Di penthouse mewah Aleon, Isa menatap pemandangan malam dari balik jendela kaca besar. Dia masih belum terbiasa dengan tempat ini, ruangan yang besar, desain minimalis maskulin, aroma kayu dan rempah-rempah yang samar.
Isa kini tinggal di sini, sebagai istri kontrak Aleon. Walaupun, di depan media, mereka hanya sepasang kekasih biasa. “Kalau kamu mau tinggal di tempatmu sendiri, itu melanggar kesepakatan,” kata Aleon tiba-tiba dari balik punggungnya. Isa menoleh. Aleon berdiri di sana, hanya mengenakan kemeja putih santai dan celana panjang hitam. Tampak santai… tapi tatapannya mengunci Isa seperti belenggu. “Kita harus terlihat seperti pasangan sungguhan. Tinggal bersama bagian dari kesepakatan,” lanjutnya. Isa mengepalkan jemarinya. “Ya,” jawabnya datar. Aleon melangkah mendekat. Tangannya terulur, mengambil sehelai rambut Isa yang lepas dari ikatannya, lalu menyelipkannya ke belakang telinga perempuan itu. Gerakannya lembut, nyaris… mesra. “Aku tidak akan menyentuhmu,” kata Aleon tiba-tiba, suaranya rendah dan dalam. “Kecuali kamu menginginkannya.” Diakhiri dengan senyuman miring. Mata Isa membelalak. Aleon mendekatkan wajahnya, begitu dekat hingga Isa bisa mencium aroma tubuhnya—wangi kayu, scotch, dan sesuatu yang lebih primal. “Aku CEO, Isa,” bisiknya. “Aku tahu bagaimana mengendalikan diriku. Tapi…” dia menatap Isa dengan mata yang membakar. “…Aku tidak janji kalau kamu yang duluan jatuh.” Isa mengatupkan bibirnya era-erat. Dia tahu, permainan ini baru saja dimulai. ~~~ Penthouse Aleon berada di pusat kota berdiri megah seperti istana modern, dengan jendela-jendela kaca raksasa yang membiarkan pemandangan malam kota metropolitan masuk ke dalam. Lampu-lampu jalanan berkilauan seperti bintang jatuh, dan suara lalu lintas hanya terdengar samar-samar, seakan dunia luar hanyalah mimpi. Tapi bagi Anneliese Isabelle, malam ini terasa lebih nyata daripada apapun. Dan jauh lebih menakutkan. Bagaimana tidak? Ia tengah berdiri di depan pintu kamar, memandangi ruangan yang akan menjadi kamarnya atau mungkin… kamar mereka berdua. Aleon berdiri di belakangnya, tangan dalam saku celana hitamnya, santai, tapi dengan aura posesif yang nyaris membuat Isa sulit bernapas. “Kamar kamu di sini,” katanya tenang, menunjuk pintu di sisi kanan. “Kamar utama.” Isa menoleh cepat, alisnya terangkat. “Kita tidak tidur terpisah?” Aleon mengangkat bahu seolah itu hal sepele. “Pasangan sungguhan tidak tidur di kamar terpisah, bukan?” Isa menahan desahan frustasi. Ia ingin membantah, ingin berteriak bahwa ini tidak normal. Tapi lidahnya kelu. “Aku tidak akan menyentuhmu,” tambah Aleon, matanya menusuk Isa, membaca pikirannya. “Kecuali kamu meminta.” Isa memutar bola mata malas saat Aleon melangkah melewatinya, masuk ke dalam kamar lebih dulu. Isa ragu sejenak sebelum akhirnya mengikuti. Kamar utama penthouse Aleon… megah. Sebuah tempat tidur berukuran king berdiri di tengah ruangan, berselimut linen putih bersih dan bantal-bantal tebal. Di sudut, ada sofa hitam dan meja kopi, dan di dekat jendela, sebuah piano putih menghadap ke luar kota. Aleon berjalan menuju minibar kecil di sudut ruangan, menuang dua gelas wine merah. Dia menyerahkan satu gelas ke Isa. “Minumlah. Untuk merayakan pernikahan kita,” katanya