Share

5. Siapa Wanita Itu?

Parni hanya bisa memandang sendu punggung Iqbal yang berjalan keluar dari kamarnya. "Aku mencintaimu, Mas," lirihnya sangat pelan, sehingga hanya helaan nafas dan air mata yang dapat mendengar gumamnya. Setelah pintu itu tertutup, Parni turun dari ranjang sambil tertatih, kembali mengunci pintu kamar sebelum adik dan ibunya masuk ke kamar lalu mengintrogasinya. Wajahnya tampak meringis saat merasai perih dan kebas pada kewanitaannya saat ia berjalan menuju kamar mandi kecil yang berada di dalam kamarnya.

Bu Parti yang sedang melatih Andrea berjalan di teras, menoleh pada Iqbal yang wajahnya murung, matanya memerah seperti baru saja menangis, "nak Iqbal, ada apa?" tanya Bu Parti mendekat pada Iqbal.

"Maafkan saya, Bu. Saya tidak tahu lagi sekarang harus bagaimana?"

"Bagaimana apanya, Bal?"

"Saya pulang dulu, Bu. Besok saya kembali lagi." Hanya itu saja yang keluar dari mulutnya, membuat Bu Parti semakin kebingungan. Mulutnya setengah terbuka, bermaksud meminta penjelasan dari Iqbal, namun calon menantunya itu sudah naik ke atas motor lalu pergi meninggalkan halaman rumahnya.

Cepat Bu Parti masuk kembali ke dalam rumah sambil menggendong Andrea. Menitipkan Andrea pada bibik yang sedang merapikan lemari dapur, "Bik, titip Andrea sebentar ya," ujarnya pada pembantunya.

"Iya, Bu," sahut Bibik, lalu mengambil Andrea dari dalam gendongan Bu Parti.

Bu Parti kemudian kembali berjalan ke kamar Parni, mengetuk pintu kamar itu berkali-kali, namun tetap tidak ada sahutan.

"Ada apa, Bu?" Parmi, adiknya Parni menghampiri ibunya.

"Iqbal sudah bicara dengan tetehmu, tapi sekarang sudah pulang. Tidak bilang apa-apa, cuma wajahnya terlihat sedih dan murung," terang Bu Parti pada Parmi.

Mereka berdua kembali menggedor pintu kamar Parni, bahkan hingga lelah. Namun, tetap tidak ada suara apapun di sana.

"Teteh buka pintunya! Kalau tidak, saya dobrak ya, Teh!" gertak Parmi tidak sabaran, ia hanya khawatir kalau tetehnya kenapa-napa di dalam sana.

"Ya jangan didobrak, Mi. Nanti rusak," sela Bu Parti.

"Ya dibenerin kalau rusak, Bu. Masa dibiarin ga ada pintu." Parmi menyeringai.

"Ni, buka pintunya!" ujar Bu Parti lagi.

Kleeekk

Pintu terbuka, Parni tidak berani melihat wajah ibu dan juga adiknya. Ia lebih memilih menunduk, rambutnya basah, wajahnya pun terlihat sembab.

"Ya Allah, Parni. Kamu kenapa, Nak?" Bu Parti memegang kedua lengan Parni. Namun hanya isakan yang terdengar dari mulut anaknya.

"Teteh ada apa? Kalau teteh tidak cerita, bagaimana kami tahu apa yang terjadi sama teteh, teh...!"

"Saya putus, Bu," lirih Parni.

"Lulus apaan?" potong Parmi dengan wajah polosnya.

Bu Parti melotot ke arah Parmi, bisa-bisanya kuping Parmi tidak bisa dikondisikan dalam keadaan seperti ini.

"Bukan lulus, Mi. Tapi putus!" terang Bu Parti dengan sedikit mendelik pada Parmi.

"Putus? Tali beha? Sini Parmi yang sambungin lagi," ujar Parmi pada tetehnya.

"Udah sana deh, kamu masuk sana! Lama-lama ada kamu di sini, bisa bikin ibu bunuh diri ," usir Bu Parti sambil mendorong tubuh Parmi menjauh. Bu Parti membawa Parni masuk kembali ke kamar lalu menutup pintu dan menguncinya.

"Ayo, sini!" Bu Parti mengajak Parni duduk kembali di atas ranjang. Menatap sedih wajah anak perempuannya.

"Sekarang ceritakan pada ibu, ada apa!"

Parni menggeleng, "saya putus, Bu," lirihnya.

"Iya tapi kenapa? Dua minggu lagi kamu menikah, Ni. Ga bisa tahu-tahu putus begini. Emang salah Iqbal apa?" cecar Bu Parti tidak terima dengan pernyataan anaknya.

"Salah Parni, Bu. Sa-salah Parni, hiks...!" Parni kembali tersedu.

"Mungkin su-sudah takdir Parni, ti-tidak boleh menikah dengan siapapun,"

"Ada apa sebenarnya ini Parni? kamu jangan bikin ibu takut."

Parni yang sedari tadi menunduk, kini mengangkat wajahnya, wajah ibunya berbayang di pelupuk matanya, karena terlalu banyak air mata yang menggenang. Parni memajukan tubuhnya, lalu memeluk erat ibunya. "Hiks, salah Parni apa sebenarnya, Bu? Parni hanya ingin seperti wanita yang lain, punya suami dan anak-anak. Apakah tidak pantas? Salah Parni apa?!" rahangnya menegang.

