Share

Membuka Pandora

Author: Alexa Rd
last update Huling Na-update: 2025-05-28 23:16:42

Bima mengetuk-ngetukkan jari di setir mobilnya yang terparkir di depan galeri milik Laras. Rencananya, dia akan menjemput Laras, lalu mereka akan pergi ke sebuah tempat untuk berbicara. Tapi hingga lima belas menit Bima menunggu, Laras belum terlihat.

Hampir saja Bima turun dari mobilnya dan masuk untuk mencari Laras kalau saja pintu samping tidak dibuka tiba-tiba dari arah belakang. Laras masuk, lalu duduk di samping Bima. “Maaf aku telat,” katanya pendek.

Bima melihat adik iparnya itu. Laras terlihat lebih kurus. “Dari mana kau, Ras? Aku tidak melihatmu keluar dari galeri,” tanya Bima.

“Aku dari luar,” jawab Laras singkat tanpa menoleh ke arah Bima.

Bima menghela napas. Setelah kejadian di vila, pertemuannya dengan Laras pasti selalu canggung. Dia menghidupkan mobilnya, meninggalkan galeri Laras ke arah utara kota.

“Kita bicara di sini,” kata Bima setelah mobilnya berhenti di bahu jalan yang cukup rindang dan sepi. Bagi Bima, tak ada tempat yang cukup aman untuk pembicaraan mereka berdua kecuali di dalam mobil.

Laras melepas sabuk pengamannya lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Sebuah amplop dengan logo klinik terkenal di Jakarta yang kemudian disodorkan pada Bima.

Bima membukanya perlahan. Meski dia sudah bisa menebak apa isinya, namun tetap saja jantungnya berdegup lebih kencang. Butuh beberapa menit hingga dia menutup kembali isinya.

“Ini anakku?” tanyanya sambil melihat ke arah Laras.

Laras tertawa getir. “Sudah aku duga, kau akan bertanya begitu, Bim.” Laras balik menatap Bima. “Malam itu adalah kali pertama dan satu-satunya waktu di mana aku menyerahkan tubuhku pada pria. Kalau kau tak percaya, antar aku pulang ke galeri sekarang juga.”

Bima memukul-mukul pelan kepalanya sendiri. “Maaf, Ras. Aku tidak bermaksud menuduhmu macam-macam.”

“Ya... Kau hanya ingin lari dari kesalahan.” Laras mengambil kembali amplop di tangan Bima lalu memasukkannya ke dalam tas.

“Akan aku lakukan apa pun untuk menyelamatkan pernikahanku dengan Nindya,” jawab Bima.

“Tidakkah itu sedikit terlambat?” Laras menatap Bima kembali. “Ada calon anakmu di rahimku.”

“Kau bisa menggugurkannya. Masih empat minggu. Malam itu adalah sebuah kesalahan, Ras. Kita sudah sepakat.” Bima mencengkeram setir mobilnya.

Laras mengalihkan pandangannya ke depan. “Aku juga berpikir seperti itu. Gugurkan, lalu berpura-pura semua tak pernah terjadi. Kecuali pada Nindya yang sudah terlanjur tahu. Tapi aku berubah pikiran.”

“Kenapa?” desak Bima.

Laras menatap Bima kembali, ada senyum kecil di wajahnya. “Karena ini satu-satunya bukti cintaku padamu.”

“Ini bukan cinta, Ras. Ini kesalahan. Tak seharusnya kesalahan memiliki buah!” Wajah Bima memerah. Hawa di dalam mobil terasa lebih panas meski AC terus dinyalakan.

“Bagimu mungkin adalah sebuah kesalahan. Tapi bagiku, malam itu adalah malam di mana aku mengikuti kata hatiku. Anak ini adalah buah cintaku, terserah kau mau mengakuinya atau tidak.”

Bima menghembuskan napas dengan cepat. Kepalanya terasa penuh. Terbayang wajah Nindya semalam, lalu wajah mertuanya. “Apa yang akan kau katakan pada Mama?”

“Aku akan mengatakan yang sebenarnya. Nindya sudah tahu, tak mungkin dia akan menutupi ini. Meski dia mencintaimu, tapi Nindya tetaplah Nindya. Dia akan melakukan sesuatu yang benar.”

Ada rasa sakit di dada yang Laras rasakan saat menyebut nama kakaknya. Sekali lagi dia merasa kalah.

Setelah keheningan memenuhi ruangan kecil di dalam mobil itu, suara Bima terdengar kembali. “Baiklah jika itu maumu.” Dia harus bertanggung jawab.

“Aku akan bertanggung jawab. Apa saja. Tapi kau harus ingat, aku hanya mencintai Nindya. Aku tidak menginginkan malam itu terjadi.” Pandangan Bima menusuk tajam ke arah Laras.

