LOGINPerlahan aku menoleh, dan benar saja, di antara deretan mobil yang terparkir di basement, sosok tinggi dengan jas yang kini sudah dilepas dan dasi yang longgar berdiri menatapku.
Dialah Devan. Dia berjalan mendekat, langkahnya tenang, dengan sorot mata tajam yang tak pernah berubah sejak dulu. "Cleo, apa kabar? Kamu masih inget aku, 'kan?" Aku menelan ludah, mencoba meredam degup jantungku yang kian kencang. "Iya, aku ingat. Kamu keliatan berbeda." Senyum tipis pun tersungging di bibir Devan. Laki-laki yang usianya jauh lebih muda di bawahku itu, kini berjalan mendekat. “Cleo, saat itu sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan, tapi ....” Dadaku serasa diremas. Meskipun aku tak tahu apa yang akan dia katakan, tapi mungkin aku tahu ke mana arahnya. "Saat itu kamu tiba-tiba pergi ....” Aku langsung memotong pembicaraannya, seolah tak ingin memberi kesempatan untuk membahas masa lalu. Ada jeda hening yang panjang. Kudengar hembusan napasnya berat. "Iya, saat itu aku yang udah janji, tapi aku nggak datang karena aku nggak mau ganggu kamu sama kekasihmu ....” "Yang pernah terjadi dulu, cuma kesalahan pahaman. Kita udah bahagia dengan kehidupan masing-masing. Aku juga udah nikah. Jadi, sepertinya nggak usah membahas masa lalu." Aku menggenggam kunci mobilku erat-erat, menunduk, mencoba mengatur napas. “Permisi, aku pulang dulu." Tanpa menunggu jawaban Devan, aku buru-buru masuk ke dalam mobil. Namun saat aku mulai menghidupkan mesin mobil, aku bisa melihat matanya yang masih menatapku penuh arti, tatapan yang tak pernah benar-benar berubah sejak dulu. Aku mencoba bersikap biasa, seolah tak peduli dengan keberadaannya yang masih mematung. Mungkin, sikapku terlihat arogan. Namun, masa bodoh, aku hanya ingin bersikap profesional, aku cuma ingin berinteraksi sebagai atasan, dan bawah, tidak lebih. Selain itu, aku juga merasa harus membatasi diri, karena aku sudah memiliki suami. Aku pun melajukan mobil keluar dari basement, meninggalkan bayangan Devan yang masih berdiri di sana. Kupikir, setelah menjauh darinya, aku jauh lebih tenang. Namun, begitu melewati portal keluar dan masuk ke jalan raya, pikiranku masih saja kacau. Perkataan Devan, dan masa lalu itu seketika menghantui kembali. Riuhnya suara klakson yang bersahutan, dan gema degup jantungku sendiri, kian membuat fokusku pecah, hingga hampir saja menyenggol seorang pengendara motor. Tak mau semakin kacau, aku pun bergegas menyalakan lampu sein dan menepikan mobil di pinggir jalan. Napas kutarik dalam-dalam sepenuh dada, lalu kuhembuskan perlahan, berulang kali, berusaha menenangkan diri. Keningku kutempelkan ke setir, sembari terus meyakinkan diri jika aku sudah menikah. Aku punya suami yang kucintai. Aku memejamkan mata, membiarkan air mata jatuh. “Cleo, jangan bodoh, masa lalu yang pernah terjadi itu semua ketidaksengajaan karena terbawa suasana." Pikiranku mendadak melayang ke masa lalu, malam yang tak pernah benar-benar hilang dari ingatan, meski sudah kucoba kubur dalam-dalam. Kala itu ketika aku masih bertetangga dengan Devan. Malam di mana hujan, listrik mati mendadak, dan lorong gelap gulita. Aku panik, berdiri di depan pintu dengan lilin kecil di tangan. Lalu pintu di sebelah terbuka, menampilkan Devan sembari memegang senter dari ponselnya. Dia mendekat, lalu tanpa banyak bicara menarikku masuk ke unit apartemennya. Lampu darurat kecil menyala redup di ruangan. Kami duduk berdua di lantai, beralaskan karpet tipis, sementara hujan deras mengetuk kaca jendela. Aku masih ingat jelas detik demi detik yang kami lalui. Tatapannya waktu itu, begitu lembut. Lalu entah bagaimana, perbincangan ringan berubah menjadi diam panjang yang menegangkan. Malam itu, dalam temaram cahaya darurat, sesuatu yang romantis terjadi sesuatu di antara kami. Sesuatu yang terlalu yang terlalu berbahaya untuk dilanjutkan. Karena saat itu, aku sudah berstatus sebagai tunangan Ethan. Aku menutup mata sejenak, mencoba menepis ingatan itu. Namun, begitu sulit saat melihat sosoknya