“Apa yang harus aku lakukan padamu, Isa?” kata-katanya nyaris tak terdengar saat Aleon memutus jarak di antara mereka, bibirnya mencium bibir Isa dengan penuh gairah. Satu tanagnnya melingkari pinggang Isa, menariknya lebih dekat, sementara tangan satunya, menekan kepala Isa dan segera memperdalam ciumannya.
Aleon menarik dan menekan tubuh Isa lebih dekat, membawanya dalam pelukan erat. Aroma vanila dan stroberi yang manis dan memabukkan tercium dari tubuh Isa, merasuki indranya dan memicu hasratnya lebih tinggi. Aleon memperdalam ciumannya, bibirnya melahap bibir Isa saat tangannya yang berada di pinggang, naik ke atas, menangkup payudara Isa, membuat sang empu tersentak, bibirnya yang masih terkurung di bawah bibir Aleon, erangan lembut keluar dari mulutnya. “Aahhh…” Suaranya nyaris tidak terdengar, Aleon tersenyum ditengah-tengah ciuman mereka, membuatnya semakin bergairah dan tangannya yang mulai bermain di payudara Isa. “Aku… aku tidak mau.” Isa melepaskan diri. Pikirannya tersadar, ini tidak benar. Tetapi ia tak dapat menahan Aleon yang tampaknya mampu meluluhkan pertahanannya dengan mudah. Mereka berdiri cukup lama, saling memandang, wajah mereka yang memerah karena gairah. Bibir Isa merah dan bengkak, membuatnya tampak sangat seksi. Penampilan Aleon pun sama acak-acakannya, rambutnya yang sudah berantakan, dan matanya menyala penuh nafsu. “Kamu menyesal?” Aleon bertanya dengan nada berat. Butuh beberapa detik sebelum ia bisa menjawab. “Aku… aku tidak tahu.” “Kamu boleh menyesal,” katanya pelan. “Tapi kamu tidak bisa lari.” Isa mundur satu langkah, napasnya memburu. Wajahnya memerah bukan hanya karena gairah, tapi juga rasa marah yang menyesakkan. “Apa kamu pikir aku ini milikmu, Aleon?” bisiknya tajam, matanya berkaca-kaca. “Hanya karena kontrak itu?” Isa menggeleng pelan, lalu menyeka bibirnya yang masih terasa panas karena ciuman mereka. “Kamu melanggar batas. Apa aku ini boneka yang bisa kamu cium dan mainkan kapan saja?” “Aku… hanya tidak bisa menahan diri.” Suara Aleon serak. “Tapi pada akhirnya, kamu akan jadi milikku. Sepenuhnya.” Isa tertawa pendek, getir. “Aku akan keluar dari kontrak ini!” Ia melangkah cepat keluar dari kamar, jantungnya berdentam seperti gendering perang. Bibirnya masih bergetar karena ciuman itu. Ciuman yang tidak ia inginkan, tapi terlalu mudah mengacaukan pertahanannya. Di belakang, langkah Aleon mengikuti, tenang tapi menekan. “Isa,” panggilnya, suaranya serak tapi datar. “Berhenti lari.” “Aku tidak lari!” bentak Isa, membalikkan badan. Matanya membara. “Aku hanya… muak!” Aleon berhenti dua langkah darinya, tubuhnya tinggi dan kokoh seperti bayangan malam. Ia menatap Isa lama, lalu bicara pelan. “Kalau kamu muak, kenapa membalas ciumanku, hm?” Seketika Isa merasa ditampar. “Kamu—kamu pikir aku suka?! Itu reflek, Aleon! Aku… aku syok!” Aleon menunduk, mendekat, lalu terkekeh. “Reflek, ya? Syok? Bahkan aku meremas dadamu itu,” matanya melirik ke arah dada Isa. “Dan kamu juga mendesah…” tangannya nyaris menyentuh pipi Isa, tapi Isa langsung menepisnya. “Jangan sentuh aku lagi.” Tatapan Aleon mengeras. “Kamu istriku, Isa.” “Kontrak, Aleon! bukan cinta. Kamu sendiri yang bilang begitu.” Beberapa detik berlalu dalam diam. Aleon menatapnya tajam—mata itu menyimpan sesuatu yang gelap, sesuatu yang tidak bisa Isa pahami. “Kamu pikir aku tidak bisa membuatmu jatuh cinta padaku?” bisiknya tajam. Isa tertawa miris. “Kamu pikir cinta bisa dipaksa? Atau… dimanipulasi?” Aleon diam. Tapi sorot matanya mengatakan: Ya. “Jika perlu, akan kulakukan.” Isa mundur. “Kamu gila.” Aleon mendekat lagi, satu langkah. “Kalau aku gila, kamu penyebabnya.” Isa mencibir. “Lucu. Tapi tidak cukup untuk untuk membuatku tinggal.” Ia