Suasana makan malam di rumah Ethan malam itu terasa begitu tenang dan hangat. Aroma rempah dan ikan bakar memenuhi udara, menggoda siapa pun yang ada di dalamnya.
Salah satu hidangan utama malam ini adalah ikan bakar segar hasil tangkapan Robin dan Joseph—dua pria yang meski berbeda generasi, tetap akur jika urusan memancing. “Apakah Kakek sudah memberi tahu Shane kalau akan menginap di sini?” tanya Ethan, sambil menuangkan air ke gelasnya. “Aku akan memberitahunya nanti,” jawab Joseph santai, sambil memperhatikan Nathaniel, yang sedang makan dengan lahap. “Lihat itu, dia makan dengan semangat,” gumam Joseph dengan ekspresi gemas. “Aku suka anak-anak yang tidak pilih-pilih makanan. Berbeda dengan Shane waktu kecil—anak itu susah sekali makan. Sampai-sampai harus dibujuk ibunya dengan berbagai cara ,” kenangnya, tersenyum tipis. Joseph menatap keluarga di sekeliling meja makan. ‘Kau sangat beruntung, Silas. Memiliki keluarga yang lengkap, harmonis dan juga hangat.’ _________________________________________ 9:00 PM – John F. Kennedy International Airport Seorang perempuan melangkah keluar dari pintu kedatangan bandara, mendorong koper dengan mantap. Ia mengenakan celana jeans denim berpotongan lebar, sweater putih bersih, sneakers putih, dan topi senada yang menutupi sebagian rambut panjangnya yang bergelombang dan tergerai bebas. “Kakak!” serunya begitu melihat sosok pria yang telah berdiri menunggunya di area penjemputan. Camellia Emma Robert mempercepat langkahnya, menghampiri pria itu—kakaknya, Ethan—dan langsung memeluknya erat. “I miss you. I miss you so much,” ucap Emma dalam dekapan hangat itu. “I miss you too,” balas Ethan sambil mengusap punggung adiknya. Sudah lebih dari tiga tahun mereka tak bertatap muka. Emma melepaskan pelukan dan tersenyum cerah. “Bagaimana kabar kakak?” Ethan mengusap kepala adiknya, membuat Emma cemberut sebentar. “Aku baik. Lalu kamu sendiri?” “Luar biasa,” katanya ceria. “Kau sendirian?” tanya Emma, menoleh ke kanan dan kiri. “Iya, sudah malam. Yang lain menunggumu di rumah.” Ethan mengambil alih koper Emma, dan mereka berjalan menuju mobil yang terparkir tak jauh dari tempat itu. **** Selama lebih dari tujuh tahun tinggal di Inggris, Emma hanya beberapa kali dikunjungi oleh orang tuanya. Bukan karena mereka tidak peduli, tapi karena permintaan Emma sendiri. Ia tidak ingin kedua orang tuanya terlalu sering bepergian jauh, meskipun keluarga mereka memiliki pesawat pribadi. Ethan juga hanya sempat mengunjunginya saat Emma masih kuliah. Setelah menikah dan mengurus bisnis keluarga, Ethan tak pernah lagi ke Inggris. Mungkin hanya sesekali, itupun karena ada urusan pekerjaan. Tapi hubungan mereka tetap erat—telepon, pesan video, dan panggilan suara menjadi penghubung harian mereka. Terutama ibunya yang tak pernah absen menelepon setiap hari. “Aku sudah tidak sabar ingin bertemu keponakan lucuku itu,” ucap Emma penuh semangat. “Aku juga membawa hadiah untuknya dari London!” “Bagaimana kabar Libbie? Kau tidak menyusahkannya, kan?” tanyanya setengah menggoda, menatap kakaknya dengan curiga. Ethan terkekeh. “Dia baik, dan dia juga tak sabar ingin bertemu denganmu. Dan tidak, aku