Share

Hasil Tes

Author: Miss Secret
last update Last Updated: 2025-08-27 08:31:23

Pagi ini, saat berangkat ke kantor, aku berusaha sebisa mungkin terlihat biasa. Ketika berpamitan dengan Mas Ethan, wajah kubuat seceria mungkin, seperti tak ada beban.

Meskipun sebenarnya dalam hati, aku berusaha menekan dalam-dalam semua gejolak yang masih tersisa sejak kemarin. Lebih tepatnya sejak Devan menemuiku di basement.

Aku berharap dia sudah lupa jika kami pernah dekat, dan menganggap aku hanyalah sebatas kenangan tak berharga di masa lalu. Namun, harapan itu sepertinya berbanding terbalik dengan kenyataan.

Dia masih mengingat semua itu, dan sepertinya ingin membahas kenangan yang ingin kukubur dalam-dalam.

Sesampainya di kantor, aku berjalan cepat menuju kubikel. Menata meja, membuka laptop, serta menyiapkan dokumen yang harus kukerjakan.

Namun, saat aku baru saja duduk, suasana yang tadinya penuh perbincangan ringan di antara karyawan sebelum bekerja, mendadak sedikit hening

Beberapa karyawan mulai membetulkan postur tubuh, sebagian lagi sengaja menunduk dengan pura-pura sibuk.

Netraku pun beralih ke arah lift, dan benar saja, sosok itu terlihat. Devan baru saja keluar dari lift.

Dia tampak berjalan tenang dengan setelan jas abu gelap, kemeja putih rapi, dan dasi warna gelap. Wajahnya datar, nyaris acuh, hanya sesekali melirik karyawan yang menyapanya dengan hormat.

“Pagi, Pak Adrian!”

“Selamat pagi ....”

Devan menjawab singkat sapaan karyawan, sesekali hanya dengan anggukan kecil atau senyum tipis.

Aku memperhatikan sikapnya diam-diam dari balik layar laptop, berusaha terlihat sibuk. Namun, jujur saja mata ini tak bisa sepenuhnya lepas dari sosok Devan.

Aura yang melekat padanya, benar-benar berbeda dengan sosok mahasiswa, tetangga apartemen yang dulu kukenal.

Devan yang dulu sederhana dan hangat. Namun kini tampak dingin, berjarak, seolah dinding kokoh memisahkannya dari siapa pun di kantor ini.

Akan tetapi, entah mengapa, ketika sosoknya melewati area kubikelku, aku merasa langkahnya melambat. Devan memang tidak menoleh, hanya lewat begitu saja. Namun, cukup untuk membuat dadaku kembali bergetar meskipun sudah mati-matian kuredam.

Aku buru-buru menunduk, mengetik sembarang di keyboard. Aku harus ingat, aku sudah bersuami, dia atasan sedangkan aku hanya staf biasa di perusahaan miliknya.

Aku pun mulai hanyut dengan pekerjaan, hingga akhirnya jam istirahat tiba. Suasana kantor kembali riuh. Ada yang turun ke kantin, ada yang keluar kantor mencari makan siang, dan ada juga yang memesan makanan secara online.

“Cleo, mau ikutan ke bawah nggak?"

Aku menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku nitip aja, ya. Bisa nggak sekalian beliin makan siang buat aku? Soalnya aku mau ke rumah sakit sebentar, mau ambil tes kesehatan.”

Dea mengangkat alis. “Tes kesehatan? Kamu baik-baik aja, 'kan?”

Aku buru-buru mengangguk. “Iya, cuma check-up rutin," jawabku beralasan. Padahal sebenarnya hasil tes yang akan kuambil adalah cek kesehatan reproduksi.

Dea menatapku sejenak, lalu mengangguk tanpa curiga. “Oke, aku beliin makanan favoritmu aja, ya. Nanti aku taruh di mejamu.”

“Thanks, Dea. Aku nggak lama kok, paling cuma sebentar.”

