Esok harinya, Naka sudah bangun terlebih dahulu, dan berlari kekamar mandi. Naka pria normal, semalaman tidur dengan posisi dipeluk Orin, tentu sungguh menyiksanya, sehingga pagi itu Naka segera menuntaskan semuanya dikamar mandi.
Keduanya kemudian pulang kerumah pada siang hari, setelah mereka sarapan bersama di hotel, lalu mampir ke rumah Naka untuk mengambil barang-barang milik Naka. Naka resmi tinggal dirumah Orin, bersama mertuanya, sehingga Naka harus mengambil barang-barang yang masih ada dirumah peninggalan orang tuanya.
Naka masuk ke kamar Orin dengan suasana berbeda, sudah ada satu lemari tambahan disana, yang memang ditambahkan untuk tempat pakaian Naka.
“Aku bantu bereskan pakaian abang,” kata Orin
“E, tidak usah, aku bisa sendiri,” balas Naka, “Kamu istirahat saja, besok sudah mulai kerja.”
“Siapa bilang besok kita kerja?” tanya Orin, “Kita akan bulan madu.”
“Bu-bulan madu?” tanya Naka tidak percaya, kenapa juga harus ada bulan madu, sedangkan malam pertama saja dilalui hanya dengan tidur bersama, lalu kalau bulan madu mau ngapain? Main kartu remi!?
“Ya, kita akan bulan madu ke Bali,” jawab Orin dengan penuh antusias, “Papi sudah berikan kita hadiah bulan madu di Bali selama seminggu!”
“Seminggu!!!” teriak Naka tidak percaya, “Memangnya seminggu kita mau ngapain aja?”
“Astaga! Suamiku! Kamu itu ya!?” teriak Orin, “Sudah malam pertama cuma tidur doang, sekarang pakai acara nanya seminggu bulan madu mau ngapain!? Banyak! Kita bisa makan tidur makan tidur aja terus!”
“Oh, ya sudah kalau begitu dirumah saja bisa,” balas Naka
“Bang Nakaaaaa!” teriak Orin jengkel dan langsung melempari Naka dengan bantal.
Anindito dan Sonia yang mendengar teriakan Orin dari kamarnya tampak saling berpandangan.
“Itu anak kenapa?” tanya Anindito
“Gak tahu, Pi. Anakmu itu paling-paling bikin ulah,” jawab Sonia sambil terkekeh, “Dan sepertinya mereka memang belum malam pertama.”
“Dari mana kamu tahu?” tanya Anindito
“Lihat cara jalan Orin masih aman sentosa,” jawab Sonia sambil tertawa, “Sepertinya misi Orin gagal semalam, padahal aku sudah siapkan lingiere yang paling seksi untuk dia pakai.”
“Ohya, kenapa kamu tidak menyiapkan untuk kamu pakai juga?” tanya Anindito sambil tersenyum nakal
“Ih, papi apaan, sih! Udah tua juga!” seru Sonia
“Tua itu hanya umur, semangat tetap muda, apalagi untuk urusan bercinta, nanti malam berikan aku lingiere terseksimu, sayang,” balas Anindito sambil mengecup pipi istrinya.
Didalam kamar, Naka masih berusaha menenangkan amukan Orin dengan cara mencoba menangkap Orin yang berlarian kesana kemari sambil membawa guling hendak digunakan untuk memukul Naka.
Akhirnya Naka berhasil menangkap Orin dengan cara memeluknya dari belakang, akhirnya Orin terdiam dengan napas ngos-ngosan.
“Kamu menyebalkan, bang!” teriak Orin
“Aku, menyebalkan kenapa?” tanya Naka bingung, “Aku ada salah apa, tolong katakan kalau aku ada salah.”
