Share

TIGA

"Selain hobi tidur, lo hobi ngapain?” tanya Adit saat Aqilla sudah memposisikan dirinya duduk di depannya. Sepulang sekolah laki-laki itu memenuhi janjinya untuk mentraktir Aqilla ice cream strawberry favoritnya. Mereka sudah berada di dalam kedai yang bernama ‘Kedai Dingin’. Tempat ini sudah lama menjadi tempat favorit mereka berdua. Gadis penyuka es krim itu masih lesu sebab ia baru saja bangun tidur. Di sepanjang perjalanan menuju kedai, Aqilla tertidur di boncengan Adit. Aqilla manusia yang gampang tertidur kalau sedang dibonceng motor. Katanya angin sepoi membuat matanya ngantuk. Laki-laki berambut rapi dengan wangi parfum yang khas melekat ditubuhnya meski sudah seharian beraktifitas, mengacak-acak gemas pangkal kepala gadis di depannya yang tampak lucu mengerucutkan bibirnya.

“Makan es krim,” jawabnya dengan wajah yang masih tak bersemangat. Adit tersenyum memandang Aqilla.

“Nggak ada yang bermutu dikit gitu?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada mengejek. Adit senang sekali menjaili Aqilla.

“Ada,” ucapnya dengan antusias.

“Apa?”

“Nungguin kamu belajar.” Aqilla menutup mulutnya, ia sudah menguap kesekian kalinya.

“HAHAHA…lo seneng nungguin gue belajar?” tawanya seketika pecah mendengar jawaban lucu dari mulut Aqilla. Gadis itu menggeleng pasti membuat Adit lantas mengerutkan keningnya.

“Gue seneng nungguin lo selesai belajar lebih tepatnya.” Gadis itu mengacungkan jari telunjuknya ke udara.

“Kenapa” beo Adit.

“Habisnya lo sering nggak nyambung diajak ngomong kalo belum belajar,” gerutu Aqilla yang memainkan jemarinya, Adit sontak tertawa mendengar jawaban Aqilla yang sangat jujur kepadanya.

“Ada-ada aja,” Adit mencubit pipi tembam gadis itu.

“Kenapa sih lo suka belajar? Kenapa nggak hobi yang lain aja, main musik atau apaa gituu..” pertanyaan Aqilla barusan seketika membuat Adit terdiam sejenak.

“Gue nggak suka belajar Qil, tapi gue dituntut,” ucapnya dalam hati.

Sedetik kemudian tatapan gadis itu teralihkan pada pelayan perempuan berkucir kuda yang memakai celemek berwarna hitam bertuliskan ‘Kedai Dingin’. Adit menghela nafas lega saat gadis di depannya tak lagi menghiraukan pertanyaan yang baru saja ia lontarkan untuknya.

“Permisi kak…es krim strawberry sama banana ya kak,” ucap pelayan itu dengan ramah. Ia meletakkan kedua pesanan di atas meja.

“Selamat menikmati,” ucap pelayan itu sebelum pergi meninggalkan mereka berdua.

“Aaakk…cantik banget deh,” antusia Aqilla melihat es krim strawberry jumbo di depannya dengan toping cokelat dan potongan strawberry membuat tampilan es krim tampak indah. Hingga tak rela untuk menyantapnya. Aqilla mengeluarkan benda pipih dari dalam tasnya. Seketika gadis itu berteriak saat melihat Adit yang hendak menyendok es krim banananya.

“STOP!!” laki-laki itu sontak kaget dengan teriakan kecil gadis di depannya, ia terdiam masih tak faham dengan maksud Aqilla.

“Jangan dimakan dulu mau gue foto.” Ucapnya terkekeh. Adit pasrah, hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya ini.

“Dasar sosialita, kalo ginian aja rajin. Giliran belajar males-malesan mulu,” ledeknya, Aqilla tak menghiraukannya.

“Yes!” pekiknya puas saat berhasil memotret es krim dengan sempurna. Bibir tipisnya tertarik melengkung ke atas membentuk senyuman.

“Lihat deh, bagus kan..”

“Biasa,” ucap laki-laki itu datar, lalu menyendok es krim banananya ke dalam mulut.

“Ah lo nggak tau seni memotret.” Gerutu Aqilla kesal, saat hasil jepretannya tidak diindahkan oleh Adit. Laki-laki itu seketika tersenyum mengacak-acak ujung kepala Aqilla pelan, membuat Aqilla lagi-lagi menggerutu kesal sebab setelah itu rambutnya berantakan.

