Pagi hari datang tanpa kehangatan. Langit di luar jendela berwarna kelabu, dan angin berembus seperti membawa ancaman tak terlihat.
Isabelle turun ke lantai bawah tanpa ekspresi. Rambutnya diikat rapi, wajahnya tanpa riasan. Bahkan dalam keadaan paling lelah sekalipun, ia tetap tampak sempurna—dingin, anggun, dan jauh dari jangkauan. Aleon sudah duduk di ruang makan. Kemeja hitamnya tergulung di lengan, dan satu tangan memegang cangkir kopi. Matanya langsung menatap Isa ketika wanita itu datang. Bukan tatapan hangat. Tapi tatapan milik seseorang yang ingin tahu—apakah ia masih memiliki kekuasaan. “Selamat pagi,” katanya datar. Isa duduk di seberang meja. Tidak membalas sapaan. Ia hanya mengangkat gelas air putih dan meminumnya dengan pelan. “Apakah kamu tidur nyenyak?” tanya Aleon. Isa menaruh gelas. “Tidak. Tapi aku terbiasa tidur di samping ancaman yang membungkus dirinya sebagai pelindung.” Aleon menyipitkan mata. Ia tersenyum kecil. “Jadi aku ancaman sekarang?” “Kamu selalu ancaman.” Sarapan berlangsung sunyi. Hanya suara alat makan menyentuh piring yang terdengar. Aleon menatap Isa dalam diam. Wajah wanita itu begitu tenang, seperti es yang tidak bisa mencair. Tapi justru itu yang membuat darahnya mendidih. “Aku akan menghapus semua jadwal publikmu minggu ini,” kata Aleon tiba-tiba. “Aku tidak suka kamu ada di luar tanpa pengawasanku.” Isa mendongak. Tidak marah. Tidak terkejut. Ia hanya tersenyum kecil—tipis dan sinis. “Kamu ingin mengurungku, atau menghancurkan karierku sekalian?” “Aku melindungimu.” “Dari siapa?” Isa mencondongkan tubuh sedikit. Suaranya tetap datar, tapi menyayat. “Dari dirimu sendiri yang tidak mampu menerima bahwa aku bukan boneka di pangkuanmu?” Aleon meletakkan garpunya dengan suara pelan tapi tegas. “Dari semua hal yang bisa merenggut sesuatu yang bukan milikmu.” Seketika, tatapan Aleon menggelap. ~~~ Setelah sarapan, Isa berjalan menuju ruang kaca di ujung rumah. Langkahnya tenang, namun di dalam dirinya badai mengamuk. Ia bilang membenci Aleon, tapi mengapa ia kembali ke tempat tidur itu tadi malam? Ia masih mencintai Jared, tapi mengapa tubuhnya membeku ketika mata Aleon menatapnya terlalu dalam? Isa duduk di kursi rotan, menatap taman basah karena embun pagi. Di pangkuannya, ia mengepalkan jemari, berusaha mengusir rasa bersalah yang menempel seperi noda. Isa mengingat Jared. Senyumnya. Suaranya. Cara pria itu memeluknya setiap kali pulang dari set syuting. Rasa nyaman yang selalu hadir. Tapi sekarang, rasa nyaman itu terasa jauh. Samar. Kabur oleh bayangan Aleon yang selalu ada. Di mana pun ia berpaling, pria itu muncul seperti kutukan. “Jared…” bisiknya lirih. “Aku minta maaf…” Pintu ruang kaca terbuka membuat Isa menegang. Aleon masuk dengan tenang, seperti biasa. Tak bersuara. Hanya aura dinginnya yang mendahului kehadiran fisik. “Sudah cukup menyesal?” tanya Aleon, berdiri di balik kursi. Isa tidak menoleh. “Kalau kamu datang untuk mencaci, lakukan saja.” Aleon tertawa kecil. “Aku tidak datang untuk itu. Aku hanya penasaran… apakah kamu sudah berhenti berpura-pura.” “Berpura-pura apa?” “Berpura-pura tidak menikmati permainan ini.” Isa berdiri. Tatapannya tajam, menusuk. “Ini bukan permainan.” “Tentu saja ini permainan,” balas Aleon. “Kamu melangkah masuk ke apiku, dan mengira kamu tidak akan terbakar?” “Kamu yang menarikku.” Suara Isa dingin, “dan sekarang kamu menuduh aku menari di tengah