Share

Bab 3 Kelaparan

last update Last Updated: 2023-07-26 14:33:13

Bab 3 Kelaparan

Meidina lelah. Sepanjang malam bayinya yang baru berusia dua bulan itu rewel terus. Baby Zavia demam. Semalaman ia menggendong putri bungsunya itu hingga menjelang waktu Subuh.

Di samping letih, Meidina juga kelaparan. Dari kemarin perutnya belum diisi makanan. Terakhir sarapan hanya dengan mie instan saja. Sekadar ingin membuat teh manis sebagai pengganjal perut saja, gulanya habis pula.

Meidina bingung. Entah hari ini anak-anaknya masih bisa makan. Sementara isi dompetnya benar-benar kosong. Bahkan uang recehan koin saja tidak ada.

Sayup-sayup terdengar azan Subuh berkumandang dari kejauhan. Meskipun kepalanya terasa berat dan pusing akibat kurang tidur, Meidina memaksakan dirinya untuk segera bangun. Ia bangkit, berjalan sambil berpegangan pada dinding, terhuyung melangkah ke kamar mandi untuk mengambil air wudu.

Selesai melaksanakan sholat Subuh, tidak lupa Meidina berdoa. Memohon untuk diberikan kesabaran dan keluasan rezeki juga mendoakan arwah almarhum suaminya.

Meidina mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah sebagai penutup rangkaian doanya.

Perempuan berstatus janda itu menyusut air mata dari kedua sudut matanya yang basah. Setiap selesai sholat dan berdoa batinnya tenang dan perasaannya terasa lega.

Meidina mengambil mushaf Al-Qur'an yang berada di atas lemari plastik empat susun. Belum sempat membuka lembaran firman Allah, terdengar tangisan bayi menggema di ruangan sempit kontrakan rumahnya.

Meidina meletakkan Al Qur'an kembali ke tempat semula dan melipat mukenanya dengan asal. Dengan terburu-buru ia menghampiri bayinya untuk memberinya ASI. Meski ASI-nya hanya sedikit.

Tangisan bayi itu reda seketika setelah mulutnya tersumpal dengan ASI. Sambil menyusui bayinya, Meidina memperhatikan wajah polos bayinya yang sangat mirip dengan mendiang suaminya.

"Zavia, kasihan kamu, Nak! Kamu belum pernah melihat dan merasakan sentuhan kasih sayang dari ayahmu," bisiknya lirih dengan air mata berderai.

Setiap mengingat Firman, air matanya pasti luruh tanpa bisa ditahannya. Meski sudah tiga bulan berlalu, setiap mengingat suaminya, dadanya masih terasa sesak karena separuh napasnya pergi, meninggalkan ruang hampa di sudut hatinya.

Betapa malangnya nasib bayi Zavia. Ayahnya meninggal saat ia masih berada dalam kandungan. Terbayang kembali saat ia bertaruh nyawa sendirian dalam melahirkan Zavia tanpa di dampingi siapa pun dua bulan yang lalu. Ibu mertua dan saudara iparnya bahkan tidak ada yang datang menengok bayinya.

Kadang Meidina berpikir apa mungkin almarhum suaminya bukan anak kandung ibu mertuanya. Perlakuan keluarga suaminya sering membuatnya sakit hati. Firman seperti anak yang tidak dianggap. Kedua kakak perempuannya di sekolahkan hingga sarjana. Sementara Firman sebagai anak bungsu hanya lulusan SMA.

Pandangan mata Meidina beralih pada dua anaknya yang lain yang tengah tertidur pulas hanya dengan beralaskan kasur busa tipis. Ayara, si sulung yang kini berusia 8 tahun dan duduk kelas dua SD dan adiknya, Bimo yang berusia 5 tahun yang harusnya bersekolah TK. Namun, setelah suaminya meninggal, Bimo keluar dari TK karena Meidina tidak sanggup lagi membayar SPP dan biaya lainnya.

Ketiga buah hatinya harus menjadi anak yatim dalam usia sekecil itu.

Tiga purnama Firman berpulang menghadap Sang Pencipta. Namun, hingga saat ini Medina masih belum bisa benar-benar mengikhlaskan kepergiaan suaminya. Rasa kehilangan, kesedihan yang mendalam dan kesepian. Itu yang masih dirasakannya hingga saat ini.

