Pagi telah tiba. Di rumah keluarga Ethan, semua penghuni sudah selesai menikmati sarapan. Suasana terasa hangat dan damai.
Joseph, masih berada di rumah itu. Semalam, Shane gagal membujuknya untuk pulang bersamanya. Kini, sang kakek tengah duduk santai di teras belakang bersama Robin. Ethan sendiri sudah berangkat ke kantor, Eva dan Libbie pergi ke supermarket ditemani seorang pelayan, sementara Emma sedang menemani Nathaniel di di kamar anak kecil itu. “Aunty punya hadiah untukmu,” ucap Emma dengan suara hangat. “Benarkah, Aunty?” sahut Nathaniel dengan mata bulat berbinar dan nada yang penuh antusias. Emma mengangguk sambil tersenyum lembut. “Bagaimana kalau kita ke kamar Aunty dan membongkar koper yang berisi hadiah-hadiah untukmu?” Tanpa ragu, Nathaniel mengangguk penuh semangat. Tawa lembut Emma terdengar ketika ia bangkit dari duduknya dan menggendong Nathaniel. Ia membawa bocah itu menuju kamar yang sementara ditempatinya di rumah Ethan. Sejak kedatangannya dari London kemarin, Emma belum sempat membongkar isi kopernya. Bahkan untuk berganti pakaian pun, ia meminjam baju milik Libbie. Di dalam kamar, Emma mendudukkan Nathaniel di atas tempat tidur, lalu berjalan ke sudut lemari dan menarik keluar koper yang masih terkunci rapi. Ia membawanya ke atas tempat tidur, membuka ritsletingnya perlahan. Tak banyak pakaian yang ia bawa—mungkin hanya tiga atau empat pasang. Selebihnya adalah barang pribadi lainnya dan mainan yang memang sudah ia siapkan sebagai oleh-oleh untuk keponakan kesayangannya. Mata Nathaniel membulat penuh antusias saat melihat berbagai mainan muncul dari dalam koper itu. “Tadaaa!” seru Emma sambil mengangkat sebuah mobil remote control berwarna merah metalik. Salah satu koleksi edisi terbatas yang ia beli di London. “Waaah!” seru Nathaniel senang, tangannya langsung menyambut mainan tersebut. Tak hanya satu. Setelahnya, Emma mengeluarkan helikopter mini, set Lego, kereta kayu, dan sebuah action figure dari karakter Bateman. “Ini semua untuk Nathan?” tanyanya dengan suara polos dan penuh rasa tak percaya. "Tentu saja,” jawab Emma sambil tersenyum. Meskipun Nathaniel mungkin sudah pernah memiliki mainan serupa, tapi bagi anak-anak, hadiah tetaplah menyenangkan—apalagi jika datang dari orang tersayang. “Mana yang ingin dibuka dulu?” tanya Emma. Nathaniel menunjuk mobil remote control itu tanpa ragu. “Oke,” sahut Emma. Ia membuka kemasan mainan tersebut, lalu mencoba memainkannya lebih dulu untuk memastikan semuanya berfungsi dengan baik. “Kita akan main di luar, ya. Tapi Aunty harus merapikan koper dulu,” ujar Emma. Nathaniel mengangguk patuh. **** Di halaman depan, mereka berdua mulai bermain. Nathaniel tertawa riang sambil mengejar mobil mainannya yang melaju di atas tanah berumput, sementara Emma duduk di tepi taman, menikmati momen sederhana yang terasa menyenangkan. Namun kesenangan mereka terusik saat sebuah mobil hitam berhenti dan parkir tak jauh dari tempat mereka bermain. Dari balik kemudi, seseorang keluar—kaki dengan sepatu pantofel hitam menginjak permukaan tanah. Emma mendongak saat Shane keluar dari mobil dan berdiri di dekatnya. Detik berikutnya, tatapan mata keduanya bertemu. Mereka saling menatap dalam diam. Keduanya tak bersuara, seolah waktu sempat berhenti sejenak—hingga suara kecil Nathaniel memecahkan keheningan itu. “Aunty!” panggil Nathaniel. “Apa Kakek masih di dalam?” tanya Shane langsung, tanpa basa-basi. “Iya,” jawab Emma, yang kini sudah berdiri. “Kakak ingin menjemput Kakek Joseph?” tanyanya lagi. “Hmm,” gumam Shane singkat. “Kita belum sempat bicara semalam,” kata Shane, mencoba mengawali percakapan. “Bagaimana kabarmu?” “Baik. Sangat baik,” jawab Emma disertai senyum lembut yang menggantung di bibirnya. “Sudah lama sejak terakhir kita bertemu. Terakhir kali saat—” “Saat Kakak ada pekerjaan di London,” potong Emma halus. “Ah, ya. Sekitar setahun yang lalu,” sahut Shane. “Aunty,” panggil Nathaniel lagi sambil menarik ujung pakaian Emma. “Ada apa, Sayang?” “Aku haus.” “Kalau begitu, ayo kita masuk.” Emma mengulurkan tangan, dan Nathaniel meraihnya. “Ayo, Kak! Kakek Joseph