Bima mengetuk-ngetukkan jari di setir mobilnya yang terparkir di depan galeri milik Laras. Rencananya, dia akan menjemput Laras, lalu mereka akan pergi ke sebuah tempat untuk berbicara. Tapi hingga lima belas menit Bima menunggu, Laras belum terlihat.
Hampir saja Bima turun dari mobilnya dan masuk untuk mencari Laras kalau saja pintu samping tidak dibuka tiba-tiba dari arah belakang. Laras masuk, lalu duduk di samping Bima. “Maaf aku telat,” katanya pendek.
Bima melihat adik iparnya itu. Laras terlihat lebih kurus. “Dari mana kau, Ras? Aku tidak melihatmu keluar dari galeri,” tanya Bima.
“Aku dari luar,” jawab Laras singkat tanpa menoleh ke arah Bima.
Bima menghela napas. Setelah kejadian di vila, pertemuannya dengan Laras pasti selalu canggung. Dia menghidupkan mobilnya, meninggalkan galeri Laras ke arah utara kota.
“Kita bicara di sini,” kata Bima setelah mobilnya berhenti di bahu jalan yang cukup rindang dan sepi. Bagi Bima, tak ada tempat yang cukup aman untuk pembicaraan mereka berdua kecuali di dalam mobil.
Laras melepas sabuk pengamannya lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Sebuah amplop dengan logo klinik terkenal di Jakarta yang kemudian disodorkan pada Bima.
Bima membukanya perlahan. Meski dia sudah bisa menebak apa isinya, namun tetap saja jantungnya berdegup lebih kencang. Butuh beberapa menit hingga dia menutup kembali isinya.
“Ini anakku?” tanyanya sambil melihat ke arah Laras.
Laras tertawa getir. “Sudah aku duga, kau akan bertanya begitu, Bim.” Laras balik menatap Bima. “Malam itu adalah kali pertama dan satu-satunya waktu di mana aku menyerahkan tubuhku pada pria. Kalau kau tak percaya, antar aku pulang ke galeri sekarang juga.”
Bima memukul-mukul pelan kepalanya sendiri. “Maaf, Ras. Aku tidak bermaksud menuduhmu macam-macam.”
“Ya... Kau hanya ingin lari dari kesalahan.” Laras mengambil kembali amplop di tangan Bima lalu memasukkannya ke dalam tas.
“Akan aku lakukan apa pun untuk menyelamatkan pernikahanku dengan Nindya,” jawab Bima.
“Tidakkah itu sedikit terlambat?” Laras menatap Bima kembali. “Ada calon anakmu di rahimku.”
“Kau bisa menggugurkannya. Masih empat minggu. Malam itu adalah sebuah kesalahan, Ras. Kita sudah sepakat.” Bima mencengkeram setir mobilnya.
Laras mengalihkan pandangannya ke depan. “Aku juga berpikir seperti itu. Gugurkan, lalu berpura-pura semua tak pernah terjadi. Kecuali pada Nindya yang sudah terlanjur tahu. Tapi aku berubah pikiran.”
“Kenapa?” desak Bima.
Laras menatap Bima kembali, ada senyum kecil di wajahnya. “Karena ini satu-satunya bukti cintaku padamu.”
“Ini bukan cinta, Ras. Ini kesalahan. Tak seharusnya kesalahan memiliki buah!” Wajah Bima memerah. Hawa di dalam mobil terasa lebih panas meski AC terus dinyalakan.
“Bagimu mungkin adalah sebuah kesalahan. Tapi bagiku, malam itu adalah malam di mana aku mengikuti kata hatiku. Anak ini adalah buah cintaku, terserah kau mau mengakuinya atau tidak.”
Bima menghembuskan napas dengan cepat. Kepalanya terasa penuh. Terbayang wajah Nindya semalam, lalu wajah mertuanya. “Apa yang akan kau katakan pada Mama?”
