“Nyonya! Tuan Zafir membawa seorang wanita asing masuk ke dalam Mansion!"
Ucapan Kate, asisten pribadinya, membuat Naura langsung mengalihkan pandangan dari tumpukkan dokumen di atas meja.
"Pekerja baru?" tanya Naura.
Kate menggeleng. "Bukan, Nyonya! Wanita itu adalah kekasih Tuan Zafir!!"
Naura terkejut. Zafir adalah pria yang telah dia nikahi selama enam tahun, lalu apa maksudnya pria itu membawa seorang kekasih ke kediaman mereka?
"Bawa aku menemui mereka," titah Naura, membuat Kate menganggukkan kepala dan mengantarnya ke tempat Zafir berada.
Baru saja mereka sampai di ruang tamu, Naura bisa mendengar percakapan antara dua orang di dalam sana.
“Rumahmu indah sekali, Zafir! Aku sangat menyukainya!”
“Kamu akan tinggal di sini, jadi bagus kalau kamu suka.”
Tampak seorang wanita dengan rambut hitam panjang bergelombang sedang tersenyum dan tertawa manis ke arah seorang pria.
Wajah wanita itu begitu cantik, ditambah dengan ekspresi polosnya, siapa pun yang melihat pasti akan jatuh hati dan ingin melindunginya.
Di sisi lain, sang pria yang tidak lain adalah Zafir, terlihat mengusap kepala wanita tersebut dengan lembut.
Kalau orang yang tidak tahu, pasti akan mengiranya keduanya adalah sepasang kekasih.
“Apa yang kalian lakukan?”
Pertanyaan Naura membuat dua orang di dalam ruangan tersentak.
Zafir yang tadi sibuk menyentuh kepala wanita asing itu, langsung berdiri dengan wajah kaget. “Naura?”
Naura memandang Zafir dingin sebelum beralih menatap wanita asing di sebelah pria itu tajam. “Siapa wanita ini?”
Seakan tidak ada yang salah, Zafir memasang senyum lebar. "Perkenalkan, Sayang... Ini Evelyn." Dia menggenggam tangan Evelyn tanpa ragu dan membawanya menghampiri sang istri.
Berdiri berhadapan dengan Naura, Evelyn memberikan senyum yang sangat manis. “Salam kenal, Kak Naura. Aku Evelyn.”
Melirik tangan Zafir yang terkait dengan tangan Evelyn, Naura berujar, "Membawa seorang wanita asing ke dalam kediaman dan berperilaku intim di depan semua orang. Apa kamu sedang mengumumkan bahwa kamu memiliki kekasih baru, Zafir?"
Pertanyaan dan pandangan tajam Naura membuat Zafir kaget selagi Evelyn takut.
Melihat wanita di sebelahnya bergetar, Zafir langsung mengusap kepala Evelyn untuk menenangkannya.
“Tenang, jangan takut. Kamu akan baik-baik saja,” ucapnya. “Tunggu di sini sebentar ya. Aku dan Naura akan bicara dulu. Kami tidak akan lama."
Naura melihat Evelyn mengangguk patuh selagi memaksakan senyuman ketika ditenangkan oleh Zafir.
Hal tersebut membuat perasaan Naura semakin tidak nyaman. Jadi, dia pun berbalik untuk melangkah lebih dulu meninggalkan ruang tamu.
Mereka kemudian masuk ke dalam salah satu kamar kosong di dekat ruang tamu utama mansion.
"Jadi, apa maksudnya ini?" Naura langsung berkata begitu pintu ditutup rapat.
Sembari tersenyum tipis, Zafir menggenggam tangan Naura dan berkata dengan santai, "Dia adalah wanita yang akan mengandung anak kita, Sayang.”
“Apa?” Mata Naura membesar dan langsung menepis tangan sang suami. “Apa maksudmu?”
Reaksi besar sang istri sama sekali tidak mengejutkan Zafir. Pria itu hanya memasukkan tangannya yang ditepis ke dalam saku celana dan menjelaskan,
“Kita sudah enam tahun menikah, tapi kamu masih belum melahirkan seorang anak. Ibuku sudah tidak bersedia menunggu lagi. Jadi ….”
“Kamu akan menikah lagi?” tanya Naura dengan tubuh bergetar.
Zafir menggeleng cepat, "Tidak, Sayangku. Dia tidak akan menjadi istriku, karena dia hanya akan mengandung anak kita.”
