LOGINPagi ini, saat berangkat ke kantor, aku berusaha sebisa mungkin terlihat biasa. Ketika berpamitan dengan Mas Ethan, wajah kubuat seceria mungkin, seperti tak ada beban.
Meskipun sebenarnya dalam hati, aku berusaha menekan dalam-dalam semua gejolak yang masih tersisa sejak kemarin. Lebih tepatnya sejak Devan menemuiku di basement. Aku berharap dia sudah lupa jika kami pernah dekat, dan menganggap aku hanyalah sebatas kenangan tak berharga di masa lalu. Namun, harapan itu sepertinya berbanding terbalik dengan kenyataan. Dia masih mengingat semua itu, dan sepertinya ingin membahas kenangan yang ingin kukubur dalam-dalam. Sesampainya di kantor, aku berjalan cepat menuju kubikel. Menata meja, membuka laptop, serta menyiapkan dokumen yang harus kukerjakan. Namun, saat aku baru saja duduk, suasana yang tadinya penuh perbincangan ringan di antara karyawan sebelum bekerja, mendadak sedikit hening Beberapa karyawan mulai membetulkan postur tubuh, sebagian lagi sengaja menunduk dengan pura-pura sibuk. Netraku pun beralih ke arah lift, dan benar saja, sosok itu terlihat. Devan baru saja keluar dari lift. Dia tampak berjalan tenang dengan setelan jas abu gelap, kemeja putih rapi, dan dasi warna gelap. Wajahnya datar, nyaris acuh, hanya sesekali melirik karyawan yang menyapanya dengan hormat. “Pagi, Pak Adrian!” “Selamat pagi ....” Devan menjawab singkat sapaan karyawan, sesekali hanya dengan anggukan kecil atau senyum tipis. Aku memperhatikan sikapnya diam-diam dari balik layar laptop, berusaha terlihat sibuk. Namun, jujur saja mata ini tak bisa sepenuhnya lepas dari sosok Devan. Aura yang melekat padanya, benar-benar berbeda dengan sosok mahasiswa, tetangga apartemen yang dulu kukenal. Devan yang dulu sederhana dan hangat. Namun kini tampak dingin, berjarak, seolah dinding kokoh memisahkannya dari siapa pun di kantor ini. Akan tetapi, entah mengapa, ketika sosoknya melewati area kubikelku, aku merasa langkahnya melambat. Devan memang tidak menoleh, hanya lewat begitu saja. Namun, cukup untuk membuat dadaku kembali bergetar meskipun sudah mati-matian kuredam. Aku buru-buru menunduk, mengetik sembarang di keyboard. Aku harus ingat, aku sudah bersuami, dia atasan sedangkan aku hanya staf biasa di perusahaan miliknya. Aku pun mulai hanyut dengan pekerjaan, hingga akhirnya jam istirahat tiba. Suasana kantor kembali riuh. Ada yang turun ke kantin, ada yang keluar kantor mencari makan siang, dan ada juga yang memesan makanan secara online. “Cleo, mau ikutan ke bawah nggak?" Aku menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku nitip aja, ya. Bisa nggak sekalian beliin makan siang buat aku? Soalnya aku mau ke rumah sakit sebentar, mau ambil tes kesehatan.” Dea mengangkat alis. “Tes kesehatan? Kamu baik-baik aja, 'kan?” Aku buru-buru mengangguk. “Iya, cuma check-up rutin," jawabku beralasan. Padahal sebenarnya hasil tes yang akan kuambil adalah cek kesehatan reproduksi. Dea menatapku sejenak, lalu mengangguk tanpa curiga. “Oke, aku beliin makanan favoritmu aja, ya. Nanti aku taruh di mejamu.” “Thanks, Dea. Aku nggak lama kok, paling cuma sebentar.” Aku menyahut sembari berdiri, dan meraih tas kecil, lalu berjalan keluar. Dea pun tampak mengangguk sembari memberi isyarat jempol. Letak rumah sakit tempat aku mengambil hasil tes, memang tak terlalu jauh dari kantor. Kini aku sudah berhasil di koridor rumah sakit, melangkah pelan menuju bagian laboratorium. Aku berusaha menata hati, apapun hasilnya aku terima dengan hasil tes kesehatan yang kulakukan bersama suamiku beberapa waktu lalu. "Saya mau ambil hasil pemeriksaan, atas nama Cleo Adistya, dan Ethan Mahendra.” Petugas itu tersenyum ramah lalu mengutak-atik komputer, hingga akhirnya dia memberikan sebuah map cokelat tipis. “Ini hasilnya, Bu. Kalau ada yang ingin ditanyakan, atau dikonsultasikan, bisa langsung ke dokter yang menangani.” Aku mengangguk singkat, menerima map itu dengan perasaan campur aduk. Lalu memilih untuk duduk di bangku tunggu yang ada di sudut ruangan. Dengan tangan gemetar, aku membuka map itu perlahan. Jantungku