Erland tengah berada di ruang kerjanya bersama Paman Hans dan seorang bawahan Erland di perusahaannya. Dia melempar sebuah dokumen ke depan seorang pria paruh baya yang berdiri dengan kepala tertunduk di depannya hingga dokumen itu berhamburan ke lantai. Raut wajah Erland memerah karena amarahnya. Tatapan mata gelapnya, begitu tajam melihat sosok pria di hadapannya tersebut. “Aku sudah memperingatimu sebelumnya tapi kau mengabaikannya dengan terus melakukan kecurangan di perusahaanku. Kau bertindak semaumu, seolah aku tidak bisa melakukan apapun padamu. Dengarkan baik-baik, mulai hari ini, kau dipecat. Jangan pernah tunjukkan wajahmu di hadapanku.”Pria paruh baya itu terkejut mendengar dirinya dipecat tapi dia tidak berani mengatakan apapun di depan Erland. Sebab, memohon dan membela dirinya di depan Erland hanya akan membuat nasibnya semakin buruk dari pemecatan yang dilakukan Erland. Mungkin dia akan berakhir di penjara. Lebih baik dia dipecat ketimbang harus masuk penjara.“Paman
Malam tiba. Semua orang duduk di kursi mereka masing-masing. Eriska yang tidak ikut makan malam kemarin, kini duduk di sebelah Yuriana. Yuriana tidak merasa canggung seperti malam kemarin karena duduk sendiri di depan Yusita dan Emran. Ada Eriska yang senasib dengannya. Kakak iparnya itu tidak ditemani suaminya.Suami Eriska meninggal dua tahun lalu dan meninggalkan Eriska bersama anak perempuan semata wayangnya yang berusia tujuh tahun. Setiap makan malam, anak perempuannya itu duduk di sampingnya. Sekarang anak perempuannya itu berada di rumah orang tua mendiang suami Eriska. Jadi Eriska hanya duduk berdampingan dengan Yuriana.“Kak Yuri, bagaimana dengan wawancaranya? Apa kakak diterima?”Yusita coba mempermalukan Yuriana di depan Tuan Besar dan yang lainnya dengan menanyakan tentang wawancara Yuriana. Padahal dia tahu dengan jelas, bagaimana Yuriana ditolak di sana. Terutama di depan Tuan Besar dan ibunya Emran agar mereka menganggap Yuriana bodoh dan tidak punya kemampuan.“Aku d
“Duduklah Yuri!” titah Tuan Besar menunjuk sebuah sofa di samping meja kerjanya.Yuriana mengangguk sopan kemudian duduk di sofa itu. Sementara Tuan Besar tetap duduk di kursi kerjanya. Yuriana tampak tegang hingga cara duduknya pun terlihat kaku. Dia duduk tegak dengan kepala menghadap ke arah Tuan Besar.“Kau pasti penasaran alasanku memanggilmu kemari,” sahut Tuan Besar Oberon.Yuriana tetap tenang seperti biasanya meski sebenarnya dia merasa tegang dengan alasan Tuan Besar Oberon memanggilnya datang. “Iya tuan. Saya sedikit penasaran.”“Kakek memanggilmu kemari bukan masalah yang terlalu rumit. Kakek cuma mau bahas tentang suamimu.” Tuan Besar yang biasanya bicara agak kasar dan tegas, kini cara bicaranya terdengar lembut, layaknya seorang kakek yang bicara pada cucunya.“Tentang suami saya?” Yuriana mengerutkan keningnya, dirinya semakin penasaran dengan maksud Tuan Besar Oberon yang tiba-tiba membahas suaminya.“Benar. Kemarin di hotel, kamu lihat sendiri sikap suamimu pada kake
Yuriana baru saja keluar dari ruangan Tuan Besar. Dia melangkah menuju kamarnya sembari memikirkan cerita tentang Erland yang begitu menyedihkan. ‘Aku tidak menyangka kalau Erland mengalami penderitaan diusianya yang masih kecil. Tidak terbayangkan, betapa sakitnya dia saat melihat ibunya sendiri gantung diri. Ternyata, nasibku tidak jauh berbeda darinya. Walau kondisinya tidak sama tapi kami sama-sama mengalami penderitaan sejak kecil.’Yuriana memang mendapat orang tua lengkap tapi sejak kecil, dia selalu menderita karena harus mengalah dari Yusita. Tidak hanya itu. Nyonya Sanjaya, selalu membeda-bedakannya, bahkan sering kali memukulinya jika ibu angkatnya itu tidak senang dengan dirinya. Hal kecil pun akan dibesar-besarkan oleh ibunya dan sang ayah yang memberinya kasih sayang sebagai seorang ayah, memang membelanya tapi ayahnya itu tidak bisa menghentikan tindakan Nyonya Sanjaya yang selalu membuatnya menderita hingga menjadi pribadi lemah-yang selalu tunduk pada ibu angkatnya.“