“Aku akan mengatakan yang sebenarnya. Nindya sudah tahu, tak mungkin dia akan menutupi ini. Meski dia mencintaimu, tapi Nindya tetaplah Nindya. Dia akan melakukan sesuatu yang benar.”
Ada rasa sakit di dada yang Laras rasakan saat menyebut nama kakaknya. Sekali lagi dia merasa kalah.
Setelah keheningan memenuhi ruangan kecil di dalam mobil itu, suara Bima terdengar kembali. “Baiklah jika itu maumu.” Dia harus bertanggung jawab.
“Aku akan bertanggung jawab. Apa saja. Tapi kau harus ingat, aku hanya mencintai Nindya. Aku tidak menginginkan malam itu terjadi.” Pandangan Bima menusuk tajam ke arah Laras.
Laras mengalihkan pandangannya kembali ke depan lalu mengangguk. “Aku tahu. Kau sudah mengatakannya berulang kali.” Dia terdiam sebentar. “Antar aku kembali ke galeri.”
Bima tak segera menghidupkan mobilnya. “Kapan kau akan memberitahu Mama?” Saat Laras tidak segera menjawab, Bima melanjutkan. “Seperti katamu, ini juga kesalahanku, aku juga harus ada.”
Laras masih tak menjawab pertanyaan Bima. Dia sendiri setiap hari bertemu Dewi, Mamanya karena mereka tinggal serumah. Dewi sudah pulang dari luar kota tadi pagi.
“Baiklah. Aku akan hubungi Mama. Kita bicarakan nanti malam.” Bima mengambil alih. Setelah itu dia menghidupkan mesin mobilnya dan membawa mereka kembali ke galeri Laras.
Laras membuka kantor kecil di dalam galerinya. Di sinilah dia menghabiskan waktunya di pagi hingga sore hari. Dengan gelar Sarjana Seninya, Laras menjadi pelatih lukis dan memahat bagi para muridnya yang berasal dari kalangan menengah ke atas.
Tak ada kelas di hari Minggu ini. Sebenarnya dia pun tak perlu datang ke galeri. Tapi bertemu dengan Bima di rumah saat ada Dewi, atau di kantornya yang tertutup ini, bukanlah pilihan yang tepat.
Laras duduk di kursinya. Suasana yang sepi membuat pikirannya mengingat kembali satu malam yang akan mengubah hidupnya.
Flashback
Laras terbangun dari tidurnya. Tenggorokannya yang kering memaksanya mengangkat tubuh dan turun ke lantai satu.
Suasana vila sudah sepi. Keluarga Om Rudi dan Tante Winda sudah pulang tadi siang. Adik-adik Papanya dan keluarga mereka adalah tamu yang diundang Mama di acara ulang tahun florist Kencana kali ini.
Malam ini tinggal Laras, Dewi dan Bima yang masih tersisa. Nindya absen, dia masih di Makassar mewakili perusahaan publishingnya.
Saat sampai di ujung tangga, Laras tak langsung menuju dapur. Matanya melihat sosok yang amat di kenalnya sedang duduk sendirian menatap kolam renang di halaman belakang. Bima.
“Bim, belum tidur?” sapa Laras pelan sembari mendekati Bima dari belakang.
Bima menoleh, “Ras. Kenapa turun?” tanya Bima.
