Dengan sigap, Aldo kembali menggendong Davika ke pangkuannya. Ia memangku Davika dengan ala bridal style. Meski lelaki berlesung pipi itu berusaha untuk tidak peduli pada adiknya, tetap saja hati kecilnya berontak karena sesungguhnya Aldo sangat menyayangi adik-adiknya. Bahkan, saat keluarganya terpuruk Aldo rela jadi tulang punggung keluarga dengan merelakan studi S1-nya. Ia bekerja dalam sebuah proyek pembangunan jalan tol layang bersama Diaz, ayahnya, saat sang ayah belum dipanggil oleh yang Maha Kuasa.
Aldo dan Erna langsung masuk ke dalam mobil milik Chika, istri Aldo, yang Aldo kendarai ke rumah sang ibu. Chika sendiri tidak ikut karena ia baru saja melahirkan putri kedua mereka secara caesar tiga hari yang lalu. Sepulang dari rumah sakit tempat Chika melahirkan, Aldo langsung pamit pada Chika untuk menemui Davika di rumah ibunya. Beruntungnya, Chika yang paham dengan hati suaminya langsung mengizinkan tanpa banyak bertanya.
Aldo mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi menuju klinik terdekat. Jelas sekali, tergurat wajah cemas dari Aldo dan Erna, wanita yang melahirkan Davika 25 tahun yang lalu itu. Sesampainya di depan klinik, Aldo dengan sigap kembali menggendong Davika.
"Sus, tolong bantu adik saya!" teriak Aldo seraya menghampiri perawat di meja pendaftaran.
"Mari, Pak, ikuti saya!" ajak seorang perawat berjilbab putih bergaris biru muda. Perawat itu langsung meminta Aldo menidurkan Davika di bangsal gawat darurat. Setelah ditidurkan, perawat dengan sigap mengecek kondisi Davika dan memanggil dokter untuk memberikan diagnosis lebih lanjut.
Aldo dan Erna dengan setia menunggu di luar sampai pemeriksaan selesai.
"Bagaimana, Dok, kondisi adik saya?" tanya Aldo begitu dokter keluar dari ruang rawat Davika.
"Mari masuk, Pak, Bu. Kita bicara di ruangan saya saja," ajak sang dokter ramah. Aldo dan Erna langsung masuk ke ruangan dokter. Keduanya masih menampilkan raut wajah cemas dan was-was.
Apa mungkin ada yang serius dengan keadaan Davika? Berbagai pikiran buruk menari-nari di kepala Aldo. Apa jangan-jangan Davika hamil anak kedua? Aldo segera menepis jauh-jauh pikirannya. Ia langsung bergidik. Pokoknya jangan sampai adiknya itu kembali mengandung benih dari si berengsek Rafi.
"Ibu Davika terlalu banyak pikiran sehingga asam lambungnya naik. Karena hal tersebut, makanya Ibu Davika tak sadarkan diri. Selain itu, ia juga kekurangan gizi. Sepertinya, Ibu Davika jarang makan dan sering menahan lapar. Apa ada tuntutan yang mengharuskan Ibu Davika menahan lapar?"
Aldo mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia juga menahan amarah dengan merapatkan giginya. Di apartemen semewah itu adiknya harus menahan lapar? Ya Tuhan, sebenarnya manusia macam apa Rafi ini?
"Mungkin Vika menahan lapar untuk menjaga berat badannya, Dok, agar sesuai dengan harapan suaminya," tebak Erna.
"Diet yang dilakukan Ibu Davika kurang tepat, Bu. Baiknya, setelah Bu Davika sadar Bapak dan Ibu dapat menasihatinya agar tidak terlalu diforsir. Jika Ibu Davika masih ingin menjalani program diet, saya sarankan lakukan diet dengan benar dan sesuai arahan ahli gizi. Lalu, mohon minta Ibu Davika untuk tidak terlalu banyak pikiran karena segala penyakit biasanya berawal dari pikiran. Saya sudah memasang cairan infus untuk Ibu Davika. Jika cairannya sudah habis dan pasien sudah sadar dan pulih. Pasien diperbolehkan untuk pulang."
"Baik, terimakasih Dok atas bantuannya, kami permisi ke ruangan Davika dan menyelesaikan administrasi," ucap Aldo seraya merangkul bahu Ibunya yang mulai bergetar menahan tangis.
"Ya Allah, tega sekali Rafi pada Vika. Kenapa dia tak puas-puasnya memaksa Vika untuk melakukan diet sampai Vika kurang gizi seperti ini," ujar Erna sesenggukan.