“Semalam kenapa kamu malah diam saja!” seru Orin
“Hah!?Iya, diam saja bagaimana, kita kan tidur,” balas Naka
“Aku sudah capek-capek pakai lingiere seksi, kamu hanya anggurin aku, aku sudah berusaha menjadi istri yang baik buat kamu, tapi apa nyatanya, kamu malah diam saja,” kata Orin, “Iya, kamu memang nggak cinta sama aku, makanya kamu kayak gitu! Pernikahan kita hanya status saja, kan!? Supaya papi senang dan tenang.”
“La-lalu aku harus ngapain?” tanya Naka bingung, “Aku pikir kamu gerah makanya pakai baju seperti itu.”
“Astaga !!! Suamiku ini normal apa tidak sepertinya!? Masa iya, gak ada minat sama sekali sama kemulusan tubuh istrinya,” jawab Orin
“Siapa bilang aku tidak minat, bahkan aku sampai menahan dan berakhir dikamar mandi,” kata Naka yang langsung menutup mulutnya sendiri, “Eh,maaf…”
“Apa maksudnya berakhir dikamar mandi?” tanya Orin bingung
“Ya, itu e itu pokoknya,” jawab Naka, “Maaf ya, bukan aku tidak merasa tertarik, sungguh, kamu sudah buat aku jungkir balik semalam, tapi aku takut untuk menyentuhmu.”
“Apa perlu aku buat kamu mabuk dulu baru mau?” tanya Orin
“Hah! Eng-enggak!” teriak Naka, “Tidak ada minum-minum lagi setelah ini!”
Orin membalikkan badan sehingga keduanya saling bertatapan begitu dekat, Naka kembali dibuat salah tingkah dengan tatapan istrinya. Orin lalu menangkup pipi Naka sambil sedikit mencium bibir Naka, membuat Naka mendelik tidak percaya, istrinya memang terkenal sangat agresif, bahkan ciuman pertamanya saja direnggut oleh Orin dalam keadaan mabuk.
“Buang jauh-jauh rasa tidak enakmu, bang. Kamu suamiku, bukan lagi bodyguardku,” kata Orin, “Cobalah menjadi suami yang sesungguhnya, jangan selalu merasa bahwa kamu anak buah papi, kamu suamiku, bodyguardku.”
“Eh, apakah aku boleh menciummu?” tanya Naka, “Rasanya harga diriku selalu kamu buat hancur sebagai laki-laki, lagi-lagi selalu kamu yang menciumku.”
Orin tertawa, dia paham bagaimana Naka harus menempatkan hatinya yang masih tidak karuan rasanya, terlebih umur yang masih dibawah Orin, tentu pengalaman Naka dalam urusan cinta masih jauh dibawah Orin yang sudah sering jalan dengan pria, tetapi yang Naka tahu, Orin tidak pernah serius dengan setiap laki-laki yang jalan bareng dia.
“Kenapa harus minta ijin?” tanya Orin
“Ma-masalahnya, kamu sedang tidak mabuk,” jawab Naka
“Oooo…. Jadi kalau aku mabuk selama ini kamu sering menciumku, ya!?” seru Orin dengan nada jengkel
“Hah, bukan begitu maksudnya,” balas Naka, “Bahkan kamu yang mencuri ciuman pertamaku saat kamu mabuk, lupa?!”
“Astaga! Jadi kamu belum pernah ciuman selama ini?” tanya Orin tidak percaya, dan disambut dengan gelengan kepala Naka.
“Suamiku ternyata culun,” kata Orin, “Berbanding terbalik dengan wajahnya yang tampan.”
“Apa kamu bilang!?” seru Naka tidak percaya istrinya sendiri mengatai dia culun. Pria mana yang rela dikatain culun sama istri sendiri, walau benar adanya, Naka memang tidak pernah berpacaran sejak dulu, hidupnya selama ini hanya disibukkan dengan sekolah dan berlatih beladiri, dan sejak kedua orangtuanya meninggal, Naka disibukkan dengan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena warisan satu-satunya yang diberikan orangtuanya hanyalah rumah.