Aku menyahut sembari berdiri, dan meraih tas kecil, lalu berjalan keluar. Dea pun tampak mengangguk sembari memberi isyarat jempol.

Letak rumah sakit tempat aku mengambil hasil tes, memang tak terlalu jauh dari kantor. Kini aku sudah berhasil di koridor rumah sakit, melangkah pelan menuju bagian laboratorium.

Aku berusaha menata hati, apapun hasilnya aku terima dengan hasil tes kesehatan yang kulakukan bersama suamiku beberapa waktu lalu.

"Saya mau ambil hasil pemeriksaan, atas nama Cleo Adistya, dan Ethan Mahendra.”

Petugas itu tersenyum ramah lalu mengutak-atik komputer, hingga akhirnya dia memberikan sebuah map cokelat tipis.

“Ini hasilnya, Bu. Kalau ada yang ingin ditanyakan, atau dikonsultasikan, bisa langsung ke dokter yang menangani.”

Aku mengangguk singkat, menerima map itu dengan perasaan campur aduk. Lalu memilih untuk duduk di bangku tunggu yang ada di sudut ruangan. Dengan tangan gemetar, aku membuka map itu perlahan. Jantungku berdebar lebih cepat.

Mataku menelusuri lembaran hasil tes, deretan angka dan istilah medis yang sulit kupahami sepenuhnya. Namun, beberapa catatan dokter yang dicetak tebal di bagian bawah membuat napasku tercekat.

Aku menutup mulut, mencoba menahan emosi. Air mataku hampir jatuh bersamaan dengan ponsel yang bergetar.

Di tengah kekacauan hatiku, sebuah pesan dari suamiku masuk:

“Sayang, kamu udah ambil hasil tesnya belum? Gimana hasilnya?”

Pesan itu belum kubalas. Aku justru buru-buru menyeka sudut mata, berusaha kuat. Aku harus terlihat baik-baik saja. Untuk saat ini, aku belum bisa menceritakan hasil tes tersebut. Mungkin, aku butuh waktu untuk menenangkan diri sebentar.

Akhirnya map itu kututup rapat, kutaruh di dalam tas. Lalu aku berdiri, menegakkan tubuh, berusaha menyembunyikan badai di dalam dada.

Aku melangkah pelan di koridor rumah sakit, map hasil tes masih tersimpan rapat di dalam tas. Lampu putih di atas kepalaku terasa terlalu terang, langkah kakiku menggema, membuat kegelisahan di dadaku semakin nyata.

Tiba-tiba, ponsel di tanganku bergetar. Nama Ethan muncul jelas di layar. Suamiku.

Aku menarik napas panjang sebelum menekan tombol hijau. “Halo, Mas .…”

Suaraku kubuat selembut mungkin, meski ada getaran yang kutahan.

“Halo, Cleo. Kamu udah di rumah sakit? Gimana, hasilnya udah kamu ambil?” suara Ethan terdengar hangat, penuh perhatian seperti biasanya.

Aku berhenti melangkah, berusaha menstabilkan napas untuk menjawab pertanyaannya.

“Iya, barusan udah kuambil.”

“Terus gimana? Kita berdua sehat, 'kan?"

Nada suara Mas Ethan terdengar optimis, penuh keyakinan yang membuat hatiku semakin berat.

Aku terdiam sejenak, menatap langit. Jujur saja, aku sekali aku berbagi beban, tapi dengan siapa?

"Sayang ...!"

“Iya-iya, nanti aku ceritain pas di rumah aja, ya. Sekarang aku mau harus cepet balik ke kantor, ada rapat mendadak."

"Oke, hati-hati di jalan. Jangan lupa makan siang, ya. Aku tunggu di rumah.”

