Accueil / Romansa / Bayangan Hati / Bab 4 – Pertemuan yang Dirindukan

Share

Bab 4 – Pertemuan yang Dirindukan

Auteur: Rimkuyn
last update Dernière mise à jour: 2025-06-21 22:52:38

Sudah empat hari Emma berada di Amerika, dan dia benar-benar menikmati waktunya bersama keluarga.

"Sayang, kalian mau pergi ke mana?" tanya Eva dengan senyum hangat, melihat putri dan menantunya sudah tampil rapi dan anggun siang itu.

"Kami akan bertemu Gwen. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya," jawab Emma sambil memeriksa isi tas tangannya.

"Kalian membawa Nathaniel juga?" tanya Eva, melirik cucunya yang tampak tampan dengan kemeja kasual biru dan celana khaki.

"Iya, Mom," jawab Libbie sambil tersenyum.

"Kenapa tidak pergi berdua saja? Biar Mommy yang menjaga Nathaniel di rumah," tawar Eva dengan tulus.

"Tidak apa-apa, Mom. Kami bisa membawanya. Aku tidak ingin merepotkan Mommy," balas Libbie sopan.

"Tidak usah sungkan. Lagipula Mommy senang sekali bermain dengan cucu tampan Mommy ini," ucap Eva sambil mencium pipi Nathaniel.

Eva menambahkan, "Kebetulan, Daddy dan Mommy juga akan keluar hari ini. Jadi lebih baik Nathaniel ikut kami saja."

"Baiklah kalau begitu, Mom," ucap Libbie.

Setelah diberi pengertian oleh ibunya, Nathaniel setuju untuk ikut bersama nenek dan kakeknya. Emma dan Libbie pun berpamitan sebelum melangkah ke luar rumah.

****

Sebuah mobil putih sudah terparkir rapi di halaman, mesinnya sudah dipanaskan oleh supir keluarga.

"Biar aku saja yang menyetir," ujar Emma sambil meraih kunci dari dashboard.

"Kau yakin?" tanya Libbie.

Emma mengangguk mantap. Keduanya pun masuk ke dalam mobil, dengan Emma duduk di balik kemudi.

"Sudah lama sekali aku tidak menyetir sendiri," kata Emma sambil tersenyum tipis. "Selama di London, aku lebih sering naik taksi atau bus."

“Bukankah waktu itu Ethan sempat menawarkanmu untuk memakai mobil pribadi?” tanya Libbie mengingat sesuatu.

“Aku menolak,” jawab Emma pelan.

“Lebih nyaman naik kendaraan umum. Lagipula aku hanya bekerja sebagai karyawan biasa. Rasanya aneh saja kalau tiba-tiba pakai mobil mewah. Bisa jadi bahan gunjingan orang,” lanjut Emma sambil terkekeh.

Libbie ikut tertawa kecil, memahami maksud sahabat sekaligus adik iparnya itu.

Sepanjang perjalanan, keduanya banyak berbagi cerita. Mengobrol santai sebagai sahabat, tanpa embel-embel status keluarga.

****

Mereka tiba di sebuah kafe kecil di pinggir jalan yang tampak sederhana namun menyimpan banyak kenangan. Emma memarkirkan mobil dengan hati-hati, memastikan tak mengganggu kendaraan lain.

Bunyi lonceng kecil di atas pintu menyambut mereka saat masuk. Aroma kopi dan kayu manis segera menguar, membawa Emma dan Libbie kembali ke masa lalu.

"Sepertinya dia belum datang," ucap Emma sambil melirik ke sekeliling.

“Kita tunggu saja,” sahut Libbie.

Mereka memilih duduk di sudut yang agak tersembunyi—tempat favorit mereka dulu. Tak lama, seorang pelayan wanita menghampiri.

"Mau pesan apa?" tanya pelayan tersebut sambil memberikan buku menu.

