Isabelle berdiri kaku. Dadanya naik-turun tak teratur, napasnya masih berat setelah konfrontasi Aleon. Kata-katanya menggema terus di kepalanya—tentang ponsel, akses, bahkan manajernya. Ia merasa seolah semua dunia luar telah diputus dengan sengaja. Lelaki itu tak hanya mengendalikan ruangnya, tapi juga pikirannya.
Isa berjalan menuju balkon kamar tamu. Udara yang menusuk kulit menyambutnya, tapi itu tak cukup mendinginkan pikirannya yang terbakar amarah. Tangannya mencengkeram pagar balkon besi hingga buku-bukunya memutih. Ia ingin terjun saja, terbang menjauh dari rumah megah yang lebih menyerupai penjara itu. Tapi Isa tahu, bahkan jika ia melompat, Aleon akan tetap menemukannya. “Aku bukan milik siapa pun…” gumamnya. Tapi kata-kata itu bahkan tak terdengar meyakinkan untuk dirinya sendiri. Pintu kamar tamu terbuka tanpa suara. Aleon berdiri di sana, seolah bayangan yang muncul dari udara. “Pagi yang dingin untuk istri yang keras kepala,” ucapnya santai. Isa tidak menjawab. Ia hanya menatapnya dengan mata merah dan rahang mengeras. Aleon masuk, menutup pintu di belakangnya. Langkah kakinya pelan, mendekat seperti predator yang tahu mangsanya sudah tak punya tempat lari. “Kita perlu bicara,” katanya. “Tidak mau,” Isa menyela. “Yang kamu butuhkan adalah seseorang yang bisa kamu control dan itu bukan aku.” “Aku tidak pernah ingin mengontrolmu, Isa.” “Omong kosong.” Isa berjalan ke sisi tempat tidur, membelakanginya. Tapi suara Aleon mengikuti. “Aku hanya ingin kamu tetap di sisiku. Karena jika kamu pergi,” Ia berhenti sejenak, suaranya menjadi lebih dalam. “…aku tidak tahu akan jadi seperti apa aku nanti.” Isa berbalik. “Jadi kamu menahan aku di sini karena takut kamu akan kehilangan kontrol atas dirimu sendiri?” Tatapan Aleon menajam. “Aku tidak menahanmu. Aku hanya memastikan kamu tetap aman.” Isa tertawa sinis. “Aman dari siapa? Dunia? Atau kamu sendiri?” Aleon melangkah cepat. Dalam satu gerakan, ia sudah berdiri tepat di depan Isa. Tubuhnya tinggi dan kokoh, menutupi cahaya di belakangnya. “Aku sudah memperingatkanmu sejak awal. Aku tidak akan membiarkanmu pergi.” Isabelle mengangkat wajahnya, menantang. “Kalau kamu pikir dengan mengancamku, kamu bisa mendapatkan cinta, kamu salah besar.” “Aku tidak butuh cintamu, Isa.” Suaranya pelan, berbahaya. “Aku hanya butuh kamu di sini. Bersamaku.” “Kamu tidak bisa memilikinya begitu saja!” “Tapi aku sudah memilikinya.” Tangan Aleon menyentuh wajahnya, dan kali ini Isa tidak sempat menepis. Jemari pria itu menyusuri garis rahangnya perlahan, seperti menghafal lekukannya. Isa menahan napas, tubuhnya menegang. “Jangan sentuh aku.” “Kenapa?” Aleon menunduk, wajah mereka hanya berjarak sejengkal. “Karena kamu takut padaku? Atau karena kamu takut pada dirimu sendiri?” Isa terdiam. Detak jantungnya memukul keras, matanya mulai berkaca, bukan karena cinta, tapi karena ketakutan dan kekacauan yang tak bisa ia terima. Aleon menarik napas, lalu mencium kening Isa perlahan. Isa memejamkan mata, ingin membenci sentuhan itu, tapi tubuhnya bereaksi lain. Ia benci bahwa Sebagian kecil dari hatinya masih berdebar ketika disentuh seperti itu. Saat Aleon menjauh, ia melihat air mata di sudut mata Isa. Tapi pria itu tidak menyesal. Ia hanya menatapnya, seolah Isa adalah miliknya. Satu-satunya miliknya. “Aku akan tetap di sini, Isa. Aku akan berada di dekatmu sampai kamu berhenti melawan,” bisiknya. “Kalau kamu terus memaksa…” suara Isa lirih, “aku akan mati perlahan di hadapanmu.” Aleon menatapnya tajam. “Lebih baik begitu, daripada hidup di tempat lain yang tidak bisa kujangkau.” ~~~ Isa terbangun oleh suara denting kecil dari luar kamar. Ia mengintip jam dinding kamar: 02.13. Dengan langkah pelan, ia membuka pintu. Koridor gelap, tapi di ujung, ada cahaya samar dari ruang makan. Rasa penasaran mendorongnya, mencoba melangkah ringan, tak membuat suara, seolah takut mengusik malam. Ketika Isa sampai di ambang ruang makan, ia melihat sosok Aleon duduk sendiri di meja panjang. Kemeja putihnya sedikit terbuka, ramburnya berantakan, dan sebotol wine hampir habis di depannya. Matanya menatap kosong ke arah gelas yang sudah ia isi berulang kali. Isa hendak mundur—tapi seolah Aleon tahu kehadirannya. Aleon menoleh, “Isa.” Sial. Ia diam. Tidak bisa lari. Tidak bisa bersembunyi. “Kenapa tidak tidur?” suara Aleon berat, nyaris serak. Entah karena alkohol atau karena sesuatu yang lebih dalam. Isa bersuara. “Aku haus.” Aleon berdiri. “Kamu haus? Aku ambilkan air untukmu.” “Aku bisa ambil sendiri,” jawab Isa cepat. Aleon berjalan pelan ke arah dapur, mengambil satu botol air