“Kamu akan menyewa rahimnya?” tanya Naura, membuat Zafir menganggukkan kepala. “Tapi aku masih bisa mengandung, Zafir! Bukankah kita sudah membicarakan hal ini sebelumnya?!”
"Keluarga besar Wajendra menuntut kehadiran penerus, Naura!” balas Zafir, mulai kehilangan kesabaran.
Dia menyisir rambutnya ke belakang dengan frustrasi sebelum menambahkan, “Kesehatan Ibu semakin memburuk, dan aku sudah seharusnya diumumkan sebagai pewaris. Apa karena kamu masih belum mampu melahirkan, maka kami harus terus menunggu? Tidakkah kamu merasa dirimu terlalu egois?”
Ucapan Zafir membuat hati Naura berdarah. Apa suaminya baru saja menyalahkannya?
Memang, ibu mertua Naura sedari dulu menuntut kehadiran seorang penerus kepada Naura dan Zafir selagi mengungkit kondisi kesehatannya.
Namun, bukankah Zafir sendiri yang mengatakan pada Naura untuk jangan khawatir karena itu hanyalah akal-akalan wanita tersebut belaka?
Lalu, terkait pengumuman Zafir sebagai pewaris, memang hal itu sedang ditunda oleh keluarga besar hingga dia bisa mendapatkan keturunan.
Namun, bukankah Zafir sendiri yang menyatakan dia rela menunggu sampai Naura bisa mengandung anaknya setelah beberapa bulan lalu keguguran?
Lalu, kenapa sekarang Zafir menyatakan Naura sebagai wanita yang egois?
Melihat Naura diam, Zafir meraih tangan sang istri dan berucap lembut, “Bukan maksudku membentakmu, tapi mengertilah, Naura. Kita hanya perlu menyewa rahim Evelyn dan menahan semua ini selama sembilan bulan. Setelah itu, Evelyn tidak akan muncul lagi di hadapan kita dan anak itu mutlak milik kita," sambung Zafir.
Naura terdiam, masih berpikir keras. Hatinya yang terluka dan pikirannya yang kacau membuat wanita itu sulit mencapai keputusan.
"Aku berjanji, rencana ini akan berjalan lancar dan berlalu begitu saja. Evelyn tidak akan mengusikmu dan kami akan melakukannya jauh darimu. Bagaimana?"
Naura menautkan alis. Dia barusan tidak salah dengar, bukan?
“Kau akan tidur dengannya?”
Setelah terdiam beberapa saat, Zafir menganggukkan kepala. “Ya.”
Naura membelalak. “Kamu bisa menggunakan cara bayi tabung. Kenapa harus sampai tidur dengannya?!”
“Ibuku percaya kalau cara terbaik untuk mengandung adalah melalui rahim, bukan bayi tabung.”
Naura tidak percaya dengan apa yang dia dengar. “Bukan hanya kamu membawa wanita asing untuk menjadi ibu pengganti tanpa persetujuanku, tapi kamu juga berniat meniduri wanita itu hanya karena ibumu berkata demikian?! Kenapa kamu tidak menceraikanku dan menikahi wanita itu saja?!”
Saat kalimat itu terlontar, wajah Zafir berubah gelap. Pria itu tampak terluka sekaligus kecewa.
“Kalau bukan karena terpaksa untuk kebaikan kita semua, apa kamu kira aku akan melakukan hal ini?” Pria itu melepaskan tangan Naura dan menjauhkan diri. “Bagaimana kamu bisa berkata seperti itu padaku?”
“Aku–”
“Aku lelah berdebat,” potong Zafir, tidak lagi ingin mendengar ucapan Naura. “Aku tahu kamu sedang marah. Jadi, aku akan menganggap kamu salah bicara.”
Pria itu berbalik ke arah pintu seraya berkata, “Untuk sekarang, dinginkan kepalamu dan berpikirlah dengan matang. Setelah tenang, baru temui aku lagi dengan jawabanmu.”
Kemudian, pria itu berjalan pergi meninggalkan ruangan.
Naura berniat mengejar, tapi Zafir telah terlebih dahulu menutup pintu. Hal tersebut membuat Naura mengepalkan tangan dengan kedua matanya mulai berkaca-kaca.
Naura akui, dirinya memang bersalah karena belum mampu memberikan keturunan untuk Zafir. Akan tetapi, itu pun hanya untuk sementara karena rahimnya sehat.
