Bayangan Hati

Bayangan Hati

last updateHuling Na-update : 2025-06-21
By:  RimkuynOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Hindi Sapat ang Ratings
5Mga Kabanata
13views
Basahin
Idagdag sa library

Share:  

Iulat
Buod
katalogo
I-scan ang code para mabasa sa App

Pernikahan Emma dan Shane dimulai tanpa cinta—hanya perjodohan dua keluarga elite Amerika. Namun waktu menumbuhkan perasaan, hingga satu malam kesalahan meruntuhkan segalanya. Dikhianati dan dikecewakan, Emma menghilang bersama putri kecil mereka, Julliete. Bertahun-tahun kemudian, cinta dan dendam kembali bertemu dalam wajah generasi baru. Saat Julliete kembali ke Amerika dan bertemu pria yang membuatnya jatuh hati, ia tak tahu bahwa darah dan nama belakangnya menjadi ancaman. Rahasia, perebutan cinta, dan bahaya dari masa lalu akan menguji segalanya.

view more

Kabanata 1

Bab 1 – Senja di Harlem Meer

Sore itu, langit Manhattan memancarkan warna keemasan yang lembut, menyelimuti pepohonan tinggi di sekitar Harlem Meer dengan cahaya hangat khas musim panas. Angin bertiup ringan, menyapu permukaan danau kecil itu dan membawa serta aroma air yang menenangkan.

Di salah satu sisi danau, di bawah rindangnya pohon maple, Robin Van Robert (58) tengah duduk santai di kursi lipat, berdampingan dengan Joseph Dimitri (86), sahabat lama mendiang ayahnya yang telah tiada. Di hadapan mereka, dua batang pancing berdiri tegak, ujung senarnya tenggelam dalam air yang tenang.

Tak jauh dari sana, istri Robin—Eva Louisa Watson (55)—duduk di atas alas piknik, bersama cucu mereka yang berusia dua tahun, Nathaniel. Bocah kecil itu tengah asyik menggigit biskuit berbentuk ikan, wajahnya penuh ekspresi ingin tahu yang menggemaskan.

“Apakah kau ada urusan bisnis di Manhattan?” tanya Joseph, matanya menatap lurus ke danau, tapi perhatiannya sepenuhnya tertuju pada putra sahabatnya, yang sudah ia anggap seperti anak sendiri.

“Tidak,” jawab Robin, sambil menghela napas pelan. “Saya hanya ingin bertemu anak-anak… dan cucu. Sekaligus menunggu kepulangan Emma.”

“Emma? Anak bungsumu?” sahut Joseph dengan nada terkejut.

Robin mengangguk pelan. “Anda masih ingat, kan?”

“Tentu saja! Meskipun aku sudah tua, tapi aku masih tetap ingat kedua anakmu.”

“Sudah lama aku tak bertemu dengannya. Saat pernikahan Ethan, dia juga tidak datang, bukan?”

“Benar. Sudah tujuh tahun dia di Inggris. Terakhir kali pulang ke Amerika saat menyelesaikan S1, lalu kembali lagi ke sana. Waktu Ethan menikah, dia baru saja diterima bekerja.”

Joseph mengangguk dengan mata berbinar. “Dia anak yang mandiri. Padahal keluarganya punya bisnis besar dan bergelimang kekayaan, tapi dia tetap memilih bekerja di perusahaan orang lain.”

“Anda terlalu memujinya, Uncle,” sanggah Robin sambil tertawa kecil.

“Aku tidak berlebihan. Dari kecil aku sudah menyukai anak itu. Dia baik, manis, aktif, dan selalu ceria.”

Obrolan mereka terhenti sejenak ketika ujung joran milik Joseph tampak bergerak. Gerakan kecil, nyaris tak terlihat. Beberapa detik kemudian, tarikan lembut kembali terasa.

“Gigitan,” gumam Joseph pelan, namun cukup terdengar oleh Robin. Senyum lebar mengembang di wajah keriputnya, tangannya siaga.

Dengan sigap, Robin bangkit membantu Joseph yang kini tak sekuat dulu. Seketika—brak!—joran melengkung tajam ke depan. Kailnya jelas disambar oleh sesuatu yang besar dan kuat.

Robin menekan jari pada spool reel pancing Joseph, lalu memutar handle dengan gerakan mantap. Senar mengencang. Di kejauhan, seekor ikan besar meloncat dari permukaan, memecah ketenangan air dan menciptakan percikan yang memukau. Napas Robin tertahan sejenak, tapi ia tak panik. Tangannya terus menggulung senar perlahan.

Teriakan gembira Nathaniel terdengar ketika kakeknya berhasil mengangkat ikan itu dan memasukkannya ke dalam cooler box.

“Bagus!” seru Joseph sambil tertawa puas.

“Senang rasanya memancing ditemani cucu,” ucapnya kemudian, menoleh ke arah Nathaniel yang sudah kembali tenang disisi Eva.

Robin tersenyum sambil memasang umpan baru ke kail Joseph.

“Aku berharap masih bisa menyaksikan saat anak Shane lahir nanti… entah kapan itu,” ujar Joseph tiba-tiba, nada suaranya berubah sendu.

“Jangan bicara seperti itu. Kalau Shane mendengarnya, dia pasti akan mengomelimu,” sahut Robin.

“Biarkan saja dia mengomel. Paling hanya dua atau tiga kata yang keluar dari mulutnya dengan wajah datarnya itu,” kelakar Joseph, membayangkan wajah cucunya yang selalu serius.