Bu Parti ikut menangis sesegukan sambil memeluk erat tubuh Parni. Telapak tangannya yang kasar, mengusap pelan punggung Parni, "siapa bilang kamu tidak pantas? Dua minggu lagi kamu akan menikah. Sebentar lagi kamu akan jadi istri dari Iqbal, Ni."

"Maaf, Bu. Saya tidak bisa, k-karena...hiks...hiks...!" tangis Parni semakin kencang.

"Sudah-sudah, kamu tenang dulu. Tenang ya! Ibu ambilkan nasi ya, kamu harus makan. Ini sudah mau ashar." Bu Parti merenggangkan pelukanya pada Parni, mengusap kepala anaknya, lalu berjalan keluar hendak mengambilkan makanan untuk Parni. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada puterinya, namun di dasar hatinya menebak, kejadian buruk baru saja menimpan anaknya. Dan ia tidak berani membayangkannya. Dengan langkah gemetar, Bu Parti menuju dapur, mengambilkan sepiring nasi serta lauk untuk Parni.

****

Sementara itu di apartemen, Bu Miranti ditemani oleh Ali sedang meminta izin kepada petugas apartemen untuk mengecek CCTV. Bu Miranti memaksa mencari tahu siapa wanita yang telah dinodai oleh anaknya. Kini mereka sudah di dalam ruangan, berisi tiga layar besar yang bisa memantau kejadian di sekitaran apartemen.

"Ini, Bu. Kejadian semalam. Ini anak ibu'kan?" tunjuk sang petugas pada layar monitor besar tersebut, sambil menoleh ke arah Ali.

Bu Miranti dan Ali memandang dengan seksama. Mulai dari masuk ke lobi apartemen, belum jelas melihat wajahnya, tampak dari layar, Ali tanpa sengaja menarik ikatan rambut wanita tersebut. Hingga wajahnya semakin tidak kelihatan karena tertutup rambut panjangnya yang tergerai.

"Siapa wanita itu, Li? Seperti tidak asing, tapi siapa?" tanya Bu Miranti pada Ali, keningnya berkerut, nampak berusaha mengingat wajah wanita di layar sana, yang tidak begitu jelas. Padahal gambarnya sudah diperbesar.

"Siapa ya, Ma? Ali tidak kenal, Ma. Tidak jelas wajahnya. Apa dia salah satu penghuni apartemen di sini, Pak?" tanya Ali pada petugas CCTV.

"Sepertinya tidak, Mas. Itu lihat, ia berjalan payah keluar dari kamar Mas tadi pagi," tunjuk petugas itu sambil mencibir.

"Apa dia teman kamu, Li?" tanya Bu Miranti lagi sambil memijat pelipisnya keras.

"Semoga wanita ini tidak berjalan ke kantor polisi ya, Mas," sindirnya tegas sambil menatap Bu Miranti dan Ali bergantian.

"Aduh, Pak. Jangan nakutin saya. Justru ini saya mau cari tahu wanita itu siapa, biar dinikahi sama anak saya. Kami mau bertanggung jawab," terang Bu Miranti pada petugas pengendali CCTV.

"Mmm...baiklah, jadi ibu sudah mengenali siapa wanita itu?" tanya petugas itu kembali.

Bu Miranti menggeleng, begitu pun juga Ali. Sedangkan petugas itu hanya bisa tersenyum getir, "jika sudah selesai, saya rasa harus melanjutkan lagi pekerjaan saya." Petugas itu menunjuk arah pintu keluar.

****

Hari berjalan begitu lambat bagi Parni, sudah pukul dua belas dini hari, Parni tidak juga bisa memejamkan kedua matanya. Sedari tadi ia hanya bisa menggosok dengan kasar leher, tangan, bibir, dan semua anggota tubuhnya yang telah dicicipi oleh mulut Ali. Ia merasa jijik dengan dirinya sendiri, air matalah yang masih menemaninya meratapi nasib.

"Seandainya aku tidak perlu menolong pemuda laknat itu!" sesalnya pada diri sendiri, begitu penuh kemarahan. Namun semua telah terjadi, ia hanya berharap Iqbal tidak menceritakan apapun pada ibunya. Jika sampai ibunya tahu, ia tidak yakin ibunya akan selamat. Jantung ibunya pasti akan kembali sakit.

"Ya Allah jangan sampai aku hamil," doanya lirih sambil menunduk meratapi perutnya, baru dua hari lalu ia selesai haid. Dan itu membuat Parni semakin takut dan gelisah.

Sedangkan di apartemennya, Ali pun juga tidak bisa memejamkan mata. Berulang kali ia memutar video CCTV wanita yang memapahnya masuk ke dalam apartemen. Namun tetap ia tidak mengenalinya. Kini ia memiringkan tubuhnya, menatap bagian kosong ranjangnya yang semalam ditiduri oleh wanita yang telah ia renggut mahkotanya. Ia tidak ingat sampai berapa kali, yang jelas ia begitu lepas dan...,"shit!" makinya pada pada kejantanannya yang beraksi saat ia memikirkan kejadian kemarin.

Ali meremas rambutnya kasar. Minggu depan ia harus berangkat ke Jerman, sedangkan di sini ia baru saja membuat masalah, "semua ini karena Karina sialan! Aarrrgghh...!" erangnya keras melemparkan bantal ke lantai.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status