Share

DUA

Aqilla tersenyum sinis meninggalkan Alfa dkk setelah ia menyetujui ajakannya.

“Permainan dimulai.” Batinnya.

Aqilla berjalan menyusuri lorong sekolah menuju ke kelasnya. Kelas sebelas IPA 1 yang terletak di ujung lorong lantai dua. Sambil bersenandung kecil, langkah kakinya terhenti saat matanya tertuju pada mading sekolah yang sudah ramai dikerubungi para siswa. Karena jiwa penasarannya tergugah, cewek itu mencoba masuk kerumunan. Ia menerobos paksa hingga mendorong keras beberapa siswa di depannya.

“Kayaknya seru nih jailin mereka,” batinnya geli.

“Aww..Qil!!” geram salah satu siswa IPA 2 yang bernama Ghea.

“Hehe..sorry Ghe,” ucapnya cengengesan.

“Sorry sorry…lo kira nggak sakit apa.” Sarkas Ghea sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Aqilla tak menggubris omongan Ghea kepadanya. Ia mencari sesuatu yang sedari tadi menjadi obyek di mading.

“RAFFA LOLOS OLIMPIADE,” teriak Tiara, siswa yang selalu mengejar-ngejar Raffa. Gadis itu senang kegirangan. Mendengar ucapan Tiara barusan membuat Aqilla membatalkan niatnya untuk melihat madding. Ia mundur keluar dari kerumunan dengan wajah yang ditekuk cemberut.

“Kenapa lo?” tanya Ghea ketus.

“Adit nggak lolos, kira-kira dia sedi—“

“Kata siapa gua nggak lolos,”Adit tiba-tiba datang mengacak-acak rambut gadis itu.

“Seruis lolos!” seketika matanya berbinar menatap laki-laki bermata cokelat di depannya. Ia adalah Aditya Saputra. Siswa terpintar di sekolah. Setara dengan Raffa, keduanya selalu berada berdampingan diangka prestasi. Dan kebetulan juga mereka satu kelas.

Sudah sejak SMP Aqilla berteman dekat dengan Adit. Adit selali ada untuknya, di setiap moment bahagia dan sedihnya selama ini. Ia tak pernah meninggalkan Aqilla. Hingga di setiap tindakan kecil Adit untuknya, membuat gadis itu menaruh perasaan kepadanya. Namun, sayang sepertinya Adit tak pernah menyadarinya.

“Emang deh jiwa-jiwa netizen lo,” ucapnya tertawa.

“Gue lolos…satu tim sama Raffa.” Jelasnya dengan senyuman manis yang membuat Aqilla terdiam sepersekian detik menatap pemandangan indah di depan matanya, sebelum akhirnya ia benar-benar tersadar.

“Untunglah nggak sia-sia gue nemenin lo belajar kemarin,” sahut Aqilla dengan wajah songong seolah-olah ia adalah pahlawan. Memang benar, selama satu minggu penuh sebelum seleksi olimpiade, Aqilla selalu menemani Adit untuk belajar. Ia tak tega melihat Adit yang seperti tak ada semangat akhir-akhir ini sebab rasa takutnya yang besar atas banyaknya saingan. Meskipun menjadi juara adalah hal yang lumrah buatnya, tetapi tetap saja ia tak bisa meremehkan seleksi olimpiade ini. Sebenarnya memang selama ini ia sering menemani laki-laki itu belajar. Alasannya sangat simpel, gadis itu suka melihat Adit belajar dengan tenang dan serius. Terkadang ia juga suka menjahili Adit saat belajar. Beda jauh dengannya yang sangat anti belajar.

“Lo nggak mau ucapin gue gitu?”

“Traktir,”

“Iyaa cantik, gue traktir es krim kesukaan lo deh…es krim strawberry,” meskipun Aqilla tau pujian dari Adit adalah hal biasa untuknya, tetapi hal itu sukses membuat Aqilla baper di panggil ‘cantik’ oleh orang yang ia suka. Namun ia mencoba sebisanya untuk bersikap biasa saja.

“Setuju,” ucapnya sumringah sambil menjentikkan jarinya.

Dari arah kantin, terlihat Alfa dan kedua temannya berjalan mendekati Aqilla dan Adit berdiri di depan madding. Aqilla memutar bola matanya dengan malas melihat Alfa. Lain dengan Adit yang tersenyum sambil melambaikan tangannya kepada ketiga teman sekelasnya itu. Alfa menatap Aqilla dengan lekat, gadis itu dari tadi membuang muka.

