Share

Benih Yang Kau Tanam
Benih Yang Kau Tanam
Penulis: Ai Ueo

Anak Haram?

Bab 1 : Anak Haram

"Apakah dia anak itu?" tanya seorang wanita pada Rania, "bukankah dulu aku sudah memintamu untuk menggugurkannya?"

Rania tertawa lalu berkata, "sudah, tapi sepertinya dia terlalu kuat. Mungkin untuk menunjukkan bahwa dia bisa melindungi ibunya dari orang-orang jahat yang ingin membunuh mereka dulu, dan sialnya mereka adalah ayah dan tante dari anak itu."

Rahang wanita di sebelah Rania mengeras, ia benar-benar emosi melihat anak yang di bawa mantan sahabatnya ke wilayahnya begitu mirip dengan kakaknya, "jangan pernah macam-macam, kalau sampai karir kakakku hancur, aku tidak akan memaafkanmu!" ancam wanita itu pada Rania.

"Lucu sekali, bukankah di sini aku adalah korban? Tapi mengapa kalian bersikap seolah aku adalah tersangka?" Rania mengatur emosinya, "kalau malam itu kamu tidak memberiku obat sialan itu, semua itu tidak akan terjadi. Kakakmu yang tega merenggut masa depanku, menitipkan benihnya di rahimku. Menjanjikan sebuah tanggung jawab tapi malah menikah dengan orang lain, lalu mengancam akan menggagalkan pernikahan kakakku kalau aku membuka suara. Tapi mengapa sekarang aku yang seolah berbuat jahat pada kalian?"

"Kamu sudah hidup bahagia di luar sana, mengapa harus kembali ke sini?"

"Jangan lupa, ini juga tanah kelahiranku. Ada keluargaku di sini. Kenapa itu jadi masalah buatmu?"

"Apa sebenarnya yang kamu rencanakan, kamu ingin balas dendam?" ucap wanita itu berapi-api.

"Balas dendam? Sejahat apa kamu dulu, hingga takut aku akan balas dendam. Apa begitu susah untuk meminta maaf?" ujar Rania tanpa meninggikan suaranya.

Wanita itu adalah Sinta, sahabat Rania, dulu. Mereka dulu begitu akrab hingga tidak terpisahkan, Sinta pula yang membuat Rania bisa berpacaran dengan Andra, kakak Sinta. Suatu malam saat ulang tahun Sinta, ia mengajak Rania, Andra dan sedikit teman mereka untuk merayakan ulang tahun Sinta. Rania sempat menolak tapi Sinta terus memaksa.

"Wanita seperti kamu memang pantas mendapat nasib buruk. Kamu yang lebih dulu merebut orang yang kucintai. Aku hanya membalas sakit hatiku," ujar Sinta ketus.

"Apa kita bisa mengatur perasaan orang. Aku dulu begitu baik padamu. Menolak lelaki yang dengan gencar mengejarku. Namun, ternyata kamu begitu kejam. Andai waktu bisa diputar, aku akan memilih menerimanya dan hidup bahagia dengannya. Tanpa peduli perasaan sahabat yang tega merusak masa depanku."

"Pergi dari sini secepatnya!" Lagi-lagi Sinta mengancam Rania.

"Mengapa kamu harus takut? Bukankah setiap perbuatan ada karmanya, entah itu baik atau buruk."

Ini bukan mau Rania, sejujurnya ia tidak mau kembali ke tempat ini. Selama empat belas tahun ia meninggalkan tempat ini, jika bukan karena ibunya sakit dan sang kakak merengek memintanya pulang, ia tidak akan menginjakkan kakinya di sini.

Baru kemarin ia datang, tapi semua orang sudah heboh dengan kehadirannya. Bagaimana tidak, Rania datang dengan seorang anak remaja dengan paras yang begitu mirip kepala desa mereka. Kasak kusuk mulai terdengar, ada yang bilang Rania begitu membenci Andra saat ia hamil dulu, makanya anaknya bisa semirip itu. Ada pula yang mengatakan anak itu memang anak Andra sang kepala desa.

Tahun ini Andra akan maju ke dunia politik, ia akan mencalonkan diri sebagai anggota DPR. Hal itu pulalah yang membuat langkah Sinta sampai di rumah ibu Rania, ingin menemui mantan sahabatnya dan menutup kemungkinan buruk. Jangan sampai karena kehadiran Rania dan anaknya, membuat pencalonan sang kakak menjadi gagal.

