Kamera terus berputar. Blitz menyala tanpa henti.
Aleon dan Isa berdiri berdampingan di red carpet sebuah acara amal yang di sponsori Asmaralaya Industries. Tangannya menggenggam pinggang Isa, sementara senyum Isa nyaris sempurna—jika tak diperhatikan, orang mungkin takkan sadar betap dinginnya matanya. “Sedikit ke kiri, Tuan Aleon! tuan Aleon. satu ciuman lagi untuk kamera!” Isa nyaris menggertakkan giginya. Aleon menoleh pelan padanya, wajahnya menawan seperti biasa—tapi Isa tahu itu hanya topeng. Bibirnya mendekat. “Berikan senyuman manis, Nyonya Asmaralaya,” bisik Aleon lembut, tapi dengan ancaman halus di dalamnya. Isa menarik napas. Lalu ia tersenyum… dan memiringkan wajahnya, membiarkan Aleon mencium pipinya, bukan bibir. Blitz kembali meledak. Aleon tertawa kecil seolah hal itu lucu, padahal Isa tahu, ia sedang menghitung pembangkangannya. Saat pulang ke rumah, Aleon mengajak Isa bicara di ruang kerja. Tapi Isa menolak, bilang dia ingin tidur. Aleon mengikutinya masuk kamar. “Aku tidak mood,” kata Isa tegas. “Kita punya kontrak. Kamu harus ikut sesi foto couple untuk majalah Forbes Asia lusa. Mereka ingin eksklusif suami-istri yang ‘power couple’.” Isa menatapnya. “Power couple atau power abuse?” Aleon mendekat, terlalu dekat. Jemarinya menyentuh wajah Isa, mengusap perlahan. “kamu sedang mencoba memberontak, ya?” Isa menepis tangannya. “Aku hanya ingin hidupku kembali.” Aleon menunduk, mencium bahunya, lalu naik ke leher. Isa mencoba mendorongnya, tapi tubuh Aleon terlalu berat. Napasnya panas, suaranya terdengar berat dan rendah, namun penuh tekanan. “Aku menginginkanmu, Isa.” Tapi saat Aleon mencoba mencium bibirnya, Isa berbalik cepat dan mendorongnya hingga pria itu mundur setengah langkah. “Kalau kamu menyentuhku malam ini, aku akan melukaimu. Serius.” Aleon terdiam. Ia menatap dalam-dalam. Lalu, alih-alih marah, ia tersenyum kecil, dingin dan menyakitkan. “Baik. Tapi ingat, semakin kamu menolak, semakin besar rasa ingin memiliki itu tumbuh dalam diriku. Dan kamu tahu aku tidak suka ditolak.” Isa hanya menatapnya dengan benci. Tapi dalam hatinya, ia tahu satu hal: pria ini akan jadi kehancurannya—atau mungkin, pada akhirnya, ayah dari anaknya. Ia terdiam. Jantungnya berdetak kacau, napasnya tak beraturan. Aleon tidak menjauh, pria itu berdiri begitu dekat, menatapnya seolah Isa adalah satu-satunya hal yang dia lihat di dunia ini. “Aku ingin kamu,” bisik Aleon, suaranya dalam dan menghipnotis. Isabelle memalingkan wajah. “Jangan… jangan seperti ini lagi.” “Aku suamimu.” “Kontrak,” Isa mengingatkan, suaranya bergetar. “Ini hanya kontrak.” “Tapi kamu tetap istriku.” Dengan satu langkah besar, Aleon menjebaknya di antara tubuhnya dan dinding. Isa menahan napas saat tangan Aleon menyentuh pipinya, lembut, nyaris menyakitkan. Namun kali ini, sebelum ciuman bisa kembali terjadi, Isa menepis wajahnya. “Berhenti!” suaranya tinggi, gemetar, hampir seperti teriak. Aleon membeku. “Isa—” “Berhenti mempermainkanku!” ia mendorong dada Aleon keras-keras. “Kamu bilang tidak boleh ada perasaan! Kamu yang buat peraturan, tapi kamu juga yang melanggar!” Aleon menatapnya, rahangnya mengeras. “Karena kamu buat aku gila.” Isabelle menatapnya, terengah-engah. “Aku benci kamu…” Aleon mendekat lagi, tapi Isa mundur. Ia melangkah mundur terus, menjauh, matanya mulai berair. “Kamu tidak bisa seenaknya cium aku setiap kamu mau, sentuh aku seolah kamu punya hak—aku bukan boneka yang bisa kamu kendalikan!” “Tidak seenaknya,” suara Aleon kini bergetar. “Karena aku butuh kamu, Isa. Aku—” “Cukup!” Isa menoleh cepat, berjalan ke arah pintu kamar. Keluar dari kamar. Tapi suara Aleon menghentikannya. “Kamu tidak bisa kabur dariku, Isa. Kamu tahu itu. Bahkan kalau kamu lari sekarang, kamu tetap akan kembali. Aku akan selalu menemukanmu.” Isa menutup matanya. Untuk pertama kalinya, ia merasa napasnya benar-benar sesak. Dan untuk pertama kalinya… ia merasa takut. Setelah kejadian itu, Isabelle mengurung diri di kamar tamu. Ia tidak keluar bahkan untuk makan malam. Ia juga menolak menjawab ketukan pintu, menolak menyentuh telepon, menolak segalanya. Tapi yang tidak bisa ia tolak—adalah kenyataan bahwa Aleon tinggal di rumah yang sama. Pagi harinya, saat ia keluar kamar dengan niat mencari udara segar, suara Aleon terdengar. “Akhirnya kamu keluar juga.” Isa menghentikan langkah. Aleon berdiri dengan kemeja putih yang lengannya digulung, satu tangan menyelip di saku celana. Tatapannya tajam, dan ada senyum di kecil di wajahnya—bukan senyum