nyalanya?” Aleon melangkah mendekat. Hanya berjarak satu lengan. “Aku tidak menarikmu, Isa. Kamu datang sendiri. Berkali-kali. Bahkan setelah aku mengurungmu, kamu masih membuka pintu itu dan berjalan ke ranjangku.” Isa mencibir. “Kamu selalu tahu caranya membalikkan kenyataan.” “Aku hanya menunjukkan cermin. Kamu yang tidak tahan melihat bayangmu sendiri.” Aleon menunduk sedikit, wajahnya hanya sejengkal dari Isa. “Kalau aku menciummu sekarang, kamu akan membalasnya?” bisiknya. Isa tidak menjawab. Aleon makin dekat. Bibirnya hampir menyentuh pipi Isa, tapi di detik terakhir, Isa menggeser wajahnya. Hanya sedikit. Tapi cukup untuk menghindar. “Napasmu terlalu panas,” gumam Isa, datar. “Dan aku tidak sedang ingin terbakar.” Aleon tersenyum. “Tapi kamu tidak pergi.” “Kamu juga tidak memaksaku.” Mereka diam. ~~~ “Aku membencimu.” “Tapi saat kamu menciumku malam itu… aku tidak mendorongmu.” Isa menarik napas. “Saat kamu memegangku… aku tidak menamparmu.” Suaranya menurun, seolah bicara pada dirinya sendiri. “Karena ada bagian dalam diriku yang menunggu seseorang melakukan itu. Dan sialnya, orang itu adalah kamu.” Aleon tidak bereaksi. “Aku sedang bermain api, Aleon.” bisik Isa. “Dan aku tidak tahu apakah aku ingin apinya padam… atau aku yang terbakar habis.” Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang menyesakkan. Lalu, suara langkah mendekat. Hingga napas Aleon terasa di tengkuknya. Dekat. Panas. Membuat jantung Isa berdetak tak karuan. “Aku bisa membakar semuanya untukmu, Isa,” bisik Aleon. “Termasuk diriku sendiri.” Jemarinya menyentuh lengan Isa. Pelan. Tapi Isa menepisnya. “Jangan.” Isa berbalik, matanya dingin, tapi bibirnya gemetar. “Aku butuh ruang. Bahkan neraka butuh batas, Aleon.” Aleon menatapnya lama. Rahangnya mengeras. “Dan bagaimana kalau aku bilang…. Aku adalah neraka itu sendiri?” Isa menatapnya lurus. “Maka aku akan menjadi es yang tak akan pernah meleleh.” Kemudian, Aleon mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah cincin. Aleon memainkan cincin di tangannya. Cincin milik Isa. Cincin pertunangan dari Jared. “Kenapa itu ada padamu?” tanya Isa tajam. Aleon tidak menjawab. Ia hanya menatap benda kecil itu, sebelum akhirnya membuang cincin it uke lantai. “Karena kamu tak pernah benar-benar memakainya lagi sejak kamu datang ke sini.” Isa hendak menunduk mengambil cincin, tapi sayangnya kaki Aleon malah menginjak cincin itu. “Itu bukan urusanmu!” “Itu urusanku,” balas Aleon dengan suara redah. “Karena aku tahu kamu lebih memikirkan aku daripada dia.” Isa mendesis pelan. “Jangan terlalu percaya diri.” “Tapi kamu datang ke sini,” Aleon menatapnya tajam “Dan kamu tidak bisa berhenti mencariku, meski kamu membenciku.” Aleon menyentuh wajah Isa dengan satu tangan. Isa tidak mundur. “Tahu tidak, Isa,” bisiknya. “Batu es bisa bertahan ratusan tahun di kutub. Tapi begitu kamu letakkan di dekat bara, bahkan yang paling keras pun akan mencair.” Isa tidak mengelak. Ia ingin mendorong Aleon. tapi jari-jarinya hanya mengepal di sisi tubuh. Ia ingin memaki pria itu, tapi lidahnya kelu. Ia ingin kabur, tapi kakinya terpaku. “Kamu selalu merasa benar karena tidak menyerah, ya?” gumam Isa pelan. “Aku tidak butuh benar. Aku hanya butuh kamu tetap di sini.” Lalu—saat keheningan itu menjadi terlalu sesak—Isa berkata pelan, “Kalau aku mencium kamu sekarang, kamu akan balas?” Aleon terdiam. Jantungnya berdetak cepat. Tapi Isa tidak