Libbie mengembalikan buku menunya. "Nanti saja, kami masih menunggu seseorang," kata Emma sopan. Pelayan itu mengangguk dan berlalu.

"Tempat ini banyak berubah," gumam Emma, menelusuri interior kafe dengan tatapan hangat.

"Kau sering ke sini?" tanya Emma.

"Ya, cukup sering saat kuliah bersama Gwen. Tapi setelah menikah dan punya anak, rasanya waktuku jadi terbatas. Gwen juga sekarang sibuk bekerja, kalau ingin bertemu dengannya harus atur jadwal jauh-jauh hari," ujar Libbie.

“Ya... Dia sudah jadi orang terkenal sekarang,” canda Emma, membuat keduanya tertawa.

Saat tawa mereka masih menggema, pintu kembali berbunyi.

Sosok Gwen Palmer muncul, tampak anggun dalam blouse sabrina crop biru muda, rok jeans selutut, dan heels 3 cm. Rambutnya diikat ekor kuda, dan topi kecil bertengger santai di kepalanya untuk menutupi wajahnya.

“Kalian membicarakan apa?” tanyanya sambil tersenyum lebar.

"Membicarakanmu, tentu saja," jawab Libbie.

Gwen mendengus manja lalu memeluk Emma dan Libbie bergantian. “Aku sangat merindukan kalian... terutama dirimu,” ucapnya sambil menunjuk Emma.

Emma tersenyum hangat. “Senang bisa melihatmu lagi, Gwen.”

"Aku sangat senang saat Libbie bilang kau akan pulang," tambah Gwen dengan mata berbinar.

“Kau baru selesai bekerja?” tanya Libbie.

“Iya, baru selesai syuting iklan. Saat kemarin kalian bilang ingin bertemu, aku langsung cari jadwal kosong,” jelas Gwen.

“Jadi hari ini kau bebas?” tanya Emma.

“Hanya ada satu pekerjaan tadi pagi, sekarang waktuku milik kalian.”

Ketiganya tertawa bersama. Pelayan kembali menghampiri, dan Libbie langsung memesan makanan setelah mereka memilih menu.

"Tetap tidak berubah, ya?” seru Libbie, melihat Emma dan Gwen memesan makanan favorit mereka sejak di Senior High School.

"Ternyata menunya masih dipertahankan," ucap Emma sambil tersenyum senang.

“Kau tidak membawa si manismu?” tanya Gwen, melirik Libbie.

“Si manis?” ulang Emma heran.

“Nathaniel,” jawab Libbie sambil terkikik.

“Ohhh...” sahut Emma sambil tersenyum.

“Dia sedang bersama nenek dan kakeknya,” tambah Libbie.

Sambil menunggu makanan datang, mereka larut dalam obrolan—tentang hidup, pekerjaan, masa lalu, dan tawa yang tak pernah berubah.

****

Tak lama kemudian, pesanan mereka tiba.

“Aromanya masih sama seperti dulu,” gumam Emma, menghirup aroma makanan yang menggoda.

“Hanya tangan yang memasak yang berbeda, tapi resepnya tetap dipertahankan,” ujar Gwen bangga.

Lalu dengan tatapan usil, Gwen menatap Emma. “Selama tinggal di London, apa ada pria yang menarik hatimu?”

“Tidak ada,” jawab Emma santai. “Aku lebih fokus pada kuliah dan kerja. Masalah percintaan... mungkin nanti saja.”

“Padahal dulu kau bilang ingin menikah muda,” ujar Gwen sambil menyuap makanannya.

“Itu dulu. Tapi kenyataannya, tidak ada yang membuatku tertarik. Jadi aku memilih fokus ke hal lain.”

Libbie ikut bertanya, “Kalau nanti kau bertemu seseorang yang membuatmu tertarik di sini, apa yang akan kau lakukan?”

Emma mengangkat bahu. “Mungkin... aku akan langsung mengajak dia menikah,” candanya.

Libbie dan Gwen tertawa keras.