Naka tidak tahu menahu kemana harta dan tabungan ayah dan ibunya selama ini, yang dia tahu kedua orangtuanya hanya bekerja sebagai staf perusahaan dari pabrik alat berat, itu saja.
Naka menangkup wajah Orin dengan kedua tangannya, keduanya saling beradu tatap begitu dekat, dan Naka memiringkan wajahnya, lalu menyentuhkan bibirnya ke bibir Orin, perlahan-lahan kemudian melumatnya dengan lembut, sehingga Orin merangkulkan kedua tangannya ditengkuk sang suami.
“Menciummu ternyata tidak perlu menunggu kamu mabuk dulu,” kata Naka dalam hati, “Lalu jika kita melakukan lebih dari ciuman ini, apakah juga bisa tanpa perlu mabuk? Tubuhmu itu sebenarnya membuat napasku berantakan, tapi aku takut untuk menyentuhmu, ah… entahlah…”
“Aku akan buat kamu benar-benar mabuk kepayang, sayang. Kamu pria baik, selama ini menjagaku dengan baik tanpa mencari-cari kesempatan dalam kesempitan sedikitpun, padahal kamu bisa jika mau,” kata Orin dalam hati sambil menikmati setiap lumatan bibir suaminya, “Lihat saja kalau kamu tidak tergila-gila padaku kedepannya, ingatlah bahwa istrimu ini terlalu agresif untuk urusan bercinta. Sekalipun aku belum pernah melakukannya, aku pastikan aku akan membuatmu kalah diranjang.”
Keduanya masih saling memagut bibir, tanpa disadari Anindito masuk kekamar anaknya tanpa mengetuk pintu dahulu, lupa jika anaknya sudah tidak lagi anak gadis yang tinggal dikamarnya sendiri, melainkan ada suaminya. Anindito hendak memberikan dua tiket bulan madu yang belum sempat dia berikan kepada anak dan menantunya.
“Astaga! Maaaaaf….! Papi lupa….”
Wajah Naka masih bersemu merah ketika duduk bersama Anindito dan istrinya di ruang keluarga. Bagaimana tidak malu kalau Naka yang tengah berciuman dengan Orin, justru ketahuan oleh mertuanya. “Besok kalian akan berangkat ke Bali. Nikmati liburan kalian,” kata Anindito “Harus ya, pi?” tanya Naka “Ya, harus!” jawab Sonia, “Supaya pulang lekas bawa cucu untuk kami.” “Cu-cucu!?” tanya Naka menjadi lebih gugup lagi “Sebentar, Pi,” kata Orin, “Sepertinya keberangkatan ke Bali harus diundur 2 atau 3 hari lagi. Bukannya Bang Naka besok sidang skripsi?” “Ya, Tuhan! Iya aku lupa, besok sidang skripsi,” balas Naka sambil menepuk dahinya sendiri. “Bisa tetap berangkat besok. Sidang skripsi kan pagi, kalian bisa berangkat sore harinya,” kata Anindito, “Ya, sudah sana kamu belajar buar persiapan besok! Orin, jangan ganggu suamimu, biar dia belajar dulu.” “Aku juga mau keluar, pi,” balas Orin “Mau kemana kamu?” tanya Sonia “Nge mall, daripada bosan dirumah,” jawab Orin sambil berlalu pergi.