mineral dari kulkas dan menyerahkan pada Isa. Jemarinya menyentuh tangan Isa saat menyerahkan botol, tapi Isa segera menarik diri. Hening menyelimuti mereka. Waktu seakan membeku. Hanya detak jam dinding dan napas mereka yang terdengar. Saat Isa hendek berbalik pergi, Aleon memanggil pelan. “Isa.” Isa berhenti. Tidak menoleh. “Aku tidak akan menyentuhmu, malam ini. Tapi tolong… jangan tidur di kamar tamu.” Isa memejamkan mata. Seluruh tubuhnya menolak. Tapi entah mengapa, langkah kakinya justru berbalik. Ia memang kembali ke kamar utama, tanpa sepatah kata pun. Langkahnya lambat, seolah setiap gerakan adalah pertarungan batin. Ia membuka pintu dan masuk. Udara di dalam kamar terasa berbeda—lebih dingin, lebih sunyi, seperti menyimpan sisa-sisa konforntasi yang belum sempat mengering. Isa tidak menyalakan lampu. Biarlah kegelapan menjadi tirai antara dirinya dan kenyataan. Ia melepas sandal, naik ke ranjang dengan gerakan pelan, lalu menarik selimut hingga ke dagu. Ia tidur membelakangi sisi ranjang yang lain. Beberapa menit kemudian, suara pintu terbuka. Napas Isa langsung menahan. Tapi ia tidak bergerak. Tidak menoleh. Tidak bertanya. Langkah kaki berat mendekat. Ranjang sedikit bergoyang saat seseorang naik ke atasnya dan kemudian, hening lagi. Isa mencium aroma tubuh Aleon. Cologne maskulin dan sesuatu yang samar seperti anggur. Tapi pria itu tidak menyentuhnya. Tidak menyapa. Ia hanya berbaring di sisi ranjangnya, diam. Pelan—suara Aleon terdengar dalam gelap. “Aku tidak tahu caranya mencintai dengan benar, Isa.” Isa memejamkan mata sambil menggigit bibir menahan tangis.Malam itu, Isa tidur sendirian. Aleon tidak masuk kamar. Tidak menuntut. Tidak menutup pintu. Tapi Isa justru terjaga. Ia menggenggam selimut, berbalik ke arah sisi ranjang yang biasa ditempati pria itu. Bibirnya bergetar, matanya basah. Karena di detik itu, ia menyadari satu hal—ketika Aleon tidak berada di sisinya… ia justru merasa lebih hampa, dan itu membuatnya takut. Hingga pagi datang, Isa duduk di sisi tempat tidur, pandanganya menerawang. Rambutnya kusut, wajahnya pucat, dan mata bengkak karena semalaman tak bisa tidur. Ranjang yang kosong di sebelahnya terasa lebih berat daripada saat dihuni Aleon. Ia mengira akan merasa lega karena Aleon tidak memaksanya lagi tidur bersam semalaman. Tapi yang ia rasakan justru sebaliknya—ruang kosong itu menyesakkan. Seolah pria itu tetap hadir… dalam pikiran, dalam dada, dalam napasnya sendiri. Isa turun dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi. Di hadapan cermin, ia memandang bayangannya sendiri dengan tatapan mati rasa. “Apa y
Pagi hari datang tanpa kehangatan. Langit di luar jendela berwarna kelabu, dan angin berembus seperti membawa ancaman tak terlihat. Isabelle turun ke lantai bawah tanpa ekspresi. Rambutnya diikat rapi, wajahnya tanpa riasan. Bahkan dalam keadaan paling lelah sekalipun, ia tetap tampak sempurna—dingin, anggun, dan jauh dari jangkauan. Aleon sudah duduk di ruang makan. Kemeja hitamnya tergulung di lengan, dan satu tangan memegang cangkir kopi. Matanya langsung menatap Isa ketika wanita itu datang. Bukan tatapan hangat. Tapi tatapan milik seseorang yang ingin tahu—apakah ia masih memiliki kekuasaan. “Selamat pagi,” katanya datar. Isa duduk di seberang meja. Tidak membalas sapaan. Ia hanya mengangkat gelas air putih dan meminumnya dengan pelan. “Apakah kamu tidur nyenyak?” tanya Aleon. Isa menaruh gelas. “Tidak. Tapi aku terbiasa tidur di samping ancaman yang membungkus dirinya sebagai pelindung.” Aleon menyipitkan mata. Ia tersenyum kecil. “Jadi aku ancaman sekarang?” “Kam
Isabelle berdiri kaku. Dadanya naik-turun tak teratur, napasnya masih berat setelah konfrontasi Aleon. Kata-katanya menggema terus di kepalanya—tentang ponsel, akses, bahkan manajernya. Ia merasa seolah semua dunia luar telah diputus dengan sengaja. Lelaki itu tak hanya mengendalikan ruangnya, tapi juga pikirannya. Isa berjalan menuju balkon kamar tamu. Udara yang menusuk kulit menyambutnya, tapi itu tak cukup mendinginkan pikirannya yang terbakar amarah. Tangannya mencengkeram pagar balkon besi hingga buku-bukunya memutih. Ia ingin terjun saja, terbang menjauh dari rumah megah yang lebih menyerupai penjara itu. Tapi Isa tahu, bahkan jika ia melompat, Aleon akan tetap menemukannya. “Aku bukan milik siapa pun…” gumamnya. Tapi kata-kata itu bahkan tak terdengar meyakinkan untuk dirinya sendiri. Pintu kamar tamu terbuka tanpa suara. Aleon berdiri di sana, seolah bayangan yang muncul dari udara. “Pagi yang dingin untuk istri yang keras kepala,” ucapnya santai. Isa tidak menjawab.