berbalik, ingin pergi, tapi Aleon menahan tangannya. Kali ini genggamannya kuat-terlalu kuat. “Lepaskan!” “Aku tidak akan menyentuhmu kalau kamu tidak memintanya,” kata Aleon pelan, “tapi jangan pernah berpikir kamu bisa pergi semaumu. Kamu milikku. Sampai kontrak ini selesai.” Mata Isa mulai memansa. “Dan sampai saat itu tiba, aku akan benci kamu. Setiap hari.” “Kalu kebencianmu membuatmu tetap tinggal… aku terima.” Isa terdiam. Ada sesuatu di kata-kata itu yang jauh lebih menakutkan dari ancaman. Obsesinya bukan sementara. Itu nyata. ~~~ Pagi datang tanpa kehangatan. Matahari menyelinap malu-malu lewat sela tirai, namun tidak cukup terang untuk mengusir dingin yang mengendap di rumah besar itu. Isa duduk di deoan meja rias, mengenakan hoodie abu-abu yang menutupi leher dan Sebagian wajahnya. Matanya sembab, tapi ia sudah berhenti menangis. Sekarang, ia hanya diam—menyendiri dalam pikirannya yang penuh kebencian dan amarah. Pintu kamar diketuk pelan. Isa tidak menjawab. Tapi seseorang tetap masuk. Tentu saja, siapa lagi kalau bukan Aleon Caesar Asmaralaya. Pria itu tidak pernah butuh izin untuk menerobos batas orang lain—terutama batasnya. “Aku sudah minta koki menyiapkan sarapan,” kata Aleon tenang. Isa tetap menatap cermin. “Aku tidak lapar.” “Kamu harus makan.” Isa berdiri, membalikkan tubuh. “Kamu pikir kamu bisa datang ke sini dan bersikap seolah tidak ada yang terjadi semalam?” Aleon memandangi Isa lama, matanya teang tapi menyimpan badai. “Tidak. Aku tahu apa yang kulakukan.” “Kamu melanggar semua batas. Kamu menjijikkan.” Isa berjalan melewati Aleon, namun pria itu menahan lengannya. Isa mendadak berteriak. “Lepaskan aku!” Aleon melepaskannya. Bukan karena rasa bersalah, tapi karena ekspresi ketakutan Isa menghantamnya seperti pukulan telak. “Kamu takut padaku?” tanya Aleon perlahan. Isa tidak menjawab. Tapi sorot matanya cukup menjelaskan. Aleon mundur setengah langkah. Untuk pertama kalinya, wajah dinginnya menunjukkan retakan. Tapi bukan kelembutan yang muncul, melainkan luka yang dalam. Luka yang berlapis obsesi. “Aku tidak akan menyentuhmu… sampai kamu yang menginginkannya.” Isabelle mengepalkan tangan. “Hari itu tidak akan pernah datang.” Aleon menatapnya seperti pria yang bersumpah akan menunggu badai reda, tapi diam-diam sedang membangun perangkap berikutnya. “Kita lihat saja,” bisiknya, lalu keluar dari kamar tanpa menoleh lagi. Saat pintu tertutup, Isa jatuh terduduk, tubuhnya gemetar. Ia tahu satu hal pasti: hidupnya tidak lagi milik dirinya sendiri. ~~~ BREAKING NEWS: ALEON CAESAR ASMARALAYA DAN AKTRIS TERKENAL ANNELIESE ISABELLE RESMI GO PUBLIK! “Pasangan billionare dan selebritas ini mencuri perhatian setelah ciuman mereka di pesta gala…” Isa menatap layar TV di ruang tengah, rahangnya mengeras. Suara berita, komentar netizen, dan editan video di salah satu sosial media tentang momen bibirnya dicium paksa oleh Aleon terus menghantui. Ia bahkan mendengar cuplikan audio ‘Jangan pergi, istriku…’ jadi meme viral. Dan di sisi lain ruangan, Aleon duduk santai, mengenakan jas hitam sambil menyeruput espresso. “Reaksinya lebih positif dari yang kuduga,” katanya ringan. “Followers-mu naik satu juta dalam dua belas jam.” Isa menoleh pelan. “Dan harga diriku turun serendah itu juga dalam waktu yang sama.” Aleon menurunkan cangkirnya, tapi wajahnya tetap datar. “Kita bermain di panggung yang sama, isa. Kamu hanya perlu mainkan peranmu. Seperti biasa.” “Peran jadi wanita yang dicium paksa?” sindir Isa. “Atau peran jadi istri CEO psikopat yang mengendalikan semuanya dari balik layar?” Aleon berdiri dan berjalan mendekatinya. Tatapannya menusuk, tapi mulutnya masih tenang. “Berhenti bertingkah seolah kamu tidak menikmati sorotan