tidak pernah menyusahkan istriku.” Emma tertawa. “Dulu aku sempat kaget saat tahu kau akan menikahi sahabatku sendiri.” “Dan kau belum memberi kami hadiah pernikahan,” sahut Ethan, pura-pura protes. Emma menjulurkan lidah. “Tenang saja, aku sudah menyiapkan sesuatu.” “Hadiah dari hasil kerja kerasku sendiri.” “Apa itu?” tanya Ethan, penasaran. Emma mengedip. “Rahasia. Nanti kuberi saat ada Libbie.” Setelah percakapan ringan itu, Emma mendesah pelan. “Aku sangat merindukan Mommy dan Daddy.” “Istirahatlah. Aku akan membangunkanmu saat kita sampai,” ucap Ethan. Emma mengangguk pelan, memejamkan mata. Kelelahan akibat perjalanan panjang dari London ke New York membuatnya tertidur dengan cepat. Ponsel Ethan berdering. Ia segera menjawab. “Iya, Mom?” “Kau sudah menjemput adikmu?” “Sudah. Kami sedang dalam perjalanan pulang.” “Syukurlah. Mommy tunggu di rumah. Hati-hati di jalan, ya.” “Baik, Mom.” Setelah panggilan berakhir, Ethan kembali fokus menyetir. Ia sempat menghentikan mobil di sebuah toko kue, sesuai permintaan ibu dan istrinya. Sambil menatap Emma yang masih tertidur, ia keluar. Sepuluh menit kemudian, Ethan kembali ke mobil dengan beberapa kotak kue. Emma masih terlelap. **** “Emma... Emma,” panggil Ethan sambil menggoyangkan pelan bahu adiknya. Emma menggeliat dan membuka matanya perlahan. “Kita sudah sampai?” “Hmmm.” Ethan tersenyum. “Kau bisa lanjut tidur di kamar.” Mereka turun dari mobil. Ethan membawakan koper, sementara Emma berjalan pelan ke arah pintu rumah lebih dulu. “Bagus juga rumahnya,” gumamnya. “Halamannya juga luas dan banyak pohon.” Ini kali pertama Emma menginjakkan kaki di rumah Ethan, karena sebelumnya kakaknya itu tinggal bersama orang tua mereka atau di apartemen. Tapi setelah menikah Ethan memutuskan untuk tinggal di rumah yang sudah ia siapkan. Emma menekan bel rumah Ethan. Ting! Tong! Tak lama kemudian, pintu terbuka. Senyum mengembang di wajah Emma saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu. “Mom, I miss you,” ucap Emma penuh haru dan langsung memeluk sang ibu, Eva. Eva membalas pelukan itu erat. Air mata mengalir tanpa bisa ia tahan. “Aku benar-benar merindukan Mommy.” “Mommy juga merindukanmu, sayang.” Di balik Eva, berdiri Robin—ayah Emma—dengan mata berkaca-kaca. Melihat anaknya yang telah lama pergi membuat dadanya sesak oleh rindu. “Dad...” bisik Emma. “Oh, putriku!” Robin langsung memeluk Emma. Mereka bertiga larut dalam pelukan penuh kehangatan. **** Malam itu, setelah pelukan dan tangisan haru reda, semua berkumpul di ruang tamu. Tawa ringan mulai menggantikan suasana haru. “Aku tak menyangka kalau Kakek ada di sini,” ucap Emma sambil menggenggam tangan keriput Joseph. “Sudah lama kita tidak bertemu.” “Ya, kakek tua ini memang jarang ke mana-mana. Tapi kau juga sibuk terus dengan sekolahmu,” sahut Joseph. “Berapa lama Kakek akan menginap?” “Hanya malam ini. Tapi kalau kau mau, kau bisa main ke mansion Kakek kapan saja.” Emma tersenyum. “Selama aku di sini, aku akan sering-sering menemui Kakek.” “Kakek akan menunggunya!” seru Joseph sambil tertawa. Tiba-tiba, bel rumah berbunyi. “Siapa itu malam-malam begini?” gumam Eva. “Biar aku yang bukakan pintu, Mom," ucap