Share

Selamat Tinggal

Rania menaiki bis malam untuk pergi ke luar kota di mana ia bekerja, beruntung rumah kos yang ia tempati belum habis masanya. Rania mengistirahatkan tubuh lelahnya, ia usap perut yang masih rata itu.

Isakan lolos dari mulutnya, ia adalah korban tapi semua orang membencinya seperti ialah tersangka utamanya. Mengapa Tuhan begitu tidak adil padanya?

Selama ini Rania selalu berusaha tidak menyakiti orang lain, tapi mengapa ada orang yang begitu kejam padanya.

Rasa lelah mendera, Rania mulai memejamkan matanya. Perlahan kesadaran Rania menghilang, ia tidur meringkuk di kasur tipis itu.

Paginya Rania memutuskan untuk pergi jauh dari tempatnya, rumah kosnya sudah diketahui banyak orang. Bisa jadi sewaktu-waktu mereka akan mencarinya ke sini, Sinta akan terus memaksanya menggugurkan kandungannya.

Rania sudah membuat surat pengunduran diri. Rania keluar dari kos, ia berjalan menuju kos sebelah untuk menitipkan surat itu.

Mengetuk pintu, Rania lalu menunggu di kursi depan kamar. Rania cukup sering bermain ke sini, jadi dia bisa dengan mudah masuk.

"Rania. Masuk dulu." Seseorang membuka pintu setelah beberapa menit Rania menunggu.

"Di sini aja, Mbak," jawab Rania.

"Mau berangkat bareng? Ini masih kepagian, Ran," ujar wanita itu.

"Aku nitip surat ya Mbak, tolong kasihkan ke Mbak Laila," ucap Rania pada salah satu rekan kerjanya.

"Kamu nggak masuk? Masih sakit?" tanya teman Rania, karena yang ia tahu Rania izin tidak masuk tiga hari karena sakit.

"Nggak, Mbak, aku mau resign. Mau ikut kerja sama sodaraku di luar kota," ucap Rania berbohong.

"Oh gitu, berarti nggak bisa ketemu lagi dong. Kerja di mana emangnya?"

"Belum tau, Mbak, sodaraku mau buka cabang usahanya. Aku cuma diajak ikut, jadi belum tau di mana."

"Oh, gitu. Semoga betah di sana ya. Nanti tetep kabar-kabar."

"Iya, Mbak. Ya udah aku pamit dulu ya mbak, makasih selama ini udah jadi teman yang baik," ucap Rania. Ia harus segera kembali ke kos karena waktu semakin beranjak naik.

Sesampainya di kos, ia segera ke kamarnya untuk mengambil tas yang akan ia bawa.

Saat tengah membereskan bajunya, ia dikejutkan dengan suara ketukan. Jantung Rania berdetak kencang, apakah itu Sinta atau Andra?

"Ran, tolong buka pintunya." Terdengar suara lelaki dari luar sana.

Rania mengenal suara itu, tapi ia tidak yakin. Rania mengintip dari celah jendela, setelah memastikan siapa yang datang ia lalu membuka pintu.

"Mas Damar, ngapain ke sini?" Rania melongokkan kepalanya.

"Mau bicara sebentar sama kamu, bisa keluar dulu?" ucap lelaki yang disebut Damar.

Rania keluar dari kamarnya. Mereka duduk di kursi tamu yang telah disediakan oleh pemilik kos jika ada yang berkunjung karena kos Rania adalah kos-kosan khusus putri.

"Ngapain Mas Damar ke sini?" tanya Rania.

Ini yang sangat ia takutkan. Seseorang akan mendatanginya ke sini jika ia tidak segera pergi. Rania tidak mau ada drama lagi.

"Kenapa kamu pergi dari rumah? Aku tadi dihubungi Risa, dia bilang kamu nggak ada di rumah saat dia bangun tidur. Dia begitu panik, lalu aku mutusin cari kamu di sini," jelas Damar. Damar mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan tinggi, ia tidak ingin terlambat menemukan pujaan hatinya.

"Aku mau pergi jauh, ada perlu apa mas Damar nyari aku?" tanya Rania sekali lagi.