dengan nada sinis tapi entah kenapa terdengar penuh godaan. Isa memandang gelas itu sejenak. Berpikir, satu teguk wine itu mungkin akan membuatnya lebih rentan. Tapi malam ini… semuanya sudah di luar kendalinya, bukan? Dengan gerakan kecil, Isa menerima gelas itu dan menyesapnya sedikit. Pahit. Hangat. Membakar tenggorokannya. Aleon memperhatikan setiap gerakannya, bibirnya tersenyum miring. “Kamu manis sekali saat gugup,” gumamnya. Isa memalingkan wajah, mencoba menyembunyikan rona merah yang mulai menjalar di pipi. Aleon mendekat, sangat dekat, membuat napas Isa tercekat. Dia mengangkat tangannya, menyentuh dagu Isa dengan ujung jarinya, mengangkat wajah perempuan itu perlahan. “Mulai sekarang,” katanya, suaranya serak, “di depan dunia… kamu milikku.” Isa membuka mulut, ingin membantah, tapi kata-kata itu tenggelam di tenggorokannya. Tatapan Aleon terlalu dalam. Terlalu mengikat. “Milikku,” ulang Aleon, lebih pelan, seperti sumpah gelap. Detik berikutnya, dia menurunkan tangannya, mundur satu langkah. Membiarkan Isa berdiri di sana, bergetar oleh adrenalin yang tidak bisa ia pahami. “Aku pikir… kita akan tinggal terpisah,” gumam Isa, suaranya lirih. “Aku tidur di sofa malam ini,” katanya datar, seolah hal yang terjadi barusan bukan apa-apa. “Kamu tidur di tempat tidur.” Isa berkedip cepat. Dia lega… atau kecewa? “Aku tidak akan menyentuhmu,” ulang Aleon lagi, seolah mengingatkan dirinya sendiri juga. “Tapi ingat, Isa,” matanya menajam, “kita mungkin menikah di atas kertas, tapi media akan terus mengawasi. Dan aku tidak akan membiarkanmu memperlakukanku.” “Dan satu hal lagi,” katanya. “Kalau kamu bermain api denganku, baby girl… pastikan kamu siap terbakar.” … Malam itu terasa sangat panjang. Isa meringkuk di atas kasur empuk, selimut ditarik sampai ke dagu. Matanya menatap langit-langit, mencoba mengabaikan suara percikan air di kamar mandi. Beberapa menit kemudian, Aleon keluar hanya dengan celana piyama abu-abu dan tubuh bagian atas telanjang. Otot perutnya seolah dipahat. Bahunya bidang, punggungnya kuat. Lelaki itu terlalu sempurna untuk dibiarkan berjalan bebas di dunia. “Kalau kamu terus menatap, aku bisa salah paham, sayang,” suara Aleon menggodanya. Isa langsung memalingkan muka. Astaga. Ia mengomel dalam hati, “bukan suamiku. Bukan suamiku. Ini hanya kontrak. Ini hanya kontrak.” Tapi jantungnya berdebar liar. Aleon mematikan lampu utama, menyisakan lampu tidur redup. Lalu ia merebahkan diri di sofa panjang dengan santai, meletakkan tangan di belakang kepala, menatap Isa dalam diam. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Isa pikir Aleon sudah tertidur, sampai mendengar suara berat. “Kenapa kamu diam saja? Takut padaku?” Isa menoleh cepat. “Tidak!” Lalu dia sadar reaksinya terlalu cepat. Aleon tertawa kecil, suara rendah itu menggetarkan udara. “Kalau kamu ketakutan… kamu bisa datang ke sofa,” canda Aleon, matanya menggelap, suaranya setengah menggoda. “Dalam mimpi saja!” Balas Isa ketus. “Hmm,” gumam Aleon, tersenyum licik. “Tidak apa-apa. Waktumu bersamaku masih lama. Kita lihat siapa yang jatuh duluan.” Isa mengerutkan alis. “Apa maksudmu?” Aleon tidak menjawab. Ia hanya menutup matanya perlahan, seolah menyimpan seribu rahasia di balik kelopak