Lampu teras belakang tidak terlalu terang di tengah malam namun Laras bisa melihat wajah Bima yang tak seperti biasa. Pandangan Laras beralih ke meja kecil di sebelah Bima. Sebotol anggur yang hanya tersisa seperempat isinya, dan sebuah gelas kosong.Laras membatalkan niatnya ke dapur, dia duduk di sebelah Bima. “Nindya tidak marah kau minum?” tanya Laras.Terdengar tawa kecil dari Bima. “Aku harap dia tahu, lalu marah. Setidaknya dia akan datang. Sialan! Lama sekali dia pergi kali ini.” Bima menuang anggur lagi ke dalam gelasnya lalu meneguknya hingga habis. Laras memperhatikannya dengan seksama. Dia yakin Bima sudah mabuk. Kalau tidak, dia tak akan bercerita. “Kenapa tidak kau susul? Hanya Makassar,” lanjut Laras, meski rasa sesak tiba-tiba muncul di dadanya.“Dia menyuruhku ke sini.” Bima memegangi kepalanya yang mulai berdenyut.Ingin sekali Laras ikut memijit kepala Bima. Segera ditepisnya pikiran itu. “Sebaiknya kau tidur, Bim.” Bima mengangguk. Dia berdiri dari duduknya, namun tubuhnya terhuyung ke samping. Secara reflek Laras bangun lalu memegang lengan Bima. “Kau lebih mabuk dari yang kukira. Ayo, aku antar ke kamarmu.”Bima tertawa lebar. Terlalu renyah jika saja dia tidak sedang mabuk. “Aku tidak mabuk.” Bima berjalan mendahului Laras. Namun baru satu langkah dia kembali berhenti. Dia seperti berjalan di atas air.
Laras yang menyadarinya segera menyambar kembali lengan Bima. “Tunggu sebentar,” katanya. Lalu dengan cepat dia menyambar botol anggur dan meminumnya. Dia haus, pikirnya, dan anggur adalah minuman yang tepat untuk menghapus sakit rasa sesak di dadanya. “Ayo,” perintah Laras.Keduanya berjalan beriringan menaiki tangga seperti seorang perawat membawa pasiennya. Sesekali Bima tersenyum lalu bergumam tidak jelas.Laras membuka kamar Bima lalu terus menopang Bima hingga dia ambruk di tempat tidur. Lemah sekali, pikir Laras. Tak seperti Bima yang selalu dia lihat. Anehnya, dia semakin tertarik.Laras mendorong tubuh Bima hingga ia terlentang. Dibukanya satu per satu kancing kemeja Bima. Pria itu hanya menceracau tidak jelas.Laras bersyukur dia turun dari kamarnya tadi. Mungkin tak akan dilihatnya lagi Bima seperti ini.Semua kancing sudah terbuka. Dada Bima yang bidang terlihat jelas di hadapan Laras. Ada sensasi asing yang timbul dari dalam tubuhnya.Laras memaksa tubuhnya untuk bangkit dari tempat tidur Bima. Perlahan dia berjalan ke arah pintu, namun saat akan membuka pintu, dia berhenti. Dilihatnya lagi Bima yang tak berdaya. Entah anggur atau setan apa yang merasuki Laras, dia mengunci pintu, mematikan lampu lalu berjalan kembali ke arah tempat tidur.- End of Flashback
Laras memejamkan matanya, membayangkan detail yang mungkin tak akan pernah dia lupakan seumur hidupnya.
Dia hanya ingin mencium Bima untuk melepaskan dahaganya. Akan tetapi pria itu belum tertidur. Bima merespon, dan setelahnya, semua terjadi begitu cepat.
Laras menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Dia merasa bersalah. Meski begitu dia yakin, dia akan melakukan hal yang sama jika waktu diputar kembali.
Kini, dia memikirkan apa yang harus dia katakan nanti di depan Mamanya. Dan pasti, Nindya juga akan datang bersama Bima.
Mamanya pasti akan sangat kecewa, pikirnya. Dewi sangat menginginkan Laras untuk segera menikah. Usianya sudah 28 tahun, sudah lebih dari cukup untuk menjadi seorang istri.
Selain itu, Bima adalah menantu yang dicintai Dewi seperti anaknya sendiri. Dan Nindya, Nindya adalah anak kebanggaan Dewi. Anak yang tak pernah melakukan cela, kecuali belum bisa memberinya cucu, kalau itu pun bisa disebut cela.
