bekerja berat itu mengunci pintu rumahnya. Letak kios air minum isi ulang terletak di sebrang gang menuju rumahnya. Tak jauh memang. Tapi akan sangat merepotkan jika berjalan kaki sambil memanggul dua galon di pundak. Motor butut melaju membelah jalanan kecil yang sudah beraspal. Sepertinya jalan ini baru saja diperbaiki. Terlihat dari penampakan aspal yang masih baru dan mulus. Disepanjang jalan tampak beberapa ibu-ibu berdaster bergerombol di beberapa tempat terdiri dari 4-5 orang. Beberapa pasang mata mereka menoleh dan menatapnya hingga menghilang di tikungan sambil berbisik-bisik saat motor tua itu melewati mereka. Azkara tak begitu peduli. Namun rasa penasaran ingin bertanya tentang keberadaan Shafira membuatnya melambatkan laju motor. Berharap sedikit saja terdengar suara mereka yang bergosip tentang istrinya. Azkara terlalu gengsi untuk seledar bertanya keberadaa wanita itu. Malas mendatangkan pertanyaan baru. Bagaimana mungkin seorang suami tak tahu menahu kemana istrinya pergi. Motor berhenti di depan kios air minum isi ulang milik Satria, sahabat sekaligus teman masa kecilnya. Entah seperti apa kabarnya sekarang. Sejak Azkara mendapat pekerjaan sebagai kuli bangunan di sebuah proyek di Bandung, ia tak pulang selama 5 bulan karena sangat sibuk. Baru kali ini ia diijinkan kembali. Itupun hanya beberapa hari. Seorang pemuda berbaju kuning tampak sibuk membersihkan galon kosong dengan mesin penyikat khusus. Beberapa palanggan sudah menganti di depan kios. Azkara berdiri di halaman tak mau menyela pekerjaan pria bertubuh kurus itu. Pemuda tampan itu kemudian duduk dibangku panjang yang dibuat dari batang pohon tumbang. Tak lama kemudian para pelanggan telah pergi satu persatu. Satria berbalik menatap pelanggan terakhir nya. Wajah berkulit coklat itu terperangah. Raut gembira tak dapat disembunyikannya lagi saat melihat sang sahabat yang tengah melamun di halaman rumah sekaligus tempat usahanya. "Woi, ngelamun aja kamu!" Azkara terkejut dengan suara teguran itu. Wajahnya berpaling menatap polos tampang usil Satria yang terkekeh-kekeh. Tak ayal ia pun ikut tergelak. Sadar sudah seperti orang linglung sejak tadi. Azkara berdiri mengambil galon dari motornya lalu menyerahkannya kepada temannya yang berstatus duda dengan anak yang masih balita itu. "Kapan datang?" Satria membiarkan mesin membersihkan galon milik Azkara sementara ia berdiri menatap temannya. "Kemarin," Azkara berjalan menghampirinya, lalu duduk di bangku panjang di teras kios dengan santai. “Kemarin?" Satria sedikit termenung. "Kenapa nggak ke rumah? Diem-diem bae di rumah." Azkara mendengus sebal mendengar protesnya itu. "Cape lah, istirahat dulu." "Alah, cape segala, biasanya juga langsung nongol aja di di rumah." Satria mematikan mesin menyikat galon, memindahkan botol besar itu ke bawah keran pengisi air hasil suling, lalu berjalan menghampiri Azkara dan duduk disampingnya. Sorot matanya tampak berkilat, melirik temannya itu ragu. Tapi setelah sekian detik berlalu, tak satupun kata yang keluar dari mulutnya. Begitupun Azkara. Pemuda itu kembali menatap kosong jalanan desa yang ramai lalu lalang orang yang akan pergi bekerja atau sekolah dan aktivitas lainnya. "Shafira... menghilang, Sat... oarang-orang bilang... dia kabur... sama cowok kaya... " Tubuh Satria yang tadi membelakangi temannya itu menegang, tapi tak berbalik. Pemuda kurus berambut ikal itu menunduk menyembunyikan gejolak di matanya. Setelah kedua galon milik Azkara terisi, ia meletakkannya di hadapan pemuda itu, lalu duduk di samping temannya itu. Ekspresinya tampak canggung. Azkara tak menyadarinya karena sibuk dengan pikirannya sendiri. "Kamu tahu kemana Shafira, Sat?" suara Azkara lirih. Pandangannya menerawang, menaatap hamparan sawah di kejauhan. Setengah melamun. Akhirnya suara Azkara terdengar setelah beberapa menit sama-sama mematung. Lesu. Terdengar