Betapa saat ini ia sangat merindukan sosok suaminya. Rasanya ia tidak sanggup menahan beban hidup ini sendirian. Menjadi single parent bagi ketiga anaknya juga menghadapi stereotip negatif terkait status janda yang disandangnya kini.

Demi anak-anak, Meidina berusaha bangkit dari keterpurukan. Ia harus kuat dan tangguh. Ia tidak boleh cengeng. Anak-anaknya masih sangat tergantung padanya.

Meidina percaya dengan janji Allah  bahwa  setelah kesulitan akan ada kemudahan. Itu sangat ia yakini kebenarannya. Tanpa ada keraguan sedikit pun.

Nasib orang tiada yang tahu. Disaat usianya baru mau menginjak 28 tahun, Meidina sudah menyandang status janda. Status yang sering dianggap miring.

Keluarga si penabrak suaminya bertanggung jawab dengan memberikan uang damai sebesar seratus juta. Andai saja ibu mertuanya memberikan sedikit saja untuknya, mungkin saat ini Meidina masih memiliki simpanan uang untuk bertahan hidup.

"Astagfirullah hal adzim," ucapnya lirih. Keadaan yang sulit terkadang membuat Meidina masih sering mengeluh dan berandai-andai. Kadang ia lupa untuk bersyukur.

"Bunda ... laper!" Rengekan Bimo menyadarkannya dari lamunan.

Semalam Ayara dan Bimo tidak makan nasi. Siangnya tetangga sebelah kontrakan memberikan semangkok bubur kacang hijau untuk mereka. Pantas saja ketika terbangun di pagi hari perut anaknya terasa lapar. Ia sama sekali sudah tidak mempunyai uang untuk membeli bahan makanan.

"Ya, Allah apa yang harus aku lakukan sekarang?" rintihnya pilu.

Meidina mulai berpikir untuk mencari jalan keluar. Solusi yang pertama kali melintas di benaknya adalah ia akan meminjam uang kepada tetangga sebelah kontrakan. Namun, ia merasa malu terlalu sering meminjam uang kepada Mbak Wangi. Tetangganya itu juga sudah terlalu sering membantunya.

Mau meminjam ke ibu mertua dan saudara iparnya yang mampu, rasanya tak mungkin. Saat almarhum suaminya masih hidup saja, suaminya tidak pernah mau meminjam uang kepada keluarganya sendiri. Meidina yakin suaminya pasti tidak suka andai ia mengemis meminjam kepada saudara iparnya.

Solusi kedua, berhutang ke warung. Di mana ada peraturan tidak tertulis, warung baru buka biasanya tidak mau memberikan utangan. Itu pamali, seperti mitos yang berkembang. Pemilik warung bisa dipastikan tidak akan mau memberikan utangan takut mendapatkan kesialan sepanjang hari

Pembeli pertama adalah pembuka rezeki, sebagai penglaris. Bila pembeli pertama saja sudah berutang, dikhawatirkan sepanjang hari akan banyak pembeli yang datang berutang.

Bila hendak berutang harus ke warung agak siang. Itu pun bila pemilik warung masih mau memberikan utangan. Mengingat utangnya di warung sudah menumpuk.

"Bun, laper mau makan!" Bimo terus-terusan merengek minta makan, membuat batin Medina terasa pedih.

"Sabar, ya, Sayang! Bobok lagi aja, Bim. Di luar rumah juga masih gelap, kok." Meidina berusaha menenangkan putra keduanya, menyuruhnya kembali tidur.

Solusi ketiga, menjual barang. Barang apa yang bisa dijual di kontrakan itu? Perhiasan pun ia tak punya. Satu-satunya perhiasan adalah cincin kawin yang sudah ia jual untuk biaya melahirkan Zavia di bidan dua bulan yang lalu.

Tak ada televisi di rumahnya. Ponselnya pun jadul dan murahan. Tidak ada yang bisa dijual. Ponsel yang di miliki suaminya hilang saat kecelakaan. Ia tak habis pikir ada orang tega mengambil barang berharga milik orang yang telah meninggal.

Tiba-tiba pandangan matanya tertuju pada tumpukan buku tulis bekas dan buku paket tema bekas milik Ayara yang teronggok di sudut ruangan.

Zavia tidur kembali setelah menyusu. Sementara Ayara juga masih tertidur pulas. Meidina bergegas melangkahkan kaki ke warung sayur di ujung jalan, dengan tangan kanan menenteng kantong kresek berisi tumpukan buku bekas. Sementara tangan kiri menggandeng tangan Bimo.

