Share

2. Kartu Pos

Alice menutup kasar sampul tabloid miliknya. Kegiatan sederhana yang dia pikir akan mampu mengalihkan perhatiannya dari insiden dua hari lalu sama sekali tidak memberi pengaruh yang berarti. Dia bahkan sudah mengurung diri di kamar sejak kemarin sore.

Setelah melihat kolom iklan dengan gambar cincin berlian dan gaun pengantin, dipenuhi renda ikal yang indah, suasana hati Alice langsung hancur berantakan. Belajar melepaskan sesuatu yang harus dilepaskan memang tidak mudah. Namun, dia toh sudah melakukannya.

"Dasar bajingan!" maki Alice sambil menyandarkan kepalanya di kosen jendela.

Penelope Cove, adik tiri Alice yang mengaku sedang hamil, kini telah menyematkan 'Walcott' sebagai nama belakangnya. Dean yang tidak punya pilihan lain, kecuali menikahi Penelope pun lebih banyak diam di sepanjang sisa acara. Mereka lalu meninggalkan Alice di depan altar seorang diri selepas pembacaan sumpah perkawinan selesai dilaksanakan. 

Alice yang merasa dipermalukan langsung mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja hari itu juga. Kalimat simpati dari rekan-rekannya pun terus mengalir melalui surel dan pesan singkat di ponselnya. Dalam kondisi rapuh dan patah hati Alice kemudian pulang ke rumah, menyingkirkan seluruh barang-barang milik Dean ke tempat yang seharusnya, dan mengubur dalam-dalam mimpi konyolnya untuk menikah.

Hari-hari sialku baru saja dimulai, pikir Alice muram. Dan pagi itu, langit yang mendung kembali meniupkan angin kencang ke seisi kota, mengundang hujan lebat turun sesudahnya. Cuaca yang Alice benci karena dia tidak suka temperatur dingin, tetapi London nyaris selalu dikelilingi oleh kelembapan sepanjang tahun. 

"Sempurna," erang Alice sambil memutar bola mata saat menyaksikan petir menyambar di kejauhan melalui jendela jungkit flatnya.

Di tengah-tengah rasa frustrasi yang mengepungnya, Alice lantas memutuskan untuk pergi menenangkan diri ke dapur. Membuat secangkir teh panas dan duduk di salah satu kursi tanpa lengan di dekat sudut perapian kuno yang tidak lagi aktif. Menyeruputnya sedikit demi sedikit sambil mengasihani diri sendiri.

Alice sudah merencanakan kepindahannya tadi malam. Setelah mempertimbangkan begitu banyak hal, dia yakin dia bisa melupakan sekaligus menyembuhkan luka-lukanya lebih cepat di kota lain. Jauh dari akses orang-orang yang pernah dikenalnya, menata hidup dari awal lagi, mungkin rasanya akan sama seperti membuka lembar baru di halaman pertama sebuah buku dan Aberdeen akan jadi tempat pelarian diri yang tepat bagi Alice.

Seiring dengan hujan yang mulai reda dan cangkir tehnya yang sudah kosong, Alice lalu bergegas kembali ke dalam untuk mengepak koper. Saat akan melangkah melewati kulkas, selembar kartu pos dari sang bibi yang ditempelnya di sana mendadak menarik minat Alice lebih dari biasanya. Dia memutar tubuhnya, menarik pin magnet yang menahan benda itu, dan membaca ulang isi surat bibinya.

"Selamat atas pernikahanku... selai murbei... punya dua ekor kucing baru..." Alice menggumamkan beberapa poin penting di dalamnya.

Mata Alice bergerak ke arah kanan dengan cepat, mengecek setiap kalimat yang dia pikir bisa jadi terlewatkan olehnya, hingga mata sembabnya kemudian menyipit dan menemukan yang dia cari di baris paling akhir. Alice baru saja membuat perubahan besar untuk seluruh rencananya. Aku akan tinggal di Birmingham, putusnya mantap.

"Teman bibi menawarkan pekerjaan sebagai copy editor di sana. Bukankah itu permulaan yang baik?" bisik Alice yang diam-diam merasa lega karena satu masalahnya sudah terselesaikan.

