Share

Diusir Dari Kampung

"Sekali lagi Ibu tanya sama kamu! Siapa bapak dari anak yang kamu kandung?"

Ibu Rania murka setelah memgetahui anaknya tengah berbadan dua. Ia adalah seorang janda. Lalu, bagaimana ia menghadapi cemoohan tetangga saat anaknya hamil tanpa suami. Selama ini anaknya dikenal sebagai gadis yang baik.

Sudah dua hari sejak kejadian wisuda Andra, Rania masih bungkam tidak menjawab pertanyaan Ibunya. Seberapa keras perlakuan ibu padanya, Rania tetap memilih diam.

Rania tahu betul apa akibatnya jika ia buka suara, bahkan semua yang terjadi saat ini adalah campur tangan Andra dan adiknya. Rania belum memberitahu siapa pun tentang kehamilannya, tapi ibunya sudah lebih dulu tahu. Kuasa Andra dan keluarganya memang tidak terbantahkan.

Hanya air mata sebagai jawaban akan semua tanya. Mulut Rania seakan terkunci rapat. Bahkan hanya untuk mengeluarkan suara isakan saja ia enggan. Rania berjanji akan menyimpan rasa sakitnya seorang diri.

Risa masuk untuk melihat keadaan adiknya. Ia tidak tega mendengar Rania dicecar oleh ibunya.

"Bu, biar Risa yang bicara sama Rania ya. Ibu istirahat aja, Ibu pasti capek," ucap Risa lembut pada sang Ibu.

Ibu Rania berjualan sayur di pasar, selepas subuh dia akan berangkat dan akan pulang menjelang tengah hari. Suaminya meninggal saat Rania dan Risa masih remaja. Beratnya berjuang membesarkan anak, membuatnya begitu kecewa saat mendengar kabar tentang Rania. Ia merasa gagal sebagai seorang ibu.

"Tanyakan yang tegas! Jangan coba-coba membelanya," sahut sang Ibu.

Ibu Rania keluar dari kamarnya dengan hentakan kaki yang cukup keras, pertanda amarah masih menguasai.

"Kamu bisa cerita sama mbak kalau kamu siap, mbak nggak maksa. Mbak sayang sama kamu, selama ini mbak percaya kamu bisa jaga diri. Jangan dipendam kalau memang kamu nggak kuat, mbak pasti jaga rahasia," ucap Risa seraya mengusap punggung sang adik.

Rania memeluk sang Kakak erat. Setelah ancaman yang bertubi selama dua hari ini, akhirnya sekarang ada yang cukup mengerti perasaannya. Ingin rasanya Rania menceritakan semuanya, tapi ia takut pernikahan sang kakak yang akan digelar satu bulan lagi bisa gagal karena dia.

"Maafin aku ya, Mbak, aku udah bikin aib keluarga." Hanya kata itu yang mampu diucapkan Rania.

"Nggak, jangan ngomong gitu. Kamu tetep adik kebanggaan mbak, kamu harus kuat. Nggak boleh sedih, nanti dedeknya ikut sedih," tutur Risa. Ia yakin ada orang jahat yang memanfaatkan sang adik, tapi ia tidak tahu siapa karena selama ini ia tidak pernah melihat adiknya dekat dengan pria mana pun.

"Rania kotor, Mbak," lirih Rania.

"Kamu nggak kotor. Orang lain yang jahat sama kamu. Kamu bisa ceritain semuanya. Mbak akan menyimpan rahasia," ujar Risa.

Rania hanya menggeleng. Ia lalu kembali memeluk kakaknya. Tidak mungkin kakaknya akan diam kalau tahu siapa yang menyakitinya. Rania lebih takut lagi kalau sang kakak akan rela pernikahannya gagal hanya untuk membelanya.

Hening. Hanya pelukan hangat dan isakan yang ada di ruangan itu, kakak beradik itu masih larut dalam kesedihan masing-masing.

**Ai**

Keluarga Roni, calon suami Risa datang berkunjung. Mereka akan menanyakan kabar yang berkembang. Suka tidak suka, kabar itu sudah mengusik keluarga mereka.

Ruang tamu kecil itu sudah terisi oleh enam orang dewasa. Sementara Rania tetap dia di dalam kamarnya.

