Share

Bastard Prince Who Obsessed With Me
Bastard Prince Who Obsessed With Me
Penulis: nanaanisaa

Bab 1 ㅡ The Prince

Lauretta Blythe, terpaksa menjalani kehidupan bak cinderella di cerita dongeng Disney. Ia tinggal bersama ibu tirinya yang kejam setelah Sang Ayah memutuskan untuk melarikan diri.

Ingin sekali Lauretta meneriakkan rindu pada Ayahnya. Namun harap hanya sekedar harapan. Ayahnya menghilang entah kemana. Entah masih hidup atau sudah mati Laure tidak tau.

Bunyi berderit terdengar kala pintu kayu yang mulai usang itu dibuka. Membuat Lauretta berpura-pura tertidur. Sebenarnya rumah mereka cukup bagus, namun Ibu tirinya sengaja menempatkannya di kamar ini. Tak boleh keluar sebelum ia membukanya.

Suara high heels itu beradu dengan lantai semen hingga menimbulkan suara berketuk. Namanya, Dami, wanita anggun namun berwatak keras.

Dami duduk di ranjang Lauretta untuk membangunkannya, jari lentiknya mengelus wajah Lauretta berharap gadisnya itu mau membukakan mata. "Sayang ... Sudah saatnya kau bekerja."

Lauretta hidup bagai kelelawar. Kala siang ia tidur dan bekerja di malam hari. Bukan pekerjaan sebagai sekretaris dari CEO tampan seperti yang diimpikan kebanyakan gadis, tapi sebagai barista di kelab malam terkenal di kotanya.

Kata 'sayang' dalam ucapan Dami pun membuatnya merasa janggal. Terpaksa Lauretta membuka mata perlahan untuk menetralkan cahaya yang menusuk retinanya.

Lauretta bangkit. Dengan pandangan yang masih buram ia mampu melihat Ibunya tersenyum membawa paperbag. Senyuman itu terlihat pelik.

"Ibu sudah siapkan gaun bagus untukmu."

"Untuk apa?" tanya Lauretta.

"Seorang pangeran akan datang melamarmu malam ini. Jadi kamu harus terlihat cantik."

"Melamar?" Dami pun mengangguk mengiyakan pertanyaan Lauretta. "Tapi aku belum siap menikah, Bu."

Oh, ayolah. Usia Lauretta baru menginjak 19 tahun. Dan usia menikah yang ideal menurutnya adalah 21. Masih dua tahun lagi.

Dami tertawa keras. Lauretta menjadi semakin bingung dengannya. Wanita berusia 40-an itu berhenti tertawa, wajahnya berganti menjadi bengis seperti karakter antagonis.

"Siapa bilang kau akan menikah?"

- - - -

"Kau sudah siapkan yang kumau?" Pertanyaan itu keluar dari bibir wanita yang memakai lipstik merah.

Dami menyeringai senang. "Tentu saja. Sudah aku dandani dengan sangat cantik."

"Bagus." Perempuan itu memberikan koper yang dibawanya kepada Dami. "100.000 dollar cash."

Dami membuka koper itu dengan mata berbinar. Hidungnya mengendus bau uang yang menguar. "Dia di kamar, kalian bisa langsung membawanya pergi."

Perempuan yang memberi uang mengedikkan dagu pada kedua anak buahnya menyuruh mereka segera membawa barangnya.

Kedua laki-laki bertubuh besar itu mengangguk sekali lalu mulai menerobos masuk.

.

Lauretta tersentak karena pintu kamarnya di dobrak dari luar. Padahal ia sedang berganti pakaian.

"Siapa kalian?!" pekiknya saat dua laki-laki berbadan besar itu mendekatinya. Langkahnya beringsut mundur sambil berusaha menutupi area dadanya yang terbuka karena pakaian tak senonoh yang diberikan Dami.

Tak ada yang menyahut. Satu orang menyekap mulutnya. Satu orang lagi mengangkat tubuhnya. Lauretta terus meronta meski tak didengarkan.

Mereka membopongnya turun. Lauretta melihat Dami melambaikan tangan padanya. Kalau saja mulutnya tak disekap, ia sudah menuntut penjelasan.