Ironisnya, sebentar lagi Dewi akan memiliki cucu, tapi bukan dari anaknya yang sudah menikah. Memikirkannya saja sudah membuat kepala Laras mendadak pening.
Namun dari semua hal yang memenuhi kepalanya, Laras merasakan sebuah kemenangan kecil. Kemenangan yang sedari dulu dia dambakan.
Diusapnya perutnya dengan penuh sayang. Kini, dia memiliki apa yang Nindya belum bisa miliki. Meski akan banyak yang Laras pertaruhkan nantinya.
Malam ini, segalanya akan berubah.
Ruangan steril bernuansa putih biru itu hanya mengeluarkan bunyi statis dari dua monitor organ vital yang masing-masing terhubung pada dua pasien pria. Saat Bima perlahan membuka matanya, dia mengenali pemandangan di sekelilingnya.Rumah sakit, pasti kamar ICU, pikirnya setelah melihat ada satu lagi pasien di sebelahnya. Temannya itu sepertinya belum sadar.Tenggorokannya terasa sangat kering. Pikirannya masih berkabut. Ingatannya terhenti pada saat dia mengerang kesakitan di kamar tamu. Dia ingat ada Nindya yang menangis dan menggenggam tangannya.Di manakah Nindya?Seorang perawat masuk lalu melakukan pemeriksaan singkat.“Sebutkan nama Bapak?” tanyanya sambil memegang senter untuk menerangi kedua pupilnya bergantian.“Dirgantara Bima,” jawabnya sambil menelan ludah, berusaha membasahi tenggorokannya. “Di mana istri saya?”“Saya akan panggilkan dokter terlebih dahulu, ya Pak,” kata perawat itu lalu berlalu keluar.
Nindya terbangun dari tidur malamnya ketika telinganya sayup-sayup mendengar raungan tertahan. Dibukanya kedua matanya. Ditajamkannya telinganya.Suara dari kamar sebelah. Bima!. Segera Nindya bangun lalu keluar dari kamar. Diketuknya pintu Bima namun tak ada jawaban sementara suara raungan itu semakin terdengar.Nindya membuka pintu dan pemandangan yang pertama dilihatnya adalah tubuh Bima meringkuk di lantai. Tangannya memegang perut, keringatnya bercucuran.Dengan cepat Nindya berjongkok dan memeriksa Bima. Tak ada luka, jelas rasa sakit ini dari dalam. Diambilnya ponsel dari kamarnya lalu dengan tangan bergetar diteleponnya ambulans.“Bim ....” Nindya terus menerus memegang tangan suaminya.Bi Ijah sudah dibangunkan, tapi tak ada apa pun yang bisa mereka lakukan selain menunggu ambulans datang.“Sakit, Nin ....” Hanya itu kalimat yang terus diulang-ulang Bima sambil memegang perutnya. Keringatnya tak berhenti, badannya dingin
“Bim ....” Nindya mengerjap-ngerjapkan matanya. Nyenyak sekali tidurnya kali ini. “Kau baru pulang?” tanyanya melihat Bima masih memakai baju kerja.Bima mengangguk sambil tersenyum padahal kakinya sudah mati rasa karena berjongkok dari tadi. Melihat Nindya bangun lalu duduk di tempat tidur, Bima ikut berdiri. Dia ingin duduk di samping Nindya, melepas rindu, tapi Bima tahu Nindya akan melarangnya.“Gantilah pakaianmu dulu. Aku akan menunggu di sini.” Nindya tersenyum sambil suaminya yang mematung.Bima menganggukkan kepalanya. “Tunggu ...,” katanya, seakan takut Nindya akan menghilang saat dia kembali.Nindya memandang tubuh suaminya yang menghilang ke kamar mandi. Lalu, dia melangkahkan kakinya ke dapur. Sebuah cangkir diisi teh hangat. Entah kapan terakhir kali dia membuatkan minuman untuk Bima.Setelah masuk ke dalam kamarnya, Bima sudah duduk di tepi ranjang. Wajahnya lebih segar meski rambut-rambut halus di dagunya juga semakin terl