Kamera terus berputar. Blitz menyala tanpa henti. Aleon dan Isa berdiri berdampingan di red carpet sebuah acara amal yang di sponsori Asmaralaya Industries. Tangannya menggenggam pinggang Isa, sementara senyum Isa nyaris sempurna—jika tak diperhatikan, orang mungkin takkan sadar betap dinginnya matanya. “Sedikit ke kiri, Tuan Aleon! tuan Aleon. satu ciuman lagi untuk kamera!” Isa nyaris menggertakkan giginya. Aleon menoleh pelan padanya, wajahnya menawan seperti biasa—tapi Isa tahu itu hanya topeng. Bibirnya mendekat. “Berikan senyuman manis, Nyonya Asmaralaya,” bisik Aleon lembut, tapi dengan ancaman halus di dalamnya. Isa menarik napas. Lalu ia tersenyum… dan memiringkan wajahnya, membiarkan Aleon mencium pipinya, bukan bibir. Blitz kembali meledak. Aleon tertawa kecil seolah hal itu lucu, padahal Isa tahu, ia sedang menghitung pembangkangannya. Saat pulang ke rumah, Aleon mengajak Isa bicara di ruang kerja. Tapi Isa menolak, bilang dia ingin tidur. Aleon mengikutinya masuk k
“Apa yang harus aku lakukan padamu, Isa?” kata-katanya nyaris tak terdengar saat Aleon memutus jarak di antara mereka, bibirnya mencium bibir Isa dengan penuh gairah. Satu tanagnnya melingkari pinggang Isa, menariknya lebih dekat, sementara tangan satunya, menekan kepala Isa dan segera memperdalam ciumannya. Aleon menarik dan menekan tubuh Isa lebih dekat, membawanya dalam pelukan erat. Aroma vanila dan stroberi yang manis dan memabukkan tercium dari tubuh Isa, merasuki indranya dan memicu hasratnya lebih tinggi. Aleon memperdalam ciumannya, bibirnya melahap bibir Isa saat tangannya yang berada di pinggang, naik ke atas, menangkup payudara Isa, membuat sang empu tersentak, bibirnya yang masih terkurung di bawah bibir Aleon, erangan lembut keluar dari mulutnya.“Aahhh…” Suaranya nyaris tidak terdengar, Aleon tersenyum ditengah-tengah ciuman mereka, membuatnya semakin bergairah dan tangannya yang mulai bermain di payudara Isa. “Aku… aku tidak mau.” Isa melepaskan diri. Pikirannya te
Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Anneliese Isabelle memeluk dirinya di bawah selimut tebal, berusaha mengusir rasa gelisah yang tak kunjung hilang. Ia terus membolak-balikkan badannya, matanya melirik ke arah sofa. Di sana, Aleon Caesar Asmaralaya, CEO arogan itu, tidur terlelap. Bahkan dalam tidur pun wajahnya tetap tampan menyebalkan. Rambut hitamnya berantakan sedikit, napasnya teratur, dada bidangnya naik turun dengan tenang. Isa mendengus tanpa sadar. “Kenapa aku malah memperhatikannya?” Tanya Isa pada diri sendiri.Menghela napas, Isa mencoba kembali tidur. Namun, suara gemuruh dari luar membuatnya tersentak kaget. Refleks, Isa bangkit dari tempat tidur dan sebelum bisa memproses pikirannya, ia sudah berdiri di samping sofa. Aleon masih tertidur.Isa menggigit bibir. “Aku hanya duduk sebentar,” bisiknya tenang. Perlahan-lahan, Isa duduk di ujung sofa, berusaha tidak membuat suara. Tapi entah karena kecapean atau rasa hangat aneh yang menyebar dari tubuh Aleon, Isa