"Selamat tinggal, Sayang. Akhirnya kau tau caranya berbakti pada orang tua."

.

Lauretta dipaksa masuk ke dalam mobil Jeep itu, sekuat apapun ia meronta tetap tak ada yang menghiraukan. Kedua laki-laki berbadan besar itu mengikat tangannya dengan tambang.

Tak lama kemudian wanita yang menemui Dami tadi datang dan duduk di kursi kemudi. “Jangan terlalu kasar. Tuan tak mengijinkan dia terluka sedikitpun.”

Kedua laki-laki bertubuh besar itu pun melonggarkan tali yang mengikat tangan Lauretta. “Kenapa kalian membawaku?!” pekik Lauretta.

Wanita tadi menyalakan mobil, melirik Lauretta dari kaca tengah. “Kau dijual. Dan Tuan kami membelimu.”

Lauretta meluruhkan bahu serendah-rendahnya. Kecurigaan atas Ibunya ternyata benar. Pantas saja wanita itu tadi bersikap lembut padanya. Mirisnya ia dijual, seperti budak.

Kenapa menyedihkan sekali nasibnya? Perlahan Lauretta mulai pasrah saat mobil itu membawanya menjauh dari rumah. Tiba-tiba ia membayangkan bagaimana kira sifat Tuannya nanti. Apa akan bertindak seenaknya padanya seperti Ibu tirinya?

Laure rindu Ibu kandungnya. Jika saja hidupnya semenyedihkan ini, Lauretta lebih ingin mati menyusul Ibunya.

“Kemana kalian akan membawaku?” tanya Lauretta lirih.

“Pastinya tempat yang sangat jauh,” jawab wanita yang menyetir.

Membuat Lauretta berfikir, sejauh mana ia akan dibawa pergi?

****

Mobil mereka akhirnya berhenti di sebuah lapangan yang mirip landasan. Disana ada sebuah jet pribadi dengan tulisan Calderon yang berlapis emas.

Lauretta berdecak kagum melihatnya. Sekaya apa orang yang Tuannya nanti? Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak Lauretta.

Kedua pria tadi melepaskan ikatan di tangan Lauretta, mereka bahkan membantunya turun dari mobil. Laure masih belum berhenti mengagumi jet itu. 

Wanita yang tadi menyetir ikut turun dan berdiri di samping Lauretta. “Kau bisa memanggilku Lucy. Assisten pribadi Tuan. Dan dua orang ini adalah pilot dan co-pilot.”

Lauretta melihat mereka satu persatu setelah Lucy memperkenalkan diri. First impression yang Lauretta dapat, mereka mungkin tak seburuk yang dikira.

“Siapa namamu?” tanya Lucy padanya.

“Lauretta.”

“Nama belakang?”

“Blythe. Lauretta Blythe,” jawab Lauretta sedikit ragu.

Seringaian licik terukir di wajah cantik Lucy. Bisa diperkirakan kali ini ia akan mendapat banyak bonus. “Nama yang bagus.”

Lucy mengedikkan dagu mengisyaratkan kedua pilot itu. “Bawa Lauretta masuk.”

“Masuk?” Lauretta bertanya saat kedua orang tadi kembali memegang tangannya. “Kalian akan membawaku kemana lagi?”

Lucy menerawang sambil bergumam lama. “L.A.”

“L.A?” Mata Lauretta membulat sempurna. Jauh sekali mereka membawanya pergi.

“Yaaa. Cepat masuk! Aku tidak mau kena marah Tuan kalau kita terlambat sedikit saja.”

Dua laki-laki tadi mendorong tubuh Lauretta sedikit keras hingga tubuh ringkih gadis itu terhuyung-huyung. Lauretta menaiki satu persatu tangga jet itu dengan kaki bergetar. Membayangkan apa yang akan terjadi setelah ia bertemu Tuannya. 

Lagi-lagi Lauretta dibuat berdecak kagum dengan interior yang nyaris semuanya dilapisi emas. Sangat mewah. 

