MasukDrazhan duduk sendirian di balik dinding batu tebal, di ruang yang hanya ia kunjungi ketika pikirannya terlalu bising untuk ditenangkan oleh darah orang lain. Lampu temaram menggantung rendah, menciptakan bayangan panjang di lantai seolah ruangan itu penuh hantu yang berdiri diam, menunggu pengakuan.Di tangannya, terdapat segelas minuman keras berwarna gelap. Ia tidak menghitung gelas keberapa. Ia tidak perlu menghitungnya. Alkohol baginya bukan pelarian, melainkan alat untuk membuka pintu-pintu yang biasanya ia segel rapat.Drazhan meneguk perlahan minuman itu. Ia merasakan sensasi seperti api membakar tenggorokan, tapi pikirannya tetap dingin.Selama hidupnya, Drazhan tidak pernah bertanya mengapa. Ia hanya bertanya siapa dan kapan. Siapa yang harus mati. Kapan perintah dijalankan. Dunia selalu sederhana seperti itu.Sampai Alessia datang, semua kini berubah. Ia menyandarkan kepalanya ke kursi, menatap langit-langit batu. Bayangan wajah Alessia muncul tanpa diundang. Tatapan matan
Malam turun perlahan di kediaman Balkan, membawa dingin yang menusuk lebih dalam dari sekadar cuaca. Drazhan berdiri di ambang pintu ruang pribadinya, menatap Alessia yang tengah duduk di sofa dekat jendela besar. Di tangannya, masih ada mawar putih itu. Mawar dari Alexei.Kelopaknya ada beberapa mulai sedikit layu ujungnya karena udara lembap dan kering yang masih melekat di tanah Balkan. Namun Alessia masih menggenggamnya, seolah bunga itu bukan simbol provokasi, melainkan sesuatu yang tak sempat ia pahami maknanya.Rahang Drazhan mengeras. Ia sudah membunuh pria hanya karena tatapan yang terlalu lama. Ia memerintahkan pembantaian hanya karena satu pengkhianatan kecil. Namun kini, ia berdiri diam, dikalahkan oleh benda rapuh bernama bunga.Tangannya mengepal kuat. Harusnya satu perintah saja, bunga itu bisa berubah menjadi abu di perapian. Tapi saat ia melangkah mendekat, matanya menangkap sesuatu yang jarang ia lihat pada Alessia, ia melihat kesedihan yang sunyi. Bukan ketakutan, b
Alexei berdiri di ruang kerja bawah tanahnya, dikelilingi layar-layar gelap yang menampilkan peta Balkan, Montenegro, pelabuhan-pelabuhan tua, dan jalur penyelundupan yang seharusnya sudah mati. Titik-titik merah yang biasanya muncul, pergerakan uang, senjata, atau orang, kini kosong. Terlalu bersih.“Tidak ada apa pun,” lapor Viktor dengan suara tertahan. “Rekening mati, kontak hilang, dan pelabuhan yang disebut Katerina kosong sejak dua hari lalu seolah mereka tidak pernah ada.”Alexei menyandarkan punggungnya ke kursi, jemarinya bertaut di depan wajah. Mata hitamnya tidak menunjukkan frustrasi, hanya ketenangan berbahaya yang biasanya muncul sebelum seseorang lenyap dari dunia.“Orang seperti Seraphine,” katanya pelan, “tidak menghilang. Dia bersembunyi di balik orang lain.”Mikhail meletakkan map tebal di meja. “Kami memerikaa semua jalur lama Ivan Korolev. Tidak ada satu pun yang bergerak. Bahkan nama Sergei tidak lagi disebut. Para broker utara memilih bunuh diri daripada bicara
Taman belakang kediaman Balkan sore itu diselimuti senyap yang aneh. Setelah perang, keheningan tidak lagi terasa damai, suasa justru terasa mencekam karena bayang-bayang kematian masih sangat terasa. Mawar-mawar hitam di sepanjang jalan setapak masih basah oleh embun sore. Di tengah taman, Alessia berdiri sendiri. Gaun gelapnya berkibar pelan tertiup angin, wajahnya pucat namun tenang, seolah ia sedang memaksa dirinya menghirup udara segar meski faktanya, udara sore itu masih berbau mesiu dan darah. Ia tidak tahu bahwa sepasang mata sudah mengamatinya sejak beberapa menit lalu.Alexei berdiri di dekat pilar besar, mantel hitamnya kontras dengan bunga mawar putih yang ia genggam. Mawar itu bersih, terlalu bersih, seperti simbol yang sengaja ia pilih untuk hadiah kemenangan, kemurnian palsu, dan niat yang tidak pernah sederhana. Ia melangkah keluar tanpa suara mendekati Alessia. “Sendirian?” suara Alexei terdengar rendah di belakang Alessia.Hal itu membuat Alessia terkejut dan menol
Kemenangan tidak pernah datang dengan sorak-sorai di Balkan. Semua kemenangan datang di iringi dengan bau mayat yang belum sempat dikubur dan senyap yang terlalu berat untuk dirayakan.Beograd akhirnya diam meski asap masih menggantung rendah, menyelimuti bangunan-bangunan tua yang berlubang peluru. Darah mengalir di jalanan, bercampur hujan tipis yang turun seperti belas kasihan palsu. Mayat-mayat klan utara dan sekutunya dibiarkan tergeletak begitu saja, supaya menjadi sebuah pesan yang tidak perlu diterjemahkan. Semua orang pasti paham, melawan Drazhan penguasa Balkan sama dengan mati. Drazhan berdiri di halaman rumah utamanya, mantel hitamnya basah oleh darah dan hujan. Di sekelilingnya, para penjaga berdiri tegak dengan wajah-wajah keras. “Hitung ulang,” perintah Drazhan tanpa emosi.Rafael menutup radio setelah menerima laporan terakhir. “Tidak ada pergerakan dari utara, Tuan. Jalur suplai mereka hancur total. Para pemimpin bayaran sudah mati atau melarikan diri. Balkan, mena
Perang yang semula hanya mempertemukan Balkan dan utara kini menjalar seperti wabah. Klan-klan kecil dari wilayah Baltik, sisa-sisa jaringan Skandinavia, bahkan kelompok bayaran dari Eropa Timur mulai berdatangan. Mereka tidak datang karena loyalitas, mereka datang karena bau darah dan janji jarahan.Beograd berubah menjadi jantung perang.Ledakan terdengar nyaris tanpa jeda. Malam dan siang kehilangan batas. Asap menutup langit, membuat matahari hanya tampak seperti noda pucat di balik awan mesiu. Jalan-jalan lama Balkan yang sempit kini dipenuhi puing, darah, dan mayat yang bahkan tidak sempat diidentifikasi.“Utara mendapat bantuan dari Riga dan Helsinki,” lapor Rafael di ruang komando darurat. Wajahnya kotor, jaketnya sobek oleh serpihan peluru. “Mereka juga menyewa kelompok bayaran dari timur. Mereka menyerang dengan brutal dan tidak tahu aturan.”Drazhan berdiri di depan peta besar yang kini hampir sepenuhnya berwarna merah. Tatapannya tenang, terlalu tenang. Seolah semua ini su