Damar adalah sepupu Andra. Sebelum Rania menjalin hubungan dengan Andra dulu, Damar sudah pernah menyatakan cinta padanya. Saat itu Rania menolaknya karena ia belum ingin pacaran. Lalu mengapa Damar berada di sini?

"Ayok pulang sama aku, aku mau nikahin kamu. Aku bakal bertanggung jawab atas janin itu," ujar Damar.

Rania menggeleng tegas, ia tidak butuh dikasihani. Hidupnya sudah berat, ia tidak mau merepotkan orang lain, "ini nggak ada hubungannya sama kamu, Mas, jadi mas nggak perlu terlibat dalam masalah ini. Ini salahku, jadi biarkan aku bertanggung jawab," tegas Rania.

"Aku cinta sama kamu, Ran. Aku mau nikahin kamu karena aku mau. Aku akan memperlakukan dia seperti anakku sendiri, kamu mau kan?" mohon Damar.

"Nggak, aku nggak mau. Kalau emang mas Damar cinta beneran sama aku, mas Damar harus biarin aku pergi. Aku nggak mau jadi beban buat orang lain, mas Damar masih bisa cari perempuan baik-baik."

"Tapi Ran, aku maunya ...." Ucapan Damar terputus karena Rania menyambar ucapan Damar.

"Udah mas, aku mohon jangan halangi aku. Aku yakin mas Damar bisa bahagia sama yang lain. Makasih karena selama ini mas Damar udah baik sama aku, sekarang mas Damar bisa pulang," usir Rania.

Damar kecewa. Ia tulus mencintai Rania. Ini bukan rasa kasihan. Ia tidak ingin kehilangan Rania.

"Ini buat kamu, jangan ditolak. Pakai ini kalau kamu butuh uang, pin pakek tanggal lahir kamu." Damar meletakkan kartu ATM di tangan Rania, "aku pergi. Kamu harus jaga diri baik-baik, jaga dia."

Damar pergi tanpa menunggu jawaban dari Rania, ia ingin perempuan yang ia cintai bahagia. Dengan terpaksa ia harus membiarkan Rania pergi.

Rania menatap kepergian Damar, mengapa ada lelaki sebaik itu?

Rania bangkit, ia harus segera pergi. Sekarang Damar yang menemuinya, bisa jadi nanti sang kakak juga akan ke sini mencarinya.

Rania segera mengambil tasnya dan pergi dari rumah itu setelah berpamitan pada pemilik kos, ibu kos menyayangkan kepergian Rania, karena selama enam bulan ini ia mengenal Rania sebagai pribadi yang baik.

"Jaga diri baik-baik, Ran. Jangan lupa main ke sini. Ini nomer ibu, kalau kamu butuh kamar kos suatu saat kamu bisa hubungi ibu," ucap ibu kos seraya menyerahkan kertas bertuliskan namanya.

"Iya, Bu. Makasih atas kebaikan Ibu selama ini. Rania pergi ya, Bu." Rania mencium tangan ibu kos lalu Rania pergi dari sana.

Rania menoleh sekali lagi pada tempat yang ia tinggali selama enam bulan ini, ia sebenarnya berat meninggalkan tempat ini dan pekerjaan yang baru ia jalani selama enam bulan. Tapi ia tahu keadaannya saat ini tidak mungkin bisa diterima bekerja lagi.

Rania menaiki bus menuju tempat yang belum pernah ia kunjungi, menurutnya ia akan bisa melupakan masa lalu kalau dia tidak mengenal siapa pun di sana. Memulai hidup baru bersama orang baru.

Bus yang ia tumpangi mulai menjauh. Rasa sesak itu kembali mendera. Ia merasa menjadi anak yang durhaka. Belum juga membahagiakan ibunya, ia justru memberi aib yang akan dikenang semua orang seumur hidupnya.

Rania tidak pernah berpikir untuk menggugurkan kandungannya. Kesalahan yang Rania buat sudah terlalu banyak. Rania tidak ingin menambahnya.

Rania menatap jalanan yang mulai dijatuhi air hujan. Alam seperti mengerti kepedihannya. Ia ikut menangis melepas kepergian Rania.

Selamat tinggal masa lalu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status