Lagipula, wanita mana yang rela membiarkan suaminya tidur dengan wanita lain untuk mendapatkan seorang anak!?
Bahkan bila rencana ini berhasil dan Evelyn bisa memberikan mereka seorang anak, apa Naura bahkan bisa mengatakan itu adalah anaknya dan Zafir?!
Menutup wajahnya yang berurai air mata, Naura hanya bisa bertanya, “Apa … yang harus kulakukan?”
**
Setelah beberapa jam berlalu, Naura sudah berada di hadapan Zafir dengan wajah yang berbekas uraian air mata dan tampak lelah.
Berbalik dengan Naura, wajah Zafir tampak berseri.
“Kamu setuju!?”
Setelah Naura mengangguk, Zafir langsung memeluk erat istrinya dengan bahagia.
“Aku tahu kalau kamu pasti mengerti, Sayang!”
Saat ini hati Naura terasa dingin. Padahal, biasanya pelukan suaminya adalah sesuatu yang bisa membuat perasaannya menghangat.
Tak hanya itu, hatinya benar-benar berat. Namun, senyuman cerah Zafir membuatnya merasa telah melakukan keputusan benar.
“Berjanjilah agar tidak mengkhianati kepercayaanku, Zafir.” ucap Naura.
Zafir melepaskan pelukannya terhadap Naura selagi tersenyum lembut. “Tentu saja, Naura. Aku berjanji.”
Namun, apakah janji selalu ditepati?
Satu minggu tepat ajakan menikah Arjuna, pria itu benar-benar mewujudkannya. Naura berdiri dengan gaun pengantin putihnya, bibirnya tersenyum tipis menatap sosoknya sendiri di cermin. Mela dan Kate berdiri di kedua sisinya, mereka ikut tersenyum bahagia. "Selamat, anakku yang manis. Jika ayahmu melihat ini, pasti dia menangis bahagia," ucap Mela, kedua matanya berkaca-kaca saat mengatakan ini. Naura tersenyum dan memeluk Mela. "Semua ini terjadi karena doa ibu yang selalu membantuku."Setelah Naura melepas pelukannya, kini giliran Kate yang menangis. "Ada apa, Kate?" tanya Naura sambil tersenyum tipis. "Saya merasa terharu, karena akhirnya nyonya bisa bahagia tanpa banyak pihak yang mengganggu," jawab Kate cepat di tengah isak tangisnya. Naura terkekeh, lalu memeluk Kate. "Terima kasih banyak karena selalu setia padaku, Kate.""Sebuah kehormatan untuk saya, nyonya," jawab Kate sambil menahan air matanya agar tidak jatuh mengenai gaun pengantin Naura. "Kalau begitu ibu akan kel
Zafir terbatuk keras sebelum akhirnya dia jatuh berlutut di lantai sambil menahan darah yang terus mengalir keluar melalui punggungnya. "Zafir..." ucap Naura, dia tetap mendekat meskipun Zafir menahannya. Kedua tangan Naura gemetar, matanya mulai menatap khawatir ke arahnya Zafir. "Kenapa kamu melakukan ini?""Karenamu, apa lagi?" jawab Zafir tanpa ragu di tengah kerumunan yang memperhatikan mereka. "CEPAT PANGGIL DOKTER! KENAPA KALIAN HANYA MELIHAT?!" Bentak Naura pada kerumunan yang hanya diam menonton. Sela tiba-tiba tertawa dari atas sana, kemudian dia berkata,"Aku tahu kamu akan dilindungin oleh siapapun itu."Naura kembali menatap Sela, kali ini tatapannya tajam. "Apa semua ini tidak cukup untukmu?""Berhenti menyakiti mereka, Sela! Bukankah aku yang ingin kamu hancurkan?!" Tiara mendekat ke arah Naura dan merentangkan tangannya untuk melindungi Naura dari bidikan pistol Sela. Sela hanya menatap datar Tiara, lalu tiba-tiba menarik pelatuk pistolnya kembali, namun kali ini b
