Share

3

"Saya tidak memaksa, jika kamu keberatan silahkan berikan surat pengunduran dirinya besok."

Mata Karin terpejam selama beberapa saat. Apa yang baru saja atasannya katakan itu tidak bisa dia terima dengan mudah.

"Datang ke alamat itu nanti malam, tapi kalau kamu keberatan saya tunggu surat pengunduran dirinya," kata Jordan.

Karin masih belum memberikan tanggapan. Tubuhnya berkeringat dingin ketika mendengar penawaran yang atasannya itu tawarkan padanya.

"Bersiaplah kita akan segera pergi melihat perkembangan pembangunan kantor cabang," kata Jordan sambil menutup laptop miliknya.

Dia berjalan mendahului Karin yang masih berdiri diam dengan pikiran yang sudah melayang entah kemana.

"Lakukan pekerjaanmu hari ini dengan baik sebelum surat pengunduran diri itu sampai di meja saya," ucap Jordan.

Karin menghela nafasnya pelan. Dia berusaha keras untuk tetap tenang dan langsung menyusul atasannya.

Dengan rasa takut yang menguasai dirinya Karin berjalan tepat di samping Jordan, tapi tiba-tiba saja pria itu menghentikan langkahnya.

"Biarkan aku melihat jadwalku hari ini," kata Jordan yang meminta buku catatan Karin.

Perkataan itu membuat Karin langsung membuka tasnya, tapi wajahnya kembali panik ketika bukunya tidak ada di sana.

Sial! Tadi malam dia mengeluarkannya dari dalam tas karena ada kegiatan tambahan yang harus dia tulis.

Dengan wajah pucat karena takut Karin menatap atasannya dan Jordan sudah cukup mengerti.

Helaan nafas terdengar dan membuat Karin semakin merasa ketakutan. Sepertinya dia sudah benar-benar tamat.

Melihat Jordan yang tidak mengatakan apapun dan malah melangkahkan kakinya membuat Karin semakin panik.

Karin bodoh!

Kenapa kamu bisa melupakan semuanya?!

••••

Memikirkan kemungkinan dirinya yang akan dipecat membuat Karin benar-benar tidak fokus. Bukan melakukan pekerjaannya dengan benar Karin malah melakukan kesalahan berkali-kali.

Saat makan siang bersama dengan klien Karin membuat kekacauan dengan menumpahkan gelas berisikan jus jeruk. Kemudian ketika berada di lokasi proyek Karin yang memaksa untuk membawakan tas milik Jordan malah membuat tas itu terjatuh ke dalam kubangan air.

Dan sekarang Karin tidak lagi berani melakukan apapun. Mereka yang akan kembali ke kantor membuat Karin duduk diam di dalam mobil dengan kepala menunduk.

"Lupakan saja penawaran itu dan kirimkan surat pengunduran dirimu besok," kata Jordan dengan penuh kekesalan.

Perkataan itu membuat Karin langsung menatap Jordan yang sudah benar-benar kesal.

Pria itu langsung mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Raut wajahnya pun sangat tidak bersahabat.

Tentu saja Jordan sangat marah karena Karin benar-benar sudah membuatnya malu hari ini. Bukan sekali, tapi tiga kali dan Jordan tidak bisa lagi sabar.

Masa bodoh dengan tanggapan Ayahnya jika dia tau Jordan memecat sekretaris kebanggaannya.

Sepanjang perjalanan sama sekali tidak ada percakapan. Bahkan ketika sampai di kantor Jordan keluar dan menutup pintu mobilnya kuat-kuat.

Hal itu membuat Karin bergegas turun dan mengikutinya hingga masuk ke dalam ruang kerjanya. Dia akan meminta maaf lagi untuk semua kesalahannya.

"Pak saya..."

"Keluar!" titah Jordan.

Jordan yang baru saja masuk ke dalam ruang kerjanya langsung duduk dan menyandarkan tubuhnya di kursi. Pria itu memijat pelan dahinya karena merasa sangat pusing.

"Saya minta maaf..."

"Keluar Karin Namira!" kata Jordan dengan penuh penekanan.

"Tapi...."

"Apa kau tidak dengar apa yang baru saja saya katakan?!" seru Jordan dengan wajah memerah.

Karin memejamkan matanya. Dia menunduk dengan sopan dan langsung berjalan keluar.

Hari ini semuanya benar-benar kacau karena sekretarisnya itu.

Sedangkan itu di meja kerjanya Karin tengah memaki dirinya sendiri. Berkali-kali dia memukul kepalanya karena merasa kesal.

Bagaimana jika dia benar-benar dipecat?

Masih dilanda ketakutan Karin malah melihat seorang wanita yang berjalan ke arah ruangan atasannya. Hal itu membuat Karin bergegas menghalanginya.

"Maaf, Pak Jordan sedang tidak bisa diganggu," kata Karin.