sedang bersama Daddy di teras belakang,” ucap Emma sopan. Shane mengangguk. Mereka berjalan beriringan menuju pintu rumah, dengan Nathaniel di tengah-tengah mereka. Emma segera ke dapur, sedangkan Shane menuju teras belakang, sementara Nathaniel menunggu Emma di ruang tamu. Semakin dekat, ia mulai mendengar suara percakapan antara Robin dan Joseph. “Kakek,” panggil Shane. Joseph menoleh. “Ada apa?” tanyanya. “Aku datang untuk menjemput Kakek.” “Kenapa harus dijemput? Aku bisa menelepon sopir nanti. Lagipula, kau datang terlalu pagi,” keluh Joseph. “Aku harus pergi ke perusahaan,” jawab Shane. “Kalau begitu, pergilah.” “Kakek belum minum obat pagi.” Joseph mendengus. “Dasar bocah menyebalkan.” Akhirnya, meski dengan enggan, Joseph bangkit dari tempat duduk dan memutuskan ikut pulang bersama cucunya. “Kalau begitu, aku pamit dulu,” ucap Joseph kepada Robin. “Nanti kita lanjutkan pembicaraan kita,” jawab Robin sambil membantu Joseph berdiri. Shane mengambil tongkat milik kakeknya dan mereka berpamitan pada Robin. **** Di ruang tamu, mereka kembali bertemu Emma. “Kakek sudah mau pulang?” tanya Emma. “Iya, anak nakal ini menyuruh Kakek pulang,” gerutu Joseph bercanda. “Mainlah ke mansion kalau ada waktu,” katanya lagi. “Tentu, Kakek,” sahut Emma. “Hati-hati di jalan,” ucap Emma sebelum mereka keluar. **** Begitu masuk ke dalam mobil dan Shane menyalakan mesin, Joseph kembali bersuara. “Bagaimana menurutmu?” tanyanya tiba-tiba. “Apa?” Shane menoleh, tidak paham maksud pertanyaan itu. “Tentang Emma. Apa menurutmu dia cantik?” “Ya. Dia cantik,” jawab Shane jujur. “Dan dia baik?” Joseph bertanya lagi. “Baik.” Mobil mulai bergerak menjauh dari rumah Ethan. “Kau menyukainya?” tanya Joseph tanpa basa-basi. “Sebenarnya, apa yang ingin Kakek katakan?” balas Shane, mulai tidak sabar. “Jawab saja dulu.” “Ya, aku menyukainya,” jawab Shane akhirnya. Joseph mulai tersenyum, tapi belum sempat bicara, Shane menyela cepat: “Dia adik temanku, cucu dari Kakek Silas sahabat kakek, dan anak dari Uncle Robin. Jadi aku sudah menganggapnya seperti adik sendiri.” “Kau tidak tertarik padanya sebagai seorang wanita? Bukan sebagai adik?” “Tidak.” Joseph menggeleng-geleng pelan. “Sebenarnya wanita seperti apa yang kau cari?” tanyanya nyaris putus asa. “Entahlah. Belum ada yang membuatku benar-benar tertarik,” sahut Shane, jujur. “Usiamu sebentar lagi tiga puluh tahun. Ethan sudah menikah dan punya anak. Kau seharusnya juga begitu.” “Louis juga belum menikah,” timpal Shane. “Selalu saja kau menjawab seperti itu,” desah Joseph kesal. “Usia kakekmu ini sudah terlalu tua. Kakek tidak tahu sampai kapan Kakek bisa bertahan. Harapan Kakek cuma satu: melihatmu menikah, membangun keluarga, dan memiliki anak-anak yang lucu.” “Kakek!” suara Shane terdengar lebih tegas kali ini. “Berhentilah mengatakan hal seperti itu. Kakek akan tetap sehat, dan kakek akan melihatku menikah.” “Kalau begitu, menikahlah," ujar Joseph “Dengan Emma," lanjutnya. Shane langsung menoleh pada kakeknya, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru ia dengar. “Kakek ingin kau menikah dengan Emma. Perjodohan yang dulu sempat tertunda akan kita lanjutkan kembali—antara dirimu dan Emma,” ucap Joseph mantap.Sementara Emma tengah menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatnya, di tempat lain—tepatnya di sebuah restoran Jepang bergaya tradisional di jantung Manhattan—kedua orang tua Emma mengadakan pertemuan pribadi dengan Joseph dan Shane Dimitri.Di ruang VIP yang terpisah dari keramaian tamu restoran, dua keluarga tersohor di Amerika duduk saling berhadapan. Mereka memilih restoran Jepang bukan tanpa alasan—tempat itu menawarkan suasana tenang, penuh privasi, dan pelayanan yang sangat memperhatikan etika serta kenyamanan tamu eksklusif.Sambil menanti hidangan utama disajikan, mereka terlebih dahulu berbincang ringan sebelum masuk ke topik utama.“Belum ada rencana membuat proyek baru?” tanya Robin, memecah keheningan dengan nada ramah.Shane, duduk dengan postur tenang dan penuh kendali, menjawab, “Belum, Uncle. Saat ini saya masih fokus pada proyek yang sudah berjalan. Mungkin nanti, di waktu yang tepat.”Joseph tersenyum bangga pada cucu satu-satunya itu. “Aku sangat bangga padamu, Sh