berdebar lebih cepat. Mataku menelusuri lembaran hasil tes, deretan angka dan istilah medis yang sulit kupahami sepenuhnya. Namun, beberapa catatan dokter yang dicetak tebal di bagian bawah membuat napasku tercekat. Aku menutup mulut, mencoba menahan emosi. Air mataku hampir jatuh bersamaan dengan ponsel yang bergetar. Di tengah kekacauan hatiku, sebuah pesan dari suamiku masuk: “Sayang, kamu udah ambil hasil tesnya belum? Gimana hasilnya?” Pesan itu belum kubalas. Aku justru buru-buru menyeka sudut mata, berusaha kuat. Aku harus terlihat baik-baik saja. Untuk saat ini, aku belum bisa menceritakan hasil tes tersebut. Mungkin, aku butuh waktu untuk menenangkan diri sebentar. Akhirnya map itu kututup rapat, kutaruh di dalam tas. Lalu aku berdiri, menegakkan tubuh, berusaha menyembunyikan badai di dalam dada. Aku melangkah pelan di koridor rumah sakit, map hasil tes masih tersimpan rapat di dalam tas. Lampu putih di atas kepalaku terasa terlalu terang, langkah kakiku menggema, membuat kegelisahan di dadaku semakin nyata. Tiba-tiba, ponsel di tanganku bergetar. Nama Ethan muncul jelas di layar. Suamiku. Aku menarik napas panjang sebelum menekan tombol hijau. “Halo, Mas .…” Suaraku kubuat selembut mungkin, meski ada getaran yang kutahan. “Halo, Cleo. Kamu udah di rumah sakit? Gimana, hasilnya udah kamu ambil?” suara Ethan terdengar hangat, penuh perhatian seperti biasanya. Aku berhenti melangkah, berusaha menstabilkan napas untuk menjawab pertanyaannya. “Iya, barusan udah kuambil.” “Terus gimana? Kita berdua sehat, 'kan?" Nada suara Mas Ethan terdengar optimis, penuh keyakinan yang membuat hatiku semakin berat. Aku terdiam sejenak, menatap langit. Jujur saja, aku sekali aku berbagi beban, tapi dengan siapa? "Sayang ...!" “Iya-iya, nanti aku ceritain pas di rumah aja, ya. Sekarang aku mau harus cepet balik ke kantor, ada rapat mendadak." "Oke, hati-hati di jalan. Jangan lupa makan siang, ya. Aku tunggu di rumah.” Aku hanya mengangguk, rasanya begitu berat untuk sekedar memberikan jawaban. Ada rasa bersalah yang memenuhi rongga dada, karena aku menyembunyikan sesuatu darinya, lelaki yang begitu tulus mencintaiku.Di ruang perawatan yang tenang, lampu temaram memantul lembut di dinding putih. Aroma antiseptik masih samar terasa. Cleo, yang tampak sangat letih, perlahan membuka mata. Kelopak matanya berat, tubuhnya masih lemah setelah perjuangan panjang beberapa jam sebelumnya.Napasnya teratur, meski dada masih terasa sesak oleh campuran rasa sakit dan kelegaan. Awalnya pandangannya buram, tapi perlahan-lahan fokusnya kembali.Hal pertama yang pertama dia sadari, adalah rasa nyeri sisa kontraksi yang masih tertinggal di perutnya.Cleo menggerakkan jari sedikit yang terasa kaku, dan lelah. Kemudian, dia berusaha menoleh pelan ke sisi kanan tempat tidur.Di sana bayi kecil itu terlelap di boksnya, dibungkus selimut lembut warna pastel. Pipinya kemerahan, dadanya naik turun hingga membuat hati Cleo hangat seketika. Senyuman kecil, penuh haru, pun terbit di wajahnya."Kamu sudah lahir, Nak. Akhirnya kamu di sini. Mama kuat karena kamu," batin Cleo.Dia menoleh ke sisi kiri, dan detik itu jantungnya
Di sisi lain, di dalam kamar yang sudah dihias indah dengan nuansa putih dan berbagai macam bunga, tirai tipis tergerai pelan tertiup angin dari AC. Kamar itu seharusnya menjadi ruang penuh kebahagiaan pengantin baru. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Chelsea berjalan mondar-mandir. Langkahnya cepat, gelisah, hampir seperti binatang yang terjebak. Kebaya untuk proses siraman sudah menempel sempurna di tubuh, tapi wajahnya pucat dan tegang. Tangannya meremas ponsel tanpa henti.Suara kabar yang dia dengar beberapa saat lalu masih terngiang jelas:“Devan tiba-tiba pergi, Neng. Katanya bawa seorang perempuan hamil yang kontraksi. Dari tadi keluarganya panik nyariin dia.”Chelsea berhenti di tengah kamar, dadanya naik turun cepat.“Perempuan hamil? Itu pasti Cleo! Apa Devan udah gila?” gumamnya, dengan suara bergetar antara marah dan cemas.Chelsea menatap cermin besar di depannya. Riasan yang dia pakai tampak sempurna, bedak, eyeshadow, dan lipstik elegannya tak berubah. Namun tidak