pasrah sekaligus kecewa dari nada suaranya. Satria sebenarnya sudah menduga pertanyaan itu akan keluar dari mulut temannya itu. Tapi tetap saja tergagap. Terlihat jelas jika ia tak siap dengan jawabannya. Meski tidak sepenuhnya benar. Hanya saja ia tak yakin apa jawaban yang harus diberikan kepada sang sahabat. "…mmm... nggak tahu aku," akhirnya hanya itu yang keluar dari mulutnya. Azkara berpaling, menatapnya penuh selidik. Membuat Satria panik. Membuang pandangannya ke segala arah. Gelagat itu tertangkap dengan jelas oleh Azkara. Ia tahu ada yang berusaha ditutupi Satria. "Kenapa? Kamu tahu dia kemana?" desaknya. Satria buru-buru berdiri. Gerakannya membuat bangku panjang yang tak seimbang. Nyaris membuat Azkara terjungkal. Satria spontan mengulurkan tangan menahan benda dari kayu itu. Ingin tertawa tapi takut dosa. Belum lagi melihat wajah serius sahabatnya. Ia benar-benar tak tega. "Aku.... ambil minum dulu. " Satria buru-buru melengos pergi. Azkara merasa temannya itu sedang menghindarinya. Sepertinya firasatnya benar. Satria pasti menyembunyikan sesuatu. Di dalam rumah Satria justru mondar-mandir gelisah. Lupa perkataannya sendiri jika ia akan mengambil air minum. Setengah jam berlalu. Sepertinya Satria tak berniat menemui Azkara lagi. Jadi pemuda itu bangkit dengan kesal dan berlalu meninggalkan kios milik Satria sambil membawa motor butut dan galonnya. Tiba di depan pagar bambu rumahnya, seorang tetangga menghampirinya. Wanita paruh baya dengan daster rumahan lusuh itu menepuk pundaknya. "Kar, udah pulang?" wanita yang akrab dipanggil Wa Siti itu menyapanya. Azkara berpaling lalu mengangguk sopan. "Eh. iya, Wa," Azkara tak ingin berlama-lama dengan bigos alias biang gosip di kampungnya itu menjawab singkat sambil berlalu membuka pintu. pagar bumbunya.Azkara manggut-manggut setuju. "Siap lah!" pekiknya semangat Jovan langsung menyodorkan telapak tangannya mengajak tos. Widiyanto tersenyum senang karena tugasnya berkurang. Ada orang lain yang bakal dikerjain si bos sekarang. Semoga gajiku dan bonusnya ga berkurang, do'anya tulus buat diri sendiri. "Kapan lo bila mulai kerja? besok? minggu depan?" kejar Jovan tak sabar Azkara termenung beberapa saat. Mempertimbangkan banyak hal, termasuk renovasi rumahnya yang akan dimulai besok. Pekerjaannya di proyek, ia sempat berpikir akan meninggalkannya saja. Mungkin harus ke proyek dulu mengambil gaji terakhirnya. "Bulan depan apa kamu nggak keberatan? Aku masih harus ke proyek ngambil gaji terakhir sama benerin rumahku yang udah nggak layak huni." Jovan manggut-manggut mencoba memahami situasi sahabatnya itu. "Oke, awal bulan depan lo harus udah mulai bertugas di divisi desain dan perencanaan. Sebagai salah satu asisten desainer. Jangan lupa untuk mendaftar kuliah jurusan des
"Selamat pagi, Pak Azkara, perkenalkan, saya widyanto, asisten pribadi Pak Jovan," pria muda itu mengulurkan tangan sambil tersenyum ramah "Eh, iya, saya Azkara," Azkara gugup menyambut ukuran tangannya dengan ragu, merasa bingung memilih menyalaminya atau menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada seperti bersalaman dengan yang buka marham. Ini karena karena ia tak pernah bersalaman akrab dengan orang-orang dari kalangan berada. Azkara merasa minder sendiri. "Silahkan masuk, Pak, Pak Jovan sudah menunggu." Widiyanto membuka pintu lebar-lebar mempersilahkan Azkara masuk ke ruang megah. Azkara tertegun di depan pintu. Begitu pintu terbula lebar, ia dapat melihat sebuah ruangan CEO yang mewah dengan perabotan berkelas. Tata letak perabotan dan desain interiornya menunjukkan jiwa seni yang tinggi. Di belakang meja kantor berukuran besar dengan setumpuk dokumen dan laptop serta tulisan CEO bertengger di atasnya, duduk seorang pemuda seusianya yang hampir tak dikenaliny
