Share

Bab 7: Kurang Gizi

Dengan sigap, Aldo kembali menggendong Davika ke pangkuannya. Ia memangku Davika dengan ala bridal style. Meski lelaki berlesung pipi itu berusaha untuk tidak peduli pada adiknya, tetap saja hati kecilnya berontak karena sesungguhnya Aldo sangat menyayangi adik-adiknya. Bahkan, saat keluarganya terpuruk Aldo rela jadi tulang punggung keluarga dengan merelakan studi S1-nya. Ia bekerja dalam sebuah proyek pembangunan jalan tol layang bersama Diaz, ayahnya, saat sang ayah belum dipanggil oleh yang Maha Kuasa.

Aldo dan Erna langsung masuk ke dalam mobil milik Chika, istri Aldo, yang Aldo kendarai ke rumah sang ibu. Chika sendiri tidak ikut karena ia baru saja melahirkan putri kedua mereka secara caesar tiga hari yang lalu. Sepulang dari rumah sakit tempat Chika melahirkan, Aldo langsung pamit pada Chika untuk menemui Davika di rumah ibunya. Beruntungnya, Chika yang paham dengan hati suaminya langsung mengizinkan tanpa banyak bertanya. 

Aldo mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi menuju klinik terdekat. Jelas sekali, tergurat wajah cemas dari Aldo dan Erna, wanita yang melahirkan Davika 25 tahun yang lalu itu. Sesampainya di depan klinik, Aldo dengan sigap kembali menggendong Davika.

"Sus, tolong bantu adik saya!" teriak Aldo seraya menghampiri perawat di meja pendaftaran.

"Mari, Pak, ikuti saya!" ajak seorang perawat berjilbab putih bergaris biru muda. Perawat itu langsung meminta Aldo menidurkan Davika di bangsal gawat darurat. Setelah ditidurkan, perawat dengan sigap mengecek kondisi Davika dan memanggil dokter untuk memberikan diagnosis lebih lanjut.

Aldo dan Erna dengan setia menunggu di luar sampai pemeriksaan selesai. 

"Bagaimana, Dok, kondisi adik saya?" tanya Aldo begitu dokter keluar dari ruang rawat Davika. 

"Mari masuk, Pak, Bu. Kita bicara di ruangan saya saja," ajak sang dokter ramah. Aldo dan Erna langsung masuk ke ruangan dokter. Keduanya masih menampilkan raut wajah cemas dan was-was. 

Apa mungkin ada yang serius dengan keadaan Davika? Berbagai pikiran buruk menari-nari di kepala Aldo. Apa jangan-jangan Davika hamil anak kedua? Aldo segera menepis jauh-jauh pikirannya. Ia langsung bergidik. Pokoknya jangan sampai adiknya itu kembali mengandung benih dari si berengsek Rafi. 

"Ibu Davika terlalu banyak pikiran sehingga asam lambungnya naik. Karena hal tersebut, makanya Ibu Davika tak sadarkan diri. Selain itu, ia juga kekurangan gizi. Sepertinya, Ibu Davika jarang makan dan sering menahan lapar. Apa ada tuntutan yang mengharuskan Ibu Davika menahan lapar?" 

Aldo mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia juga menahan amarah dengan merapatkan giginya. Di apartemen semewah itu adiknya harus menahan lapar? Ya Tuhan, sebenarnya manusia macam apa Rafi ini?

"Mungkin Vika menahan lapar untuk menjaga berat badannya, Dok, agar sesuai dengan harapan suaminya," tebak Erna.

"Diet yang dilakukan Ibu Davika kurang tepat, Bu. Baiknya, setelah Bu Davika sadar Bapak dan Ibu dapat menasihatinya agar tidak terlalu diforsir. Jika Ibu Davika masih ingin menjalani program diet, saya sarankan lakukan diet dengan benar dan sesuai arahan ahli gizi. Lalu, mohon minta Ibu Davika untuk tidak terlalu banyak pikiran karena segala penyakit biasanya berawal dari pikiran. Saya sudah memasang cairan infus untuk Ibu Davika. Jika cairannya sudah habis dan pasien sudah sadar dan pulih. Pasien diperbolehkan untuk pulang." 

"Baik, terimakasih Dok atas bantuannya, kami permisi ke ruangan Davika dan menyelesaikan administrasi," ucap Aldo seraya merangkul bahu Ibunya yang mulai bergetar menahan tangis.

"Ya Allah, tega sekali Rafi pada Vika. Kenapa dia tak puas-puasnya memaksa Vika untuk melakukan diet sampai Vika kurang gizi seperti ini," ujar Erna sesenggukan. 