itu.” Isa berdiri juga, tubuhnya gemetar marah. “Aku menikmati sorotan ketika aku memilihnya. Bukan ketika dipaksa, dicekik, dan dibungkam.” Aleon menatapnya lama. Lalu dia berkata, dengan suara rendah namun mengancam, “Kakau kamu kabur sekarang… kamu akan kehilangan semuanya. Karier, reputasi, dan mungkin… Jared.” Plak! Isa menamparnya. Aleon tak bergerak. Ia menunduk sedikit, menahan rahang yang memerah. Tapi matanya justru tersenyum dingin. “Bagus. Kamu mulai memperlihatkan keberanian.” Isa melangkah mundur. “Aku bukan milikmu.” “Tapi kamu istriku. Di atas kertas. Dan di mata dunia.” Aleon mendekat sekali lagi, lalu berbisik di telinganya. “Jadi mulai sekarang, tersenyumlah, Nyonya Asmaralaya. Dunia sedang menonton.”Malam itu, Isa tidur sendirian. Aleon tidak masuk kamar. Tidak menuntut. Tidak menutup pintu. Tapi Isa justru terjaga. Ia menggenggam selimut, berbalik ke arah sisi ranjang yang biasa ditempati pria itu. Bibirnya bergetar, matanya basah. Karena di detik itu, ia menyadari satu hal—ketika Aleon tidak berada di sisinya… ia justru merasa lebih hampa, dan itu membuatnya takut. Hingga pagi datang, Isa duduk di sisi tempat tidur, pandanganya menerawang. Rambutnya kusut, wajahnya pucat, dan mata bengkak karena semalaman tak bisa tidur. Ranjang yang kosong di sebelahnya terasa lebih berat daripada saat dihuni Aleon. Ia mengira akan merasa lega karena Aleon tidak memaksanya lagi tidur bersam semalaman. Tapi yang ia rasakan justru sebaliknya—ruang kosong itu menyesakkan. Seolah pria itu tetap hadir… dalam pikiran, dalam dada, dalam napasnya sendiri. Isa turun dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi. Di hadapan cermin, ia memandang bayangannya sendiri dengan tatapan mati rasa. “Apa y
Pagi hari datang tanpa kehangatan. Langit di luar jendela berwarna kelabu, dan angin berembus seperti membawa ancaman tak terlihat. Isabelle turun ke lantai bawah tanpa ekspresi. Rambutnya diikat rapi, wajahnya tanpa riasan. Bahkan dalam keadaan paling lelah sekalipun, ia tetap tampak sempurna—dingin, anggun, dan jauh dari jangkauan. Aleon sudah duduk di ruang makan. Kemeja hitamnya tergulung di lengan, dan satu tangan memegang cangkir kopi. Matanya langsung menatap Isa ketika wanita itu datang. Bukan tatapan hangat. Tapi tatapan milik seseorang yang ingin tahu—apakah ia masih memiliki kekuasaan. “Selamat pagi,” katanya datar. Isa duduk di seberang meja. Tidak membalas sapaan. Ia hanya mengangkat gelas air putih dan meminumnya dengan pelan. “Apakah kamu tidur nyenyak?” tanya Aleon. Isa menaruh gelas. “Tidak. Tapi aku terbiasa tidur di samping ancaman yang membungkus dirinya sebagai pelindung.” Aleon menyipitkan mata. Ia tersenyum kecil. “Jadi aku ancaman sekarang?” “Kam
Isabelle berdiri kaku. Dadanya naik-turun tak teratur, napasnya masih berat setelah konfrontasi Aleon. Kata-katanya menggema terus di kepalanya—tentang ponsel, akses, bahkan manajernya. Ia merasa seolah semua dunia luar telah diputus dengan sengaja. Lelaki itu tak hanya mengendalikan ruangnya, tapi juga pikirannya. Isa berjalan menuju balkon kamar tamu. Udara yang menusuk kulit menyambutnya, tapi itu tak cukup mendinginkan pikirannya yang terbakar amarah. Tangannya mencengkeram pagar balkon besi hingga buku-bukunya memutih. Ia ingin terjun saja, terbang menjauh dari rumah megah yang lebih menyerupai penjara itu. Tapi Isa tahu, bahkan jika ia melompat, Aleon akan tetap menemukannya. “Aku bukan milik siapa pun…” gumamnya. Tapi kata-kata itu bahkan tak terdengar meyakinkan untuk dirinya sendiri. Pintu kamar tamu terbuka tanpa suara. Aleon berdiri di sana, seolah bayangan yang muncul dari udara. “Pagi yang dingin untuk istri yang keras kepala,” ucapnya santai. Isa tidak menjawab.
