Sementara Emma tengah menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatnya, di tempat lain—tepatnya di sebuah restoran Jepang bergaya tradisional di jantung Manhattan—kedua orang tua Emma mengadakan pertemuan pribadi dengan Joseph dan Shane Dimitri.
Di ruang VIP yang terpisah dari keramaian tamu restoran, dua keluarga tersohor di Amerika duduk saling berhadapan. Mereka memilih restoran Jepang bukan tanpa alasan—tempat itu menawarkan suasana tenang, penuh privasi, dan pelayanan yang sangat memperhatikan etika serta kenyamanan tamu eksklusif. Sambil menanti hidangan utama disajikan, mereka terlebih dahulu berbincang ringan sebelum masuk ke topik utama. “Belum ada rencana membuat proyek baru?” tanya Robin, memecah keheningan dengan nada ramah. Shane, duduk dengan postur tenang dan penuh kendali, menjawab, “Belum, Uncle. Saat ini saya masih fokus pada proyek yang sudah berjalan. Mungkin nanti, di waktu yang tepat.” Joseph tersenyum bangga pada cucu satu-satunya itu. “Aku sangat bangga padamu, Shane.” Shane menundukkan kepala sedikit sebagai bentuk hormat. “Itu semua berkat ajaran dan teladan dari Kakek.” Tak lama kemudian, pelayan datang membawa makanan, mengenakan kimono khas Jepang dan membungkuk sopan sebelum meletakkan hidangan di atas meja. “Terima kasih,” ucap Eva lembut pada sang pelayan. “Kalau begitu, mari kita makan dulu. Setelah ini baru kita lanjutkan pembicaraan,” ujar Joseph sambil mengangkat sumpitnya. Mereka pun mulai menikmati sajian otentik Jepang tersebut. Eva tampak sabar menyuapi Nathaniel yang duduk di sampingnya. Bocah dua tahun itu tak rewel sedikit pun—wajahnya tenang dan ekspresif, seperti mengerti bahwa hari ini adalah momen penting bagi orang-orang dewasa di sekitarnya. **** Selesai makan siang, teh Jepang pun dihidangkan—aroma hangatnya memenuhi ruangan. Robin akhirnya membuka topik utama. “Jadi, kau sudah menyetujui perjodohan itu?” tanyanya, menatap Shane dengan sorot mata serius. Shane mengangguk pelan. “Iya.” “Saya melakukan ini demi kakek,” jawab Shane jujur. Robin tersenyum tipis, menghargai kejujuran pemuda itu. “Tak masalah. Mungkin saat ini kau setuju demi menghormati keinginan kakekmu. Tapi aku percaya, setelah menikah, kau akan belajar mencintai putriku,” ujarnya bijak. Ia kemudian menoleh pada istrinya. “Bukankah begitu, Sayang?” Eva mengangguk. “Cinta bisa tumbuh setelah menikah, apalagi kalau bertemu setiap hari,” katanya lembut. Joseph mengangguk pelan, menyetujui pandangan mereka. Di meja itu, semua orang tampak sependapat—kecuali satu hal: keputusan akhir tetap ada di tangan Emma. “Kalau begitu, kami tinggal memberi tahu hal ini pada Emma,” kata Robin kemudian. “Jika Emma tidak bersedia, maka jangan memaksanya,” ucap Shane dengan tegas. Ia tidak ingin pernikahan tanpa keinginan dari kedua belah pihak atau paksaan. “Tentu saja. Semua kembali pada keputusan Emma. Kami, dan juga kakek Joseph, tidak akan memaksanya,” kata Robin meyakinkan. “Lagipula, tiga hari lagi Emma akan kembali ke London,” tambah Eva. Setelah mendapat kepastian dari Shane, pembicaraan kembali mengalir ke arah yang lebih santai. Namun beban di dada para orang tua masih menggantung—karena yang terberat adalah menyampaikan semua ini pada Emma. **** Sore hari, Emma dan Libbie baru saja kembali ke rumah setelah