Wanita itu tak habis pikir dengan apa yang menimpa putrinya. Memang benar putrinya bersalah, tetapi kenapa hukuman untuknya masih saja berlanjut sampai sekarang Ya Tuhan! Apa ini semuanya karena putrinya belum benar-benar melakukan pertaubatan atas kesalahan masa lalunya? Erna kembali menitikkan air matanya. Ia berjanji akan mengajak putrinya untuk memohon ampunan pada Tuhan agar jalan terjal yang dilaluinya bisa segera musnah. Sungguh, tak ada luka yang lebih menyakitkan dari tersakitinya buah hati. Semua ibu akan merasakan hal yang sama jika anaknya terluka, begitu pun Erna.

"Udah, Ma. Mama harus kuat, jangan sampai Mama juga sakit karena memikirkan Vika. Nanti kalau Vika sudah keluar dari sini, baru kita pikirkan cara membuat perhitungan dengan Rafi," pungkas Aldo. Erna kembali menangis di pelukan Aldo.

"Semua salah Mama. Andai Mama bisa memaafkan kesalahan Papa, andai Mama dan Papa bisa mempertahankan perusahaan, tentu Vika takkan memilih jalan instan dengan mencari kemewahan dalam kehidupan Rafi. Mama juga tahu kamu, Vika, dan Irvan tak terbiasa dengan jungkir baliknya keadaan kita sekarang. Mama minta maaf untuk semua, di usia tua seperti sekarang Mama hanya merepotkan kalian." Bahu wanita itu kembali berguncang. Sesekali isakan terdengar dari tubuh yang tak lagi sekuat dulu. 

"Udah, Ma. Mama enggak salah, ini memang bagian dari jalan hidup yang sudah Allah tentukan buat kita. Aldo enggak suka Mama menyalahkan diri sendiri kayak gini. Mendingan sekarang Mama istirahat di sofa sana. Mama tenang aja, biar Aldo yang jaga Vika." Aldo memapah ibunya menuju sofa.

"Kamu enggak pulang, Al? Kasihan Chika, nanti Chika khawatir," tanya Erna. Wanita itu menyeka sisa-sisa air mata di bulu matanya.

"Enggak apa-apa, Ma. Nanti Aldo telepon Chika kalau Vika dirawat di klinik. Aldo yakin Chika pasti ngerti kok." 

Setelah itu, Aldo langsung menelepon istrinya dan memberitahu semua yang terjadi pada Davika. Chika menyarankan agar Aldo lebih melunak pada Davika. Sebagai sesama perempuan, Chika bisa merasakan bagaimana perihnya hati Davika saat ini.

"Davika butuh kita sebagai keluarganya, Pi. Bagusnya kita support dia, jangan sampai Papi memojokkan Vika lagi. Bisa makin stress nanti dia. Mami tahu Papi marah karena Papi sayang sama Vika, tapi udah cukup ya marahnya. Nanti kalau Vika udah sadar, jangan ditambah lagi beban pikirannya dengan kemarahan Papi," ucap Chika di seberang telepon.

"Gimana Aretha? Rewel enggak, Mi?" tanya Aldo mengalihkkan pembicaraan. Sesungguhnya Aldo gamang, satu sisi adiknya dirawat dan sisi lainnya sang istri baru saja melahirkan. Ia sangat berharap istrinya dapat mengerti dengan keadaannya.

"Alhamdulillah enggak kok, Pi. Tenang aja, Mami dirawat sama Papa dan Kak Indira. Papi fokus dulu aja sama Vika. Nanti kalau Vika udah baikan, ajak dia dan Keenan ke sini biar ketemu sama Ayumi dan Aretha."

Setelah memutus sambungan telepon, Aldo kembali ke ruang rawat Davika. Ditatapnya sang adik dengan tatapan nanar. Ada sebersit rasa bersalah karena tadi ia terlalu meledak-ledak di hadapan Davika. Sungguh, Aldo berharap setelah Davika sadar, wanita itu takkan mengulangi kesalahan yang sama untuk ketiga kalinya. 

Davika mulai membuka matanya. Matanya terasa silau setelah dua jam terpejam. Ia mengerjap-ngerjap dan menatap sekeliling. Ditatapnya jarum infus yang menancap di kulit tangan kanannya. Aroma khas rumah sakit atau klinik menguar di hidung bangirnya. Setelah kesadaran terkumpul dengan penuh wanita itu bangun dan terduduk. Ia melihat ibunya yang tertidur fi sofa dan kakaknya yang tertidur sambil memegang tangannya. Aldo terbangun saat menyadari Davika sudah duduk di ranjangnya.

"Kenapa Vika dirawat, Kak?"

=================

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rahma Wati
ya cerita bagus seperti kejadian benar
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
baca part ini g tahan klo g ngeluarin air mata karena baca ini kaya kisah nyata k bawa perasaan baca nya sampe ikut sedih ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status