Libbie. Ia berjalan ke pintu, dan saat membukanya, ekspresinya berubah. “Shane?” Shane berdiri di ambang pintu dengan wajah datar dan lelah. “Apa Kakekku ada di dalam?” tanyanya datar. “Ya, Kakek Joseph ada di dalam. Masuklah,” ucap Libbie. Shane berjalan masuk, mengikuti arah suara yang berasal dari ruang tamu. “Kakek,” panggilnya. Joseph menoleh. “Kau sudah datang?” Kini semua mata tertuju pada Shane, begitupun dengan Emma. Shane hanya bisa menghela napas. Ia tidak punya energi untuk memarahi kakeknya malam ini. “Kenapa Kakek tidak bilang kalau akan ke sini?” tanya Shane. "Anda tidak memberitahu Shane?" tanya Robin pelan. “Aku lupa,” jawab Joseph enteng. "Tapi akhirnya dia tahu aku dimana kan?" “Kalau bukan karena sopir Kakek, aku takkan tahu,” gumam Shane. “Sudahlah. Sekarang duduk dulu, kau pasti lelah,” ucap Robin. “Aku akan ambilkan minum,” kata Emma dan berdiri. “Tidak, sayang. Kau juga pasti lelah. Biar Mommy meminta pelayan untuk membuatkan minum,” Eva menahan Emma. “Kalau begitu... boleh aku ke kamar?” tanya Emma. “Tentu. Kau pasti mengantuk,” sahut Eva. “Aku akan mengantarmu, sekalian aku ingin melihat Nathan," ucap Libbie. Emma berpamitan pada semua pria di ruang tamu, lalu pergi bersama Libbie ke lantai atas. Kini, hanya tersisa Robin, Joseph, Ethan, dan Shane di ruang tamu—dan suasana menjadi sedikit berbeda.Sementara Emma tengah menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatnya, di tempat lain—tepatnya di sebuah restoran Jepang bergaya tradisional di jantung Manhattan—kedua orang tua Emma mengadakan pertemuan pribadi dengan Joseph dan Shane Dimitri.Di ruang VIP yang terpisah dari keramaian tamu restoran, dua keluarga tersohor di Amerika duduk saling berhadapan. Mereka memilih restoran Jepang bukan tanpa alasan—tempat itu menawarkan suasana tenang, penuh privasi, dan pelayanan yang sangat memperhatikan etika serta kenyamanan tamu eksklusif.Sambil menanti hidangan utama disajikan, mereka terlebih dahulu berbincang ringan sebelum masuk ke topik utama.“Belum ada rencana membuat proyek baru?” tanya Robin, memecah keheningan dengan nada ramah.Shane, duduk dengan postur tenang dan penuh kendali, menjawab, “Belum, Uncle. Saat ini saya masih fokus pada proyek yang sudah berjalan. Mungkin nanti, di waktu yang tepat.”Joseph tersenyum bangga pada cucu satu-satunya itu. “Aku sangat bangga padamu, Sh
Sudah empat hari Emma berada di Amerika, dan dia benar-benar menikmati waktunya bersama keluarga."Sayang, kalian mau pergi ke mana?" tanya Eva dengan senyum hangat, melihat putri dan menantunya sudah tampil rapi dan anggun siang itu."Kami akan bertemu Gwen. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya," jawab Emma sambil memeriksa isi tas tangannya."Kalian membawa Nathaniel juga?" tanya Eva, melirik cucunya yang tampak tampan dengan kemeja kasual biru dan celana khaki."Iya, Mom," jawab Libbie sambil tersenyum."Kenapa tidak pergi berdua saja? Biar Mommy yang menjaga Nathaniel di rumah," tawar Eva dengan tulus."Tidak apa-apa, Mom. Kami bisa membawanya. Aku tidak ingin merepotkan Mommy," balas Libbie sopan."Tidak usah sungkan. Lagipula Mommy senang sekali bermain dengan cucu tampan Mommy ini," ucap Eva sambil mencium pipi Nathaniel.Eva menambahkan, "Kebetulan, Daddy dan Mommy juga akan keluar hari ini. Jadi lebih baik Nathaniel ikut kami saja.""Baiklah kalau begitu, Mom," ucap