hangat, tapi senyum seseorang yang tahu bahwa ia telah menang. “Jangan bicara padaku,” kata Isa pelan, tapi tajam. “Aku di sini sampai kontrak ini selesai.” “Kontraknya belum selesai,” balas Aleon sambil berjalan mendekat. “Dan kamu tahu, kamu tidak bisa melanggar satu pun klausul tanpa konsekuensi.” Isa memutar bola mata. “Aku tidak melanggar. Aku hanya menjauh.” Aleon mendekat. “Justru itu masalahnya, aku tidak suka saat kamu menjauh dariku.” “Kamu tidak punya hak untuk—” Tangan Aleon mencengkeram dagu Isa, lembut tapi cukup kuat membuat Isa terdiam. “Kalau kamu mau berpura-pura dingin, aku akan berpura-pura lebih dari itu,” bisiknya pelan. “Tapi kamu lupa satu hal, Isa. Di antara kita berdua, hanya aku yang pegang kendali.” Isa menepis tangannya. “Kalau kamu pikir kamu bisa mengurung aku di sini, kamu salah besar!” Aleon menatapnya, lalu terkekeh pelan. “Sayang… kamu bahkan tidak sadar kalau kamu sudah dikurung sejak hari pertama.” Isa tercekat. “Ponselmu, sosial mediamu, akses ke luar rumah ini, bahkan manajermu sekarang bekerja sama denganku. Kamu tidak sadar, kan?” Isa membelalak. “Kamu… kamu gila!” Aleon tidak membantah. Ia hanya menatap Isa lama. “Aku bilang dari awal. Aku akan memiliki kamu sepenuhnya. Entah kamu suka atau tidak.” Isa berdiri membeku. Perlahan, air matanya jatuh, tapi ia tidak menghapusnya. Dalam hati, ia bersumpah: ia akan melawan, entah bagaimana caranya. Tapi dalam kenyataan… ia sudah masuk ke dalam perangkap seorang pria yang tidak pernah berniat melepaskannya.Malam itu, Isa tidur sendirian. Aleon tidak masuk kamar. Tidak menuntut. Tidak menutup pintu. Tapi Isa justru terjaga. Ia menggenggam selimut, berbalik ke arah sisi ranjang yang biasa ditempati pria itu. Bibirnya bergetar, matanya basah. Karena di detik itu, ia menyadari satu hal—ketika Aleon tidak berada di sisinya… ia justru merasa lebih hampa, dan itu membuatnya takut. Hingga pagi datang, Isa duduk di sisi tempat tidur, pandanganya menerawang. Rambutnya kusut, wajahnya pucat, dan mata bengkak karena semalaman tak bisa tidur. Ranjang yang kosong di sebelahnya terasa lebih berat daripada saat dihuni Aleon. Ia mengira akan merasa lega karena Aleon tidak memaksanya lagi tidur bersam semalaman. Tapi yang ia rasakan justru sebaliknya—ruang kosong itu menyesakkan. Seolah pria itu tetap hadir… dalam pikiran, dalam dada, dalam napasnya sendiri. Isa turun dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi. Di hadapan cermin, ia memandang bayangannya sendiri dengan tatapan mati rasa. “Apa y
Pagi hari datang tanpa kehangatan. Langit di luar jendela berwarna kelabu, dan angin berembus seperti membawa ancaman tak terlihat. Isabelle turun ke lantai bawah tanpa ekspresi. Rambutnya diikat rapi, wajahnya tanpa riasan. Bahkan dalam keadaan paling lelah sekalipun, ia tetap tampak sempurna—dingin, anggun, dan jauh dari jangkauan. Aleon sudah duduk di ruang makan. Kemeja hitamnya tergulung di lengan, dan satu tangan memegang cangkir kopi. Matanya langsung menatap Isa ketika wanita itu datang. Bukan tatapan hangat. Tapi tatapan milik seseorang yang ingin tahu—apakah ia masih memiliki kekuasaan. “Selamat pagi,” katanya datar. Isa duduk di seberang meja. Tidak membalas sapaan. Ia hanya mengangkat gelas air putih dan meminumnya dengan pelan. “Apakah kamu tidur nyenyak?” tanya Aleon. Isa menaruh gelas. “Tidak. Tapi aku terbiasa tidur di samping ancaman yang membungkus dirinya sebagai pelindung.” Aleon menyipitkan mata. Ia tersenyum kecil. “Jadi aku ancaman sekarang?” “Kam
Isabelle berdiri kaku. Dadanya naik-turun tak teratur, napasnya masih berat setelah konfrontasi Aleon. Kata-katanya menggema terus di kepalanya—tentang ponsel, akses, bahkan manajernya. Ia merasa seolah semua dunia luar telah diputus dengan sengaja. Lelaki itu tak hanya mengendalikan ruangnya, tapi juga pikirannya. Isa berjalan menuju balkon kamar tamu. Udara yang menusuk kulit menyambutnya, tapi itu tak cukup mendinginkan pikirannya yang terbakar amarah. Tangannya mencengkeram pagar balkon besi hingga buku-bukunya memutih. Ia ingin terjun saja, terbang menjauh dari rumah megah yang lebih menyerupai penjara itu. Tapi Isa tahu, bahkan jika ia melompat, Aleon akan tetap menemukannya. “Aku bukan milik siapa pun…” gumamnya. Tapi kata-kata itu bahkan tak terdengar meyakinkan untuk dirinya sendiri. Pintu kamar tamu terbuka tanpa suara. Aleon berdiri di sana, seolah bayangan yang muncul dari udara. “Pagi yang dingin untuk istri yang keras kepala,” ucapnya santai. Isa tidak menjawab.