seharian berjalan-jalan. Di depan rumah, mereka disambut oleh Eva yang kebetulan sedang menikmati udara sore. “Kalian baru pulang? Bagaimana jalan-jalannya?” tanya Eva hangat. “Menyenangkan sekali, Mom,” jawab Emma sambil tersenyum. “Mommy sedang apa di luar?” tanya Libbie sambil menatap penasaran. “Tidak sedang apa-apa, hanya menikmati udara,” jawab Eva sambil tersenyum tenang. Emma lalu mengangkat paper bag berisi kue. “Aku bawakan kue dari toko favorit Mommy.” Eva tampak terkejut sekaligus gembira. “Kamu masih ingat toko itu?” “Tentu saja. Aku lihat paper bag yang sama di mobil Kak Ethan waktu menjemputku,” jawab Emma sambil tertawa kecil. “Kalau begitu, ayo masuk. Kalian pasti lelah.” “Mom, bagaimana dengan Nathaniel? Dia tidak rewel, kan?” tanya Libbie dengan khawatir. “Tidak. Dia bahkan sangat tenang. Mungkin sekarang masih tidur. Saat pulang tadi dia ketiduran di mobil karena tak sempat tidur siang,” jelas Eva. “Kalau begitu, aku akan melihatnya dulu,” kata Libbie sambil bergegas ke lantai atas. Emma menyerahkan kue pada ibunya. "Kalau begitu aku juga akan ke kamarku, Mom." **** Menjelang makan malam, seluruh anggota keluarga telah berkumpul di ruang makan. Kecuali Ethan yang baru pulang dari perusahaan dan sedang mandi. “Emma,” panggil Eva. “Iya, Mom?” jawab Emma sambil menyuapi potongan kecil buah pada Nathaniel. “Setelah makan malam nanti, Mommy dan Daddy ingin bicara sesuatu denganmu.” “Dengan aku?” tanya Emma, menunjuk dirinya sendiri, agak terkejut. Robin dan Eva mengangguk bersamaan. “Bukan hanya kamu, Ethan dan Libbie juga ikut,” tambah Robin. “Iya, Mom,” balas Emma, walau hatinya mulai tidak tenang. Ada sesuatu dalam sorot mata kedua orang tuanya yang terasa lebih serius dari biasanya. Tak lama kemudian Ethan datang. “Maaf membuat kalian menunggu lama,” Ujarnya sambil menarik kursi si sebelah Libbie dan bergabung dengan semuanya. “Tidak apa,” sahut Robin. Makan malam berlangsung dalam keheningan. Tidak ada percakapan berarti—hanya denting alat makan yang bersentuhan dengan piring dan sesekali suara kecil Nathaniel. **** Usai makan malam, mereka semua berkumpul di ruang keluarga. Nathaniel telah dibawa oleh pengasuh ke kamar, membiarkan ruang tamu diisi hanya oleh percakapan orang dewasa. Emma mulai merasakan detak jantungnya semakin cepat. Matanya melirik ke Ethan dan Libbie yang tampak tegang namun bersikap biasa saja. “Sebenarnya ada apa Mommy dan Daddy mengumpulkan kami?” Ethan akhirnya angkat suara. “Ini tentang Emma,” jawab Robin dengan suara berat. “Dan kalian semua perlu tahu.” “Memangnya kenapa dengan Emma?” tanya Ethan sambil menoleh ke arah adiknya. Eva menarik napas sebelum mulai berbicara. “Kakek Joseph meminta agar perjodohan antara dua keluarga dilanjutkan kembali.” Ethan mengerutkan kening. “Perjodohan yang dulu? Bukankah itu sudah tidak berlaku? Aku pikir mereka tidak berniat meneruskannya lagi dan melupakannya.” “Awalnya memang begitu,” jawab Robin. “Karena yang lahir lebih dulu adalah kau dan Shane. Tapi setelah Emma lahir, niat itu kembali dibicarakan meski tidak terlalu serius.” Eva melanjutkan dengan hati-hati, “Dan sekarang Kakek Joseph benar-benar serius untuk menjodohkan Shane dengan Emma.” Emma terdiam. Matanya membesar sejenak, dan napasnya tertahan. Ia menatap kedua orang tuanya, lalu Ethan