kembali hadir. Setelah setengah jam aku termenung, akhirnya napasku mulai stabil. Dengan sisa tenaga, aku mengusap pipi, menegakkan tubuh, dan menggenggam setir, dan melakukan mobil. Beberapa saat kemudian, akhirnya aku sudah sampai di rumah. Lampu teras sudah menyala, ini artinya suamiku sudah pulang terlebih dulu. Suamiku memang sudah tak lagi bekerja. Saat ini, dia mengelola cafe yang dibangun, dengan modal yang dia dapatkan, saat bekerja di luar negeri selama beberapa tahun sebelum kami menikah. Aku menarik napas panjang sebelum membuka pintu. Aku harus terlihat tenang di depannya. Begitu masuk, aroma masakan langsung menyambut. Suamiku sedang duduk di ruang makan, masih dengan pakaian rumah, menatapku sambil tersenyum hangat. “Akhirnya pulang juga, Sayang.” Aku buru-buru membalas senyumnya, meski terasa kaku. “Iya, lumayan padat. Banyak briefing, jadi pulangnya agak telat.” Dia bangkit, berjalan menghampiri, lalu meraih tas kerja dari tanganku. “Kamu pasti belum makan. Aku udah siapin makan malam. Yuk, kita makan bareng.” Aku mengangguk, agar terlihat baik-baik saja. Meskipun rasanya aku tak berselera untuk makan. “Gimana bos baru kamu? Orangnya ramah nggak?” tanya Mas Ethan dengan santai, dan raut wajah tenang. Aku nyaris tersedak, tapi segera kuredam dengan senyuman setenang mungkin. “Ya, cukup ramah, tegas, masih muda, dan semua orang masih menyesuaikan kinerjanya yang sedikit berbeda sama Pak Baskoro." Suamiku mengangguk tanpa curiga, lalu sibuk menceritakan aktivitasnya hari ini di cafe. Aku hanya bisa mendengarkan, sesekali menimpali, dan terlihat antusias dengan ceritanya. Akan tetapi, di balik senyum dan kata-kata tenangku, ada badai di dada yang sedang, dan hanya aku yang tahu betapa sulitnya situasi ini. Duduk di hadapan suamiku, sekaligus laki-laki yang kucintai, sementara bayangan lelaki lain dari masa lalu masih membayang jelas di benakku. "Oh ya sayang, besok ada reservasi party di cafe, kayaknya aku sibuk. Kalo sempet kamu yang ambil hasil tes kesehatan kita ya." "Iya Mas ...."Di ruang perawatan yang tenang, lampu temaram memantul lembut di dinding putih. Aroma antiseptik masih samar terasa. Cleo, yang tampak sangat letih, perlahan membuka mata. Kelopak matanya berat, tubuhnya masih lemah setelah perjuangan panjang beberapa jam sebelumnya.Napasnya teratur, meski dada masih terasa sesak oleh campuran rasa sakit dan kelegaan. Awalnya pandangannya buram, tapi perlahan-lahan fokusnya kembali.Hal pertama yang pertama dia sadari, adalah rasa nyeri sisa kontraksi yang masih tertinggal di perutnya.Cleo menggerakkan jari sedikit yang terasa kaku, dan lelah. Kemudian, dia berusaha menoleh pelan ke sisi kanan tempat tidur.Di sana bayi kecil itu terlelap di boksnya, dibungkus selimut lembut warna pastel. Pipinya kemerahan, dadanya naik turun hingga membuat hati Cleo hangat seketika. Senyuman kecil, penuh haru, pun terbit di wajahnya."Kamu sudah lahir, Nak. Akhirnya kamu di sini. Mama kuat karena kamu," batin Cleo.Dia menoleh ke sisi kiri, dan detik itu jantungnya
Di sisi lain, di dalam kamar yang sudah dihias indah dengan nuansa putih dan berbagai macam bunga, tirai tipis tergerai pelan tertiup angin dari AC. Kamar itu seharusnya menjadi ruang penuh kebahagiaan pengantin baru. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Chelsea berjalan mondar-mandir. Langkahnya cepat, gelisah, hampir seperti binatang yang terjebak. Kebaya untuk proses siraman sudah menempel sempurna di tubuh, tapi wajahnya pucat dan tegang. Tangannya meremas ponsel tanpa henti.Suara kabar yang dia dengar beberapa saat lalu masih terngiang jelas:“Devan tiba-tiba pergi, Neng. Katanya bawa seorang perempuan hamil yang kontraksi. Dari tadi keluarganya panik nyariin dia.”Chelsea berhenti di tengah kamar, dadanya naik turun cepat.“Perempuan hamil? Itu pasti Cleo! Apa Devan udah gila?” gumamnya, dengan suara bergetar antara marah dan cemas.Chelsea menatap cermin besar di depannya. Riasan yang dia pakai tampak sempurna, bedak, eyeshadow, dan lipstik elegannya tak berubah. Namun tidak