“Ngomong-ngomong, berapa lama kau di sini?” tanya Gwen.

“Hanya seminggu. Tiga hari lagi aku kembali ke London,” jawab Emma.

“Sebentar sekali,” ucap Gwen dengan nada kecewa.

“Aku hanya ambil cuti seminggu. Itu pun karena selama dua tahun aku belum pernah ambil cuti.”

Setelah itu, topik pembicaraan beralih pada Libbie dan kehidupan rumah tangganya. Mereka saling mendengar dan memberi dukungan, seolah tak pernah terpisah lama.

****

Setelah makan di kafe, ketiganya memutuskan untuk melanjutkan kebersamaan di pusat perbelanjaan. Gwen, yang kini menjadi brand ambassador dari parfum terkenal, memberikan dua botol parfum edisi eksklusif untuk Emma dan Libbie.

Tak hanya itu. Gwen juga membelikan mereka masing-masing sebuah tas dari merek ternama, dan tentu saja, sebuah hadiah kecil untuk Nathaniel.

“Padahal kau tak perlu repot-repot begini,” ujar Libbie tersentuh.

“Tidak apa-apa,” sahut Gwen ringan. “Lagi pula, kita tidak bertemu seperti ini setiap hari. Dan Emma akan segera kembali ke London.”

Ketiganya melanjutkan langkah mereka di antara keramaian mall dengan tas belanjaan di tangan masing-masing.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Bayangan Hati   Bab 5 – Sebuah Jawaban

    Sementara Emma tengah menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatnya, di tempat lain—tepatnya di sebuah restoran Jepang bergaya tradisional di jantung Manhattan—kedua orang tua Emma mengadakan pertemuan pribadi dengan Joseph dan Shane Dimitri.Di ruang VIP yang terpisah dari keramaian tamu restoran, dua keluarga tersohor di Amerika duduk saling berhadapan. Mereka memilih restoran Jepang bukan tanpa alasan—tempat itu menawarkan suasana tenang, penuh privasi, dan pelayanan yang sangat memperhatikan etika serta kenyamanan tamu eksklusif.Sambil menanti hidangan utama disajikan, mereka terlebih dahulu berbincang ringan sebelum masuk ke topik utama.“Belum ada rencana membuat proyek baru?” tanya Robin, memecah keheningan dengan nada ramah.Shane, duduk dengan postur tenang dan penuh kendali, menjawab, “Belum, Uncle. Saat ini saya masih fokus pada proyek yang sudah berjalan. Mungkin nanti, di waktu yang tepat.”Joseph tersenyum bangga pada cucu satu-satunya itu. “Aku sangat bangga padamu, Sh

  • Bayangan Hati   Bab 4 – Pertemuan yang Dirindukan

    Sudah empat hari Emma berada di Amerika, dan dia benar-benar menikmati waktunya bersama keluarga."Sayang, kalian mau pergi ke mana?" tanya Eva dengan senyum hangat, melihat putri dan menantunya sudah tampil rapi dan anggun siang itu."Kami akan bertemu Gwen. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya," jawab Emma sambil memeriksa isi tas tangannya."Kalian membawa Nathaniel juga?" tanya Eva, melirik cucunya yang tampak tampan dengan kemeja kasual biru dan celana khaki."Iya, Mom," jawab Libbie sambil tersenyum."Kenapa tidak pergi berdua saja? Biar Mommy yang menjaga Nathaniel di rumah," tawar Eva dengan tulus."Tidak apa-apa, Mom. Kami bisa membawanya. Aku tidak ingin merepotkan Mommy," balas Libbie sopan."Tidak usah sungkan. Lagipula Mommy senang sekali bermain dengan cucu tampan Mommy ini," ucap Eva sambil mencium pipi Nathaniel.Eva menambahkan, "Kebetulan, Daddy dan Mommy juga akan keluar hari ini. Jadi lebih baik Nathaniel ikut kami saja.""Baiklah kalau begitu, Mom," ucap