Wanita itu tak habis pikir dengan apa yang menimpa putrinya. Memang benar putrinya bersalah, tetapi kenapa hukuman untuknya masih saja berlanjut sampai sekarang Ya Tuhan! Apa ini semuanya karena putrinya belum benar-benar melakukan pertaubatan atas kesalahan masa lalunya? Erna kembali menitikkan air matanya. Ia berjanji akan mengajak putrinya untuk memohon ampunan pada Tuhan agar jalan terjal yang dilaluinya bisa segera musnah. Sungguh, tak ada luka yang lebih menyakitkan dari tersakitinya buah hati. Semua ibu akan merasakan hal yang sama jika anaknya terluka, begitu pun Erna.
"Udah, Ma. Mama harus kuat, jangan sampai Mama juga sakit karena memikirkan Vika. Nanti kalau Vika sudah keluar dari sini, baru kita pikirkan cara membuat perhitungan dengan Rafi," pungkas Aldo. Erna kembali menangis di pelukan Aldo.
"Semua salah Mama. Andai Mama bisa memaafkan kesalahan Papa, andai Mama dan Papa bisa mempertahankan perusahaan, tentu Vika takkan memilih jalan instan dengan mencari kemewahan dalam kehidupan Rafi. Mama juga tahu kamu, Vika, dan Irvan tak terbiasa dengan jungkir baliknya keadaan kita sekarang. Mama minta maaf untuk semua, di usia tua seperti sekarang Mama hanya merepotkan kalian." Bahu wanita itu kembali berguncang. Sesekali isakan terdengar dari tubuh yang tak lagi sekuat dulu.
"Udah, Ma. Mama enggak salah, ini memang bagian dari jalan hidup yang sudah Allah tentukan buat kita. Aldo enggak suka Mama menyalahkan diri sendiri kayak gini. Mendingan sekarang Mama istirahat di sofa sana. Mama tenang aja, biar Aldo yang jaga Vika." Aldo memapah ibunya menuju sofa.
"Kamu enggak pulang, Al? Kasihan Chika, nanti Chika khawatir," tanya Erna. Wanita itu menyeka sisa-sisa air mata di bulu matanya.
"Enggak apa-apa, Ma. Nanti Aldo telepon Chika kalau Vika dirawat di klinik. Aldo yakin Chika pasti ngerti kok."
Setelah itu, Aldo langsung menelepon istrinya dan memberitahu semua yang terjadi pada Davika. Chika menyarankan agar Aldo lebih melunak pada Davika. Sebagai sesama perempuan, Chika bisa merasakan bagaimana perihnya hati Davika saat ini.
"Davika butuh kita sebagai keluarganya, Pi. Bagusnya kita support dia, jangan sampai Papi memojokkan Vika lagi. Bisa makin stress nanti dia. Mami tahu Papi marah karena Papi sayang sama Vika, tapi udah cukup ya marahnya. Nanti kalau Vika udah sadar, jangan ditambah lagi beban pikirannya dengan kemarahan Papi," ucap Chika di seberang telepon.
"Gimana Aretha? Rewel enggak, Mi?" tanya Aldo mengalihkkan pembicaraan. Sesungguhnya Aldo gamang, satu sisi adiknya dirawat dan sisi lainnya sang istri baru saja melahirkan. Ia sangat berharap istrinya dapat mengerti dengan keadaannya.
"Alhamdulillah enggak kok, Pi. Tenang aja, Mami dirawat sama Papa dan Kak Indira. Papi fokus dulu aja sama Vika. Nanti kalau Vika udah baikan, ajak dia dan Keenan ke sini biar ketemu sama Ayumi dan Aretha."
Setelah memutus sambungan telepon, Aldo kembali ke ruang rawat Davika. Ditatapnya sang adik dengan tatapan nanar. Ada sebersit rasa bersalah karena tadi ia terlalu meledak-ledak di hadapan Davika. Sungguh, Aldo berharap setelah Davika sadar, wanita itu takkan mengulangi kesalahan yang sama untuk ketiga kalinya.
Davika mulai membuka matanya. Matanya terasa silau setelah dua jam terpejam. Ia mengerjap-ngerjap dan menatap sekeliling. Ditatapnya jarum infus yang menancap di kulit tangan kanannya. Aroma khas rumah sakit atau klinik menguar di hidung bangirnya. Setelah kesadaran terkumpul dengan penuh wanita itu bangun dan terduduk. Ia melihat ibunya yang tertidur fi sofa dan kakaknya yang tertidur sambil memegang tangannya. Aldo terbangun saat menyadari Davika sudah duduk di ranjangnya.