Buku bekas itu biasa untuk membungkus cabai dan bawang. Medina bersyukur buku bekasnya dihargai sepuluh ribu rupiah. Cukup untuk membeli setengah liter beras dan sepotong tempe.

"Alhamdulillah, terima kasih, Ya, Allah untuk rezeki hari ini." Meidina bersyukur hari ini anaknya masih bisa makan.

Selama seminggu kemarin Meidina rutin menitipkan gorengan di warung. Ada bakwan, tempe goreng, pisang goreng, dan ubi goreng. Namun, dagangannya kurang laku hingga modal untuk berjualan pun tergerus habis.

Hari ini Meidina terpikirkan untuk memulung saja, yang tidak membutuhkan modal uang. Almarhum suaminya dulu, sering memulung jika sedang tidak ada pekerjaan di proyek. Ia sudah kenal dengan juragan pengepul barang bekas.

Bersambung ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bayi Telantar di Rumah Sakit    Bab 39 Lingerie (Tamat)

    Bab 39 Lingerie (Tamat)Sepulang dari Pantai Kuta menjelang Maghrib, Meidina ingin segera membersihkan diri. Ia pun lalu membuka koper untuk mengambil baju ganti dan terkejut saat menemukan sebuah kain tipis berenda berada di antara tumpukan pakaian dalamnya."Ini apa? Ini bukan punyaku," gumam Meidina mengernyitkan dahinya. Ditariknya kain tipis berwarna hitam dari dalam koper dan dijembrengnya di depan matanya.Radeva yang duduk di sofa melirik sesuatu yang dipegang istrinya sekilas dan ikut tercengang. Otaknya yang berpikiran kotor langsung traveling membayangkan sepotong kain tipis berenda itu melekat di tubuh sintal istrinya."Nggak mungkin juga itu punyaku," celetuk Radeva sambil menahan tawa melihat betapa polos istrinya. Bisa-bisanya Meidina tidak tahu benda apa yang ada di genggaman tangannya, padahal sudah memiliki tiga anak. Bagi Radeva itu rasanya lucu dan bikin gemas. Meidina menoleh ke arah suaminya yang tertawa pelan. Apanya yang lucu, pikirnya bingung.Melihat ekspres

  • Bayi Telantar di Rumah Sakit    Bah 38 Honeymoon

    Bab 38 Honeymoon Dengan perasaan tak menentu dan berat hati meninggalkan ketiga buah hatinya, Meidina memantapkan diri pergi hanya berdua dengan Radeva untuk honeymoon ke Bali. Meskipun hanya dengan membayangkan saja sudah membuatnya merasa malu. Ia bukan gadis perawan yang baru melepas lajang. Sebagai janda tiga anak, Meidina merasa bulan madu justru membuatnya jengah. Namun, bagaimanapun juga ia sekarang adalah seorang istri yang harus berbakti dan patuh kepada suaminya. Dengan diantar oleh Arfa, sepasang pengantin baru itu berangkat menuju Bandara Soekarno Hatta pagi itu setelah selesai menyantap sarapan.Melihat raut wajah gelisah istrinya, Radeva mencoba untuk menghibur dan menenangkan perempuan yang duduk di sebelahnya. Perempuan yang sudah halal untuk disentuhnya."Nggak perlu khawatir, Din. Anak-anak akan baik-baik saja dalam pengasuh Papa dan Mama," ucap Radeva sambil mengelus punggung tangan istrinya.Seketika Meidina membeku dengan keagresifan Radeva yang tiba-tiba, bera

  • Bayi Telantar di Rumah Sakit    Bab 37 Apa Cemburu Tanda Cinta?

    Bab 37 Apa Cemburu Tanda Cinta?"Itu keponakan lo, Dev?" tanya gadis bertubuh tinggi semampai dan langsing itu mengalihkan pandangannya ke arah bocah lelaki berusia lima tahun yang tengah berjalan menuju ke mobil Pajero warna hitam doff yang terparkir di depan minimarket.Radeva ikut melihat ke arah pandangan mata gadis cantik itu dan menganggukkan kepalanya sedikit ragu. Bimo memang keponakannya dan kini statusnya menjadi anak tirinya. Meski bocah itu keponakannya juga, entah kenapa Radeva seolah ingin menutupi status pernikahannya dari gadis berpenampilan modis yang berdiri di hadapannya. Perempuan dari masa lalunya, cinta pertamanya."Dev, ini kartu nama gue. Mampirlah ke kantor gue kalo senggang," ucap gadis yang mengenakan blouse bermotif floral dan rok span selutut itu seraya memberikan selembar kartu nama.Radeva menerima dan membaca sekilas sebuah kartu berukuran kecil dengan nama Gita Anindya dengan keterangan notaris disertai alamat kantor dan nomor telepon yang bisa dihubun

