Share

Bercinta dengan Naga
Bercinta dengan Naga
Penulis: Pierre Magnol

Seorang Gadis yang Dijanjikan

Sudut Pandang Latu

Saat bulan purnama menyinari pulau Tannin terdengarlah tangisan anak yang baru saja lahir. Seluruh warga pulau merayakan anggota baru dengan sukacita. Mereka bernyanyi dengan girang serta menari tanpa lelah. Sudah menjadi tradisi di pulau Tannin jika kelahiran dan kematian harus dirayakan dengan meriah. Mereka bersyukur atas kedatangan dan berbahagia mengenang sejarah yang pergi. Setiap penduduk percaya jika kelahiran dan kematian adalah berkah dari semesta yang patut untuk dirayakan.

Anak perempuan itu dibawa keluar rumah menuju tepi pantai. Semua orang menyaksikan ritual yang dilakukan oleh para tetua pulau dengan khusyuk. Penduduk pulau Tannin memiliki kepercayaan bahwa anak yang dilahirkan saat bulan purnama adalah istimewa. Tradisi ini berawal dari kepercayaan bahwa nenek moyang mereka menikah di bawah bulan pertama dan diberkahi oleh air mata suci naga biru ajaib. Beberapa buku yang diturunkan dari generasi ke generasi masih menyimpan kisah nenek moyang pulau Tannin.

Anak perempuan itu dimandikan dengan air yang diambil dari hulu sungai Naga.

“Jadikanlah air suci ini mengalir dalam nadi anakmu ini,” ucap tetua sambil membasuh bayi istimewa itu.

Bayi itu kemudian didoakan oleh para tetua desa secara bergantian. Hingga akhirnya dia diangkat menengadah ke bulan purnama. Semua berharap cahaya bulan akan terserap di setiap kulit bayi itu. Setiap warga kembali bernyanyi, mereka menari mengelilingi anak perempuan itu setelah ritual ditunaikan. Mereka berharap kehadiran anak perempuan yang lahir di bawah sinar purnama itu akan membawa mereka makin dekat dengan naga biru. Naga yang telah memberikan nenek moyang mereka kehidupan. Naga yang telah menghilang dari pulau ribuan tahun lalu. Penduduk sangat bersemangat karena anak perempuan ini adalah anak pertama yang lahir di bawah bulan purnama seribu tahun terakhir.

“Berikanlah sinarmu pada anak ini, jadikanlah darah hambamu ini menjadi jembatan antara kami dan naga biru. Pelindung pulau Tannin, pemelihara seluruh isinya!” ucap salah satu dari tetua pulau dengan khusyuk.

“Dengan ijin sinarmu biarlah anak ini mengenakan Lalu sebagai namanya.”

Perkenalkan namaku Latu. Aku adalah anak perempuan yang lahir di bawah sinar bulan purnama itu. Setiap malam ibuku akan bercerita bahwa aku adalah gadis spesial. Gadis yang lahir di bawah sinar bulan purnama.

“Kau harus bersyukur, Nak. Kau adalah perempuan istimewa yang akan membawa kaum ini kembali bersama dengan naga biru,” Begitulah ucap ibu setiap hari seolah aku gampang sekali lupa akan hal itu sehingga harus selalu diingatkan.

“Iya, Bu.” Tentu saja aku tak mengucapkan isi hatiku.

Sudah seribu tahun tidak ada anak yang lahir di bawah sinar bulan purnama sampai akhirnya aku hadir. Sebenarnya aku tidak merasa begitu spesial. Hari-hariku biasanya saja. Aku membantu ibu memasak dan mengolah sawah serta merawat ternak milik keluarga. Oh iya, aku hanya tinggal dengan ibu. Ayah meninggal saat usiaku masih satu tahun. Satu-satunya perbedaanku dengan gadis lain adalah aku hanya diperbolehkan mandi menggunakan air di hulu sungai Naga. Menurut para tetua desa hanya air murni yang belum tercemar yang boleh kupakai untuk mandi. Hal itu untuk menjaga kesucian yang ada dalam diriku.

