"Aku suamimu!" ujar Marco kepada Elena. Ini sudah hari ketiga setelah Elena sadar dari koma. Kondisi Elena sudah cukup stabil tidak seperti sebelumnya, jadi dia ingin segera menyelesaikan masalahnya dengan Elena.
Anggap saja dia percaya jika Elena mengalami amnesia dan tidak mengingatnya, maka dari itu dia akan bicara untuk menyakinkan Elena jika dia adalah suami dari wanita ini. Elena mendengus mendengar ucapan Marco."Kau lagi" kesalnya menatap Marco tidak percaya. "Kau mau apalagi? Yang aku ingat, aku belum menikah. Aku tidak mengenalmu! Kenapa kau keras kepala sekali? Apa kau harus kupukul dulu agar kau mengerti? Jangan paksa aku untuk melakukan kekerasan! Meskipun aku seorang wanita dan masih sakit, bukan berarti aku tidak bisa memberimu pelajaran jika kau terus membuatku kesal dengan terus membual!" geram Elena. "Aku mengatakan kebenaran. Aku bahkan mempunyai bukti! Mau kau terima atau tidak terima, aku adalah suamimu! Aku suamimu! Kita sudah menikah!" tegas Marco mengabaikan wajah kesal Elena yang membuatnya sedikit tidak nyaman. Selama ini Elena selalu menatapnya dengan mata berbinar. Sebelumnya, dia tidak pernah mau repot meluangkan waktu untuk melihat atau menemani istrinya. Dia tidak peduli kepada Elena dan tidak pernah menganggap Elena sebagai istrinya. Dia selalu menjadi pihak yang dikejar dan dicintai istrinya setengah mati. Elena selalu melakukan apa yang dianminta atau tidak dimintanya hanya untuk menyenangkan hatinya. Namun, sekarang semuanya terasa berbalik. Dia tidak senang ketika merasa diabaikan oleh istrinya semenjak bangun dari koma. Dia tidak suka melihat wajah acuh dan wajah kesal Elena seakan dia tidak diinginkan lagi oleh istrinya, membuat dia seperti merasakan sesuatu yang hilang. Elena menatap datar Marco."Mana buktinya?" tanyanya dengan acuh, masih menatap waspada Marco. Marco menggeram kesal melihat Elena benar-benar tidak tertarik kepadanya. Elena bahkan melihatnya seperti dia seorang penjahat yang patut diwaspadai. Marco menghirup nafas dalam-dalam sebelum akhirnya memberikan amplop coklat berisi dokumen dan foto pernikahan mereka kepada Elena sebagai bukti yang menunjukkan jika mereka adalah pasangan yang terikat. Elena mengambil apa yang diberikan oleh Marco dengan ekspresi malas. Dia menatap Marco penuh peringatan."Meskipun bukti ini menyatakan kau suamiku, tapi aku tidak akan sepenuhnya percaya kepadamu sebelum benar-benar memverifikasinya! Sekarang penipuan semakin canggih dan apapun bisa dipalsukan! Jadi selama aku belum yakin kau suamiku, jangan pernah memanggil aku istrimu! Aku tidak mau kesempatan untuk mencari suami tampan dan baik hati untuk masa depanku di rusak olehmu! Ingat itu baik-baik!" ujarnya sambil membuka amplop coklat ditangannya. Marco menggertakkan gigi menatap Elena marah."Elena, aku tidak berbohong! Jika kau masih tidak percaya, kau bisa bertanya kepada keluargamu! Kau memang istriku dan kita sudah menikah! Jadi singkirkan pikiran tidak tahu malu yang ada di otakmu untuk mencari pria lain untuk kau jadikan suami di saat aku masih menjadi suamimu! Oh, Elena istriku, apa ini sebenarnya tabiat aslimu? Kau selama ini terlihat begitu mencintaiku tapi di belakangku kau bermain dengan pria lain. Kau hebat sekali! Tipuanmu sangat hebat!" sinisnya. Elena menatap Marco tidak percaya."Apa otakmu rusak?" Marco:"...." "Kau yang kehilangan ingatanmu akibat otakmu rusak terbentur aspal dengan keras! Beraninya kau menyalahkan orang lain atas kesalahanmu!" kesal Marco