Aku hanya mengangguk, rasanya begitu berat untuk sekedar memberikan jawaban. Ada rasa bersalah yang memenuhi rongga dada, karena aku menyembunyikan sesuatu darinya, lelaki yang begitu tulus mencintaiku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Benih Terlarang Bos Brondongku   Di Lift

    Aku spontan menoleh, meskipun ada rasa tegang menyergap.“Kita sudah sampai.”Aku buru-buru mengalihkan pandangan ke luar jendela. Benar saja, mobil sudah berhenti di lokasi rapat yang disebutkan Pak Andra tadi.“Oh ....” Aku berusaha terdengar biasa, walau suaraku sedikit serak. “Baik.”Aku segera meraih tas, membuka pintu mobil. Seketika, angin luar menerpa wajahku, membawa sedikit kelegaan.Devan keluar lebih dulu, memberi isyarat singkat pada staf yang sudah menunggu, lalu berjalan mendahuluiku menuju pintu gedung.Aku menarik napas panjang, mengumpulkan ketenangan. "Profesional, Cleo. Ingat, kamu ada di sini untuk bekerja," batinku dalam hati Aku pun mengikuti di belakangnya, bersiap menghadapi rapat, dan juga menghadapi diriku sendiri.Begitu memasuki gedung, kami diarahkan ke lift untuk menuju ruang rapat di lantai atas. Aku melangkah masuk bersama Devan, hanya berdua kali ini, karena staf yang mengantar, harus menjemput rekan bisnis yang lain. Awalnya semua berjalan normal

  • Benih Terlarang Bos Brondongku   Meeting di Luar

    Pagi ini, aku duduk di depan meja rias cukup lama. Bedak tipis, dan lipstik samar sudah kupulas, tapi wajahku masih saja terlihat sendu. Semalaman aku hampir tak tidur, bukan hanya karena pikiranku sendiri yang kalut, tapi juga karena Mas Ethan. Dia sangat gelisah, berulang kali bangun, dan aku langsung memeluknya, mengusap punggungnya, sambil berusaha menenangkan. Aku paham bagaimana kondisi mentalnya yang cukup tertekan, dan juga amarah yang masih menggeloraAku menarik napas panjang, lalu bangkit dari meja rias, dan meraih tas kerja. Mas Ethan masih tertidur, wajahnya pun tampak letih. Sebelum pergi, aku sempat menatapnya lama dari ambang pintu kamar, ingin membangunkannya hanya untuk berkata aku berangkat dulu, tapi kuurungkan. Aku tak mau mengganggunya. Biarlah, dia butuh istirahat untuk menenangkan tubuh, dan jiwanya. Perjalanan menuju kantor pagi ini, terasa lebih lama dari biasanya. Mungkin, sebenarnya sama seperti hari-hari kemarin. Hanya saja, otak dan hatiku terasa penu

  • Benih Terlarang Bos Brondongku   Map Cokelat

    Langit terlihat berwarna jingga keemasan, saat aku tiba di rumah. Bagiku, hari ini adalah hari terburuk yang pernah kualami.Sepintas aku menoleh ke arah garasi, dan tak melihat mobil suamiku terparkir di sana. Ini artinya, Mas Ethan belum pulang.Aku pun bergegas melangkah masuk ke rumah. Begitu pintu rumah tertutup rapat, aku langsung menjatuhkan tubuhku ke sofa, lalu menangis.Tangisan yang mati-matian kutahan sejak berada di rumah sakit, dan di kantor.Sungguh rasanya begitu berat. Bekerja di tengah campur aduknya perasaan membuatku tak fokus. Namun, sebagai seorang budak corporate, aku bisa apa? Selain berusaha meredam gejolak emosional yang bergelayut di dada.Dengan tangan gemetar, aku meraih tas, menarik map cokelat. Map yang sejak siang tadi terasa seperti bom waktu di hidupku.Perlahan kubuka amplop itu kembali, meski aku tahu apa yang kulihat, hasilnya tak akan berubah.Mataku menelusuri tulisan dokter—hitam, tegas, dan kejam.“Azoospermia. Jumlah sperma: 0. Kualitas sperma