“Iya iya bagus,”

Kedua manusia itu pun hanyut dalam obrolan ringan di dalam Kedai Dingin dengan menikmati es krim masing-masing. Aqilla selalu menikmati moment kebersamaannya dengan Adit, ia selalu tak ingin moment ini berakhir, sebab hanya dengan embel-embel persahabatannya, Aqilla bisa terus bersama dengan orang yang ia sukai.

---

Jam menunjukkan pukul dua belas malam. Alfa baru saja memasuki rumahnya yang mewah dua lantai dengan perpaduan warna gold dan putih. Sebagian lampu di dalam rumah sudah padam karena memang ini sudah larut malam. Rumah mewah itu sangat sunyi, hanya ada satu pembantunya yang membukakan pintu. Ia sudah terbiasa dengan suasana sunyi rumah ini. Jemari tangannya memainkan kunci motor, sesekali ia bersiul seraya berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Kakinya hendak menaiki anak tangga, namun langkahnya terhenti saat suara berat Siregar berhasil membuat jantungnya nyaris melompat keluar.

“Dari mana saja kamu, larut malam baru pulang. Jam berapa ini.” Ucap laki-laki itu ketus. Alfa mengedarkan pandangan ke ruang tamu yang tidak ada penerangan, sosok siluet papanya terlihat duduk di salah satu sofa. Adit memutar bola matanya dengan malas. Ia tersenyum kecut.

“Sejak kapan papa peduli sama aku,” Alfa berniat mengabaikan laki-laki paruh baya itu, tapi langkahnya lagi-lagi terhenti oleh nada penekanan dari mulut Siregar.

“Papa nggak pernah ngajarin kamu begini, ngapain aja kamu diluar sam---.”

“Iyaa papa emang nggak pernah ngajarin aku begini, bahkan papa juga nggak pernah ngajarin aku buat selalu ada kan?” potongnya dengan senyuman sinis.

“Apa pernah papa ada buat aku? Bahkan sebentar saja papa nggak bisa.” Siregar terdiam, ia berdiri berjalan pelan mendekati anak laki-lakinya.

“Nggak kan!!” lanjutnya dengan penekanan, laki-laki peruh baya itu berdiri di tempat.

“Papa nggak pernah ada buat aku, sampai papa lupa kalo emang semua hal nggak pernah papa ajarin, papa sendiri sibuk dengan dunia papa tanpa mikirin aku yang bahkan selalu nunggu kepulangan papa. Tapi sekarang, aku udah nggak butuh semua itu,”

“Papah memang selalu mecukupi aku dengan uang papah yang melimpah, TAPI BUKAN ITU PAH YANG GUE BUTUHIN” Alfa berteriak keras, mengeluarkan segala uneg-unegnya yang selama ini ia pendam sendirian. Tanpa sadar air mata menetes di pipinya, ia mengusap kasar menghalau air mata yang kian menderas. Dadanya terasa sesak, seperti dihantam berton-ton batu besar. Laki-laki itu beranjak meninggalkan Siregar yang masih terdiam sedari tadi.

Baru kali ini Siregar mendapati Alfa pulang malam. Padahal hampir setiap hari Alfa selalu pulang larut. Pantas saja. Sebab baru malam ini pula Siregar pulang setelah berbulan-bulan tak menginjakkan rumah ini.

Laki-laki paruh baya itu menyesap rokok yang bertengger di antara jemarinya. Rasa bersalah telah menelantarkan Alfa membuatnya terdiam cukup lama. Selama ini Siregar selalu memberikan uang yang lebih dari cukup untuk alfa. Tetapi, bukan itu yang Alfa butuhkan. Ia butuh dekapan sosok orang tua disampingnya.setelah Diana istri Siregar dan Septia putri sulungnya meninggal tiga tahun yang lalu, suasana rumah berubah drastis seratus delapan puluh derajat. Rumah yang di dalamnya selalu ada kebahagian, keharmonisan, riuh canda tawa dan juga suara rutin Alfa dan Septia yang selalu bertengkar, kini hanya menyisakan luka yang mendalam sebab kenangan yang terlalu indah. Kejadian iti amat sangat membuat Siregar terpukul, hingga untuk menginjakkan kakinya di rumah ini membuatnya sangat berat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status