Para tetua desa dan penduduk tak henti berharap bahwa aku dapat memanggil naga biru kembali ke pulau kami. Menurut tulisan nenek moyang, makin lama naga biru menghilang, maka sesuatu yang buruk akan menghampiri pulau Tannin. Aku selalu kebingungan saat orang-orang bertanya apakah aku sudah bertemu dengan naga biru. Padahal jika bisa jujur, aku sendiri tidak percaya dengan keberadaan naga ajaib itu. Saat kecil aku memang sering diceritakan tentang kisah nenek moyang desa Tannin. Namun, sekarang ah rasanya cerita itu hanya dongeng pengantar tidur. Tidak lebih dari itu. Aku tidak terlalu percaya dengan ramalan di buku yang disimpan oleh para tetua pulau

“Bu, Latu mau ikut bermain bersama anak-anak di hutan bambu. Boleh kan Bu?”

“Siapa saja yang ke sana?” tanya ibu. Aku tahu ibu tidak terlalu suka jika aku bermain jauh dari rumah.

“Banyak Bu. Tenang saja, lagian Latu hanya ingin ikut bermain sebentar. Latu akan pulang sebelum matahari tenggelam. Aku janji nanti langsung pulang,” ucapku mencoba menenangkan ibu.

Statusku sebagai perempuan istimewa tidak banyak membawa kemudahan, bahkan status itu hanya membawa kesulitan. Dengan berat hati akhirnya ibu mengangguk.

“Latu. Kamu dibolehin keluar enggak!” bisik temanku dari jendela kamarku.

“Boleh, boleh. Sebentar ya!” jawabku dari dalam.

Aku kenal betul dengan suara itu. Aku melihat Tari sudah berdiri di luar rumah, ia mengenakan kain tenun berwarna hitam dan bergaris merah yang dililitkan di badannya. Benar sekali, setiap orang desa mengenakan kain tenun sebagai pakaian sehari-hari. Sedangkan laki-laki memakai kain tenun menutupi tubuh bagian bawah. Aku tersenyum sebagai kode bahwa hari ini aku diperbolehkan bermain bersama anak-anak yang lain.

“Katanya di samping sungai banyak pohon yang berbuah, mungkin nanti sehabis bermain di hutan bambu kita bisa ke sana. Aku sudah membawa tempatnya!”

“Aku belum pernah ke sana.”

“Ha? Kau belum pernah ke sana?”

“Ya. Baru saja aku bilang!” jawabku emosi. Seolah dia tidak percaya dengan penjelasanku.

Buah dari samping sungai terkenal dengan rasanya yang begitu manis. Namun, aku belum pernah pergi ke sana karena satu-satunya tujuanku ke sungai sejak kecil adalah mandi, itu pun hanya di hulu sungai.

Ternyata beberapa anak perempuan telah berkumpul di hutan bambu itu. Mereka menyambut kami yang baru saja datang.

“Bagaimana kalau kita bermain petak umpet!” saran Tari kepada anak lainnya.

“Setuju!”

“Kau bisa ikut juga kalau mau,” kata Tari padaku

“Tenang, aku tak akan dimarahi hanya karena main petak umpet!” bisikku pada Tari. Tari memang tahu betul jika ibu melarang banyak hal. Namun, bermain petak umpet tentu saja bukan salah satu dari larangan itu.

Tania mendapat giliran untuk berjaga. Tania adalah salah satu cucu dari tetua desa walaupun dia anak tetua desa sifatnya hampir sama denganku. Dia tidak terlalu percaya dengan keberadaan naga. Atau jika boleh jujur, sebenarnya sudah banyak anak-anak yang meragukan naga biru yang selalu dinantikan oleh para penduduk desa. Kami hanya mengikuti setiap ritual demi menyenangkan generasi yang lebih tua.