matanya. Dan Isa, meskipun hatinya berdebar kencang, akhirnya ikut memejamkan mata, berdoa dalam hati agar malam ini cepat berakhir. Dan Isa belum tahu, bahwa sejak malam itu, Aleon Caesar Asmaralaya mulai benar-benar bermain api dengan hatinya sendiri.Malam itu, Isa tidur sendirian. Aleon tidak masuk kamar. Tidak menuntut. Tidak menutup pintu. Tapi Isa justru terjaga. Ia menggenggam selimut, berbalik ke arah sisi ranjang yang biasa ditempati pria itu. Bibirnya bergetar, matanya basah. Karena di detik itu, ia menyadari satu hal—ketika Aleon tidak berada di sisinya… ia justru merasa lebih hampa, dan itu membuatnya takut. Hingga pagi datang, Isa duduk di sisi tempat tidur, pandanganya menerawang. Rambutnya kusut, wajahnya pucat, dan mata bengkak karena semalaman tak bisa tidur. Ranjang yang kosong di sebelahnya terasa lebih berat daripada saat dihuni Aleon. Ia mengira akan merasa lega karena Aleon tidak memaksanya lagi tidur bersam semalaman. Tapi yang ia rasakan justru sebaliknya—ruang kosong itu menyesakkan. Seolah pria itu tetap hadir… dalam pikiran, dalam dada, dalam napasnya sendiri. Isa turun dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi. Di hadapan cermin, ia memandang bayangannya sendiri dengan tatapan mati rasa. “Apa y
Pagi hari datang tanpa kehangatan. Langit di luar jendela berwarna kelabu, dan angin berembus seperti membawa ancaman tak terlihat. Isabelle turun ke lantai bawah tanpa ekspresi. Rambutnya diikat rapi, wajahnya tanpa riasan. Bahkan dalam keadaan paling lelah sekalipun, ia tetap tampak sempurna—dingin, anggun, dan jauh dari jangkauan. Aleon sudah duduk di ruang makan. Kemeja hitamnya tergulung di lengan, dan satu tangan memegang cangkir kopi. Matanya langsung menatap Isa ketika wanita itu datang. Bukan tatapan hangat. Tapi tatapan milik seseorang yang ingin tahu—apakah ia masih memiliki kekuasaan. “Selamat pagi,” katanya datar. Isa duduk di seberang meja. Tidak membalas sapaan. Ia hanya mengangkat gelas air putih dan meminumnya dengan pelan. “Apakah kamu tidur nyenyak?” tanya Aleon. Isa menaruh gelas. “Tidak. Tapi aku terbiasa tidur di samping ancaman yang membungkus dirinya sebagai pelindung.” Aleon menyipitkan mata. Ia tersenyum kecil. “Jadi aku ancaman sekarang?” “Kam
Isabelle berdiri kaku. Dadanya naik-turun tak teratur, napasnya masih berat setelah konfrontasi Aleon. Kata-katanya menggema terus di kepalanya—tentang ponsel, akses, bahkan manajernya. Ia merasa seolah semua dunia luar telah diputus dengan sengaja. Lelaki itu tak hanya mengendalikan ruangnya, tapi juga pikirannya. Isa berjalan menuju balkon kamar tamu. Udara yang menusuk kulit menyambutnya, tapi itu tak cukup mendinginkan pikirannya yang terbakar amarah. Tangannya mencengkeram pagar balkon besi hingga buku-bukunya memutih. Ia ingin terjun saja, terbang menjauh dari rumah megah yang lebih menyerupai penjara itu. Tapi Isa tahu, bahkan jika ia melompat, Aleon akan tetap menemukannya. “Aku bukan milik siapa pun…” gumamnya. Tapi kata-kata itu bahkan tak terdengar meyakinkan untuk dirinya sendiri. Pintu kamar tamu terbuka tanpa suara. Aleon berdiri di sana, seolah bayangan yang muncul dari udara. “Pagi yang dingin untuk istri yang keras kepala,” ucapnya santai. Isa tidak menjawab.