Bu Dina menghela napas napas panjang, dan penuh beban yang dia simpan. Wanita itu menunduk, mencoba menstabilkan emosinya sebelum menjawab.“Devan, sebenarnya Cleo sedang ada masalah rumah tangga.”Devan menatap Bu Dina lebih serius. Seketika dia perasaannya tiba-tiba berubah, antara terkejut, marah, sekaligus bingung.“Masalah apa?”Bu Dina menggigit bibir, menahan tangis yang tiba-tiba menyeruak.“Ethan dan Cleo, sudah lama tidak satu rumah.”Hening menyelimuti ruang tunggu. Devan mematung. Bu Dina melanjutkan, kini dengan mata berkaca-kaca.“Sejak beberapa bulan lalu, Cleo tinggal sendiri.”Devan mengerutkan dahi, hatinya mencelos.“Jadi, selama ini dia nggak sama Ethan?”“Ya, sekitar tiga bulan ini dia hidup terpisah dengan Ethan.”Bu Dina menatap Devan penuh luka, seolah berharap Devan mengerti sesuatu yang tidak dia ucapkan."Dia mengandung tanpa suami di sisinya. Menahan semua sendiri. Bahkan saat sakit pun dia diam. Ibu juga baru tahu dari salah seorang temannya saat Ethan men
Suara Cleo yang melengking lirih itu rupanya terdengar oleh beberapa orang yang sedang menata karpet dan dekorasi di halaman rumah. Tanpa pikir panjang, mereka pun mendekat.Bu Dina panik bukan main, wajahnya berubah merah dan pucat bergantian. Cleo berpegangan pada lengannya, tubuhnya lemas.“Bu, mau saya bantu ke rumah sakit pake mobil? Atau ambulans?”"Minta tolong antar ke rumah sakit ya." "Sebentar ya, saya pinjamkan dulu mobilnya ke pemilik rumah." Satu rasa kencang menghantam lagi, lebih kuat dari sebelumnya."Bawa ke sana dulu aja, Bu!" ujar salah seorang pemuda, sembari menunjuk ke sebuah bangku panjang.Mereka pun membantu memapah Cleo untuk duduk di tempat yang lebih nyaman. Mata Cleo memanas, bukan hanya karena rasa sakit, tapi karena malu, karena tepat di depan rumah Devan, di hari persiapan pernikahan Devan, dia harus mengalami ini.Air mata mengalir, bukan hanya karena kontraksi. Bu Dina berlutut di depannya, memegang kedua tangannya erat-erat.Sementara itu, Devan ya
Dua bulan berlalu, menyisakan jejak waktu yang cukup untuk mengubah hidup Cleo sepenuhnya.Di ruang tengah kontrakan kecil itu, yang kini tampak jauh lebih rapi dan hidup, Cleo duduk di depan meja kayu sederhana. Di hadapannya, beberapa set seserahan kosmetik, baru saja selesai dirangkai.Kotak-kotak kecil berisi skincare, parfum, lipstik, cushion, dan juga berbagai produk perawatan tubuh, berjejer indah di atas tempat anyaman rotan yang dihiasi bunga kering. Sentuhan terakhir, pita satin putih yang dia ikat perlahan. Senyum pun merekah di wajah Cleo.Tangannya, otomatis turun mengelus perutnya yang kini makin membesar. Gerakan halus si kecil di dalam sana membuat dadanya menghangat.“Anak Mama pinter banget ya nggak rewel. Sebentar lagi selesai,” bisiknya lembut, seolah bayi itu mengerti.Tak jauh dari Cleo, Bu Dina sedang duduk bersila di lantai, sibuk membungkus paket-paket untuk dikirim ke reseller. Gunungan bubble wrap, label pengiriman, dan kotak-kotak kecil memenuhi sekitarnya.
Pagi ini, sinar matahari menembus tipis gorden kamar rumah sederhana Cleo. Dia terbangun perlahan, mengusap mata sambil menarik napas panjang. Tubuhnya terasa sedikit lebih berat, efek kehamilan yang semakin jelas, tapi hatinya entah mengapa terasa tenang hari ini.Dia mengambil ponsel yang terselip di bawah bantal. Layar menyala, menampilkan beberapa notifikasi yang menumpuk.“Hmm, banyak DM,” gumamnya pelan.Dia duduk, bersandar pada headboard, lalu mulai membuka satu per satu.DM pertama:Sebuah brand kecil skincare meminta Cleo untuk melakukan review produk mereka. Cleo tersenyum tipis seraya bersyukur.DM kedua:Seseorang menawarkan barter endorse untuk perhiasan handmade.Cleo mencatatnya di memo kecil.Lalu dia membuka DM berikutnya, dan di situlah jari Cleo terhenti. Pesan dari akun baru dengan foto profil random:> “Kak, boleh pesan lip tint-nya 50 pcs? Untuk reseller. Boleh minta pricelist grosirnya?”Cleo membelalakkan mata."Lima puluh?" batinnya seraya membaca ulang. Mema