"Kakakku sudah bahagia dengan keluarganya, jangan sampai impiannya menjadi anggota dewan gagal hanya karena kamu membawa anak haram itu. Pergi dari sini, aku akan memberi berapa pun uang yang kamu minta," ucap Sinta.

"Seratus miliyar," ujar Rania.

"Gila kamu!" hardik Sinta.

"Bukankah tadi kamu menyatakan berapa pun? Lalu kenapa kamu terkejut. Membesarkan anak seorang diri, hingga dia bisa sebesar itu. Kamu kira itu murah? Aku yakin, uang bukanlah hal yang sulit untuk kalian," ucap Rania dengan senyum miring tercetak di sudut bibirnya.

"Seratus miliyar itu tidak sedikit. Itu tidak sepadan dengan anak haram yang kamu lahirkan. Lagian, dia hanya akan membuat kamu malu."

"Aku kira kamu udah menjadi orang baik yang datang ke sini karena mengunjungi teman yang sedang kesusahan, ternyata kamu masih selicik dulu," ujar Rania, " dia memang anak haram, tidak perlu pengakuan siapa pun. Jadi kamu nggak perlu takut, dia nggak akan pernah datang pada Kakakmu," lanjutnya.

"Siapa yang menjamin kalau Kakakku akan baik-baik saja sementara kamu tetap berada di sini? Wajahnya begitu mirip dengan Kakakku, semua orang pasti akan curiga." Sinta mulai frustasi, hal ini tidak pernah ia duga.

"Bukankah dulu kalian yang merencanakan semuanya? Mengapa sekarang harus takut? Aku bisa menjamin kalau dia tidak akan mendatangi Kakakmu. Peringatkan saja pada Kakakmu untuk tidak mencari tau atau mendekati anakku." Rania masih sangat ingat kemarin Andra sudah berani memperhatikan anaknya saat mereka tidak sengaja bertemu.

Sinta berdiri dengan kesal. Ini bukan seperti yang ia bayangkan. Ia mengira Rania masihlah selemah dulu. Sinta pikir, Rania hidup menderita bersama anak haramnya. Akan dengan mudah mengusir Rania dengan uang. Namun, nyatanya Rania sudah banyak berubah. Ia kini seperti punya kekuatan yang tidak dimiliki Sinta.

"Aku akan mengawasimu!" Sinta pergi tanpa permisi.

Sinta datang ke rumah Ibu Rania setelah mendengar banyak gosip tentang anak Rania yang begitu mirip dengan Kakaknya. Ia terkejut saat melihatnya sendiri.

Ancaman Sinta untuk menggugurkan kandungan itu, ternyata diabaikan oleh Rania. Sinta merasa Rania memang menantangnya.

Sementara Rania mengira Sinta akan meminta maaf karena masa lalu mereka, tapi ternyata Sinta tetaplah Sinta yang tidak punya hati.

"Tadi siapa, Bun?" Revan, anak Rania mendekat pada Ibunya setelah bermain dengan sepupunya. Anak remaja itu tumbuh dengan cepat, kini tingginya sudah melebihi sang Ibu dan parasnya sungguh tampan.

"Temen Bunda. Kamu abis main apa?"

"Main bola di lapangan sebelah SD. Banyak temennya Mas Riki juga di sana," jawab Revan.

"Bunda dulu juga suka main di sana, tapi di sebelahnya lapangan. Di sana dulu ada kebun buah. Kebun itu punya teman Bunda, jadi kami sering petik buah yang lagi musim di sana," ungkap Rania mengenang masa lalu.

"Yang mana, Bun? Tadi pas Revan ke sana, di sebelah itu adanya malah toko besar gitu."

"Masak, sih? Berarti udah dijual sama yang punya. Terakhir Bunda di sini, kebun itu masih ada," ujar Rania.

"Seru ya main di sini, Bun. Revan suka. Liburannya bisa ditambah nggak?" Revan begitu bahagia mempunyai keluarga dan teman baru.

"Nanti kalau liburan lagi," jawab Rania.

"Bun, tadi aku ketemu bapak-bapak yang wajahnya mirip banget sama aku, apa dia saudara kita?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status