  • Benih Terlarang Bos Brondongku   Hasil Tes

    Pagi ini, saat berangkat ke kantor, aku berusaha sebisa mungkin terlihat biasa. Ketika berpamitan dengan Mas Ethan, wajah kubuat seceria mungkin, seperti tak ada beban. Meskipun sebenarnya dalam hati, aku berusaha menekan dalam-dalam semua gejolak yang masih tersisa sejak kemarin. Lebih tepatnya sejak Devan menemuiku di basement.Aku berharap dia sudah lupa jika kami pernah dekat, dan menganggap aku hanyalah sebatas kenangan tak berharga di masa lalu. Namun, harapan itu sepertinya berbanding terbalik dengan kenyataan. Dia masih mengingat semua itu, dan sepertinya ingin membahas kenangan yang ingin kukubur dalam-dalam. Sesampainya di kantor, aku berjalan cepat menuju kubikel. Menata meja, membuka laptop, serta menyiapkan dokumen yang harus kukerjakan.Namun, saat aku baru saja duduk, suasana yang tadinya penuh perbincangan ringan di antara karyawan sebelum bekerja, mendadak sedikit heningBeberapa karyawan mulai membetulkan postur tubuh, sebagian lagi sengaja menunduk dengan pura-p

  • Benih Terlarang Bos Brondongku   Masa Lalu

    Perlahan aku menoleh, dan benar saja, di antara deretan mobil yang terparkir di basement, sosok tinggi dengan jas yang kini sudah dilepas dan dasi yang longgar berdiri menatapku.Dialah Devan.Dia berjalan mendekat, langkahnya tenang, dengan sorot mata tajam yang tak pernah berubah sejak dulu."Cleo, apa kabar? Kamu masih inget aku, 'kan?" Aku menelan ludah, mencoba meredam degup jantungku yang kian kencang."Iya, aku ingat. Kamu keliatan berbeda."Senyum tipis pun tersungging di bibir Devan. Laki-laki yang usianya jauh lebih muda di bawahku itu, kini berjalan mendekat. “Cleo, saat itu sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan, tapi ....”Dadaku serasa diremas. Meskipun aku tak tahu apa yang akan dia katakan, tapi mungkin aku tahu ke mana arahnya."Saat itu kamu tiba-tiba pergi ....” Aku langsung memotong pembicaraannya, seolah tak ingin memberi kesempatan untuk membahas masa lalu. Ada jeda hening yang panjang. Kudengar hembusan napasnya berat. "Iya, saat itu aku yang udah janji, ta

  • Benih Terlarang Bos Brondongku   Aku mengenalnya

    Beberapa saat kemudian, kasak-kusuk di antara karyawan kian kencang ketika sebuah mobil mewah berwarna hitam perlahan berhenti tepat di depan lobby gedung.Ketika pintu terbuka, serentak semua mata karyawan tertuju pada sosok yang keluar dari mobil tersebut. Aku pun ingin melihatnya. Namun, karena jarak yang masih cukup jauh, aku belum bisa melihat dengan jelas.“Itu bos baru kita?” bisik seseorang di sampingku."Iya, itu Pak Adrian Devan Pratama."Mendengar nama itu disebut kembali, otakku seketika berpikir keras, sembari mengingat lembar demi lembar masa lalu yang pernah kulewati. Entah mengapa nama itu, sepertinya tak asing. Namun, pernah terpatri di sudut ingatan. Seiring berjalannya sosok Adrian menuju gedung, akhirnya dari balik kerumunan, aku bisa melihat sosok tersebut.Akan tetapi, saat melihat sosok itu, seketika mataku terbuka lebar, diiringi tanda tanya yang menyeruak di dalam dada. Rasanya, aku tak percaya, siapa laki-laki yang menjadi bosku.Namun, mataku tak mungkin sa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status