Laras mengalihkan pandangannya kembali ke depan lalu mengangguk. “Aku tahu. Kau sudah mengatakannya berulang kali.” Dia terdiam sebentar. “Antar aku kembali ke galeri.”

Bima tak segera menghidupkan mobilnya. “Kapan kau akan memberitahu Mama?” Saat Laras tidak segera menjawab, Bima melanjutkan. “Seperti katamu, ini juga kesalahanku, aku juga harus ada.”

Laras masih tak menjawab pertanyaan Bima. Dia sendiri setiap hari bertemu Dewi, Mamanya karena mereka tinggal serumah. Dewi sudah pulang dari luar kota tadi pagi.

“Baiklah. Aku akan hubungi Mama. Kita bicarakan nanti malam.” Bima mengambil alih. Setelah itu dia menghidupkan mesin mobilnya dan membawa mereka kembali ke galeri Laras.

Laras membuka kantor kecil di dalam galerinya. Di sinilah dia menghabiskan waktunya di pagi hingga sore hari. Dengan gelar Sarjana Seninya, Laras menjadi pelatih lukis dan memahat bagi para muridnya yang berasal dari kalangan menengah ke atas.

Tak ada kelas di hari Minggu ini. Sebenarnya dia pun tak perlu datang ke galeri. Tapi bertemu dengan Bima di rumah saat ada Dewi, atau di kantornya yang tertutup ini, bukanlah pilihan yang tepat.

Laras duduk di kursinya. Suasana yang sepi membuat pikirannya mengingat kembali satu malam yang akan mengubah hidupnya.

Flashback

Laras terbangun dari tidurnya. Tenggorokannya yang kering memaksanya mengangkat tubuh dan turun ke lantai satu.

Suasana vila sudah sepi. Keluarga Om Rudi dan Tante Winda sudah pulang tadi siang. Adik-adik Papanya dan keluarga mereka adalah tamu yang diundang Mama di acara ulang tahun florist Kencana kali ini.

Malam ini tinggal Laras, Dewi dan Bima yang masih tersisa. Nindya absen, dia masih di Makassar mewakili perusahaan publishingnya.

Saat sampai di ujung tangga, Laras tak langsung menuju dapur. Matanya melihat sosok yang amat di kenalnya sedang duduk sendirian menatap kolam renang di halaman belakang. Bima.

“Bim, belum tidur?” sapa Laras pelan sembari mendekati Bima dari belakang.

Bima menoleh, “Ras. Kenapa turun?” tanya Bima.

Lampu teras belakang tidak terlalu terang di tengah malam namun Laras bisa melihat wajah Bima yang tak seperti biasa.  Pandangan Laras beralih ke meja kecil di sebelah Bima. Sebotol anggur yang hanya tersisa seperempat isinya, dan sebuah gelas kosong.

Laras membatalkan niatnya ke dapur, dia duduk di sebelah Bima. “Nindya tidak marah kau minum?” tanya Laras.

Terdengar tawa kecil dari Bima. “Aku harap dia tahu, lalu marah. Setidaknya dia akan datang. Sialan! Lama sekali dia pergi kali ini.”

Bima menuang anggur lagi ke dalam gelasnya lalu meneguknya hingga habis. Laras memperhatikannya dengan seksama. Dia yakin Bima sudah mabuk. Kalau tidak, dia tak akan bercerita.

“Kenapa tidak kau susul? Hanya Makassar,” lanjut Laras, meski rasa sesak tiba-tiba muncul di dadanya.

“Dia menyuruhku ke sini.” Bima memegangi kepalanya yang mulai berdenyut.

Ingin sekali Laras ikut memijit kepala Bima. Segera ditepisnya pikiran itu. “Sebaiknya kau tidur, Bim.”

Bima mengangguk. Dia berdiri dari duduknya, namun tubuhnya terhuyung ke samping. Secara reflek Laras bangun lalu memegang lengan Bima. “Kau lebih mabuk dari yang kukira. Ayo, aku antar ke kamarmu.”

Bima tertawa lebar. Terlalu renyah jika saja dia tidak sedang mabuk. “Aku tidak mabuk.” Bima berjalan mendahului Laras. Namun baru satu langkah dia kembali berhenti. Dia seperti berjalan di atas air.

Laras yang menyadarinya segera menyambar kembali lengan Bima. “Tunggu sebentar,” katanya. Lalu dengan cepat dia menyambar botol anggur dan meminumnya. Dia haus, pikirnya, dan anggur adalah minuman yang tepat untuk menghapus sakit rasa sesak di dadanya.

“Ayo,” perintah Laras.

Keduanya berjalan beriringan menaiki tangga seperti seorang perawat membawa pasiennya. Sesekali Bima tersenyum lalu bergumam tidak jelas.