“Aku hanya ingin suasana mansion kembali ramai. Ada tawa cucu menantuku, serta anak-anak Shane yang berlarian di lorong… seperti dulu saat Shane masih kecil, saat anak dan menantuku masih ada," gumamnya dengan tatapan jauh.

“Kalau begitu, saya akan sering datang ke Manhattan, atau meminta Ethan dan Libbie membawa Nathaniel ke mansion anda,” ujar Robin lembut.

Obrolan mereka berlanjut dalam balutan keheningan dan suara air yang tenang. Pancing kembali diam, angin kembali bersenandung.

“Oh ya, jam berapa Emma akan tiba di Amerika?” tanya Joseph memecah keheningan.

“Pesawatnya mendarat pukul sembilan malam. Mungkin saya akan meminta Ethan untuk menjemputnya di bandara.”

“Apakah dia akan kembali ke Inggris setelah ini?”

“Ya. Saya hanya memintanya untuk mengambil cuti seminggu. Ibunya sangat merindukannya, jadi kami sepakat meminta dia untuk pulang sebentar saja.”

Joseph diam sesaat, lalu bertanya perlahan, “Bagaimana jika perjodohan yang pernah aku buat bersama mendiang ayahmu… kita lanjutkan?”

Robin tersenyum. “Saya setuju saja. Itu salah satu keinginan terakhir ayah dan ibu saya.”

Dulu, ketika ayah Robin masih hidup, ia membuat perjanjian dengan Joseph, sahabat terbaiknya, untuk mempererat persahabatan mereka lewat ikatan keluarga. Mereka sepakat—jika masing-masing dikaruniai anak laki-laki dan perempuan, maka kelak keduanya akan dinikahkan.

Namun, kenyataan tak semanis harapan. Anak-anak mereka yang lahir justru semuanya laki-laki. Dan begitupun setelah Robin dan Julius (Anak Joseph) dewasa dan menikah, keduanya di karuniai anak laki-laki.

Setelah kedua orang tua Robin meninggal, wacana perjodohan itu pun meredup. Hingga akhirnya Emma lahir—anak perempuan pertama dalam keluarga Robert. Namun Joseph tak lagi membahas perjodohan itu, membuat Robin mengira sahabat ayahnya telah melupakan janji lama mereka.

“Saya tidak tahu, wanita seperti apa yang dicari Shane. Seumur hidup aku tak pernah mendengar atau melihatnya membawa perempuan ke mansion. Aku mulai khawatir orang-orang mulai meragukan orientasi seksualnya. Dia satu-satunya pewaris keluarga… dia butuh penerus,” ucap Joseph, nada suaranya penuh kekhawatiran.

Di balik wajah keriput dan mata sayunya, tersimpan harapan besar terhadap cucunya yang pendiam itu.

“Mungkin memang belum waktunya. Atau bisa jadi dia sudah punya kekasih diam-diam. Lebih baik tanyakan langsung pada Shane, dan saya akan bertanya pada Emma. Lagi pula usia Shane masih muda,” jawab Robin bijak.

“Sebentar lagi dia tiga puluh. Hanya beberapa bulan lebih muda dari Ethan,” sahut Joseph.

“Dan aku sudah terlalu tua untuk terus menemaninya. Sebelum aku pergi, aku ingin melihat dia menikah, punya keluarga, punya anak-anak yang manis…”

“Jangan bicara seperti itu,” tegas Robin tak senang, matanya menyipit, nada suaranya berubah. “Anda akan melihat Shane menikah dan punya keluarga. Saya yakin.”

Joseph hanya mengangguk pelan. “Ya… aku harap begitu.”

Tiba-tiba, ujung pancing Robin bergerak. Ia menariknya dengan cekatan dan sukses mengangkat seekor ikan kecil yang segera ia masukkan ke dalam cooler box.

“Malam ini aku akan menginap di rumah Ethan. Tidak apa-apa, kan?” tanya Joseph, suaranya ramah.

“Tentu saja. Anda bisa menginap kapan pun anda mau,” jawab Robin senang.

“Mansion itu terlalu sepi. Meski ada pelayan dan penjaga, tetap saja berbeda. Apalagi belakangan ini Shane selalu pulang malam karena lembur. Dia terlalu giat bekerja,” keluh Joseph. “Sekalian aku juga ingin bertemu Emma.”

“Sayang,” panggil sebuah suara lembut dari arah belakang yang di tujukan pada Robin.

Robin menoleh dan melihat Eva berdiri sambil menggendong Nathaniel yang telah tertidur pulas.

“Sudah selesai?” tanya Eva. Robin mengangguk.

“Sudah semakin sore. Sebentar lagi waktunya makan malam. Bagaimana kalau kita sudahi saja?”

“Tentu. Punggungku juga sudah pegal karena duduk terlalu lama,” sahut Joseph, mengelus punggungnya yang terasa kaku.

Robin membereskan semua peralatan pancing, membantu Joseph berdiri, dan menyerahkan tongkatnya. Ia lalu memanggil sopir Joseph agar mendekat dan membantu Joseph berjalan ke mobil. Sementara itu, Robin sendiri membawa cooler box dan perlengkapan memancing mereka.

Sesampainya di mobil, Robin menyerahkan semuanya kepada sopir pribadinya. Sementara Eva dan Nathaniel sudah lebih dulu duduk di kursi belakang.

Kedua mobil pun melaju perlahan, meninggalkan Harlem Meer yang kini mulai diselimuti cahaya temaram senja. Suasana damai, seolah menyimpan banyak harapan yang belum sempat terucap.

Palawakin
Susunod na Kabanata
I-download

Pinakabagong kabanata

Higit pang Kabanata

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Mga Comments

Walang Komento
5 Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status