Share

07. Menciummu Tanpa Perlu Mabuk

Esok harinya, Naka sudah bangun terlebih dahulu, dan berlari kekamar mandi. Naka pria normal, semalaman tidur dengan posisi dipeluk Orin, tentu sungguh menyiksanya, sehingga pagi itu Naka segera menuntaskan semuanya dikamar mandi.

Keduanya kemudian pulang kerumah pada siang hari, setelah mereka sarapan bersama di hotel, lalu mampir ke rumah Naka untuk mengambil barang-barang milik Naka. Naka resmi tinggal dirumah Orin, bersama mertuanya, sehingga Naka harus mengambil barang-barang yang masih ada dirumah peninggalan orang tuanya.

Naka masuk ke kamar Orin dengan suasana berbeda, sudah ada satu lemari tambahan disana, yang memang ditambahkan untuk tempat pakaian Naka.

“Aku bantu bereskan pakaian abang,” kata Orin

“E, tidak usah, aku bisa sendiri,” balas Naka, “Kamu istirahat saja, besok sudah mulai kerja.”

“Siapa bilang besok kita kerja?” tanya Orin, “Kita akan bulan madu.”

“Bu-bulan madu?” tanya Naka tidak percaya, kenapa juga harus ada bulan madu, sedangkan malam pertama saja dilalui hanya dengan tidur bersama, lalu kalau bulan madu mau ngapain? Main kartu remi!?

“Ya, kita akan bulan madu ke Bali,” jawab Orin dengan penuh antusias, “Papi sudah berikan kita hadiah bulan madu di Bali selama seminggu!”

“Seminggu!!!” teriak Naka tidak percaya, “Memangnya seminggu kita mau ngapain aja?”

“Astaga! Suamiku! Kamu itu ya!?” teriak Orin, “Sudah malam pertama cuma tidur doang, sekarang pakai acara nanya seminggu bulan madu mau ngapain!? Banyak! Kita bisa makan tidur makan tidur aja terus!”

“Oh, ya sudah kalau begitu dirumah saja bisa,” balas Naka

“Bang Nakaaaaa!” teriak Orin jengkel dan langsung melempari Naka dengan bantal.

Anindito dan Sonia yang mendengar teriakan Orin dari kamarnya tampak saling berpandangan.

“Itu anak kenapa?” tanya Anindito

“Gak tahu, Pi. Anakmu itu paling-paling bikin ulah,” jawab Sonia sambil terkekeh, “Dan sepertinya mereka memang belum malam pertama.”

“Dari mana kamu tahu?” tanya Anindito

“Lihat cara jalan Orin masih aman sentosa,” jawab Sonia sambil tertawa, “Sepertinya misi Orin gagal semalam, padahal aku sudah siapkan lingiere yang paling seksi untuk dia pakai.”

“Ohya, kenapa kamu tidak menyiapkan untuk kamu pakai juga?” tanya Anindito sambil tersenyum nakal

“Ih, papi apaan, sih! Udah tua juga!” seru Sonia

“Tua itu hanya umur, semangat tetap muda, apalagi untuk urusan bercinta, nanti malam berikan aku lingiere terseksimu, sayang,” balas Anindito sambil mengecup pipi istrinya.

Didalam kamar, Naka masih berusaha menenangkan amukan Orin dengan cara mencoba menangkap Orin yang berlarian kesana kemari sambil membawa guling hendak digunakan untuk memukul Naka.

Akhirnya Naka berhasil menangkap Orin dengan cara memeluknya dari belakang, akhirnya Orin terdiam dengan napas ngos-ngosan.

“Kamu menyebalkan, bang!” teriak Orin

“Aku, menyebalkan kenapa?” tanya Naka bingung, “Aku ada salah apa, tolong katakan kalau aku ada salah.”

“Semalam kenapa kamu malah diam saja!” seru Orin

“Hah!?Iya, diam saja bagaimana, kita kan tidur,” balas Naka

“Aku sudah capek-capek pakai lingiere seksi, kamu hanya anggurin aku, aku sudah berusaha menjadi istri yang baik buat kamu, tapi apa nyatanya, kamu malah diam saja,” kata Orin, “Iya, kamu memang nggak cinta sama aku, makanya kamu kayak gitu! Pernikahan kita hanya status saja, kan!? Supaya papi senang dan tenang.”

“La-lalu aku harus ngapain?” tanya Naka bingung, “Aku pikir kamu gerah makanya pakai baju seperti itu.”

“Astaga !!! Suamiku ini normal apa tidak sepertinya!? Masa iya, gak ada minat sama sekali sama kemulusan tubuh istrinya,” jawab Orin

“Siapa bilang aku tidak minat, bahkan aku sampai menahan dan berakhir dikamar mandi,” kata Naka yang langsung menutup mulutnya sendiri, “Eh,maaf…”

“Apa maksudnya berakhir dikamar mandi?” tanya Orin bingung

“Ya, itu e itu pokoknya,” jawab Naka, “Maaf ya, bukan aku tidak merasa tertarik, sungguh, kamu sudah buat aku jungkir balik semalam, tapi aku takut untuk menyentuhmu.”