  • Bayangan Hati   Bab 3 – Hadiah, Pertemuan, dan Sebuah Niat Lama

    Pagi telah tiba. Di rumah keluarga Ethan, semua penghuni sudah selesai menikmati sarapan. Suasana terasa hangat dan damai.Joseph, masih berada di rumah itu. Semalam, Shane gagal membujuknya untuk pulang bersamanya. Kini, sang kakek tengah duduk santai di teras belakang bersama Robin.Ethan sendiri sudah berangkat ke kantor, Eva dan Libbie pergi ke supermarket ditemani seorang pelayan, sementara Emma sedang menemani Nathaniel di di kamar anak kecil itu.“Aunty punya hadiah untukmu,” ucap Emma dengan suara hangat.“Benarkah, Aunty?” sahut Nathaniel dengan mata bulat berbinar dan nada yang penuh antusias.Emma mengangguk sambil tersenyum lembut. “Bagaimana kalau kita ke kamar Aunty dan membongkar koper yang berisi hadiah-hadiah untukmu?”Tanpa ragu, Nathaniel mengangguk penuh semangat.Tawa lembut Emma terdengar ketika ia bangkit dari duduknya dan menggendong Nathaniel. Ia membawa bocah itu menuju kamar yang sementara ditempatinya di rumah Ethan.Sejak kedatangannya dari London kemarin,

  • Bayangan Hati   Bab 2 – Kepulangan

    Suasana makan malam di rumah Ethan malam itu terasa begitu tenang dan hangat. Aroma rempah dan ikan bakar memenuhi udara, menggoda siapa pun yang ada di dalamnya. Salah satu hidangan utama malam ini adalah ikan bakar segar hasil tangkapan Robin dan Joseph—dua pria yang meski berbeda generasi, tetap akur jika urusan memancing. “Apakah Kakek sudah memberi tahu Shane kalau akan menginap di sini?” tanya Ethan, sambil menuangkan air ke gelasnya. “Aku akan memberitahunya nanti,” jawab Joseph santai, sambil memperhatikan Nathaniel, yang sedang makan dengan lahap. “Lihat itu, dia makan dengan semangat,” gumam Joseph dengan ekspresi gemas. “Aku suka anak-anak yang tidak pilih-pilih makanan. Berbeda dengan Shane waktu kecil—anak itu susah sekali makan. Sampai-sampai harus dibujuk ibunya dengan berbagai cara ,” kenangnya, tersenyum tipis. Joseph menatap keluarga di sekeliling meja makan. ‘Kau sangat beruntung, Silas. Memiliki keluarga yang lengkap, harmonis dan juga hangat.’ ____

  • Bayangan Hati   Bab 1 – Senja di Harlem Meer

    Sore itu, langit Manhattan memancarkan warna keemasan yang lembut, menyelimuti pepohonan tinggi di sekitar Harlem Meer dengan cahaya hangat khas musim panas. Angin bertiup ringan, menyapu permukaan danau kecil itu dan membawa serta aroma air yang menenangkan. Di salah satu sisi danau, di bawah rindangnya pohon maple, Robin Van Robert (58) tengah duduk santai di kursi lipat, berdampingan dengan Joseph Dimitri (86), sahabat lama mendiang ayahnya yang telah tiada. Di hadapan mereka, dua batang pancing berdiri tegak, ujung senarnya tenggelam dalam air yang tenang. Tak jauh dari sana, istri Robin—Eva Louisa Watson (55)—duduk di atas alas piknik, bersama cucu mereka yang berusia dua tahun, Nathaniel. Bocah kecil itu tengah asyik menggigit biskuit berbentuk ikan, wajahnya penuh ekspresi ingin tahu yang menggemaskan. “Apakah kau ada urusan bisnis di Manhattan?” tanya Joseph, matanya menatap lurus ke danau, tapi perhatiannya sepenuhnya tertuju pada putra sahabatnya, yang sudah ia anggap sep

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status