Share

5. Tiba Harinya

Author: Hakayi
last update Last Updated: 2021-12-23 07:15:10

Kakek Sangkala dan Bimantara duduk tercengang di dekat puing-puing gubuk reyot yang hancur diterpa angin puting beliung. Bimantara masih tak percaya dengan semuanya. Peti yang menjadi penyebab semua itu sudah dikubur bersama ayahnya agar tidak memunculkan bencana seperti yang ditakutkan mendiang ayahnya selama ini.

"Ada apa dengan peti itu, Kek? Kenapa angin berpihak padaku ketika aku membuka peti itu?" tanya Bimantara dengan bingung.

Kakek Sangkala menoleh pada Bimatara dengan bingung. "Kakek tak tahu, tapi mungkin peti itu tidak ada hubungannya dengan angin itu. Angin menjadi pertanda memang sudah waktunya dan kebetulan bersamaan dengan peti yang kamu buka," jelas kakek.

"Apakah di masa lalu aku pengendali angin, Kek?"

"Entahlah," jawab kakek yang masih bingung. "Sudah tiga abad, belum terdengar kabar bahwa ada Pendekar pengendali angin di bumi Nusantara ini."

"Apakah pendekar pengendali angin termasuk pendekar yang paling hebat?"

"Di masa dahulu memang begitu."

Bimantara terdiam.

"Jika memang alam menakdirkanmu untuk menjadi itu, kau harus menimba ilmu bela diri di perguruan Matahari sampai lulus."

"Kalau tidak lulus?"

"Itu akan membuatmu celaka! Kau bisa menjadi penjahat karena bukan kamu yang menguasai angin, tapi angin yang menguasaimu," jawab kakek.

Tiba-tiba Bimantara berdiri dengan tongkatnya. Tangannya mengulur ke udara.

"Angin! Datanglah!"

Angin tidak datang. Kakek menghela napas lalu geleng-geleng kepala.

"Sekarang ini angin yang menguasaimu! Dia tak akan datang!"

Bimantara menoleh pada kakek Sangkala dengan bingung.

"Apa aku bisa menempuh pulau perguruan Matahari dengan keajaiban, Kek?"

Kakek Sangkala terdiam sesaat. Lalu dia menatap wajah Bimantara dengan serius. "Dengan keyakinan semua pasti bisa. Keyakinan adalah doa yang paling agung kepada Tuhan."

Bimantara mengangguk. Kakek Sangkala berdiri.

"Sekarang kakek tidak punya rumah lagi gara-gara kamu! Ayo kita pulang ke rumahmu," pinta kakek.

Mereka pun pergi menuruni bukit menuju perkampungan. Entah bagaimana nasib tiga preman yang menagih hutang pada kakek itu tadi. 

Dan sejak itu, Bimantara berusaha mengendalikan emosinya agar angin tak mengendalikan dirinya lagi. Dia semakin giat berlatih dasar-dasar ilmu bela diri. Dia juga berlatih berenang di sungai di ujung kampungnya.

"Gerakkan tangan dan kakimu agar bisa mengambang di atas air!" pinta kakek Sangkala pada Bimatara di sungai pada sore hari itu.

Sangkala menuruti perintah kakeknya. Semakin lama berlatih, kini Bimantara sudah bisa berenang dan sudah menguasai jurus-jurus dasar ilmu bela diri. 

"Berarti aku sudah siap untuk menuju pulau perguruan Matahari itu, Kek?" tanya Bimantara dengan girang.

"Ya, jika penerimaan murid baru sudah dibuka di sana, kau sudah bisa ikut," jawab Kakek Sangkala.

Dan di hari itu. Bimantara pergi ke pasar, untuk membeli keperluan di rumah. Dia mengintip Dahayu yang sedang berjualan buah-buahan dari kejauhan. Tiba-tiba datang lima sekawanan remaja lelaki yang berpakaian seragam. Bimantara tahu kalau mereka adalah murid-murid dari perguruan Matahari yang diizinkan keluar dari sana untuk berbelanja kebutuhan di pasar ini. Perguruan itu memiliki beberapa perahu dan kapal layar. Digunakan untuk keperluan orang-orang di sana. Persyaratan berenang ke pulau itu bagi calon murid baru untuk menguji bakat dari alam saja. 

Lima remaja lelaki itu mendekati Dahayu. Mereka membeli buah-buahan. Seseorang menggodanya. 

"Kamu cantik."

Dahayu tampak risih.

"Cantik-cantik kok diam saja?"

"Iya nih, nanti cantiknya hilang kalau diam begitu,"

Bimantara mendadak geram dan mendekat ke arah mereka.

"Kalau mau beli, beli saja, tak perlu menggoda penjualnya," ucap Bimantara geram pada mereka.

Salah seorang remaja mendekat ke Bimantara dengan kesal.

"Kamu siapa? Hah? Tidak liat kita siapa?"

Remaja lelaki yang lainnya tampak tersenyum sungging pada Bimantara.

"Aku tidak takut!" ucap Bimantara mulai emosi atas kesombongan mereka. Dahayu tampak bingung dan khawatir.

"Sudah, Bimantara!" pinta Dahayu.

Bimantara masih berdiri di sana dengan kesal. Seorang remaja salah satu dari mereka semakin mendekat ke arah Bimantara.

"Jadi dia kekasihmu?"