Alice lalu melipat kartu pos dan menyisipkannya di kantong piamanya. Berniat membalas surat Bibi Clementine yang menolak segala bentuk alat komunikasi modern yang jauh lebih praktis seperti telepon seluler. Alice dengan sabar menulis setiap huruf, membubuhkan salam sayang, dan membungkusnya dengan amplop yang disegel menggunakan lilin.

"Kadang-kadang aku merasa aku hidup di abad delapan belas. Siapa yang masih mengirim surat melalui kantor pos zaman sekarang?" gerutunya sambil menghela napas dan meletakkan amplop itu ke dalam laci untuk dikirim esok pagi.

Dan ketika Alice tiba di Birmingham lusa, hujan ringan turun mengguyur kota. Setelah keluar dari taksi yang membawanya pergi ke area Pershore Road, salah satu roda koper Alice rusak sebelum sampai di flat yang dia tuju, dan kesialannya tidak cukup berhenti hanya di situ. Tas totenya, yang dia gantung di dekat koper, dijambret oleh dua orang pria tidak dikenal.

"Apa yang kalian—tidak! Tidak! Copet!" teriak Alice yang syok.

Para kriminal itu langsung berlari ke arah persimpangan jalan raya dan membaur bersama kerumunan pejalan kaki yang melintas di sepanjang trotoar. Alice berusaha mengejar mereka, tetapi dengan kondisi koper yang rodanya tidak lengkap usahanya jelas tidak sepadan. Alice yang panik spontan menyeberangi jalan tanpa memperhatikan keadaan lalu lintas yang padat sore itu.

Suara klakson dari sebuah mobil sedan yang tengah melaju di atas kecepatan rata-rata lantas datang dari sisi kanan Alice. Sadar dengan kecerobohannya, kesiap Alice sontak mengudara, dan peristiwa tersebut mendadak membuat tubuhnya membeku di tempat. Alice memejamkan mata, mengira akan membuka matanya di atas ranjang crank rumah sakit atau bahkan tidak akan pernah bangun sama sekali, kemungkinan paling buruk yang bisa saja menimpanya.

"Kau! Apa kau sudah gila?" Pemilik kendaraan itu meneriaki Alice dari balik kaca kemudi yang diturunkan, kepalanya mendongak miring keluar, seorang pria dengan desibel suara yang sanggup menulikan kedua telinga Alice detik itu juga.

Keributan di antara mereka mulai menarik perhatian orang-orang sekitar, tetapi tidak ada yang repot-repot melibatkan diri. Mulut Alice terasa kering sekarang. Kopernya lepas dari genggaman dan jatuh ke atas permukaan aspal yang basah. Aku masih hidup, pikirnya.

"Apa kau sadar bahwa kau tidak hanya membahayakan dirimu sendiri? Kau juga bisa membuat pengguna jalan yang lain celaka. Apa yang akan terjadi bila aku gagal menginjak rem tepat pada waktunya?" Pengendara itu masih mengomeli Alice, suaranya parau, sarat dengan emosi.

Mata Alice terbuka perlahan. Mengamati pria yang baru saja berteriak padanya. Seseorang yang tidak asing. Seseorang yang pernah berbagi masa lalu bersamanya. Namun, sosok itu menghilang tanpa kabar dua tahun yang lalu.

Rasa gugup merayap ke dada Alice. Kedua lututnya yang gemetar membuat tubuh Alice merosot ke bawah dan dia jatuh pingsan di tengah-tengah hujan yang kian lama kian lebat. Sebelum kesadaran Alice hilang sepenuhnya, dia sempat mendengar pria itu memaki dengan aksen Inggris-nya yang sempurna dan merasakan punggungnya terangkat ke atas oleh perubahan gravitasi.

Ada sepasang lengan kokoh yang mendekap tubuh Alice dan bau samar yang anehnya juga familier baginya. Aromanya seperti musk dan rempah, sedikit tajam, perpaduan khas antara jejak maskulin dan testosteron. Alice yakin dia tidak akan salah mengenali sebab hormon dalam tubuhnya memberi reaksi yang mengejutkan bahkan untuk dirinya sendiri.

"Apa yang harus kukatakan padamu nanti, Alice Harper? Kaukah yang menemukanku atau justru akulah yang menemukanmu?" bisiknya lalu merebahkan tubuh Alice di belakang kursi kemudi.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status