“Kak Vivian, ini nama perusahaan kakak kenapa sama dengan perusahaan kak Reynan?” tanya Alisa yang tidak sengaja melihat surat pengunduran diri buatanku. “Apa bos galak yang pak De dan kak Vivian maksud itu kak Reynan?” Aku mengangkat kedua tanganku mengudara, sepeti anak kecil yang melambaikan tangannya hendak di tinggal kerja. “E-enggak.”Alisa terkekeh. “Alisa hanya bercanda kok, Kak. Alisa gak tahu nama perusahaannya Kak Reynan apa.”Alisa meringis sok imut, menyebalkan sekali, aku dibuat jantungan karenanya.Gadis cantik berlesung Pipit itu kembali ke kamarnya, begitupun aku yang kini tidur terlentang menatap langit kamar, kayu-kayu penopang genteng yang mulai lusuh terlihat jelas, kayu tua yang menjadi saksi bisu bagaimana perjuangan bapak dan ibu dulunya. Ini adalah rumah peninggalan orang tua bapak, di sini lah dulu orang tuaku merintis usaha mereka, memulai bisnis dari nol, hingga ibu mulai mengandungku, perusahaan bapak berkembang pesat, bapak dan ibu bisa membeli rumah b
Krekk...Terdengar suara pintu yang terbuka.“Permisi.”Kami menoleh ke sumber suara, dan mendapati OB yang kini canggung menatap kami. Sesaat aku menjauhkan diri dari Reynan yang tengah berdiri dan hanya berjarak beberapa centi dariku.“Ma-maaf, Pak. Saya hanya membawa kopi yang bapak pesan," ucap lelaki setengah baya dengan terbata. “Kenapa tidak ketuk pintu dulu? Ha?” Mata Reynan melotot menatap ob tersebut.“Maaf, Pak. Kopinya panas sekali, jadi harus dipegang pakai 2 tangan, tidak bisa ketuk pintu."“Kenapa gak bawa nampan?”“A-aku..., Maaf, Pak. Saya OB baru.”“Becus tidak sih bekerja, kalau tidak becus, aku -!”“Pecat sekarang juga,” ucapku lirih, menyambung ucapan Reynan. "Selalu kebiasaan bersikap arogan dan semena-mena," imbuhku lagi.Reynan menatap ke arahku, sedangkan aku memandangnya malas, kembali dihadapkan situasi seperti ini. “Letakkan kopinya di sini, Pak!”ucapku santun sambil menunjuk meja di depanku. Sedangkan lelaki yang membawa segelas kopi itu mendekat, mel
Reynan menatap ke arahku, hingga beberapa saat kemudian kembali menatap lelaki di depannya. “Tentu.”‘Apa maksud Reynan? Kenapa mau menukarkan dengan asisten Haikal? Apakah ini masih adegan balas dendamnya? Aku pikir ia sudah benar-benar berubah.’“Rey,” ucapku lirih masih tak percaya dengan yang Reynan ucap. Reynan menampakkan telapak tangan ke arahku, memberi kode untuk diam saja.Sedangkan Haikal kini menatapku dengan senyum puas. “Pak Reynan memang pintar sekali dalam berbisnis, mana surat yang harus saya tanda tangani? Dan aku akan ikut kerja sama dengan bapak, memberikan modal besar untuk perusahaan ini, dan akan langsung membawa Vivian dari sini sekarang juga.”Aku menggeleng, masih tak percaya dengan apa yang Reynan ucap. Benarkah? Kenapa ia tega sekali? Ketika Haikal hendak maju ke arahku, Reynan mengangkat tangannya, menghorisontalkan tangan tersebut, menutup akses Haikal untuk lewat. “Maaf pak Haikal, saya belum selesai berbicara. Maksud saya, tentu, tentu saya akan me
"jadilah istriku, Viv!"Aku tersenyum tipis. “Maaf.”“Kenapa? Kamu sudah tak mencintaiku?” “Aku tak tertarik.”“Kenapa, Viv? Dulu kamu meninggalkanku karena aku miskin bukan? Sekarang aku sudah kaya, aku sudah berkucukupan. Aku bisa mengajak kamu pergi jalan-jalan keliling dunia sesukamu. Aku akan selalu ada untukmu. Bukankah itu yang dari dulu kamu impikan?”Tanpa menjawab, aku berbalik arah hendak meninggalkan Rey yang tengah menatapku sayu. Bagaimana mungkin aku bisa bersama lelaki lain, jika sekarang Haikal terus membayangiku dengan ratusan ancaman. Bahkan ibu dan Alisa menjadi bagian dari ancaman tersebut. “Viv, aku butuh jawaban.”Lelaki itu menggenggam tanganku ketika aku hendak berlalu. “Aku sudah tak mencintaimu, Rey.” Perlahan pegangan tangan itu terlepas, hingga aku kembali melanjutkan langkah keluar, dadaku kian sesak berbohong kepada diriku sendiri. **Aku menatap ponsel yang kuletakkan di meja kerjaku, 32 panggilan tak terjawab, dari Alisa. Untuk apa ia menelfonku s