Laras membuka kamar Bima lalu terus menopang Bima hingga dia ambruk di tempat tidur. Lemah sekali, pikir Laras. Tak seperti Bima yang selalu dia lihat. Anehnya, dia semakin tertarik.

Laras mendorong tubuh Bima hingga ia terlentang. Dibukanya satu per satu kancing kemeja Bima. Pria itu hanya menceracau tidak jelas.

Laras bersyukur dia turun dari kamarnya tadi. Mungkin tak akan dilihatnya lagi Bima seperti ini.

Semua kancing sudah terbuka. Dada Bima yang bidang terlihat jelas di hadapan Laras. Ada sensasi asing yang timbul dari dalam tubuhnya.

Laras memaksa tubuhnya untuk bangkit dari tempat tidur Bima. Perlahan dia berjalan ke arah pintu, namun saat akan membuka pintu, dia berhenti. Dilihatnya lagi Bima yang tak berdaya.

Entah anggur atau setan apa yang merasuki Laras, dia mengunci pintu, mematikan lampu lalu berjalan kembali ke arah tempat tidur.

 - End of Flashback

Laras memejamkan matanya, membayangkan detail yang mungkin tak akan pernah dia lupakan seumur hidupnya.

Dia hanya ingin mencium Bima untuk melepaskan dahaganya. Akan tetapi pria itu belum tertidur. Bima merespon, dan setelahnya, semua terjadi begitu cepat.

Laras menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Dia merasa bersalah. Meski begitu dia yakin, dia akan melakukan hal yang sama jika waktu diputar kembali.

Kini, dia memikirkan apa yang harus dia katakan nanti di depan Mamanya. Dan pasti, Nindya juga akan datang bersama Bima.

Mamanya pasti akan sangat kecewa, pikirnya. Dewi sangat menginginkan Laras untuk segera menikah. Usianya sudah 28 tahun, sudah lebih dari cukup untuk menjadi seorang istri.

Selain itu, Bima adalah menantu yang dicintai Dewi seperti anaknya sendiri. Dan Nindya, Nindya adalah anak kebanggaan Dewi. Anak yang tak pernah melakukan cela, kecuali belum bisa memberinya cucu, kalau itu pun bisa disebut cela.

Ironisnya, sebentar lagi Dewi akan memiliki cucu, tapi bukan dari anaknya yang sudah menikah. Memikirkannya saja sudah membuat kepala Laras mendadak pening.

Namun dari semua hal yang memenuhi kepalanya, Laras merasakan sebuah kemenangan kecil. Kemenangan yang sedari dulu dia dambakan.

Diusapnya perutnya dengan penuh sayang. Kini, dia memiliki apa yang Nindya belum bisa miliki. Meski akan banyak yang Laras pertaruhkan nantinya.

Malam ini, segalanya akan berubah.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 11

    Nindya terpaku melihat sosoknya sendiri di depan cermin. Sebuah gaun terusan berwarna biru muda membalut tubuhnya yang langsing. Dia masih terlihat cantik dan menarik meski usianya tak bisa dibilang muda.Tapi, mungkin matanya mengecohnya. Mungkin teman-temannya hanya ingin menyenangkannya. Nyatanya, suaminya berselingkuh. Dengan adiknya sendiri.Dilepaskannya gaun biru muda itu. Digantinya dengan kemeja lengan panjang dan bawahan setengah betis, seperti yang biasa dia gunakan jika akan keluar dengan temannya.Malam ini Nindya menyetujui ajakan makan malam dengan Bima. Ini adalah kali pertama sejak tiga bulan setelah Nindya pindah ke apartemennya.Dia belum memaafkan Bima, dan mungkin tak akan pernah. Namun, Nindya ingin melihat, apakah masih ada yang bisa diselamatkan dari pernikahan ini. Bisakah dia melihat Bima kembali sebagai suami.Bunyi pintu apartemen diketuk dari luar. Nindya melihat jam dinding. Itu pasti Bima.Diambilny

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 10

    Bau pengharum ruangan tercium ketika Nindya berjalan ke luar dari kantornya. Bangku Risa sudah kosong, begitu juga bangku-bangku lainnya. Jam makan siang memang sudah dimulai sejak lima belas menit yang lalu.Nindya menggunakan lift menuju lantai dasar. Sebenarnya di gedung ini ada food court yang biasa dijadikan sasaran tempat makan siang para pegawai. Namun, Nindya sedang tak ingin ke sana.Sejak rumor tentang rumah tangganya, dia bisa melihat tatapan selidik para rekan kerjanya. Hal ini karena Nindya tak pernah mengatakan apa pun soal kenapa dia belum kembali ke rumah. Tak hadirnya Bima di acara kantor kemarin juga menjadi petanda yang semakin menguatkan.Nindya hanya berjalan beberapa meter di pedestrian sebelum membelokkan kakinya ke sebuah restoran bergaya eropa. Wangi kopi dan pasta langsung menyambut hidungnya. Dipilihnya tempat duduk tepi jendela, tak terlalu dekat pintu masuk namun juga tidak terlalu masuk ke dalam.Setelah seorang pelay