Kamera terus berputar. Blitz menyala tanpa henti. Aleon dan Isa berdiri berdampingan di red carpet sebuah acara amal yang di sponsori Asmaralaya Industries. Tangannya menggenggam pinggang Isa, sementara senyum Isa nyaris sempurna—jika tak diperhatikan, orang mungkin takkan sadar betap dinginnya matanya. “Sedikit ke kiri, Tuan Aleon! tuan Aleon. satu ciuman lagi untuk kamera!” Isa nyaris menggertakkan giginya. Aleon menoleh pelan padanya, wajahnya menawan seperti biasa—tapi Isa tahu itu hanya topeng. Bibirnya mendekat. “Berikan senyuman manis, Nyonya Asmaralaya,” bisik Aleon lembut, tapi dengan ancaman halus di dalamnya. Isa menarik napas. Lalu ia tersenyum… dan memiringkan wajahnya, membiarkan Aleon mencium pipinya, bukan bibir. Blitz kembali meledak. Aleon tertawa kecil seolah hal itu lucu, padahal Isa tahu, ia sedang menghitung pembangkangannya. Saat pulang ke rumah, Aleon mengajak Isa bicara di ruang kerja. Tapi Isa menolak, bilang dia ingin tidur. Aleon mengikutinya masuk k
“Apa yang harus aku lakukan padamu, Isa?” kata-katanya nyaris tak terdengar saat Aleon memutus jarak di antara mereka, bibirnya mencium bibir Isa dengan penuh gairah. Satu tanagnnya melingkari pinggang Isa, menariknya lebih dekat, sementara tangan satunya, menekan kepala Isa dan segera memperdalam ciumannya. Aleon menarik dan menekan tubuh Isa lebih dekat, membawanya dalam pelukan erat. Aroma vanila dan stroberi yang manis dan memabukkan tercium dari tubuh Isa, merasuki indranya dan memicu hasratnya lebih tinggi. Aleon memperdalam ciumannya, bibirnya melahap bibir Isa saat tangannya yang berada di pinggang, naik ke atas, menangkup payudara Isa, membuat sang empu tersentak, bibirnya yang masih terkurung di bawah bibir Aleon, erangan lembut keluar dari mulutnya.“Aahhh…” Suaranya nyaris tidak terdengar, Aleon tersenyum ditengah-tengah ciuman mereka, membuatnya semakin bergairah dan tangannya yang mulai bermain di payudara Isa. “Aku… aku tidak mau.” Isa melepaskan diri. Pikirannya te
Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Anneliese Isabelle memeluk dirinya di bawah selimut tebal, berusaha mengusir rasa gelisah yang tak kunjung hilang. Ia terus membolak-balikkan badannya, matanya melirik ke arah sofa. Di sana, Aleon Caesar Asmaralaya, CEO arogan itu, tidur terlelap. Bahkan dalam tidur pun wajahnya tetap tampan menyebalkan. Rambut hitamnya berantakan sedikit, napasnya teratur, dada bidangnya naik turun dengan tenang. Isa mendengus tanpa sadar. “Kenapa aku malah memperhatikannya?” Tanya Isa pada diri sendiri.Menghela napas, Isa mencoba kembali tidur. Namun, suara gemuruh dari luar membuatnya tersentak kaget. Refleks, Isa bangkit dari tempat tidur dan sebelum bisa memproses pikirannya, ia sudah berdiri di samping sofa. Aleon masih tertidur.Isa menggigit bibir. “Aku hanya duduk sebentar,” bisiknya tenang. Perlahan-lahan, Isa duduk di ujung sofa, berusaha tidak membuat suara. Tapi entah karena kecapean atau rasa hangat aneh yang menyebar dari tubuh Aleon, Isa