Dua koper berukuran sedang kini sudah berada di ruang tamu. Hanya itu yang Nindya bawa dari rumahnya empat bulan lalu, pakaian dan beberapa barang pribadi lainnya.Saat tinggal di apartemen pun Nindya tak banyak membeli barang lain. Kini baru disadarinya, sejak awal, dia memang pergi untuk kembali.Nindya sudah meminta ijin libur hari ini. Dari pagi, sudah dikepaknya barang. Dikosongkannya meja kerja, dibuangnya isi dapur dan lemari es. Dia tak suka meninggalkan sampah. Siang ini, dia sudah siap untuk pulang.Nindya duduk di ruang tamu, dilihatnya dua koper yang nanti akan dibawanya kembali pulang. Matanya menerawang ke penjuru apartemennya. Dia sudah mendapatkan apa yang dia inginkan di sini yaitu waktu dan tempat untuk berpikir.Dia mengingat cerita Dewi kemarin. Dipanggilnya kembali memori tentang Papanya. Prasetyo selalu hangat padanya. Memeluknya, memamerkan dirinya pada rekan bisnisnya kadang.Dirinya masih terlalu kecil untuk memah
Mobil Nindya berhenti di jalanan yang sudah dihafalnya dengan baik. Daun-daun kering yang beterbangan menyambutnya. Bi Ijah pasti belum sempat menyapu halaman.Dibukanya pintu pagar yang jarang dikunci jika siang. Dipandanginya rumahnya sesaat, tak banyak berbeda dari saat mereka membelinya dulu. Nindya bahkan hafal berapa langkah dari pagar menuju pintu utama.Diketuknya pintu. Ada bel di pagar namun sengaja tak dipencetnya, khawatir Bi Ijah sedang tidur siang. Diketuknya lagi pintu rumahnya sendiri.“Nduk...” sapa Bi Ijah setelah membuka pintu. Tubuhnya langsung memeluk Nindya.Dengan rasa bersalah dan rindu, dipeluknya kembali Bi Ijah yang sudah lama mengenalnya. Bi Ijah adalah pelayan Mama yang sejak dulu ditugaskan untuk menjaga Nindya. Nindya membawa Bi Ijah setelah dia dan Bima menikah.Saat Nindya memutuskan untuk pergi dari rumah, ia hanya pamit tanpa mengatakan alasannya pada Bi Ijah. “Bi... Maaf ya, Bi, Nindya tidak pernah menjenguk Bi Ijah.” Seharusnya disempatkannya walau
Nindya mematikan api kompor lalu mulai menata makanan matang di atas piring saji. Dia jarang sekali memasak. Hanya sesekali saat Bima ingin makan sesuatu yang Bi Ijah tidak bisa lakukan.Malam ini Dewi akan datang ke apartemennya. Nindya ingin menjamu Mamanya. Sejak prahara rumah tangganya, acara makan malam keluarga sudah 3 kali tidak diadakan.Ditatanya makanan di meja makan sederhana. Tak semewah hidangan dari Bi Suti tapi Nindya merasa cukup bangga akan masakannya. Dia pun merindukan Dewi.Ingin Nindya pergi ke Mamanya untuk bercerita, atau sekadar agar dia tak merasa sendirian. Namun, dia tahu posisi Mamanya juga tidak mudah. Ada Laras di sana.Kenapa harus Laras, Bim? Pikir Nindya.Pukul setengah tujuh malam, pintu apartemen Nindya diketuk dari luar. Buru-buru dibukanya pintu tersebut. Wajah Dewi yang selalu memancarkan kesan damai muncul di baliknya.“Ma...” sambut Nindya sambil memeluk Dewi.“Nin.” Dewi memeluk putrinya kembali. Dahsyat sekali prahara keluarga ini hingga mampu