Perkataannya itu membuat wanita dengan pakaian seksinya mendengus kesal.

"Aku sudah biasa datang, jadi menyingkir dan biarkan aku masuk," katanya memaksa.

Wanita itu mendorong tubuh Karin kesamping dan langsung masuk ke dalam.

"Astaga! Semakin besar saja kesalahanku sekarang." Karin mengacak rambutnya frustasi.

Dengan cepat Karin menyusul masuk.

"Maaf Pak saya sudah melarangnya untuk masuk, tapi dia memaksa," jelas Karin.

Karin dapat melihat atasannya yang sekarang memejamkan matanya.

"Kalian berdua keluar sekarang!" titah Jordan dengan penuh kesabaran.

Melihat itu nyali Karin semakin menciut. Kemudian dengan paksa dia menarik wanita itu untuk keluar dari ruangan bosnya.

Sepertinya karir Karin di perusahan ini benar-benar akan berakhir.

••••

Karin berdiri di depan pagar rumah bertingkat dua yang kini ada di hadapannya. Dengan penuh keraguan Karin datang ke alamat yang diberikan oleh Jordan kepadanya.

Ada keraguan dalam diri Karin, tapi rasa takut kehilangan pekerjaan lebih besar dari apapun.

'Bermalam denganku'

Itu adalah penawaran yang diberikan Jordan kepadanya. Meskipun sore tadi Jordan mengatakan untuk melupakan penawaran itu dan meminta surat pengunduran dirinya, tapi Karin tetap datang ke rumah ini.

Dia melihat mobil bosnya itu terparkir rapih dihalaman rumah besar itu.

Pekerjaannya lebih penting dari apapun. Karin memiliki hutang yang orang tuanya tinggalkan dan harus dia bayar hingga lunas.

Karin juga membutuhkan uang untuk membayar sewa rumah sederhana yang dia tinggali.

Terlalu banyak kebutuhan. Jika dia dipecat dan mencari pekerjaan baru gaji di tempat barunya belum tentu bisa untuk memenuhi semua kebutuhannya.

Akhirnya setelah cukup lama berpikir Karin melangkahkan kakinya ke dalam. Tanpa ragu lagi Karin mengetuk pintu rumah itu berkali-kali.

Hingga pintu itu terbuka. Dihadapannya sekarang ada Jordan yang menatapnya dengan alis bertaut.

"Ada apa kau kemari? Bukankah aku sudah mengatakan untuk melupakan penawaran yang aku berikan tadi?" kata Jordan.

Karin menunduk karena merasa takut. Kemudian dia berbicara dengan suara yang sangat pelan.

"Saya mohon jangan pecat saya Pak," pinta Karin.

Sekarang Jordan diam sambil terus memperhatikan Karin yang berdiri dihadapannya dengan kemeja panjang juga celana jeans yang dia kenakan.

"Saya tidak bisa kehilangan pekerjaan ini," ucap Karin dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Selama beberapa saat Jordan terdiam, tapi setelahnya pria itu mempersilahkan Karin untuk masuk ke dalam.

"Masuk."

Karin langsung masuk ke dalam rumah besar itu. Dia mengikuti langkah kaki Jordan dan berhenti di dekat sofa.

"Duduk."

Sekali lagi Karin menurut. Tanpa mengatakan apapun Karin duduk manis di sofa empuk itu.

"Kesalahan yang kamu buat terlalu banyak hari ini, jadi aku rasa akan lebih baik jika posisimu digantikan dengan orang lain," kata Jordan.

"Tidak, jangan, saya mohon Pak." Karin menatapnya dengan wajah memelas.

Pengeluarannya setiap bulan sangat banyak karena cicilan hutang yang harus dia bayarkan.

"Kau benar-benar akan melakukannya?" tanya Jordan dengan alis bertaut.

"Iya.. saya akan melakukannya," jawab Karin pelan.

Di tempatnya duduk Jordan tertawa. Dia menatap lekat-lekat Karin yang sejak tadi tidak berani menatapnya.

Dapat Jordan lihat dengan jelas Karin yang tengah mencengkram kuat tas yang ada di pangkuannya.

'Papa kamu meninggalkan hutang sebesar dua ratus juta dan dia baru membayar lima puluh juta, jadi kamu yang harus melunasinya.'

'Setiap bulan kamu harus membayar sepuluh juta.'

Mata Karin terpejam selama beberapa saat. Dia mengingat semua perkataan Mamanya ketika dia akan pergi bekerja ke ibu kota.

Selama ini lelah Karin hanya untuk melunasi hutang kedua orang tuanya bukan untuk kesenangannya.

"Saya.. Saya akan melakukan apapun asal tidak dipecat." Karin menatap Jordan dengan tatapan sendu.

Jordan tidak memperdulikan tatapan itu. Dia malah tersenyum sambil melipat kedua tangannya di dada.

Keliatannya ini akan menjadi malam yang asik untuknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status