Pagi telah tiba. Di rumah keluarga Ethan, semua penghuni sudah selesai menikmati sarapan. Suasana terasa hangat dan damai.Joseph, masih berada di rumah itu. Semalam, Shane gagal membujuknya untuk pulang bersamanya. Kini, sang kakek tengah duduk santai di teras belakang bersama Robin.Ethan sendiri sudah berangkat ke kantor, Eva dan Libbie pergi ke supermarket ditemani seorang pelayan, sementara Emma sedang menemani Nathaniel di di kamar anak kecil itu.“Aunty punya hadiah untukmu,” ucap Emma dengan suara hangat.“Benarkah, Aunty?” sahut Nathaniel dengan mata bulat berbinar dan nada yang penuh antusias.Emma mengangguk sambil tersenyum lembut. “Bagaimana kalau kita ke kamar Aunty dan membongkar koper yang berisi hadiah-hadiah untukmu?”Tanpa ragu, Nathaniel mengangguk penuh semangat.Tawa lembut Emma terdengar ketika ia bangkit dari duduknya dan menggendong Nathaniel. Ia membawa bocah itu menuju kamar yang sementara ditempatinya di rumah Ethan.Sejak kedatangannya dari London kemarin,
Suasana makan malam di rumah Ethan malam itu terasa begitu tenang dan hangat. Aroma rempah dan ikan bakar memenuhi udara, menggoda siapa pun yang ada di dalamnya. Salah satu hidangan utama malam ini adalah ikan bakar segar hasil tangkapan Robin dan Joseph—dua pria yang meski berbeda generasi, tetap akur jika urusan memancing. “Apakah Kakek sudah memberi tahu Shane kalau akan menginap di sini?” tanya Ethan, sambil menuangkan air ke gelasnya. “Aku akan memberitahunya nanti,” jawab Joseph santai, sambil memperhatikan Nathaniel, yang sedang makan dengan lahap. “Lihat itu, dia makan dengan semangat,” gumam Joseph dengan ekspresi gemas. “Aku suka anak-anak yang tidak pilih-pilih makanan. Berbeda dengan Shane waktu kecil—anak itu susah sekali makan. Sampai-sampai harus dibujuk ibunya dengan berbagai cara ,” kenangnya, tersenyum tipis. Joseph menatap keluarga di sekeliling meja makan. ‘Kau sangat beruntung, Silas. Memiliki keluarga yang lengkap, harmonis dan juga hangat.’ ____
Sore itu, langit Manhattan memancarkan warna keemasan yang lembut, menyelimuti pepohonan tinggi di sekitar Harlem Meer dengan cahaya hangat khas musim panas. Angin bertiup ringan, menyapu permukaan danau kecil itu dan membawa serta aroma air yang menenangkan. Di salah satu sisi danau, di bawah rindangnya pohon maple, Robin Van Robert (58) tengah duduk santai di kursi lipat, berdampingan dengan Joseph Dimitri (86), sahabat lama mendiang ayahnya yang telah tiada. Di hadapan mereka, dua batang pancing berdiri tegak, ujung senarnya tenggelam dalam air yang tenang. Tak jauh dari sana, istri Robin—Eva Louisa Watson (55)—duduk di atas alas piknik, bersama cucu mereka yang berusia dua tahun, Nathaniel. Bocah kecil itu tengah asyik menggigit biskuit berbentuk ikan, wajahnya penuh ekspresi ingin tahu yang menggemaskan. “Apakah kau ada urusan bisnis di Manhattan?” tanya Joseph, matanya menatap lurus ke danau, tapi perhatiannya sepenuhnya tertuju pada putra sahabatnya, yang sudah ia anggap sep