Azkara menatap bangunan berlantai 18 di hadapannya takjub. Kekaguman terhadap sosok sang sahabat, Jovan tak dapat disembunyikan dari ekspresinya. Ia tak percaya akan menjadi bagian dari perusahaan yang sedang berkembang ini. PT. MAZ grup, nama yang dipakai Jovan merupakan gabungan nama mereka berdua, Jovan Mahendra dan Azkara, M dari Mahendra dan Az dari Azkara. Azkara mengamati orang-orang yang berlalu lalang di sekelilingnya. Kebanyakan mereka pegawai perusahaan ini dilihat dari seragam formal yang dipakai. Ada juga pria wanita dengan setelan jas seperti petinggi perusahaan. Azkara seketika menghentikan langkahnya, mengamati penampilannya sendiri. Meski memakai celana bahan dan kemeja, tapi terlihat bekel dan murahan. Kepercayaan dirinya luntur seketika. Berbagai kekhawatiran menghampirinya. Antara diusir atau diolok-olok. Harapan untuk masuk ke dalam kantor dengan lancar menguap entah kemana. Azkara tertegun. Meski penampilan bukan yang utama, dan bukan pula jaminan seseorang
Azkara menatap pasangan tak punya malu di hadapannya dan berkas bertuliskan gugatan cerai di tangannya bergantian. Sebuah senyum terbit di wajah tampannya. Dengan santai melemparkannya kembali berkas itu ke tangan Shafira seraya menggeleng-geleng tak percaya dengan tingkah laku istrinya itu. Shafira tertegun menatap senyum indah itu. Sesuatu yang selalu membuatnya terpukau pada sosok sederhana itu. Cepat-cepat ditepisnya perasaan itu jauh-jauh. Ia tak butuh wajah tampan. Tak perlu tubuh gagah. Hidup itu butuh duit! Bukan butuh senyum!! "Tanda tangan sekarang!" Hadiknya melemparkan kembali berkas itu ke wajah tampan suaminya. Azkara sibuk membolak-balik berkas di tangannya. Hanya sekilas membacanya. Ia sudah melihat poin-poin yang dicantumkan oleh pihak pemohon. Senyum di wajahnya semakin lebar. Bahkan lebih tepat disebut seringai. Dingin dan sinis. Wajah-wajah di hadapannya semakin suram menatapnya. Azkara melemparkan kembali berkas itu kepada Shafira. Konyol! Benar
Azkara termenung menatap bangunan reot peninggalan orang tuanya. Bangunan berdinding setengah bata, dan setengahmya ditutup triplek itu nampak kusam dan berlubang di beberapa tempat. Membayangkan sang istri yang kini tengah bersenang-senang dengan pria lain dan ibunya. Hatinya dibakar rasa sakit yang membara. Ia tahu, belum bisa memberikan harta yang layak untuk kehidupan rumah tangganya. Tapi apa pantas dikhianati istri dan mertuanya seperti ini. Dari keterangan Bu Meria bahkan Azkara baru mengetahui jika mereka mulai merenovasi rumah besar-besaran hanya berselang satu minggu setelah ia berpamitan berangkat bekerja di Jakarta beberapa bulan lalu. Dan laki-laki itu yang mengomandoi sendiri pembangunannya. Dari cerita itu Azkara dapat menyimpulkan jika laki-laki itu bukan mandor atau arsitek. Agak terlalu berlebihan jika bangunan rumah itu dibuat oleh arsitek. Meski tampak lebih besar tapi bangunan dua lantai itu tak ada nilai seni sama sekali. Lelaki itu tampaknya malah seperti
Azkara mengikuti kedua petugas bank menyusuri lorong di depan deretan kantor. Tiba di depan lift, kedua pria itu masuk ke dalam lift yang pintunya memang terbuka karena ada orang yang keluar. Lift berhenti di lantai 10. Sepertinya ini lantai teratas. Tidak seperti di lantai 1 yang penuh dengan orang, baik nasabah maupun pegawai bank yang lalu lalang maupun antri, lantai 10 nampak sepi. Didepan sebuah pintu besar yang nampak kokoh, kedua pria itu berhenti. Sebuah meja tinggi dan panjang dengan kedua ujung melengkung indah bertuliskan sekretaris direktur, ditempatkan di samping pintu. Seorang wanita cantik dengan dandanan khas pegawai bank menyambut mereka secara profesional tapi juga akrab. Ketiganya masuk ke dalam ruangan setelah dipersilahkan oleh sang sekretaris bernama Windi itu dan menantar mereka ke dalam. Azkara menengadah membaca tulisan Loan Officer di pintu sambil berjalan masuk mengikuti mereka. "Bapak yakin tidak akan menuntut Bu Shafira karena pemalsuan tanda tanga