dan Libbie, seakan mencari penjelasan lebih lanjut. “Dan bagaimana pendapat Daddy dan Mommy?” tanyanya perlahan. “Kami menyetujuinya,” jawab Robin tegas. “Dan Shane juga telah menyetujui perjodohan itu,” tambah Eva. “Namun keputusan tetap di tanganmu. Kami tidak akan memaksa. Bahkan Shane dan Kakek Joseph pun tak akan memaksamu. Mereka akan menghormati keputusanmu,” ucap Eva dengan tulus. Emma terdiam. Matanya bergantian menatap Ethan dan Libbie. “Kita sudah mengenal Shane dan keluarga sejak lama. Kesepakatan perjodohan di buat oleh mendiang kakek dan kakek Joseph yang bersahabat,” ujar Ethan. "Selama aku menengal Shane dia adalah pria yang baik, yang tidak pernah terlibat dengan wanita manapun selama ini. Dulu, saat kecil perempuan yang dekat dengan Shane hanyalah Emma." Ethan melanjutkan dengan yakin, “Aku setuju jika kamu menikah dengannya. Meskipun dia tampak dingin, dia pria yang bertanggung jawab. Aku percaya dia akan menjagamu.” Libbie meraih tangan Emma dan menggenggamnya erat. Senyuman lembut Libbie memberi dorongan yang menenangkan hati Emma. “Kami hanya ingin yang terbaik untukmu dan masa depanmu,” kata Eva penuh kasih. “Jika kamu tidak ingin, maka kami akan mendukung keputusanmu sepenuhnya,” sambung Robin. Emma memandangi wajah kedua orang tuanya. Selama tujuh tahun jauh dari mereka, ia tahu bahwa keluarga ini tak pernah menuntut apa pun darinya. Kini, untuk pertama kalinya, mereka meminta sesuatu—bukan dengan paksaan, tapi dengan keyakinan dan cinta. “Baiklah,” ucap Emma akhirnya, meski suaranya sedikit gemetar. “Aku bersedia menikah dengan Kak Shane.”Sementara Emma tengah menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatnya, di tempat lain—tepatnya di sebuah restoran Jepang bergaya tradisional di jantung Manhattan—kedua orang tua Emma mengadakan pertemuan pribadi dengan Joseph dan Shane Dimitri.Di ruang VIP yang terpisah dari keramaian tamu restoran, dua keluarga tersohor di Amerika duduk saling berhadapan. Mereka memilih restoran Jepang bukan tanpa alasan—tempat itu menawarkan suasana tenang, penuh privasi, dan pelayanan yang sangat memperhatikan etika serta kenyamanan tamu eksklusif.Sambil menanti hidangan utama disajikan, mereka terlebih dahulu berbincang ringan sebelum masuk ke topik utama.“Belum ada rencana membuat proyek baru?” tanya Robin, memecah keheningan dengan nada ramah.Shane, duduk dengan postur tenang dan penuh kendali, menjawab, “Belum, Uncle. Saat ini saya masih fokus pada proyek yang sudah berjalan. Mungkin nanti, di waktu yang tepat.”Joseph tersenyum bangga pada cucu satu-satunya itu. “Aku sangat bangga padamu, Sh
Sudah empat hari Emma berada di Amerika, dan dia benar-benar menikmati waktunya bersama keluarga."Sayang, kalian mau pergi ke mana?" tanya Eva dengan senyum hangat, melihat putri dan menantunya sudah tampil rapi dan anggun siang itu."Kami akan bertemu Gwen. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya," jawab Emma sambil memeriksa isi tas tangannya."Kalian membawa Nathaniel juga?" tanya Eva, melirik cucunya yang tampak tampan dengan kemeja kasual biru dan celana khaki."Iya, Mom," jawab Libbie sambil tersenyum."Kenapa tidak pergi berdua saja? Biar Mommy yang menjaga Nathaniel di rumah," tawar Eva dengan tulus."Tidak apa-apa, Mom. Kami bisa membawanya. Aku tidak ingin merepotkan Mommy," balas Libbie sopan."Tidak usah sungkan. Lagipula Mommy senang sekali bermain dengan cucu tampan Mommy ini," ucap Eva sambil mencium pipi Nathaniel.Eva menambahkan, "Kebetulan, Daddy dan Mommy juga akan keluar hari ini. Jadi lebih baik Nathaniel ikut kami saja.""Baiklah kalau begitu, Mom," ucap