Lucy datang menyusul membawa paperbag berisi pakaian ganti untuknya. “Ganti pakaianmu dengan ini. Pasti tidak nyaman ‘kan?”

“Ah iya, sangat tidak nyaman,” jawab Lauretta canggung. Setelahnya, Lucy kembali turun. 

“Kau tidak ikut?” Lauretta bertanya sedetik sebelum Lucy benar-benar lenyap dari pandangannya. 

Wanita itu berbalik menatap Lauretta dengan senyumnya yang mempesona.

“Masih ada yang perlu dibereskan disini.”

“Sampai bertemu lagi.”

Sontak Lucy terkekeh pelan. “Jangan pernah katakan itu pada kami. Bisa jadi ini adalah pertemuan terakhir kita.”

Kening Lauretta berkerut dalam. Siapa mereka sebenarnya?

“Ah iya, jangan lupa minum yang telah kami siapkan,” tunjuk Lucy pada gelas berisi sirup merah dan beberapa camilan disana.

Lauretta mengikuti arah pandang Lucy tanpa merasa curiga sedikitpun. Kemudian mengangguk iya.

Akhirnya Lucy benar-benar pergi dari hadapannya. Pintu jet tertutup secara otomatis. Membuat Lauretta segera berganti pakaian. Hanya kaos putih polos dan hotpants yang memperlihatkan kaki jenjang Lauretta. 

Meski masih lumayan terbuka, Lauretta merasa lebih nyaman dengan pakaian itu. Gadis itu berjalan menghampiri minuman yang tadi disiapkan.

Tenggorokannya terasa kering, lantas ia menegaknya hingga habis. Lauretta juga sempat memakan camilan untuk mengisi perutnya.

Setelah kenyang, gegas ia mengambil posisi di tempat yang mirip ranjang itu. Merebahkan diri dan memutuskan untuk tidur sepanjang perjalanan.

Sebelum itu Lauretta sempat berkhayal kalau kisahnya seperti Cinderella yang akan dipinang seorang pangeran tampan. Hingga perlahan akhirnya Lauretta larut terbawa ke alam mimpi.

****

Merasakan suhu ruangan yang berbeda, Lauretta melenguh pelan merasakan pusing yang hebat di kepalanya. Perlahan matanya mengerjap pelan untuk menetralkan pandangan yang memburam.

Lauretta melebarkan mata lebar saat menyadari ia sudah berada di sebuah kamar dengan nuansa klasik Eropa. Ia pikir itu sebuah arsitektur Ressainance, sangat mewah. Ia tidak tahu kapan dan siapa yang membawanya kesini.

Gadis itu mencoba bangun, detik itu juga ia menyadari ada tangan besar yang melingkar di perutnya. Lauretta menoleh menatap ke belakang. Ia melihat seorang pria tampan yang tengah terlelap.

Lauretta berteriak keras sambil menyingkirkan tangan itu dari perutnya. Segera ia bangkit dan menjauh dari pria itu. 

Membuat sepasang mata dengan bulu mata lentik itu mengerjap pelan. Perlahan pria itu membuka mata, menunjukkan sepasang manik kehijauan yang membuat Lauretta sempat tenggelam.

“Kau siapa?!” Lauretta memekik sambil melindungi tubuhnya dengan bantal.

Pria itu mendesis pelan. “Kau mengusik tidurku.”

“Siapa kau ... dan kenapa kau bisa bersamaku?” tanya gadis itu hati-hati.

Kening Lauretta semakin berkerut saat laki-laki itu terkekeh pelan. Mata gadis itu bergerak gelisah saat dua kancing teratas kemeja yang dipakai pria itu terbuka, menampilkan dada bidang yang terlatih.

“Elderick Calderon Matthew.” Lauretta mengerutkan kening merasa pernah mendengar nama tengah laki-laki itu. Pinggangnya ditarik paksa membuat sepasang manik mata mereka bertabrakan.

Jantung Lauretta berdegup kencang saat mata laki-laki itu menelusuri wajahnya. Mata Elder terpaku pada bibir ranum yang sepertinya belum pernah dicicipi. Seringai lebar pun terbit di wajah tampannya.

“Orang yang membelimu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status