Bu Dina menghela napas napas panjang, dan penuh beban yang dia simpan. Wanita itu menunduk, mencoba menstabilkan emosinya sebelum menjawab.“Devan, sebenarnya Cleo sedang ada masalah rumah tangga.”Devan menatap Bu Dina lebih serius. Seketika dia perasaannya tiba-tiba berubah, antara terkejut, marah, sekaligus bingung.“Masalah apa?”Bu Dina menggigit bibir, menahan tangis yang tiba-tiba menyeruak.“Ethan dan Cleo, sudah lama tidak satu rumah.”Hening menyelimuti ruang tunggu. Devan mematung. Bu Dina melanjutkan, kini dengan mata berkaca-kaca.“Sejak beberapa bulan lalu, Cleo tinggal sendiri.”Devan mengerutkan dahi, hatinya mencelos.“Jadi, selama ini dia nggak sama Ethan?”“Ya, sekitar tiga bulan ini dia hidup terpisah dengan Ethan.”Bu Dina menatap Devan penuh luka, seolah berharap Devan mengerti sesuatu yang tidak dia ucapkan."Dia mengandung tanpa suami di sisinya. Menahan semua sendiri. Bahkan saat sakit pun dia diam. Ibu juga baru tahu dari salah seorang temannya saat Ethan men
Suara Cleo yang melengking lirih itu rupanya terdengar oleh beberapa orang yang sedang menata karpet dan dekorasi di halaman rumah. Tanpa pikir panjang, mereka pun mendekat.Bu Dina panik bukan main, wajahnya berubah merah dan pucat bergantian. Cleo berpegangan pada lengannya, tubuhnya lemas.“Bu, mau saya bantu ke rumah sakit pake mobil? Atau ambulans?”"Minta tolong antar ke rumah sakit ya." "Sebentar ya, saya pinjamkan dulu mobilnya ke pemilik rumah." Satu rasa kencang menghantam lagi, lebih kuat dari sebelumnya."Bawa ke sana dulu aja, Bu!" ujar salah seorang pemuda, sembari menunjuk ke sebuah bangku panjang.Mereka pun membantu memapah Cleo untuk duduk di tempat yang lebih nyaman. Mata Cleo memanas, bukan hanya karena rasa sakit, tapi karena malu, karena tepat di depan rumah Devan, di hari persiapan pernikahan Devan, dia harus mengalami ini.Air mata mengalir, bukan hanya karena kontraksi. Bu Dina berlutut di depannya, memegang kedua tangannya erat-erat.Sementara itu, Devan ya
Dua bulan berlalu, menyisakan jejak waktu yang cukup untuk mengubah hidup Cleo sepenuhnya.Di ruang tengah kontrakan kecil itu, yang kini tampak jauh lebih rapi dan hidup, Cleo duduk di depan meja kayu sederhana. Di hadapannya, beberapa set seserahan kosmetik, baru saja selesai dirangkai.Kotak-kotak kecil berisi skincare, parfum, lipstik, cushion, dan juga berbagai produk perawatan tubuh, berjejer indah di atas tempat anyaman rotan yang dihiasi bunga kering. Sentuhan terakhir, pita satin putih yang dia ikat perlahan. Senyum pun merekah di wajah Cleo.Tangannya, otomatis turun mengelus perutnya yang kini makin membesar. Gerakan halus si kecil di dalam sana membuat dadanya menghangat.“Anak Mama pinter banget ya nggak rewel. Sebentar lagi selesai,” bisiknya lembut, seolah bayi itu mengerti.Tak jauh dari Cleo, Bu Dina sedang duduk bersila di lantai, sibuk membungkus paket-paket untuk dikirim ke reseller. Gunungan bubble wrap, label pengiriman, dan kotak-kotak kecil memenuhi sekitarnya.
Pagi ini, sinar matahari menembus tipis gorden kamar rumah sederhana Cleo. Dia terbangun perlahan, mengusap mata sambil menarik napas panjang. Tubuhnya terasa sedikit lebih berat, efek kehamilan yang semakin jelas, tapi hatinya entah mengapa terasa tenang hari ini.Dia mengambil ponsel yang terselip di bawah bantal. Layar menyala, menampilkan beberapa notifikasi yang menumpuk.“Hmm, banyak DM,” gumamnya pelan.Dia duduk, bersandar pada headboard, lalu mulai membuka satu per satu.DM pertama:Sebuah brand kecil skincare meminta Cleo untuk melakukan review produk mereka. Cleo tersenyum tipis seraya bersyukur.DM kedua:Seseorang menawarkan barter endorse untuk perhiasan handmade.Cleo mencatatnya di memo kecil.Lalu dia membuka DM berikutnya, dan di situlah jari Cleo terhenti. Pesan dari akun baru dengan foto profil random:> “Kak, boleh pesan lip tint-nya 50 pcs? Untuk reseller. Boleh minta pricelist grosirnya?”Cleo membelalakkan mata."Lima puluh?" batinnya seraya membaca ulang. Mema