Naka sudah tidak dapat lagi membendung hasratnya, sebagai laki-laki normal tentu saja dia langsung memuncak gairahnya disuguhi pemandangan kemolekan tubuh istrinya. Akhirnya malam itu menjadi pergumulan malam pertama entah yang sudah menjadi malam kesekian untuk mereka berdua. Pukul empat pagi, Naka terbangun dengan posisi tengah tidur sambil memeluk istrinya dari belakang. Orin masih tampak terlelap dengan menggunakan lengan Naka sebagai bantalan kepalanya. Perlahan Naka memindahkan kepala Orin ke bantal, dan kemudian dia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan menunaikan sholat subuh. Orin masih belum bisa sholat, sehingga Naka harus mengajarinya secara bertahap, pagi itu Naka sholat sendirian di samping ranjang. Orin yang sedari tadi sudah bangun tampak memperhatikan Naka yang tengah sholat. “Pagi-pagi sudah wangi aja?” tanya Orin yang melihat Naka mengenakan sarung dan baju kokonya. “Karena kalau pagi kita harus ibadah,” jawab Naka sambil tersenyum “Aku belum bisa
Suasana sore di sebuah resort mewah yang sudah berkelas internasional menjadi pemandangan indah bagi sepasang pengantin baru Orin dan Naka. Ternyata Anindito memilihkan salah satu resort mahal dikawasan Jimbaran untuk anak dan menantunya berbulan madu. Naka tengah berenang di kolam renang privat yang ada di resort itu, bentuk tubuhnya yang memang atletis dengan dada bidang dan 6 kotak diperutnya menambahkan kadar ketampanannya, sungguh tidak menyangka jika Naka selama ini hanya seorang bodyguard, yang akhirnya menikah dengan Orin, gadis cantik anak dari majikannya sendiri. Orin yang tengah menikmati pemandangan sore hari, matanya hampir tidak lepas dari Naka, Orin sangat terkesima dengan bentuk tubuh indah milik sang suami, beberapa kali mengambil gambar Naka yang baru saja keluar dari kolam renang, membuat Orin senyum-senyum sendiri. Dulu dia sempat menentang sebuah pernikahan, tapi entah kenapa sekarang dia begitu tergila-gila pada Naka. Sekalipun usia Naka dibawahnya empat tahun,
Orin dan Naka sudah kembali ke rumah Anindito setelah berbulan madu selama seminggu di Bali. Jika Orin sudah mulai persiapan untuk kembali bekerja dengan wajah baru dan cerianya, maka berbeda dengan Naka. Pria itu justru bingung, karena sejak kembali dari Bali, tugasnya mengawal Orin sudah digantikan oleh Angel. Anindito mengambil bodyguard baru perempuan untuk putri bungsunya. Pagi itu Orin sudah tampak berdandan cantik dengan setelan blazer warna merah marun dengan dalaman berdada rendah, juga rok pendeknya dengan warna senada, rok itu hanya sekitar 30 centimeter menutupi bagian bawah Orin, sehingga masih terlihat paha mulus nan putih itu. Ditambah sebuah stiletto dengan warna merah marun juga membuat penampilan Orin sungguh sempurna. “Orin, memangnya tidak ada rok yang lebih panjang lagi?” tanya Naka sambil memperhatikan istrinya yang tengah menggunakan lisptik “Memangnya kenapa?” tanya Orin balik, “Biasanya juga seperti ini.” “Aku tidak suka orang lain memandangi tubuhmu,” jawa