Aku berlari menjauhi Tania, aku berusaha mencari tempat persembunyian yang bagus. Tidak jauh dari tempatku, aku melihat satu batu besar dekat sungai. Aku berjalan ke arah batu itu dan bersembunyi di belakangnya seraya berharap Tania tidak akan menemukanku.

Satu persatu anak ditemukan oleh Tania dengan mudah, namun sepertinya ia tidak menyadari keberadaanku di belakang batu besar ini. Saat menunggu Tania, aku tiba-tiba saja melihat satu benda berkilauan yang ada di pinggir sungai. Karena penasaran aku mendekati benda itu. Aku mengulurkan tanganku untuk menggapai benda itu. Benda itu tidak terlalu besar, mungkin selebar daun sirsak. Bentuknya seperti sisik ikan, namun jauh lebih besar dan lebih tebal, dan tentu saja jauh lebih indah. Warna biru benda itu begitu indah, aku tidak pernah menemukan warna biru seindah itu selama hidupku. Warna biru itu, bahkan jauh lebih indah dari warna langit atau warna lautan. Karena begitu cantik, akhirnya aku memutuskan untuk menyimpannya.

“Aku menyerah!” teriak Tania.

“Wah, padahal aku cuma sembunyi di sini!” teriakku. Aku keluar dari tempat persembunyian tadi.

“Sepertinya kalian jago sekali sembunyi. Kakiku capek sekali mencari kesana-sini.”

“Itu karena badanku kecil. Sembunyi di balik kayu itu jadinya gampang!” kata seorang sambil tertawa.

Ternyata beberapa anak tidak bisa ditemukan Tania. Kami tertawa terbahak-bahak seraya menceritakan tempat persembunyian.

“Kita cari buah ke pinggir sungai saja ya!” kata Tari kepada anak-anak lain.

Semua setuju dengan saran Tari. Kami bergerak menuju pinggiran sungai. Ternyata benar kata Tari, banyak sekali buah-buah di pinggir sungai dekat hutan bambu ini. Ada buah jambu, mangga, sirsak dan buah lainnya.

“Harum sekali!” pikirku. Tidak seperti tempat persembunyianku tadi yang berbau lumpur, tempat ini beraroma manis sekali.

“Tempat ini sangat terkenal. Makanya aku heran kau belum pernah ke sini. Musim buah seperti ini, wah aku pernah bawa sekejang penuh ke rumah,” kata Tari bangga, “Latu, makan ini nah!” kata Tari sambil melemparkan jambu air berwarna merah ranum ke arahku.

Sialnya aku malah terpeleset saat menangkap jambu itu. Kakiku jatuh ke batu yang tepat di depanku. Tidak terelakkan kakiku tergores dan mengeluarkan darah. Sontak saja aku mencuci darah itu ke sungai, membersihkan tanah yang menempel di luka itu.

“Astaga Latu, bagaimana ini?” tanya Tari yang panik. Ia tidak mau jika nanti akan disalahkan oleh para tetua desa karena membuat anak perempuan yang lahir di bawah sinar bulan purnama itu terluka.

“Aku tidak apa-apa, salahku juga!” ucapku menenangkan Tari. Anak lain langsung membawa daun-daun untuk menghentikan darahnya.

“Benaran enggak sakit?”

“Tenang. Cuma tergores sedikit,”

Setelah kejadian itu, kami memutuskan untuk pulang. Luka di kakiku hanya gores kecil, malahan sudah tidak terasa sakit. Aku bahkan sudah lupa jika kakiku terluka. Namun ternyata, dua kejadian hari ini adalah pertanda. Ketika aku menemukan benda biru berkilauan serta menetesnya darahku ke aliran sungai takdir sudah diikat. Suatu permulaan untuk gadis yang telah dijanjikan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status