Sampai di kantor, Erick menghubungi sekertarisnya untuk turun ke bawah. Dia meminta sang sekertaris mengantar Yuriana ke ruang wawancara. “Sory kakak ipar! Aku tidak bisa mengantarmu ke ruang wawancara karena harus temui kakak dulu. Nanti kalau kakak ipar selesai wawancara, kirim pesan saja. Aku antar pulang.” Erick bicara setelah menelfon bawahannya tersebut. “Tidak usah Erick. Aku bisa pulang naik taksi kok. Dan terima kasih sudah kasih tumpangan sampai ke kantor.” Meski Erick adik iparnya tetapi Yuriana masih punya rasa malu. Dia tidak enak hati jika terus merepotkan Erick yang sibuk saat dirinya masih bisa melakukannya sendiri. “Aku memang ditugaskan untuk mengawal kakak ipar. Jadi, tidak perlu merasa tidak enak padaku. Kakak ipar pun bisa memerintahku kapan saja. Aku berada di bawah kendalimu sekarang kakak ipar,” jelas Erick tersenyum, dan raut wajahnya terlihat sedang menggoda Yuriana tapi ekspresinya itu hanya sekedar candaan semata untuk Yuriana agar nyaman dengannya. “Apa
(“Aku tidak mau ketemu kamu. Lupain aja aku. Lebih baik perhatikan kakek licikmu.”)Yuriana yang sedang makan siang di kantin perusahaan, baru saja mengirim pesan pada suaminya. Dia mengajak Erland bertemu di kantin ini tapi Yuriana malah mendapat balasan tidak terduga dari Erland.“Dia kenapa sih? Pesan yang dia kirim padaku kayak orang sedang ngambek. Memang aku melakukan apa, sampai dia tidak mau menemuiku?” gumam Yuriana sembari terus menatap pesan dari Erland.Daripada pusing memikirkan Erland yang tidak mau bertemu dengannya. Lebih baik, dia meninggalkan tempat ini.Namun Yuriana tidak kembali ke Mansion Oberon. Dia berniat datang ke panti asuhan yang sering dia datangi sejak tujuh tahun belakangan ini. Perasaannya hari ini sedikit kacau. Mendatangi panti asuhan itu dan bertemu dengan anak-anak di sana, bisa mengembalikan moodnya menjadi baik. Sebelum datang ke panti asuhan itu, Yuriana membeli sedikit cemilan untuk para anak-anak panti di sebuah supermarket yang dekat dari pant
“Aku mau berterima kasih.” “Terima kasih untuk apa?” Erland sedikit kaget karena tak menyangka jika istrinya yang tadinya tidak senang dengannya, malah berterima kasih kepadanya. “Anak-anak ini sudah lama sekali tidak makan, makanan seperti ini. Aku jarang sekali membelikan mereka makanan enak karena kemampuanku. Jadi, aku sangat berterima kasih padamu karena sudah memberikan mereka makanan enak! Lain kali, aku pasti akan membalas kebaikanmu!” Yuriana sudah menganggap anak-anak panti asuhan itu sebagai adiknya. Oleh sebab itu, dia berniat membalas kebaikan Erland. Namun Erland tidak senang jika Yuriana harus membalas kebaikan yang dia berikan pada anak-anak ini karena jujur, dia tulus kepada mereka. Meski begitu, Erland tetap santai di depan Yuriana. Dia tidak menunjukkan ekspresinya yang tidak senang. “Sama-sama tapi kamu tidak perlu membalasnya karena aku melakukannya dengan sukarela. Bukan karena ingin mendapat balasan dari orang. Lagipula, anak-anak itu pantas mendapatkan kebai
“Ayah!” seru Yuriana ketika melihat ayahnya berdiri di depan perusahaan.Tuan Sanjaya tersenyum. Sementara Yuriana berlari dan langsung menghamburkan tubuhnya ke pelukan ayahnya. Dia memeluk ayahnya dengan erat, seolah dia tidak pernah bertemu dengan ayahnya selama bertahun-tahun.Senyuman diwajah Tuan Sanjaya seketika menghilang karena tahu bahwa jika Yuriana memeluknya seperti ini maka anaknya itu pasti punya masalah atau merasa sedih akan sesuatu.“Ada apa Nak?” tanya Tuan Sanjaya kemudian.“Tidak apa-apa Yah. Aku hanya ingin memeluk ayah saja.” Yuriana semakin mempererat pelukannya, seolah tak ingin melepaskan ayahnya darinya.“Yuri, anakku. Apa kau sedih karena pernikahanmu?” tanya Tuan Sanjaya penasaran.Yuriana tidak menjawab. Dia tiba-tiba bersedih mendengar ayahnya mengungkit pernikahannya. Ditambah ibunya yang masih memaksanya untuk meninggalkan Kediaman Oberon. Yuriana diam tapi air matanya menetes.“Walau Emran tidak menikah denganmu. Bukan berarti semuanya berakhir. Ayah