menunggu jawaban. Wajahnya mendekat, hanya beberapa centimeter. Napas mereka bercampur. Namun detik berikutnya, Isa mundur selangkah. “Tapi aku tidak akan mencium pria yang mencuri cincin dari tunangannya,” katanya, suaranya tajam, walau matanya berkabut. Aleon menghela napas dalam. “Baik,” katanya. “Kalau begitu, jangan cium aku.” Ia melangkah ke luar. “Tapi juga jangan pura-pura bahwa kamu tidak menginginkannya.”Malam itu, Isa tidur sendirian. Aleon tidak masuk kamar. Tidak menuntut. Tidak menutup pintu. Tapi Isa justru terjaga. Ia menggenggam selimut, berbalik ke arah sisi ranjang yang biasa ditempati pria itu. Bibirnya bergetar, matanya basah. Karena di detik itu, ia menyadari satu hal—ketika Aleon tidak berada di sisinya… ia justru merasa lebih hampa, dan itu membuatnya takut. Hingga pagi datang, Isa duduk di sisi tempat tidur, pandanganya menerawang. Rambutnya kusut, wajahnya pucat, dan mata bengkak karena semalaman tak bisa tidur. Ranjang yang kosong di sebelahnya terasa lebih berat daripada saat dihuni Aleon. Ia mengira akan merasa lega karena Aleon tidak memaksanya lagi tidur bersam semalaman. Tapi yang ia rasakan justru sebaliknya—ruang kosong itu menyesakkan. Seolah pria itu tetap hadir… dalam pikiran, dalam dada, dalam napasnya sendiri. Isa turun dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi. Di hadapan cermin, ia memandang bayangannya sendiri dengan tatapan mati rasa. “Apa y
Pagi hari datang tanpa kehangatan. Langit di luar jendela berwarna kelabu, dan angin berembus seperti membawa ancaman tak terlihat. Isabelle turun ke lantai bawah tanpa ekspresi. Rambutnya diikat rapi, wajahnya tanpa riasan. Bahkan dalam keadaan paling lelah sekalipun, ia tetap tampak sempurna—dingin, anggun, dan jauh dari jangkauan. Aleon sudah duduk di ruang makan. Kemeja hitamnya tergulung di lengan, dan satu tangan memegang cangkir kopi. Matanya langsung menatap Isa ketika wanita itu datang. Bukan tatapan hangat. Tapi tatapan milik seseorang yang ingin tahu—apakah ia masih memiliki kekuasaan. “Selamat pagi,” katanya datar. Isa duduk di seberang meja. Tidak membalas sapaan. Ia hanya mengangkat gelas air putih dan meminumnya dengan pelan. “Apakah kamu tidur nyenyak?” tanya Aleon. Isa menaruh gelas. “Tidak. Tapi aku terbiasa tidur di samping ancaman yang membungkus dirinya sebagai pelindung.” Aleon menyipitkan mata. Ia tersenyum kecil. “Jadi aku ancaman sekarang?” “Kam
Isabelle berdiri kaku. Dadanya naik-turun tak teratur, napasnya masih berat setelah konfrontasi Aleon. Kata-katanya menggema terus di kepalanya—tentang ponsel, akses, bahkan manajernya. Ia merasa seolah semua dunia luar telah diputus dengan sengaja. Lelaki itu tak hanya mengendalikan ruangnya, tapi juga pikirannya. Isa berjalan menuju balkon kamar tamu. Udara yang menusuk kulit menyambutnya, tapi itu tak cukup mendinginkan pikirannya yang terbakar amarah. Tangannya mencengkeram pagar balkon besi hingga buku-bukunya memutih. Ia ingin terjun saja, terbang menjauh dari rumah megah yang lebih menyerupai penjara itu. Tapi Isa tahu, bahkan jika ia melompat, Aleon akan tetap menemukannya. “Aku bukan milik siapa pun…” gumamnya. Tapi kata-kata itu bahkan tak terdengar meyakinkan untuk dirinya sendiri. Pintu kamar tamu terbuka tanpa suara. Aleon berdiri di sana, seolah bayangan yang muncul dari udara. “Pagi yang dingin untuk istri yang keras kepala,” ucapnya santai. Isa tidak menjawab.