Satu minggu setelah pertemuannya dengan Tiara, Mansion Tirta kedatangan surat undangan perayaan ulang tahun keluarga Bara. Naura tengah bersiap-siap, wanita itu duduk tenang di meja riasnya seperti biasa. "Apa belum ada kabar dari Arjuna?" tanya Naura, hari ini genap tiga minggu dirinya dan Arjuna tak bertemu. Kate menggeleng pelan. "Belum, nyonya. Saya juga sudah mencoba mencari kabar beliau melalui tuan Damian, tetapi masih belum ada kabar juga."Naura mengangguk mengerti, lalu memilih untuk segera menuju mobil di halaman depan. Sudah tiga hari Arjuna jarang memberinya kabar, entah kesibukan seperti apa yang menimpa pria itu. Naura jelas berbohong jika dirinya tidak khawatir, namun yang lebih jelas lagi adalah dia percaya pada Arjuna. Sampai di Mansion Bara, karpet merah menjuntai menyambut kedatangan Naura. Begitu sosoknya turun dari mobil, jepretan kamera secara cepat menyambarnya. Naura tetap tersenyum dan terus melangkah maju melewati lautan wartawan di sisi kanan dan ki
"Maaf karena sebelumnya saya sempat tiba-tiba menghilang dan membuat Anda khawatir," ucap Tiara dengan raut wajah cemas. Naura tersenyum tipis dan mengangguk. "Saya mengerti, nyonya Bara."Tak lama senyum halus Tiara hilang, pandangan matanya pun perlahan turun. "Situasinya sedang sangat tidak baik."Naura memilih untuk tetap mendengarkan, menunggu wanita itu selesai menjelaskan. "Presiden menekan saya menggunakan adik laki-laki saya yang sedang berkuliah di Amerika. Tak satupun kerabat internal Bara yang bersedia membantu, kami semua takut." "Apa tidak ada kerabat yang sebelumnya--""Tidak ada, nyonya. Saya benar-benar tidak berdaya, mereka menganggap saya tidak mampu melindungi keluarga Bara, jadi mereka tidak berani mengambil risiko." Potong Tiara, membuat Naura kembali terdiam. "Yang membuatnya semakin sakit bukan karena saya teringat fakta bahwa suami saya selingkuh, tetapi saat saya sadar setelah semua usaha yang saya lakukan, saya tetap tidak bisa membuat orang-orang yang s
"Apa yang membuat nyonya Tirta terhormat mengunjungi kediaman Bara kami?"Suara Jovan yang melayang dengan nada sarkas terdengar. Naura berdiri di hadapan mobil sedan hitam mewahnya, menatap dingin Jovan dan Sela yang 'menyambutnya'. "Di mana nyonya Bara?" tanya Naura langsung, tidak mengindahkan basa-basi Jovan. Jovan tersenyum dingin. "Istri saya kebetulan sedang ada perjalanan bisnis mendadak ke Mesir, nyonya. Sayang sekali, Anda--""Lalu mobil siapa yang terpakir di situ?" Potong Naura, lirikan matanya tertuju pada mobil limosin putih yang terpakir tak jauh dari mereka. Jovan sedikit tercekat, dia tidak tahu kalau Naura bahkan mengetahui mobil Tiara. "Istri saya--""Bisakah Anda tidak membuat waktu saya terbuang sia-sia? Cepat panggil nyonya Bara." Potong Naura saat Jovan hendak melontarkan alasan baru. Jovan menggeleng cepat. "Istri saya sedang tidak enak badan, nyonya Tirta. Tidak bisakah Anda berhenti ikut campur?" Tatapan dan nada bicara Jovan berubah lebih tajam. Naura
Naura tengah mendengarkan presentasi rapat di kantor utama Tirta, namun meskipun begitu tidak ada yang tahu kemana fokus pikirannya pergi. Sejak pagi dia hanya memikirkan Tiara, hatinya jelas merasa khawatir mengingat wanita itu tak memiliki dukungan apa pun dari internal maupun eksternal. "Bagaimana, nyonya Tirta?" tanya ketua divisi yang sedang melakukan presentasi tersebut, membuat Naura tersadar. "Iya, maaf? Oh... Bagus, teruskan." Setelah Naura menjawab, raut wajah puas dan bahagia segera terpancar dari para anggota divisi tersebut. Begitu rapat selesai, Naura dengan cepat bergegas keluar dan Kate seperti biasa mengikuti dari belakang. "Anda baik-baik saja, nyonya?" tanya Kate khawatir. Naura mengangguk singkat. "Iya, apa aku terlihat tidak fokus di rapat tadi?"Kate balas mengangguk juga. "Lumayan, nyonya. Anda ingin saya buatkan teh atau--""Nyonya Tirta!" Dari arah belakang muncul suara pria yang memanggilnya, membuat Naura dan Kate menoleh bersamaan. "Ada apa?" tanya