“Selamat Fa..kita satu tim,” Raffa yang belum melihat pengumuman tersebut pun terkejut dengan ucapan Adit barusan.

“Serius lo!” sahut Raffa yang masih tak percaya, ia pun langsung melihat pengumuman di papan mading yang sudah sepi dari siswa-siswa. Matanya berbinar saat namanya tertera dikolom yang bertuliskan ‘Lolos’ Raffa terlonjak kegirangan.

“Alhamdulilla gue lolos!!” ucap Raffa meraup wajahnya sendiri.

“Alhamdulillah ya Allah, dibalik jeleknya image kita karena Alfa ada Raffa yang mengharumkan,” sahut Bagas dengan gaya kedua tangan yang menengadah, alfa melirik sinis lantas menoyor kepala sahabatnya dengan keras.

“Aduh MAHMUD lo kenapa sih!” ganggu orang lagi bersyukur aja.” Sarkas Bagas dengan wajah tak bersalahnya. Mahmud adalah panggilan sayang Bagas dan Raffa untuk Alfa.

“Qil sariawan lo?” ucap Alfa sembarangan. Gadis itu hanya terdiam dari tadi, sejak Alfa dkk menghampirinya. Ia memutar bola matanya jengah.

“Dit gue ke kelas duluan ya,” bukannya menjawab pertanyaan Alfa, gadis itu justru pamit pada Adit. Laki-laki bermata cokelat itu hanya mengangguk mengiyakan, lalu mengidikkan bahu kepada Alfa.

“Gue antar ke kelas,” Alfa sudah mensejajari langkah Aqilla, ia tak perduli dengan gadis di sampingnya yang sedari tadi mendiamkannya.

“Kelas sebelahan aja gaya mau nganterin lo Mud..” ketus Bagas yang membuat Alfa lantas menatapnya tajam. Bagas terkekeh geli.

“Bilang aja modus lo Mud!” sahut Raffa kemudian.

Aqilla memasuki kelas sebelas IPA 1, tepat saat bel masuk berbunyi. Ia meninggalkan Alfa begitu saja di depan kelas tanpa satu patah kata pun.

---

“Gila ya, baru aja tadi taruhan disepakati…langsung gas aja lo Qil,” seru Vanya yang melihatnya bersama Alfa di depan kelas.

“Kayak nggak tau aja lo sama playboy satu itu, semua cewek digituin kali,” Aqilla menjatuhkan bokongnya di kursi.

“Qil lo beneran siap sama permainan ini?” ucap Kezia yang sebenarnya masih ragu dengan taruhan yang mereka buat sendiri.

“Maksud gue…emang lo siap dengan risiko yang bakalan terjadi nanti?”

“Sakit hati.”

“Emang lo siap?

“Sakit hati?” Aqilla memutar bola matanya.

“Gue nggak akan pake hati Kez, tenang aja…nggak ada tuh nanti yang namanya sakit hati,” ucapnya dengan sinis.

“Lagian kalo lo ragu kenapa tadi nggak dipihak gue aja sih.” Lanjut gadis itu menatap tajam Kezia. Gadis itu hanya diam, diam yang tak bisa diartikan. Ia menyadari taruhan ini melibatkan dua orang, ia hanya tak mau sahabatnya yang justru akan menjadi korban.

“Batalin aja deh taruhannya.” Mendengar hal itu Aqilla, Vanya dan Lala seketika menatap tajam Kezia.

“NGGAK!” jawab Vanya dan Lala serempak. Aqilla semakin dibuat terdiam dengan sahabatnya yang tiba-tiba saja kontra. Gadis itu menghela nafas kasar.

“Kita udah deal…gue udah start jangan ngadi-ngadi.” Ucapnya menengahi.

“Gue nggak bakalan patah hati dan tetek bengeknya itu Kez, lo tenang aja,” ucapnya meyakinkan Kezia, ia sedikit mengguncang bahu gadis itu.

“Iya sekarang lo ngomong gitu Qil, nggak tau nanti.” Kezia menghela nafas panjang, ia hanya nggak mau sahabatnya menjadi korban sakit hati Alfa. Kezia memang mengagumi sosok alfa, tapi hanya sebatas kagum. Tidak untuk dimiliki, karena ia tau se-playboy apa Alfa. Bermain dengan hati adalah hal yang sangat fatal.

“Terserah deh.” Ucap Kezia pasrah. Ia menyesal telah menyetujui taruhan nggak berguna ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status