"Kenapa Vika dirawat, Kak?"
=================
“Kenapa Vika dirawat, Kak?” tanya Davika pada Aldo.“Harusnya Kakak yang nanya, kenapa kamu sampai kayak gini? Sebenernya apa yang udah dilakuin si berengsek Rafi sama kamu? Bisa-bisanya kamu sampai kekurangan gizi dan dirawat kayak gini!”Gemuruh di dada Aldo kembali memberontak. Lelaki itu lupa dengan janjinya pada Chika dan Erna yang akan bersikap lebih lembut pada Davika. Semua pertanyaan di kepalanya harus segera terjawabkan agar ia bisa memutuskan bagaimana sikapnya pada mantan adik iparnya nanti. Jika Rafi benar-benar bertindak di luar batas, sebagai Kakak Davika, tentu Aldo akan membuat perhitungan.“Aku cuman kecapaian aja, Kak,” sahut Davika seraya meminum air putih yang tersedia di meja kecil di samping ranjang rawatnya. Perut dan kepala wanita itu masih terasa nyeri.“Enggak usah bohong! Jelas-jelas dokter bilang kamu kekurangan gizi! Apa jangan-j
"Apa yang sedang kalian lakukan?" Mata Davika membelalak tak percaya. Gumpalan embun menyeruak di mata sipitnya. Ia melihat sang suami mengecup hangat dahi seorang gadis yang bersandar di bahunya sambil menonton film romantis di dalam layar datar itu."Vika?" Mata Rafi membulat dan kedua pasangan itu langsung menjauh."Oh, jadi ini alasan sebenarnya Kakak menalak aku? Karena perempuan ini kan? Status instagram cuman alasan yang Kakak buat-buat agar bisa melegalkan perselingkuhan kalian! Kalian bener-bener keterlaluan." Tangan Davika mengepal dengan kencang sampai buku-buku tangannya memutih. Terasa sesak dan nyeri dada wanita itu. Susah payah Davika menahan entakan air mata yang mendesak ingin keluar dari mata sipitnya. Pada akhirnya, air mata itu luruh juga bersamaan dengan kekecewaan yang menusuk-nusuk hatinya."Vik, kamu jangan salah paham. Kakak sama sekali enggak selingkuh!" ucap Rafi membela// diri.
"Mbak Vika, enggak kenapa-kenapa?" teriak salah satu tetangganya panik. Wanita tambun yang berstatus sebagai tertangga Erna itu langsung meraih tubuh Davika yang ambruk. Ia terlihat khawatir apalagi saat melihat wajah Davika yang pucat pasi."Bu, bisa bantu saya masuk ke rumah?" pinta Davika seraya menahan nyeri yang semakin terasa menusuk-nusuk perutnya. Keringat dingin kembali mengalir hampir di seluruh tubuhnya.Sang tetangga langsung membopong Davika seraya mengetuk pintu rumah Erna. Setelah pintu terbuka, keduanya pun masuk. Irvan langsung membantu tetangganya membaringkan Davika di kursi ruang tamu.Keenan yang melihat ibunya kesakitan langsung bertanya, "Mami, kenapa? Mami sakit?" Keenan menggoyang-goyangkan lengan ibunya."Perut Mami sedikit sakit, Sayang." Davika berbicara sambil menggigit bibir bawahnya untuk menahan nyeri. Keenan langsung menatap dua koper di samping Davika. Anak lel
"Kakak mau ngomong, kalau Kakak udah nikah siri sama Natasha. Sambil nunggu akta cerai kita, baru diresmikan. Jadi, Keenan udah punya mama baru. Kakak mau kenalin Natasha sama Keenan boleh? Kalau secara agama kan kita udah sah cerai dari pas kamu pulang ke rumah orangtuamu. Jadi, Kakak sama Natasha udah tinggal bareng kayak yang kamu lihat tadi. Kakak boleh kenalin Natasha ke Keenan enggak?"Bagai disambar petir, pesan whatsapp dari Rafi sukses membuat mata Davika kembali berair. Bisa-bisanya mereka menikah dalam keadaan seperti ini? Hei Bung! Istrimu baru saja meninggalkan rumah selama 10 hari dan kamu entengnya mengatakan sudah menikah lagi dengan gadis lain tanpa ada beban sama sekali. Freak! Saiko! Rafi benar-benar tidak waras! Davika merutuki Rafi dalam hati. Untung saja, saat pesan itu datang Erna sedang keluar untuk mencari makan malam sehingga wanita itu tak perlu melihat putrinya kembali menangis terluka akibat ulah Rafi.Davi