Merasa posisi sudah kalah, akhirnya 2 mobil yang membawa 8 orang yang menyerang Naka pergi meninggalkan Naka begitu saja, bersamaan dengan kedatangan Soni juga beberapa anak buahnya. Keringat Naka bercucuran sampai kemejanya basah, sebelum berkelahi tadi, Naka sudah melepaskan jasnya terlebih dahulu. “Kamu tidak apa-apa, Ka?” tanya Anindito sambil memegang bahu menantunya, kemudian memeriksa kedua sisi wajah Naka, takut-takut kena pukul musuh tadi. “Tidak, Pi. Saya tidak apa-apa,” jawab Naka, “Hanya sepertinya saya mana mungkin memakai kemeja ini, sudah basah.” “Tidak apa-apa, didalam mobil ada kaosmu, kamu ganti kaos saja dahulu,” kata Anindito “Pak, sepertinya keluarga Asoka sudah mengetahui keberadaan Mas Naka,” bisik Soni. “Selidiki saja dahulu, jangan sampai Naka tahu dulu soal ini,” balas Anindito Naka akhirnya melepaskan kemeja dan kaos dalamnya, kemudian memakai kaos oblong yang ada didalam mobil dan menutupnya dengan jas, tentu saja masih tetap terlihat tampan meskipun
Naka bukan tidak tahu maksud dari Intan, tentu saja Naka hanya tersenyum kecil melihat betapa inginnnya Intan mengalahkan Orin istrinya, bahkan untuk urusan laki-laki pun Intan tidak mau kalah. “Kalau anda mau, pria dibelakang anda masih jomblo,” kata Naka sambil menunjuk Fajar, tentu saja Fajar mendelik jengkel pada sahabat yang sekarang menjadi bosnya itu. “Aku maunya sama kamu,” balas Intan yang tiba-tiba duduk dipangkuan Naka, tentu saja Naka tidak dapat berkutik “Tolong anda turun dari pangkuan saya! Ini namanya tidak sopan!” hardik Naka mulai jengkel sendiri. “Baiklah, kali ini mungkin kamu akan diam saja, lain waktu kamu pasti akan jatuh dalam pelukanku,” balas Intan sambil berdiri, kemudian meninggalkan ruangan Naka. Naka menghembuskan napas kasar setelah kepergian Intan, sementara Fajar terkekeh geli melihat sahabatnya seperrti baru saja melihat hantu. “Ya, ampun! Emangnya cewek pada kayak gitu ya kalau saingan,” kata Naka, “Dipikir aku ini piala bergilir buat rebutan sa
Naka sejak menjadi CEO, kesibukannya kian bertambah, begitu juga Orin, keduanya seperti layaknya suami istri yang sudah disetel waktu untuk pergi dan bertemu bahkan tidur bersama, monoton sekali hari-hari mereka. Sebenarnya cita-cita Naka adalah memiliki istri yang tidak bekerja, berada dirumah dan menyambut dia pulang setiap dia pulang kerja, nyatanya sungguh berbeda. Naka harus menerima memiliki istri seorang CEO, yang tentu sangat sibuk, jangan harap istrinya akan menyambutnya setiap pulang kerja dan sudah menyiapkan makan malam untuk mereka berdua, bahkan Orin saja tidak bisa masak. Naka justru seperti supir pribadi Orin, mengantar dan menjemput Orin setiap pulang kerja, atau bahkan pulang dengan kondisi Orin belum bisa pulang terlebih dahulu karena ada rapat mendadak. Sore itu, Naka terpaksa pulang sendiri tanpa menjemput Orin, karena Orin mengatakan ada pertemuan mendadak dengan klien dari Jepang, sehingga Naka memilih pulang lebih dahulu ke rumah. “Naka, kamu tidak pulang den
Suami mana tidak emosi jika dihadapkan pada kelakuan istri yang sudah diluar batas, diingatkan malah membangkang, dan merasa bahwa dia merasa punya kuasa penuh atas apapun. Naka tengah duduk sendirian di ruang kerjanya, semua pekerjaannya telah beres, tetapi dia enggan untuk kembali ke rumah, toh Orin juga tidak ada dirumah. “Kamu kenapa?” tanya Fajar yang melihat sahabat sekaligus bosnya tampak berwajah masam. “Tidak ada apa-apa,” jawab Naka “Kamu nggak bisa bohong sama aku,” kata Fajar Naka memang telah lama bersahabat dengan Fajar, jadi Fajar tahu betul ketika Naka sedang dalam masalah atau tidak. Raut muka Naka sudah bisa mewakili, apakah dia tengha bahagia atau tengah dalam masalah. Jika didepan orang lain hal tersebut tidak terlihat, tetapi tidak bagi Fajar. Fajar tahu betul siapa Naka. “Orin mabuk dan dugem lagi,” kata Naka sambil menghembuskan napas kasar. “Lalu apa masalahnya? Bukankah dulu dia juga seperti itu?” tanya Fajar “Dulu aku hanya bodyguardnya, tugasku hanya m