“Apa perlu aku buat kamu mabuk dulu baru mau?” tanya Orin

“Hah! Eng-enggak!” teriak Naka, “Tidak ada minum-minum lagi setelah ini!”

Orin membalikkan badan sehingga keduanya saling bertatapan begitu dekat, Naka kembali dibuat salah tingkah dengan tatapan istrinya. Orin lalu menangkup pipi Naka sambil sedikit mencium bibir Naka, membuat Naka mendelik tidak percaya, istrinya memang terkenal sangat agresif, bahkan ciuman pertamanya saja direnggut oleh Orin dalam keadaan mabuk.

“Buang jauh-jauh rasa tidak enakmu, bang. Kamu suamiku, bukan lagi bodyguardku,” kata Orin, “Cobalah menjadi suami yang sesungguhnya, jangan selalu merasa bahwa kamu anak buah papi, kamu suamiku, bodyguardku.”

“Eh, apakah aku boleh menciummu?” tanya Naka, “Rasanya harga diriku selalu kamu buat hancur sebagai laki-laki, lagi-lagi selalu kamu yang menciumku.”

Orin tertawa, dia paham bagaimana Naka harus menempatkan hatinya yang masih tidak karuan rasanya, terlebih umur yang masih dibawah Orin, tentu pengalaman Naka dalam urusan cinta masih jauh dibawah Orin yang sudah sering jalan dengan pria, tetapi yang Naka tahu, Orin tidak pernah serius dengan setiap laki-laki yang jalan bareng dia.

“Kenapa harus minta ijin?” tanya Orin

“Ma-masalahnya, kamu sedang tidak mabuk,” jawab Naka

“Oooo…. Jadi kalau aku mabuk selama ini kamu sering menciumku, ya!?” seru Orin dengan nada jengkel

“Hah, bukan begitu maksudnya,” balas Naka, “Bahkan kamu yang mencuri ciuman pertamaku saat kamu mabuk, lupa?!”

“Astaga! Jadi kamu belum pernah ciuman selama ini?” tanya Orin tidak percaya, dan disambut dengan gelengan kepala Naka.

“Suamiku ternyata culun,” kata Orin, “Berbanding terbalik dengan wajahnya yang tampan.”

“Apa kamu bilang!?” seru Naka tidak percaya istrinya sendiri mengatai dia culun. Pria mana yang rela dikatain culun sama istri sendiri, walau benar adanya, Naka memang tidak pernah berpacaran sejak dulu, hidupnya selama ini hanya disibukkan dengan sekolah dan berlatih beladiri, dan sejak kedua orangtuanya meninggal, Naka disibukkan dengan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena warisan satu-satunya yang diberikan orangtuanya hanyalah rumah.

Naka tidak tahu menahu kemana harta dan tabungan ayah dan ibunya selama ini, yang dia tahu kedua orangtuanya hanya bekerja sebagai staf perusahaan dari pabrik alat berat, itu saja.

Naka menangkup wajah Orin dengan kedua tangannya, keduanya saling beradu tatap begitu dekat, dan Naka memiringkan wajahnya, lalu menyentuhkan bibirnya ke bibir Orin, perlahan-lahan kemudian melumatnya dengan lembut, sehingga Orin merangkulkan kedua tangannya ditengkuk sang suami.

“Menciummu ternyata tidak perlu menunggu kamu mabuk dulu,” kata Naka dalam hati, “Lalu jika kita melakukan lebih dari ciuman ini, apakah juga bisa tanpa perlu mabuk? Tubuhmu itu sebenarnya membuat napasku berantakan, tapi aku takut untuk menyentuhmu, ah… entahlah…”

“Aku akan buat kamu benar-benar mabuk kepayang, sayang. Kamu pria baik, selama ini menjagaku dengan baik tanpa mencari-cari kesempatan dalam kesempitan sedikitpun, padahal kamu bisa jika mau,” kata Orin dalam hati sambil menikmati setiap lumatan bibir suaminya, “Lihat saja kalau kamu tidak tergila-gila padaku kedepannya, ingatlah bahwa istrimu ini terlalu agresif untuk urusan bercinta. Sekalipun aku belum pernah melakukannya, aku pastikan aku akan membuatmu kalah diranjang.”

Keduanya masih saling memagut bibir, tanpa disadari Anindito masuk kekamar anaknya tanpa mengetuk pintu dahulu, lupa jika anaknya sudah tidak lagi anak gadis yang tinggal dikamarnya sendiri, melainkan ada suaminya. Anindito hendak memberikan dua tiket bulan madu yang belum sempat dia berikan kepada anak dan menantunya.

“Astaga! Maaaaaf….! Papi lupa….”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status