  • Bayi Telantar di Rumah Sakit    Bab 36 Mengenali Perasaan Sendiri

    Bab 36 Mengenali Perasaan SendiriPukul lima lewat dua puluh lima menit Waktu Indonesia Barat, Radeva masih sibuk berkutat dengan setumpuk berkas yang masih diperiksanya saat Pak Adyatama memasuki ruangan kerjanya.Lelaki paruh baya itu melangkah masuk menghampiri putranya yang tengah serius bekerja di belakang meja. "Belum selesai kerjanya, Dev?" tanyanya penuh perhatian."Iya, Pa," sahut Radeva sambil lalu dengan tatapan mata masih fokus tertuju pada tumpukan kertas yang ada di atas meja kerjanya.Pak Adyatama menghentikan langkahnya di sebelah kursi yang diduduki Radeva, lalu menepuk pelan bahu sang putra. "Kerjanya lanjutin besok aja. Itu kerjaan nggak harus kelar hari ini juga. Pulang sana. Jangan lupa sekalian jemput istrimu di toko!" Radeva sempat ngeleg selama beberapa detik sebelum menyadari bahwa kini ia sudah memiliki seorang istri. Ia hampir lupa dengan statusnya yang sudah tidak lagi lajang. Biasanya ia pulang saat langit sudah gelap. Mulai hari ini kebiasaannya akan ber

  • Bayi Telantar di Rumah Sakit    Bab 35 Masih Canggung

    Bab 35 Masih Canggung Dini hari, pukul dua lewat empat puluh lima menit Waktu Indonesia Barat, seorang perempuan muda dengan rok mini sepaha keluar dari sebuah klub malam, melangkah sendirian menuju mobilnya yang terparkir.Tak lama kemudian mobil itu pun melaju menembus gelapnya malam melewati jalan bebas hambatan dengan kecepatan di atas rata-rata. Perempuan muda itu merasakan mobil yang dikendarainya sedikit oleng. Tak nyaman berkendara tidak stabil, ia lalu mengurangi kecepatan dan menghentikan mobilnya di bahu jalan untuk mengecek kondisi mobilnya.Setelah menghentikan mobilnya di bahu jalan, perempuan muda itu keluar dari mobilnya untuk mengecek keadaan mobilnya."Sial, ban belakang mobil gue bocor!" umpatnya kesal. Perempuan muda itu lalu merogoh kantong jaket jeansnya untuk mengambil ponsel dan segera menghubungi seseorang untuk mencari bantuan."Bang Deva ... ayo angkat dong telponnya," gumamnya tak sabaran.Berkali-kali mencoba menghubungi sang kakak tapi tidak juga diangk

  • Bayi Telantar di Rumah Sakit    Bab 34 Sah

    Bab 34 Sah"Deva, kamu mau 'kan menikahi Dina?" Pak Adyatama menatap lurus putranya yang duduk bersila di atas tikar pandan, berjarak sekitar satu meter darinya. Pria paruh baya itu mengulangi pertanyaan yang sama karena Radeva masih diam tepekur sambil menunduk, tidak lekas memberikan tanggapan maupun jawaban.Lelaki paruh baya itu merasa optimis putranya akan menuruti kemauannya. Hanya kali ini saja Pak Adyatama memutuskan untuk menjadi strict parent. Tindakan kaku dan otoriternya demi kebaikan keluarganya. Ia tahu persis bagaimana selama ini sang putra selalu dihantui penyesalan yang teramat dalam. Radeva akan melakukan apa pun demi menebus dosanya, pikirnya merasa yakin.Sebenarnya Pak Adyatama masih menyimpan sedikit perasaan kecewa terhadap Radeva yang menjadi penyebab kematian Firman, putra sulungnya yang lahir di luar pernikahan dari perempuan yang menjadi cinta pertamanya. Putra yang belum sempat dilihat dan disentuhnya selama hidupnya. Dan itu sungguh disesalkannya, sangat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status