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 9

    Nindya melihat ponselnya. Dibacanya pesan dari Bima. Suaminya kembali mengajaknya makan malam.Sudah dua bulan lebih. Sudah mampukah dia melihat Bima kembali? Apakah dia harus kembali pada suaminya?Dilihatnya apartemen yang dari dulu tak pernah seperti rumah. Bagi Nindya, ini adalah tempat singgah setelah kerja, sebelum kerja kembali.Dulu Bima adalah rumahnya, namun sekarang, melihat Bima adalah mengingat kembali lukanya. Tapi Nindya tahu dia tak bisa seperti ini terus menerus. Dia harus membuat pilihan.Digulirnya lagi pesan di ponselnya. Ada pesan dari Sisca. Jangan lupa besok jam 11 aku jemput. Acara kantor. Makan siang bersama para penulis dan perilisan beberapa buku baru.Sejak gosip dirinya pindah ke apartemen, teman-temannya lebih sering mengajaknya pergi. Apalagi sudah dua bulan lebih dia belum kembali ke rumah. Entah rumor apa yang sudah beredar.Dirinya sendiri tak pernah ditanyai langsung, pun dia tak perna

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 8

    Bima membuka pintu kamar tidurnya. Kamar tidur dirinya dan Nindya dulu. Sekarang, hanya dia yang selalu tidur di sana. Dilemparnya tas kerja ke atas meja. Jika ada Nindya, pasti tak akan dilakukannya. Istrinya sangat menyukai keteraturan. Tak ada orang yang diajaknya berbicara kecuali bi Ijah di dapur. Itu pun tak dilakukannya lama-lama. Bima tak tahan melihat tatapan bi Ijah yang mengasihaninya. Ah, apakah dirinya masih pantas dikasihani? Dilangkahkannya kakinya ke kamar mandi. Hanya suara air mengalir yang terdengar. Sebenarnya tak ada yang membuatnya semangat untuk pulang setelah kerja. Tak ada siapa-siapa yang menunggu. Tapi, mau ke mana dia? Semua temannya selalu sibuk dengan pekerjaan dan keluarga. Toh mereka memang bukan remaja yang sering berkumpul setelah kerja. Karyawannya juga enggan kalau harus menemani bos yang sedang tak ada istri di rumah. Pergi keluar sendiri? Bim

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 7

    Dewi termenung di teras rumahnya. Suara gemericik air kolam biasanya mengusik untuk memberi makan ikan-ikan hias kesayangannya. Tapi sudah lama tidak pernah lagi dia lakukan. Untung masih ada Suti yang tak lupa menggantikannya. Sabtu kemarin seharusnya dia dan anak-anaknya berkumpul untuk makan bersama. Hari yang selalu menambah semangatnya di usia senja. Namun sejak kejadian antara Laras dan Bima, jangankan berkumpul bersama, kini ketiga anak dan menantunya mungkin sudah jarang saling menyapa. Lamunannya dikejutkan oleh hadirnya Suti yang hendak keluar. “Mau ke mana, Suti?” tanya Dewi. “Mau beli rujak di perempatan, Bu. Mbak Laras ingin rujak,” jawab Suti. Makan rujak kok pagi-pagi, pikir Dewi lalu tersadar kalau anaknya sedang mengandung. Dia mengangguk pada Suti dan melihatnya pergi berlalu keluar. Dewi mengangkat tubuhnya. Dia berjalan masuk menuju ruang keluarga. Meski sebenarnya tak ada y

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Ruang Kosong

    Nindya membelokkan stir mobilnya di tikungan terakhir menuju gedung apartemen tempat dia tinggal. Matanya melirik ke kiri jalan. Sebuah mobil dengan plat nomor yang sudah dia hafal, terparkir seperti beberapa hari terakhir. Mobil Bima. Nindya melewatinya seolah dia tidak menyadari kalau suaminya beberapa kali sengaja menunggunya pulang. Biasanya, setelah Nindya sampai lalu melihat ponsel, dia akan mendapati pesan Bima yang ingin menemuinya. Pasti Bima mengirim dari mobilnya. Sudah dua minggu, mungkin dia harus memberi Bima kesempatan bicara, atau setidaknya bertemu. Dari lubuk hatinya, Nindya tak menyangkal kalau dirinya pun merindukan Bima. Ditaruhnya tas kerja di atas meja dengan hati-hati lalu dilangkahkan kakinya ke depan jendela. Dibukanya tirai yang menutupi kaca bening menghadap jalan raya di depan gedung apartemennya. Mobil Bima tidak terlihat dari sana, tapi Nindya bisa membayangkan suaminya masih menunggu di bawah.

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status