"Bukan!" jawab Dahayu spontan.

Kelima remaja itu mentertawai Bimantara dengan puas.

"Tuh, dia sendiri bilang kalau kamu bukan siapa-siapanya. Jangan jadi sok pahlawan!"

Bimantara tampak kesal mendengar itu. Dia memang bukan kekasih Dahayu. Dahayu adalah sahabatnya. Dia tidak mau sahabatnya diganggu oleh orang lain. Baginya, sahabat adalah bagian dari dirinya. Jika sahabatnya diganggu itu artinya mereka sudah mengganggu dirinyanya juga. Angin mendadak berhembus. Bimantara langsung pergi dari sana dengan tongkatnya. Dia tidak ingin angin puting beliung datang memporak porandakan pasar gara-gara emosinya. 

"Hey! Jangan kabur kamu!" teriak salah satu dari mereka.

Kelima remaja itu malah mengejar Bimantara dan menendang Bimantara dari arah belakang. Bimantara tersungkur ke kubangan hingga wajahnya dipenuhi kotoran kubangan. Emosinya memuncak. Angin puting beliung datang dan mendadak memporak porandakan seisi pasar. Kelima remaja itu berlarian. Orang-orang di pasar berlarian dengan panik. Bimantara mencari-cari Dahayu dengan tongkatnya.

"Dahayu! Dahayu!" teriak Bimantara. Dia tahu, angin puting beliung tak akan mengenainya. Jika dia dapat menemui Dahayu, angin puting beliung itu tak akan mencelakai Dahayu.  Saat angin puting beliung menghilang, Bimantara menemukan Dahayu sedang bersembunyi di balik batu besar sambil menangis ketakutan 

"Dahayu!" panggil Bimantara lega.

Dahayu melihat ke arah Bimantara dengan kesal lalu pergi meninggalkannya begitu saja. Bimantara tampak sedih lalu berjalan pulang dengan perasaan tidak menentu.

***

Suara terompet bergaung dari pulau seberang. Kampung tampak ramai di datangi ratusan calon pendekar dari berbagai penjuru Nusantara. Penerimaan murid baru di perguruan Matahari sudah tiba. Saat waktu itu datang, penduduk kampung mendadak menjadi pedagang semua. Mereka menjual kebutuhan-kebutuhan para pendatang. 

Dermaga-dermaga dibuat mendadak di sisi laut. Sebagai gerbang menuju pulau perguruan Matahari. Kalangan rakyat jelata dan kalangan bangsawan berkumpul menjadi satu di dekat dermaga. Satu persatu terjun ke laut. Berebut untuk menjadi murid di sana.

Sementara Bimantara duduk gemetar di hadapan gubuk reyotnya. Kakeknya berdiri di hadapannya.

"Ayolah! Ini sudah waktunya! Sekarang kamu harus tunjukkan pada mereka kalau kamu bisa menjadi murid di sana!" ucap Kakek membujuknya. Sedari tadi Bimantara ingin mengurungkan niatnya itu. Dia masih belum yakin kalau dirinya akan mendapat keajaiban untuk sampai berenang ke pulau itu.

"Bagaimana kalau aku gagal, Kek?" tanya Bimantara dengan bingung.

"Kau tidak akan gagal. Kakek percaya kau akan berhasil!"

Saat itu juga, Bimantara kembali semangat dan mau berjalan menuju dermaga. Kakek Sangkala senang melihatnya. Saat tiba di sana, berdesakan dengan calon murid lainnya. Orang-orang kembali memandangnya remeh.

"Dia serius mau jadi murid perguruan Matahari?" bisik seorang warga kepada teman di sebelahnya.

"Sepertinya begitu. Aku yakin dia tidak akan berhasil!"

"Ah! Mungkin hanya lihat-lihat saja."

Mendengar itu Bimantara diam saja, seperti yang sudah dilatih kakeknya untuk mengendalikan kesabarannya. Sekarang di dalam kepalanya ada dua pikiran yang dibawanya. Pertama dendam kepada Adji Darma dan ingin membalaskan dendam ayahnya. Kedua dia harus berhasil mengendalikan angin hingga dia tak lagi dikuasi olehnya. 

"Bimantara! Pulang saja! Buat apa ikutan! Kamu tak akan berhasil!" teriak seseorang padanya.

Kakek Sangkala menepuk bahunya. "Jangan didengarkan! Bersiaplah terjun ke lautan, buktikan kamu bisa! Sekarang tiba giliranmu!"

Bimantara mengangguk lalu memeluk kakeknya dengan erat. Kakek Sangkala menepuk-nepuk punggungnya. Bimantara melepas pelukannya dengan haru. Lalu dengan segenap rasa percaya, dia langsung melompat ke lautan luas di hadapannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Cedar Karamy
Yeee Avatar pengendali angin
goodnovel comment avatar
Harri Dop
cuma segini ni cerita
goodnovel comment avatar
Ar_key
ada setan' yang menggangunya juga, ayok semangat kamu pasti bisa sampai perguruan matahari
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   582. ENDING : Pertemuan di Nusantara

    Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   581. Perang Besar Terakhir 8

    Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   580. Perang Besar Terakhir 7

    “Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   579. Perang Besar Terakhir 6

    “Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   578. Perang Besar Terakhir 5

    Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   577. Perang Besar Terakhir 4

    Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status