Kamera terus berputar. Blitz menyala tanpa henti. Aleon dan Isa berdiri berdampingan di red carpet sebuah acara amal yang di sponsori Asmaralaya Industries. Tangannya menggenggam pinggang Isa, sementara senyum Isa nyaris sempurna—jika tak diperhatikan, orang mungkin takkan sadar betap dinginnya matanya. “Sedikit ke kiri, Tuan Aleon! tuan Aleon. satu ciuman lagi untuk kamera!” Isa nyaris menggertakkan giginya. Aleon menoleh pelan padanya, wajahnya menawan seperti biasa—tapi Isa tahu itu hanya topeng. Bibirnya mendekat. “Berikan senyuman manis, Nyonya Asmaralaya,” bisik Aleon lembut, tapi dengan ancaman halus di dalamnya. Isa menarik napas. Lalu ia tersenyum… dan memiringkan wajahnya, membiarkan Aleon mencium pipinya, bukan bibir. Blitz kembali meledak. Aleon tertawa kecil seolah hal itu lucu, padahal Isa tahu, ia sedang menghitung pembangkangannya. Saat pulang ke rumah, Aleon mengajak Isa bicara di ruang kerja. Tapi Isa menolak, bilang dia ingin tidur. Aleon mengikutinya masuk k
“Apa yang harus aku lakukan padamu, Isa?” kata-katanya nyaris tak terdengar saat Aleon memutus jarak di antara mereka, bibirnya mencium bibir Isa dengan penuh gairah. Satu tanagnnya melingkari pinggang Isa, menariknya lebih dekat, sementara tangan satunya, menekan kepala Isa dan segera memperdalam ciumannya. Aleon menarik dan menekan tubuh Isa lebih dekat, membawanya dalam pelukan erat. Aroma vanila dan stroberi yang manis dan memabukkan tercium dari tubuh Isa, merasuki indranya dan memicu hasratnya lebih tinggi. Aleon memperdalam ciumannya, bibirnya melahap bibir Isa saat tangannya yang berada di pinggang, naik ke atas, menangkup payudara Isa, membuat sang empu tersentak, bibirnya yang masih terkurung di bawah bibir Aleon, erangan lembut keluar dari mulutnya.“Aahhh…” Suaranya nyaris tidak terdengar, Aleon tersenyum ditengah-tengah ciuman mereka, membuatnya semakin bergairah dan tangannya yang mulai bermain di payudara Isa. “Aku… aku tidak mau.” Isa melepaskan diri. Pikirannya te
Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Anneliese Isabelle memeluk dirinya di bawah selimut tebal, berusaha mengusir rasa gelisah yang tak kunjung hilang. Ia terus membolak-balikkan badannya, matanya melirik ke arah sofa. Di sana, Aleon Caesar Asmaralaya, CEO arogan itu, tidur terlelap. Bahkan dalam tidur pun wajahnya tetap tampan menyebalkan. Rambut hitamnya berantakan sedikit, napasnya teratur, dada bidangnya naik turun dengan tenang. Isa mendengus tanpa sadar. “Kenapa aku malah memperhatikannya?” Tanya Isa pada diri sendiri.Menghela napas, Isa mencoba kembali tidur. Namun, suara gemuruh dari luar membuatnya tersentak kaget. Refleks, Isa bangkit dari tempat tidur dan sebelum bisa memproses pikirannya, ia sudah berdiri di samping sofa. Aleon masih tertidur.Isa menggigit bibir. “Aku hanya duduk sebentar,” bisiknya tenang. Perlahan-lahan, Isa duduk di ujung sofa, berusaha tidak membuat suara. Tapi entah karena kecapean atau rasa hangat aneh yang menyebar dari tubuh Aleon, Isa