tidak terima. Elena menganggukkan kepala."Otakmu benar-benar rusak. Harusnya aku tidak bertanya" ujarnya acuh. Marco menggertakan gigi, lalu menghela nafas kasar. Lebih baik dia lebih memilih diam tidak membalas ucapan Elena kembali, atau dia akan semakin naik darah. Dia tidak yakin Elena sudah berubah atau pura-pura berubah untuk menghindari curiga. Dia harus memperhatikan Elena mulai dari sekarang agar istrinya tidak berulah yang semakin merepotkannya di masa depan. Marco menatap Elena dengan lekat untuk memperhatikan ekspresi istrinya setelah melihat bukti yang dia berikan. Satu Dua Tiga Marco mengangkat sebelah alisnya, menatap Elena heran karena melihat reaksi istrinya tidak seperti yang diperkirakan olehnya."Kau tidak terkejut?" tanyanya ketika bibirnya sudah gatal ingin berbicara kepada Elena. Dia ingin mengetahui apa yang dipikirkan oleh istrinya. "Oh, apa sebenarnya kau tidak kehilangan ingatan sampai kau tidak terkejut, karena kau sudah tau kalau kita ini suami istri?" ujar Marco menatap tajam Elena dengan mata menyipit curiga. Elena menatap Marco datar. Dia melengos kembali menatap bukti-bukti yang ada di tangannya."Aku terkejut" jawabnya acuh tak acuh."Soal tuduhanmu kepadaku, bukankah rumah sakit ini mempunyai poli kejiwaan? Aku benar-benar merekomendasikan dirimu untuk memeriksakan kesehatan mentalmu kesana" ujarnya. Marco menatap Elena tajam."Terkejut, heh? Apanya yang terkejut? Kau bahkan diam saja sedari tadi! Dan aku tidak gila!" geramnya. "Lalu kau mau aku bagaimana? Sedari tadi aku terus salah di matamu. Bukan! Sedari awal kita bertemu, kau terus menyalahkan aku!" ujar Elena menatap dingin Marco, lalu kembali menatap lembaran foto di tangannya. Dia membolak-balik foto pernikahannya dan tidak ingin lagi repot menatap pria yang mengaku menjadi suaminya. Marco mengepalkan tangan."Sekarang kau percaya aku ini suamimu?" tanyanya dengan kemarahan tertahan. "Tidak" jawab Elena singkat dan padat. Marco:"..." Wajah Marco berkedut."Yang kau pegang itu foto pernikahan kita! Apa kau tidak lihat di foto itu kau yang paling tersenyum lebar!" Elena menatap Marco dingin."Ini pasti ada kesalahan" ujarnya sambil menunjukan foto pernikahannya. Marco menggeram."Kesalahan apa? Foto itu memang diambil saat resepsi pernikahan kita. Kau yang mengatur segalanya, mulai dari tema pesta, dekorasi, gaun, hingga memilih pengisi acara dan tempat bulan madu kita!" "Aku terdengar seperti seorang agensi wedding organizer dibandingkan seorang pengantin" komentar Elena ketika mendengar ucapan Marco. Marco kehilangan kata-kata ketika mendengar ucapan Elena. Memang benar saat itu Elena bertingkah lebih heboh dari pihak wedding organizer yang ditunjuk untuk mengurus pesta pernikahan mereka. Marco menghela nafas kasar."Itu karena kau yang paling antusias dengan pernikahan kita sampai kau ingin semuanya sempurna sehingga kau lebih memilih turun tangan sendiri untuk mengurus pernikahan kita meski ada pihak wedding organizer yang ditunjuk untuk mengurus segalanya" ujarnya memberitahu kenyataan kepada Elena. "Benarkah? Terdengar seperti bukan aku. Aku bukan orang yang suka melakukan hal sia-sia seperti itu untuk orang yang tidak aku cintai. Katakan padaku, apa yang kau lakukan sebelumnya sampai aku mau menikah denganmu? Pria gila sepertimu, bukan tipeku! Oh, apa kau melakukan sebuah pemaksaan kepadaku hingga aku hamil dan terpaksa meminta pertanggung jawabanmu untuk menikahiku?" tanya Elena menatap curiga Marco. Bahkan rasa jijik kembali