Pagi telah tiba. Di rumah keluarga Ethan, semua penghuni sudah selesai menikmati sarapan. Suasana terasa hangat dan damai.Joseph, masih berada di rumah itu. Semalam, Shane gagal membujuknya untuk pulang bersamanya. Kini, sang kakek tengah duduk santai di teras belakang bersama Robin.Ethan sendiri sudah berangkat ke kantor, Eva dan Libbie pergi ke supermarket ditemani seorang pelayan, sementara Emma sedang menemani Nathaniel di di kamar anak kecil itu.“Aunty punya hadiah untukmu,” ucap Emma dengan suara hangat.“Benarkah, Aunty?” sahut Nathaniel dengan mata bulat berbinar dan nada yang penuh antusias.Emma mengangguk sambil tersenyum lembut. “Bagaimana kalau kita ke kamar Aunty dan membongkar koper yang berisi hadiah-hadiah untukmu?”Tanpa ragu, Nathaniel mengangguk penuh semangat.Tawa lembut Emma terdengar ketika ia bangkit dari duduknya dan menggendong Nathaniel. Ia membawa bocah itu menuju kamar yang sementara ditempatinya di rumah Ethan.Sejak kedatangannya dari London kemarin,
Suasana makan malam di rumah Ethan malam itu terasa begitu tenang dan hangat. Aroma rempah dan ikan bakar memenuhi udara, menggoda siapa pun yang ada di dalamnya. Salah satu hidangan utama malam ini adalah ikan bakar segar hasil tangkapan Robin dan Joseph—dua pria yang meski berbeda generasi, tetap akur jika urusan memancing. “Apakah Kakek sudah memberi tahu Shane kalau akan menginap di sini?” tanya Ethan, sambil menuangkan air ke gelasnya. “Aku akan memberitahunya nanti,” jawab Joseph santai, sambil memperhatikan Nathaniel, yang sedang makan dengan lahap. “Lihat itu, dia makan dengan semangat,” gumam Joseph dengan ekspresi gemas. “Aku suka anak-anak yang tidak pilih-pilih makanan. Berbeda dengan Shane waktu kecil—anak itu susah sekali makan. Sampai-sampai harus dibujuk ibunya dengan berbagai cara ,” kenangnya, tersenyum tipis. Joseph menatap keluarga di sekeliling meja makan. ‘Kau sangat beruntung, Silas. Memiliki keluarga yang lengkap, harmonis dan juga hangat.’ ____
Sore itu, langit Manhattan memancarkan warna keemasan yang lembut, menyelimuti pepohonan tinggi di sekitar Harlem Meer dengan cahaya hangat khas musim panas. Angin bertiup ringan, menyapu permukaan danau kecil itu dan membawa serta aroma air yang menenangkan. Di salah satu sisi danau, di bawah rindangnya pohon maple, Robin Van Robert (58) tengah duduk santai di kursi lipat, berdampingan dengan Joseph Dimitri (86), sahabat lama mendiang ayahnya yang telah tiada. Di hadapan mereka, dua batang pancing berdiri tegak, ujung senarnya tenggelam dalam air yang tenang. Tak jauh dari sana, istri Robin—Eva Louisa Watson (55)—duduk di atas alas piknik, bersama cucu mereka yang berusia dua tahun, Nathaniel. Bocah kecil itu tengah asyik menggigit biskuit berbentuk ikan, wajahnya penuh ekspresi ingin tahu yang menggemaskan. “Apakah kau ada urusan bisnis di Manhattan?” tanya Joseph, matanya menatap lurus ke danau, tapi perhatiannya sepenuhnya tertuju pada putra sahabatnya, yang sudah ia anggap sep