Usaha keluarga besar Davika untuk mengembalikan senyum di wajah wanita muda itu berhasil. Semua silih berganti menghibur Davika yang diselimuti lara. Tanpa terasa kepergian Davika dari apartemen Rafi sudah berjalan selama satu bulan lamanya. Berkas-berkas perceraian pun sudah masuk ke pengadilan tinggal menunggu nomor antrean untuk menjalankan sidang kembali.Dalam kasus perceraian Rafi dan Davika, keduanya sama-sama mengajukan gugatan cerai. Rafi sebagai pemohon mengajukan permohonan cerai talak ke pengadilan agama/mahkamah syariah. Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan keduanya. Sayangnya, usaha hakim tidak berhasil karena Rafi bersikukuh ingin berpisah dari Davika, pun sebaliknya. Davika juga tidak membela diri atau pun menolak gugatan yang dilayangkan oleh Rafi.Hakim pun mewajibkan keduanya menjalani proses mediasi. Sama seperti sebelumnya, upaya hakim tidak berjalan dengan lancar. Karena hal tersebut, pemeri
"Vik, bangun! Udah sampe depan rumahmu." Devanno membangunkan Davika dengan lembut. Namun, wanita berhijab peach itu masih tertidur dengan pulas dan nyaman di dalam mobil."Kalau tidur gini, kamu terlihat tenang dan tanpa beban, Vik." Jari tangan Devanno mengusap pipi mulus Davika dengan penuh sayang. Lelaki beralis tebal dan berhidung mancung itu melengkungkan senyum di bibir tipisnya. Karena sentuhan tangan Devanno, Davika sedikit menggeliat membuat Devanno refleks menarik kembali jarinya."Vik? Kamu udah bangun?" Pertanyaan Devanno menguap bersamaan dengan Davika yang masih tertidur pulas. Ternyata Davika hanya menggeliat dan tidak menyadari sentuhan dari jari tangan Devanno.Lelaki itu bingung, apakah ia harus menggendong Davika dan menidurkannya di dalam rumah ataukah ia tunggu saja sampai wanita itu terbangun dengan sendirinya? Devanno menghela napas panjang. Jantung lelaki itu memompa darah dengan kecepatan tinggi
"Vik, siapa laki-laki yang mengantarmu pulang? Apa dia partner kerja yang merangkap menjadi kekasihmu? Dia kan yang membuat kamu tak mengacuhkan Kakak?" Mata Davika membulat sempurna. Dari mana Rafi mengetahui nomor ponselnya?Mendadak kepala wanita itu terasa nyeri. Davika memijit-mijit keningnya beberapa kali. Ia tertegun di depan cermin kamarnya. Kenapa setiap ada hal yang berhubungan dengan Rafi respons tubuhnya seperti ini? Apa trauma masa lalunya belum benar-benar sembuh? Apa sisa-sisa luka itu kembali menganga hanya karena tubuhnya berhadapan dengan Rafi?Ah, Rafi kenapa dia tak bosan-bosannya mengganggu hidup Davika? Selama hampir 10 tahun ini hidup wanita berhidung bangir itu sudah cukup tenang dan bahagia. Mengapa Rafi harus datang mengusik ketenangannya? Davika menatap pantulan wajah ayunya di cermin. Rasanya ia sudah cukup tegar selama ini. Bagaimana mungkin ketegaran itu goyah hanya karena pertemuannya dengan Rafi?
"Waduh, Bibi enggak kenal, Bu. Tamunya laki-laki, ganteng tapi enggak seganteng Tuan Devanno." Mendadak hati Davika tak enak, apa mungkin tamu itu Rafi?"Tamunya enggak disuruh masuk, kan, Bi?" tanya Davika was-was. Wanita itu menggigiti kuku-kuku di jari kanannya."Enggak, Bu. Bibi suruh tunggu di kursi luar," sahut Bi Marni. Wanita paruh baya itu merasa ada yang aneh dengan sikap majikannya. Tak biasanya sang majikan bersikap parno seperti hari ini. Ia ingin bertanya, tetapi sungkan. Akhirnya ia hanya menyimpan tanda tanya besar dalam hatinya."Bagus Bi, pokoknya kalau ada tamu laki-laki yang datang ke rumah ini saat Keenan enggak ada. Jangan pernah diizinkan masuk ya Bi, kecuali Kak Aldo, Irvan, atau saudara-saudaraku yang udah Bibi kenal. Kalau enggak kenal, Bibi minta tunggu di luar aja." Lagi, keringat dingin mulai mengucur di pelipis wanita cantik itu."Siap, Bu. Ini Bibi buatkan m