Share

2. Keluarga Ku

Kok keluargamu nggak dateng?" tanya salah satu kerabat Roan. 

Aku kembali mengalihkan pandangan ke semua kerabat Roan, mengabaikan Roan yang sedang minum kopi.

"Emb... itu," ucapku terbata-bata.

Memang tidak ada satupun keluargaku yang datang, orang tuaku bercerai, ibuku menikah lagi sejak aku masih kecil. Sementara Bapak kabur meninggalkan banyak hutang. Aku diasuh nenek dan kakekku di kampung dari SD sampai SMP. 

Aku meremas jemari, sulit menjawabnya.

Sebenarnya aku ingin mengundang ibu yang aku ketahui keberadaanya. Hanya saja aku ragu. Berpikir ini hanya pernikahan pura-pura, tidak perlu mengundang. 

Sementara bapakku, aku tidak tahu dia masih hidup atau tidak. Saat aku lulus SMP tiba-tiba dia menjualku ke keluarga Yua untuk membayar hutang. 

"Ibuku ... itu, beliau..." Aku sungguh bingung.

"Kalau udah selesai makan cepat kalian pulang, mau aku pesenin taksi nggak?" tiba-tiba Roan memotong ucapanku. 

"Kami bawa mobil sendiri, nggak perlu." Kerabat Roan menjawab. 

Mereka mengobrol, menenggelamkan pertanyaan yang tidak bisa aku jawab tentang keluarga. 

Dari dulu aku berjuang sendirian, bagiku keluarga adalah sesuatu yang tidak ada. Aku tidak memilikinya. Yang menemaniku sejak masih gelandangan hingga jadi sekretaris CEO Nathanael Grup adalah cita-cita dan impian.

Aku akan jadi orang kaya dan  membeli apartemen impianku, Apartemen Jakarta Living Star Jakarta Timur. Harganya 399 juta. Selama 4 tahun bekerja banting tulang aku menabung mati-matian demi membeli apartemen satu kamar itu. Meskipun terlihat sempit tapi aku suka. 

Dulu aku hanyalah gadis kampung biasa, teman sebayaku kebanyakan sudah menikah dan sebagiannya lagi menjadi TKW. Ada juga yang kerja di pabrik sebagai buruh. 

Jika saja dulu bapak tidak menyuruhku bekerja sebagai pembantu di rumah Yua. Tidak mungkin aku punya kesempatan bersekolah di SMA elite dan kuliah di UI lalu bekerja di kantor Nathanael Grup. 

Aku bisa sampai sejauh ini dengan kerja keras. Aku tidak memiliki orang tua yang mendukung, harus menghidupi diri sendiri dan berjuang sendiri. 

Uang bayaran nikah kontrak adalah 500 juta. Hutang bapak 80 juta, renovasi rumah nenek di desa 100 juta, sisanya untuk tambahan beli apartemen. Akan aku kerahkan semua tabunganku demi apartemen itu. Aku lelah tinggal di kosan sempit bau got.

"Apa kau sudah mengemas barangmu?" tanya Roan meletakkan cangkir kopi.

Para saudara Roan sudah pamit pulang satu persatu. Mamanya Roan hanya datang sebentar kemarin. Tidak mau kumpul bersamaku. Bisa dibilang dia membenci pernikahan kami. Katanya tidak level. 

Tapi aku tidak peduli karena pernikahan ini hanyalah bagian dari pekerjaan. Mendapat restu atau tidak, itu bukan urusanku.

"Sudah, Pak." 

Aku melihat jam tangan, kami harus berpisah sekarang. Aku ingin segera pulang dan bertemu apartemen kesayanganku. Aku baru pindah dua hari lalu, belum selesai meletakkan barang-barang. 

Aku juga belum merenovasi apartemen, hanya kamar dicat warna kuning kesukaanku. Untuk ruang tamu dan dapur belum aku isi. Nunggu gajian. 

Aku benar-benar senang mendapat pekerjaan dadakan ini, tadinya kuperkirakan bisa membeli apartemen itu di usia 30 an. Tidak ku sangka bisa secepatnya ini. 

"Kalau begitu kirim alamat rumahmu, biar Pak Anto mengambil barang-barangmu." 

"Baik, Pak." Aku mengambil ponsel. "Eh, apa?" Kepalaku meneleng, baru sadar ucapannya barusan. "Buat apa Pak Anto ngambil barang-barangku?" 

"Kita akan tinggal serumah selama pernikahan berlangsung," jawabnya. 

"Ehhh...." 

Aku terkejut, mencoba mengingat isi perjanjian pernikahan. Tidak disebutkan bahwa kami harus tinggal bersama. Isi perjanjian yang paling aku ingat adalah privasi akan terjamin dan kami hanya akan menjadi suami istri di hadapan orang-orang. 

"Tapi, Pak. Kayaknya di perjanjian nggak disebut kita harus tinggal bareng." 

"Pasal 7 ayat 1 menyebut bahwa kita tidak boleh ketahuan. Itu berarti kita harus tinggal bersama." 

Tidak boleh! 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status