Sudah empat hari Emma berada di Amerika, dan dia benar-benar menikmati waktunya bersama keluarga."Sayang, kalian mau pergi ke mana?" tanya Eva dengan senyum hangat, melihat putri dan menantunya sudah tampil rapi dan anggun siang itu."Kami akan bertemu Gwen. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya," jawab Emma sambil memeriksa isi tas tangannya."Kalian membawa Nathaniel juga?" tanya Eva, melirik cucunya yang tampak tampan dengan kemeja kasual biru dan celana khaki."Iya, Mom," jawab Libbie sambil tersenyum."Kenapa tidak pergi berdua saja? Biar Mommy yang menjaga Nathaniel di rumah," tawar Eva dengan tulus."Tidak apa-apa, Mom. Kami bisa membawanya. Aku tidak ingin merepotkan Mommy," balas Libbie sopan."Tidak usah sungkan. Lagipula Mommy senang sekali bermain dengan cucu tampan Mommy ini," ucap Eva sambil mencium pipi Nathaniel.Eva menambahkan, "Kebetulan, Daddy dan Mommy juga akan keluar hari ini. Jadi lebih baik Nathaniel ikut kami saja.""Baiklah kalau begitu, Mom," ucap
Pagi telah tiba. Di rumah keluarga Ethan, semua penghuni sudah selesai menikmati sarapan. Suasana terasa hangat dan damai.Joseph, masih berada di rumah itu. Semalam, Shane gagal membujuknya untuk pulang bersamanya. Kini, sang kakek tengah duduk santai di teras belakang bersama Robin.Ethan sendiri sudah berangkat ke kantor, Eva dan Libbie pergi ke supermarket ditemani seorang pelayan, sementara Emma sedang menemani Nathaniel di di kamar anak kecil itu.“Aunty punya hadiah untukmu,” ucap Emma dengan suara hangat.“Benarkah, Aunty?” sahut Nathaniel dengan mata bulat berbinar dan nada yang penuh antusias.Emma mengangguk sambil tersenyum lembut. “Bagaimana kalau kita ke kamar Aunty dan membongkar koper yang berisi hadiah-hadiah untukmu?”Tanpa ragu, Nathaniel mengangguk penuh semangat.Tawa lembut Emma terdengar ketika ia bangkit dari duduknya dan menggendong Nathaniel. Ia membawa bocah itu menuju kamar yang sementara ditempatinya di rumah Ethan.Sejak kedatangannya dari London kemarin,
Suasana makan malam di rumah Ethan malam itu terasa begitu tenang dan hangat. Aroma rempah dan ikan bakar memenuhi udara, menggoda siapa pun yang ada di dalamnya. Salah satu hidangan utama malam ini adalah ikan bakar segar hasil tangkapan Robin dan Joseph—dua pria yang meski berbeda generasi, tetap akur jika urusan memancing. “Apakah Kakek sudah memberi tahu Shane kalau akan menginap di sini?” tanya Ethan, sambil menuangkan air ke gelasnya. “Aku akan memberitahunya nanti,” jawab Joseph santai, sambil memperhatikan Nathaniel, yang sedang makan dengan lahap. “Lihat itu, dia makan dengan semangat,” gumam Joseph dengan ekspresi gemas. “Aku suka anak-anak yang tidak pilih-pilih makanan. Berbeda dengan Shane waktu kecil—anak itu susah sekali makan. Sampai-sampai harus dibujuk ibunya dengan berbagai cara ,” kenangnya, tersenyum tipis. Joseph menatap keluarga di sekeliling meja makan. ‘Kau sangat beruntung, Silas. Memiliki keluarga yang lengkap, harmonis dan juga hangat.’ ____
Sore itu, langit Manhattan memancarkan warna keemasan yang lembut, menyelimuti pepohonan tinggi di sekitar Harlem Meer dengan cahaya hangat khas musim panas. Angin bertiup ringan, menyapu permukaan danau kecil itu dan membawa serta aroma air yang menenangkan. Di salah satu sisi danau, di bawah rindangnya pohon maple, Robin Van Robert (58) tengah duduk santai di kursi lipat, berdampingan dengan Joseph Dimitri (86), sahabat lama mendiang ayahnya yang telah tiada. Di hadapan mereka, dua batang pancing berdiri tegak, ujung senarnya tenggelam dalam air yang tenang. Tak jauh dari sana, istri Robin—Eva Louisa Watson (55)—duduk di atas alas piknik, bersama cucu mereka yang berusia dua tahun, Nathaniel. Bocah kecil itu tengah asyik menggigit biskuit berbentuk ikan, wajahnya penuh ekspresi ingin tahu yang menggemaskan. “Apakah kau ada urusan bisnis di Manhattan?” tanya Joseph, matanya menatap lurus ke danau, tapi perhatiannya sepenuhnya tertuju pada putra sahabatnya, yang sudah ia anggap sep