terlintas di matanya. Marco yang mendengar tuduhan dan ekspresi jijik di mata istrinya meskipun hanya sepersekian detik membuat kepalanya seperti ingin meledak. Marco bangkit dari duduknya dengan kasar hingga kursi yang didudukinya terjungkal ke belakang hingga menimbulkan suara kursi yang jatuh dengan keras. Tanpa berkata-kata, Marco lebih memilih meninggalkan Elena daripada dia kehilangan kendali saat menghadapi istrinya yang sangat menyebalkan. Elena menatap punggung Marco yang menghilang dari balik pintu dengan acuh tak acuh. "Ada apa dengannya? Aku belum selesai bicara, tapi dia sudah pergi dan marah begitu saja" gumam Elena, lalu menggedikan bahu tidak peduli. Dia menatap foto pernikahan ditangannya."Bukankah foto ini begitu aneh? Harusnya di foto ini aku yang cemberut bukan si gila itu! Dia sepertinya sudah salah memilih orang orang untuk membuat foto editan ini. Sayang sekali, padahal foto ini benar-benar terlihat sangat asli. Aku hampir saja tertipu!"Nyonya Mariska menatap kakak iparnya. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk."Benar juga. Selama ini Elena yang mengurus urusan kita. Tapi... Elena tidak ada di sini. Aku tidak tahu apa dia masih sakit atau tidak. Terakhir kali Elena masuk rumah sakit, aku belum menjenguknya sama sekali""Sekarang Elena tidak hanya tidak pulang ke rumah ini, di rumah sakit pun ia tidak ada. Aku tidak tahu Elena sudah sembuh atau belum. Aku tidak tahu ia sudah pulang dari rumah sakit atau belum. Kalian juga dengar sendiri jika Marco tidak membahas apapun tentang Elena, apa menantuku pergi di rumah orang tuanya atau tidak""Jika aku menghubungi Elena, apa dia akan mendengarkan aku? Elena mungkin sedikit kesal padaku, karena aku tidak pernah melihatnya ketika ia sedang sakit" jawabnya dengan ragu setelah ia sempat menyetujui usulan iparnya untuk menghubungi Elena.Mata Mona seketika berbinar ketika mengingat kakak iparnya. Meskipun ia sedikit tidak menyukai Elena yang terlihat sombong, karena te
Marco menarik dasi yang terasa seperti sedang mencekik dirinya. Ia bersandar pada kursi mobil yang sedang berjalan. Kepalanya terasa ingin pecah karena terus menerus dipaksa untuk bekerja keras memikirkan cara untuk menyelamatkan perusahaannya yang tiba-tiba saja diambang kebangkrutan. Belum lagi karena masalah ini, ia juga menjadi tidak pernah bisa beristirahat dengan benar sama sekali. Ia bahkan sudah tidak pulang selama berhari-hari untuk menyelesaikan masalah perusahaannya hingga terpaksa menginap di kantornya.Mobil yang membawa Marco melaju membelah jalanan kota hingga tiba di sebuah rumah besar. Dengan langkah gontai, ia keluar dari mobilnya untuk masuk ke dalam rumahnya. Baru saja membuka pintu rumah, ia sudah disambut oleh suara seorang wanita yang tentu saja bukan istrinya, sebab Elena sudah lama tidak tinggal bersamanya. Marco mendongak menatap ibu dan adik perempuannya serta seluruh keluarga besarnya yang entah sejak kapan berkumpul di rumahnya. Ia mengerutkan kening, me