Kamera terus berputar. Blitz menyala tanpa henti. Aleon dan Isa berdiri berdampingan di red carpet sebuah acara amal yang di sponsori Asmaralaya Industries. Tangannya menggenggam pinggang Isa, sementara senyum Isa nyaris sempurna—jika tak diperhatikan, orang mungkin takkan sadar betap dinginnya matanya. “Sedikit ke kiri, Tuan Aleon! tuan Aleon. satu ciuman lagi untuk kamera!” Isa nyaris menggertakkan giginya. Aleon menoleh pelan padanya, wajahnya menawan seperti biasa—tapi Isa tahu itu hanya topeng. Bibirnya mendekat. “Berikan senyuman manis, Nyonya Asmaralaya,” bisik Aleon lembut, tapi dengan ancaman halus di dalamnya. Isa menarik napas. Lalu ia tersenyum… dan memiringkan wajahnya, membiarkan Aleon mencium pipinya, bukan bibir. Blitz kembali meledak. Aleon tertawa kecil seolah hal itu lucu, padahal Isa tahu, ia sedang menghitung pembangkangannya. Saat pulang ke rumah, Aleon mengajak Isa bicara di ruang kerja. Tapi Isa menolak, bilang dia ingin tidur. Aleon mengikutinya masuk k
“Apa yang harus aku lakukan padamu, Isa?” kata-katanya nyaris tak terdengar saat Aleon memutus jarak di antara mereka, bibirnya mencium bibir Isa dengan penuh gairah. Satu tanagnnya melingkari pinggang Isa, menariknya lebih dekat, sementara tangan satunya, menekan kepala Isa dan segera memperdalam ciumannya. Aleon menarik dan menekan tubuh Isa lebih dekat, membawanya dalam pelukan erat. Aroma vanila dan stroberi yang manis dan memabukkan tercium dari tubuh Isa, merasuki indranya dan memicu hasratnya lebih tinggi. Aleon memperdalam ciumannya, bibirnya melahap bibir Isa saat tangannya yang berada di pinggang, naik ke atas, menangkup payudara Isa, membuat sang empu tersentak, bibirnya yang masih terkurung di bawah bibir Aleon, erangan lembut keluar dari mulutnya.“Aahhh…” Suaranya nyaris tidak terdengar, Aleon tersenyum ditengah-tengah ciuman mereka, membuatnya semakin bergairah dan tangannya yang mulai bermain di payudara Isa. “Aku… aku tidak mau.” Isa melepaskan diri. Pikirannya te
Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Anneliese Isabelle memeluk dirinya di bawah selimut tebal, berusaha mengusir rasa gelisah yang tak kunjung hilang. Ia terus membolak-balikkan badannya, matanya melirik ke arah sofa. Di sana, Aleon Caesar Asmaralaya, CEO arogan itu, tidur terlelap. Bahkan dalam tidur pun wajahnya tetap tampan menyebalkan. Rambut hitamnya berantakan sedikit, napasnya teratur, dada bidangnya naik turun dengan tenang. Isa mendengus tanpa sadar. “Kenapa aku malah memperhatikannya?” Tanya Isa pada diri sendiri.Menghela napas, Isa mencoba kembali tidur. Namun, suara gemuruh dari luar membuatnya tersentak kaget. Refleks, Isa bangkit dari tempat tidur dan sebelum bisa memproses pikirannya, ia sudah berdiri di samping sofa. Aleon masih tertidur.Isa menggigit bibir. “Aku hanya duduk sebentar,” bisiknya tenang. Perlahan-lahan, Isa duduk di ujung sofa, berusaha tidak membuat suara. Tapi entah karena kecapean atau rasa hangat aneh yang menyebar dari tubuh Aleon, Isa