Seorang lelaki berjas hitam tengah berjalan membelakangi, hanya tampak punggung kekar yang terus berjalan, melangkah ke tangga besar yang meliuk indah. Aku berjalan mengendap, mengambil vas kecil yang digunakan hiasan meja, hingga secepat kilat aku melayangkan benda tersebut. “Kak Vivian, apa yang kamu lakukan?” Aku menatap sumber suara, dan mendapati Alisa yang menatapku dengan panik. “Ampun, Viv!” Lelaki di depanku, yang sebelumnya menjadi target ini menoleh, hingga menggeser tubuhnya sedikit menjauh dan sedikit membungkuk. Wajah penuh lebam menatapku penuh ketakutan. “Rey,” ucapku lirih, sambil mengurungkan niatku. Vas bunga yang hampir melayang ini sesegera mungkin di raihnya. Sedangkan aku berdiri mematung, belum mampu mencerna semuanya. Jika ini Reynan, berarti ini rumah Reynan? Lalu Alisa dan ibu? “Sa, ibu di mana?” Aku berlari ke arah Alisa, dengan muka panik. “Ibu lagi di kamar, Kak. Istirahat.”“Kamu? Kenapa ada di sini? Ini rumah?"Aku menatap ke arah Rey dan kembal
Lelaki itu mengangguk. “Kamu menjualnya?”“Tahu tidak pak, gara-gara barang-barang bapak tersebut, saya harus merogoh saku lebih dalam untuk menyewa mobil bak terbuka, bahkan saya juga harus kehujanan memindahkan barang tersebut, belum lagi mental saya, yang takut barang tersebut kenapa-kenapa hingga aku harus ganti rugi.” Aku berbicara dengan kecepatan kilat tanpa spasi, sekarang aku tahu siapa dalang dari semuanya. “Harusnya kamu berterima kasih, kenapa malah marah-marah? Semua barang tersebut eksklusif, stoknya terbatas.”“Bapak pikir saya harus nonton tv di halaman rumah? Menyalakan kulkas tanpa isi berhari-hari? Itu namanya pemborosan. atau jangan-jangan bapak memang sengaja merendahkan saya dengan mendatang barang elektronik besar, di rumah saya yang kecil dan sempit."Lelaki itu menggeleng. “Salah lagi," ucapnya dengan lirih."Lalu semua barangnya di mana?”“Barangnya di mana? Bukankah semua sudah hak ku, Pak? Karena bapak berniatkan memberikannya bukan?” Aku menatap lelaki di
"Apa?” Aku masih tak percaya dengan semua yang terjadi, merasa bersalah dengan semuanya. Dahlh sehari ada 2 kantor yang terbakar.Reynan mengambil ponsel dalam sakunya, mencari nama seseorang dan meletakkannya di dekat telinga. “Apa maumu? Tidak bisa kah kamu bertarung dengan sehat?” Samar-samar kudengar tawa yang menjadi jawaban dipanggilan itu, tawa yang begitu tak asing. Dari Haikal. Kenapa laki-laki itu tak ada henti-hentinya menggangguku? Aku masuk ke dalam mobil bersama Reynan, lalu lelaki itu menekan pedal gas begitu dalam, hingga tubuhku sedikit terguncang ke depan, merasakan pantulan. “Eh, maaf,” ucap Rey yang kini merasa bersalah. Sepanjang perjalanan tak ada kata yang keluar dari bibir kami. Saling membisu satu sama lain. Aku kembali dihadapkan oleh rasa bersalah, seperti saat dulu toko roti itu gulung tikar, batinku terus berkecamuk, apa Haikal akan melanjutkan aksinya? Apalagi yang akan ia lakukan? Kenapa ia tak ada habis-habisnya mengganggu hidupku? Apa tidak cuk
“Vivian, ayo pulang!”“Baik, Pak.”Wanita cantik berambut panjang itu mengekoriku, berjalan sedikit kebelakang dariku. Jujur, aku ingin penyetaraan diantara kami, bisa berjalan bergandengan bersama menatap masa depan. ‘Viv, bagaimana caranya supaya aku bisa kembali mengambil hatimu. Kenapa hatimu lebih keras dari apa yang aku bayangkan? Tidak kah kamu memahami bagaimana perasaanku saat ini? Aku ingin kembali mengulang masa-masa indah saat kita bersama.’“Pesan dari siapa, Viv?” tanyaku ketika ia terus terfokus kepada ponselnya.“Bukan dari siapa-siapa, Pak. Hanya dari Alisa yang memberikan info kabar ibu saat ini.”“Bagaimana kabar ibumu sekarang?”“Sudah lebih baik dari kemarin.”“Syukurlah.”“Pak, bukankah ini jalan pulang?” tanya Viv ketika aku mengambil jalur yang berbeda dengan arah kantor. “Aku mau ke Bogor, lihat cabang yang terbakar di sana. Kamu kuantar pulang.”“Aku gak boleh ikut?” “Kamu di rumah saja, rencana aku ada acara menginap juga, sekalian meeting intern kepala