Setelah di usir dari rumah sakit oleh Elena dan para pengawalnnya, sudah satu bulan lebih Marco tidak menjenguk istrinya itu. Bukan dia tidak ingin mencoba untuk mencari dan menemui istrinya. Ada banyak hal yang dia pikir harus diselesaikan antara dia dan Elena. Namun sayangnya istri menyebalkannya itu benar-benar menutup akses untuk menemuinya. Pernah suatu kali dia memaksa dan mencari cara untuk bertemu dengan Elena, tetapi yang didapatkan hanya rasa malu dan kecewa. Dan soal nasib Marrie, wanita itu masih ditahan di penjara. Sepertinya Elena tidak main-main dengan keinginannya untuk memberi pelajaran dan memenjarakan Marrie. Keluarga Riddle kali ini ikut turun tangan hingga dia tidak bisa melakukan apapun untuk membantu sekretarisnya itu lolos dari hukuman. Selain itu, sepertinya dia tidak punya banyak waktu untuk mengurusi orang lain termasuk Marrie, karena urusannya sendiri sudah sangat memusingkan. "Tuan, perusahaan Valgari telah memutuskan untuk mengakhiri kerja sama dengan
Marco digelandang keluar oleh pengawal yang selama ini dikirimkan oleh Josh, sang kakak tidak lama setelah dia sadar. Namun demi kenyamanan dan rencananya, Elena meminta para pengawal itu untuk berjaga di sekitar rumah sakit dan bukan di depan kamarnya. Kecuali diminta untuk datang, keberadaan mereka tidak diketahui oleh orang disekitarnya. Saat Marrie datang untuk mengganggu, sebenarnya bukan hal yang sulit untuk mengusir wanita itu dari hadapannya. Namun jika dia menggunakan kekuatannya lebih awal, tentu tidak ada pertunjukan menarik seperti tadi dan dia tidak bisa menyeret Marrie ke kantor polisi. Marrie si ulat bulu pengganggu sudah berhasil dia masukkan ke dalam penjara untuk beberapa waktu. Sekarang waktunya memberi pelajaran kepada suami tidak tahu malunya ini. Misinya untuk memberi pelajaran kepada Marrie sudah berhasil, saat ini waktunya memberi pelajaran kepada suaminya. Dia harus menunjukan kepada Marco jika dia bukanlah Elena yang dulu. Elena saat ini bukanlah seorang w
Marrie sudah digelandang oleh petugas polisi untuk diminta keterangan tentang apa yang terjadi. Sedangkan para pegawai salon yang terluka juga dibawa keluar ruang perawatan Elena untuk mendapatkan perawatan atas luka di tubuh mereka akibat perbuatan Marrie. Marco menatap Elena yang kini terbaring di ranjang setelah dokter selesai mengobati luka di tubuh istrinya. "Aku minta maaf. Aku tidak tahu jika Marrie akan berbuat sejauh ini. Aku pikir..." ucapan Marco terhenti saat Elena menyelanya dengan nada yang tidak sabar dan sedikit cemoohan terkandung di dalam nada suaranya."Kau pikir apa? Jika aku tidak mengingat tentang hubunganku yang tidak pernah akur dengan Marrie, tentu kau tidak ikut melupakannya juga bukan? Kau tau aku mempunyai hubungan yang buruk dengan wanita itu. Untung saja kakakku mengingatkan aku untuk selalu waspada denganmu dan orang-orang di sekitarmu yang jahat itu. Apa kau sengaja mengirim wanita itu agar aku terus sakit dan tidak sembuh? Kau ingin menyakiti aku me
Marco berjalan tergesa memasuki lorong rumah sakit tempat istrinya dirawat. Dia baru saja menerima pesan suara dari Elena. Marrie, sekretarisnya yang seharusnya mengurus masalah istrinya, tidak hanya gagal melakukannya, tetapi juga telah membuat keributan yang membuat Elena merasa tidak nyaman. "Marrie, apa lagi yang kau lakukan kali ini? Apa benar kau mengganggu Elena, atau sebaliknya?" Marco terdiam, mengingat hubungan yang tidak akur antara Elena dan sekretarisnya itu. Dia berpikir bahwa dia telah mempertimbangkan hal ini dengan matang sebelum memberikan perintah. Meskipun sebelumnya hubungan Marrie dan Elena tidak baik, Elena kini mengalami amnesia, sehingga seharusnya istrinya itu tidak mengingat apa pun tentang Marrie, termasuk rasa bencinya. Jadi kenapa kali ini Marrie dan Elena kembali tidak akur? Marco dipenuhi pikiran rumit dan kegelisahan. "Apa selama ini yang mencari masalah bukan Elena, melainkan Marrie? Mungkinkah aku tertipu? Siapa yang salah kali ini? A