Kamera terus berputar. Blitz menyala tanpa henti. Aleon dan Isa berdiri berdampingan di red carpet sebuah acara amal yang di sponsori Asmaralaya Industries. Tangannya menggenggam pinggang Isa, sementara senyum Isa nyaris sempurna—jika tak diperhatikan, orang mungkin takkan sadar betap dinginnya matanya. “Sedikit ke kiri, Tuan Aleon! tuan Aleon. satu ciuman lagi untuk kamera!” Isa nyaris menggertakkan giginya. Aleon menoleh pelan padanya, wajahnya menawan seperti biasa—tapi Isa tahu itu hanya topeng. Bibirnya mendekat. “Berikan senyuman manis, Nyonya Asmaralaya,” bisik Aleon lembut, tapi dengan ancaman halus di dalamnya. Isa menarik napas. Lalu ia tersenyum… dan memiringkan wajahnya, membiarkan Aleon mencium pipinya, bukan bibir. Blitz kembali meledak. Aleon tertawa kecil seolah hal itu lucu, padahal Isa tahu, ia sedang menghitung pembangkangannya. Saat pulang ke rumah, Aleon mengajak Isa bicara di ruang kerja. Tapi Isa menolak, bilang dia ingin tidur. Aleon mengikutinya masuk k
“Apa yang harus aku lakukan padamu, Isa?” kata-katanya nyaris tak terdengar saat Aleon memutus jarak di antara mereka, bibirnya mencium bibir Isa dengan penuh gairah. Satu tanagnnya melingkari pinggang Isa, menariknya lebih dekat, sementara tangan satunya, menekan kepala Isa dan segera memperdalam ciumannya. Aleon menarik dan menekan tubuh Isa lebih dekat, membawanya dalam pelukan erat. Aroma vanila dan stroberi yang manis dan memabukkan tercium dari tubuh Isa, merasuki indranya dan memicu hasratnya lebih tinggi. Aleon memperdalam ciumannya, bibirnya melahap bibir Isa saat tangannya yang berada di pinggang, naik ke atas, menangkup payudara Isa, membuat sang empu tersentak, bibirnya yang masih terkurung di bawah bibir Aleon, erangan lembut keluar dari mulutnya.“Aahhh…” Suaranya nyaris tidak terdengar, Aleon tersenyum ditengah-tengah ciuman mereka, membuatnya semakin bergairah dan tangannya yang mulai bermain di payudara Isa. “Aku… aku tidak mau.” Isa melepaskan diri. Pikirannya te
Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Anneliese Isabelle memeluk dirinya di bawah selimut tebal, berusaha mengusir rasa gelisah yang tak kunjung hilang. Ia terus membolak-balikkan badannya, matanya melirik ke arah sofa. Di sana, Aleon Caesar Asmaralaya, CEO arogan itu, tidur terlelap. Bahkan dalam tidur pun wajahnya tetap tampan menyebalkan. Rambut hitamnya berantakan sedikit, napasnya teratur, dada bidangnya naik turun dengan tenang. Isa mendengus tanpa sadar. “Kenapa aku malah memperhatikannya?” Tanya Isa pada diri sendiri.Menghela napas, Isa mencoba kembali tidur. Namun, suara gemuruh dari luar membuatnya tersentak kaget. Refleks, Isa bangkit dari tempat tidur dan sebelum bisa memproses pikirannya, ia sudah berdiri di samping sofa. Aleon masih tertidur.Isa menggigit bibir. “Aku hanya duduk sebentar,” bisiknya tenang. Perlahan-lahan, Isa duduk di ujung sofa, berusaha tidak membuat suara. Tapi entah karena kecapean atau rasa hangat aneh yang menyebar dari tubuh Aleon, Isa