"Kalau adik kamu masih di rumah ini, Ibu nggak akan setuju kamu nikah sama anak Ibu. Sekarang saja dia bisa hamil tanpa tau siapa bapaknya. Bagaimana nanti kalau dia godain anakku?" Suara keras calon mertua Risa menggema di ruang tamu sederhana itu, Rania yang berada di kamar bisa mendengar meski tidak sengaja menguping.

"Saya bisa menjamin kalau itu tidak akan terjadi, Bu. Adik saya wanita baik-baik. Dia hanya korban kejahatan orang lain, mohon pengertiannya," ujar Risa. Meski sekarang adiknya dalam keadaan salah, tapi ia tidak bisa menerima jika adiknya dihina seperti itu.

Tangan Risa diremas oleh ibunya, berharap Risa hanya diam mendengarkan.

"Kamu bela dia karena kamu Kakaknya! Pokoknya Ibu nggak mau tau, kalau dua hari ini dia nggak pindah dari sini berarti pernikahan ini batal," ucap calon mertua Risa tegas.

"Maafkan anak saya, Bu," ujar ibu Risa.

"Tolong dong, Bu. Didik anaknya dengan baik. Kalau bukan karena anak saya yang ngebet, saya masih pikir-pikir menikahkan mereka."

"Jangan gitu, Bu. Selama ini aku mengenal Rania adalah perempuan baik-baik," ucap calon suami Risa pada Ibunya.

"Sudahlah, Ibu nggak mau denger alasan apa pun. Sekarang Ibu mau pulang, semua keputusan di tangan Ibu jadi jangan membantah!"

Calon mertua Risa keluar dari rumah Rania, calon suami Risa berpamitan lalu menyusul sang Ibu keluar.

"Kamu denger sendiri, kan?" ucap Ibu Risa.

Suasana kembali hening. Kini tinggal mereka berdua yang ada di ruangan itu.

"Aku nggak pa-pa, Bu, kalau nggak jadi nikah. Aku nggak mungkin biarin Rania keluar dari rumah ini," tegas Risa.

"Kamu juga mau bikin malu Ibu? Apa nggak cukup Rania mencoreng muka Ibu, sekarang kamu juga mau begitu? Nggak kasian kamu sama Ibu? Ibu cuma punya dua anak, bagaimana nasib Ibu kalau kalian berdua tega sama Ibu?" Ibu Rania mulai menangis.

"Bukan begitu, Bu. Risa hanya tidak ingin Rania pergi. Dia masih terlalu kecil untuk hidup di luar sana. Siapa nanti yang akan bantuin saat dia kesusahan?

Risa hanya diam, ia tidak tahu harus berkata apa. Satu sisi ia tidak mungkin tega menyakiti sang Ibu, tapi di sisi lain ia juga tidak tega jika adiknya harus pergi dari rumah.

"Biarkan Rania yang pergi dari rumah ini, dia masih muda. Dia pasti bisa hidup mandiri. Keluarga calon suamimu itu keluarga terpandang, kita bisa ikut dihormati banyak orang."

Rania mendengar semua itu, ia sudah lelah menangis. Rania sudah bertekad untuk pergi dari rumah malam ini, ia masih punya cukup tabungan untuk bertahan hidup di luar sana. Ia tidak akan membiarkan Ibu dan Kakaknya menderita karena dirinya.

Selama ini dia sudah belajar hidup mandiri, ia yakin pasti bisa hidup tanpa ibu dan kakaknya. Semua ini demi kebahagiaan dua orang yang begitu ia sayangi.

Malam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, Ibu dan Kakaknya sudah tertidur pulas. Rania melihat sang Kakak yang tertidur damai, satu-satunya orang yang peduli padanya.

"Aku pasti akan berjuang untuk hidup sukses di luar sana, suatu saat aku akan membalas semua orang yang menyakitiku. Terimakasih karena Mbak selalu percaya padaku, aku pamit ya, Mbak. Semoga hidup Mbak Risa selalu bahagia," ucap Rania lirih. Ia beranjak lalu pergi dari rumahnya tanpa tujuan pasti, hanya tekad yang kuat untuk membesarkan anaknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status