Share

3. Hadiah Ulang Tahun

Jordan menemukan sebuah batu yang dia banting dan pukulkan agar meruncing. Dengan batu tersebut Jordan membuat coretan untuk menghitung hari pada dinding batu. Telah dua tahun berlalu sejak Jordan pertama kali di bawa ke penjara terpencil yang terletak dalam pulau pada tengah lautan. 

Tubuh Jordan yang semula gagah dan tampan, kini sudah semakin kurus dan ringkih. Rambut Jordan tumbuh gondrong, pun juga bulu-bulu di wajahnya melebat kasar tidak beraturan yang terlihat sangat menyeramkan bagi yang melihatnya.

 

“Tuhan, bagaimana jika diriku bosan memohon dan berdoa padamu? Aku tau Engkau tidak akan berkekurangan manusia yang akan meng-agungkan namamu. Tapi aku mohon, berikan aku petunjukmu …apa pesan yang Engkau inginkan untuk aku pahami dengan kejadian yang menimpaku ini?"

Jordan duduk bersandar dan menengadahkan wajahnya melihat ke langit-langit kamar yang terlihat bintang-bintang bercahaya redup masuk ke dalam ruangannya.

 

“Aku tidak menyesali hidupku. Tapi tolong jaga dan lindungi Mamaku, Tuhan!” pinta Jordan yang dadanya seperti membengkak karena sangat merindukan Mary Helena, Mamanya. 

“Aku tidak pernah mengenal Papaku. Jadi, tolong ...jangan sampai aku melupakanmu, Tuhan. Kuatkan apa yang telah Engkau tanam di dalam diriku.”

 

Sungguh Jordan sangat ingin menyerah dari semua doa dan harapannya yang telah dua tahun dia panjatkan namun tidak ada tanda-tanda dia akan dibebaskan. Apalagi di adili, karena sejak awal Jordan dimasukkan ke dalam ruangan sempit dan lembab itu, tidak satu kalipun dia dibawa keluar. 

Jordan melihat ke dinding batu yang berarti esok adalah hari ulang tahunnya yang ke dua puluh empat, berarti dia akan menerima hadiah dua puluh empat cambukan esok hari. 

Jordan masih duduk bersandar pada dinding batu yang entah panas atau dingin, sungguh tidak bisa lagi dia bedakan. Tubuhnya juga seperti telah kebal akan debu dengan ruangan yang tentu saja sangat bau menyengat akibat cairan dan kotorannya sendiri di bagian sudut. 

Kelopak mata Jordan mulai memberat dari melihat bintang dari langit-langit ruangannya, napasnya juga berhembus pelan saat matanya sudah terpejam rapat. 

“Mama!” panggil Jordan saat melihat wanita yang sangat cantik dan anggun sedang memetik buah bluberry di halaman belakang rumahnya.

 

Mary Helena mengangkat wajahnya dan tersenyum ceria menatap Jordan. Bergegas Mary Helena meletakkan keranjang ke atas tanah dan menyongsong Jordan yang berlari ke arahnya. 

“Aku sangat merindukanmu, Mam!” bisik Jordan terisak di atas bahu Mary Helena begitu dia berhasil memeluk wanita cantik yang sangat dia cintai tersebut. 

Mary Helene merenggangkan pelukannya, kedua tangannya terulur untuk meraba wajah Jordan. 

“Apakah harimu sulit, Jordan? Wajahmu terlihat sangat kurus, apakah kamu tidak makan dengan baik?” tanya Mary Helena dengan airmata menggantung di pelupuk matanya. 

Jordan mengecup kedua mata Mamanya tersebut penuh haru. 

“Aku baik-baik aja. Mama terlihat sangat cantik dan aku sangat mencintaimu!” 

Mary Helena tersenyum dan tertawa kecil mendengar pujian Jordan yang sangat polos dan selalu jujur. 

Mata Mary Helena melihat ke arah seseorang yang datang di belakang Jordan. 

“Dia, Papamu!” bisik Mary Helena sambil tersenyum pada seseorang yang dibelakang Jordan. 

Jordan spontan menoleh ke belakang sambil tetap memeluk pinggang ramping Mamanya. Namun karena sinar matahari bersinar sangat cerah, Jordan gagal melihat wajah pria yang kini berdiri di depannya tersebut, meski bisa merasakan pelukan hangatnya. 

Jordan berusaha merenggangkan wajahnya untuk melihat wajah Papanya, tetapi matanya sangat silau akan cahaya matahari yang menusuk matanya. 

“Aku tidak bisa melihatmu …” bisik Jordan yang kembali direngkuh oleh lengan Papanya dengan sangat erat.

 

“Papa selalu hidup di dalam dirimu, Jordan! Papa bangga padamu! Tumbuhlah semakin kuat dan percayalah Tuhan akan selalu menolongmu, bersukacitalah, anakku!”ucap Keigo Watanabe, Papa Jordan sambil mendaratkan kecupan dalam ke samping kening Jordan. 

Keigo juga meraih Mary Helena untuk dia peluk bersama Jordan, hingga terdengar suara memekakkan telinga di telinga Jordan yang membuat Papa dan Mamanya tiba-tiba menghilang, lenyap. 

Jordan terkejut dan menyadari penjaga baru saja melemparkan roti ke dalam ruangannya beserta mangkok soup yang rasanya mungkin jauh lebih buruk dari menelan air laut. 

“Terima kasih, Tuhan! Engkau sudah mempertemukanku dengan Mama dan Papa.” gumam Jordan akan mimpi kedua orangtuanya. 

Meskipun kerinduan yang menggantung berat dalam rongga dada Jordan akan Mamanya belum puas, dia tetap berterima kasih karena Tuhan juga telah menghadirkan Papanya dalam mimpinya. Pelukan dari pria yang sangat dicintai oleh Mamanya itu juga masih terasa hangat di pundak Jordan. 

Perlahan, tangan Jordan meraba wajahnya sendiri yang terasa sangat kasar bagi telapak tangannya yang juga kasar. 

Jordan mengambil roti yang dilemparkan penjaga dan meniupnya dari debu tanah dan pasir, lalu melahapnya begitu saja yang kemudian dia meminum habis soup di mangkoknya tanpa mengingat rasanya sama sekali. 

Jordan mengambil batu yang dia gunakan untuk menulis dan membuat tulisan 'terima kasih Tuhan' pada dinding dengan ujungnya diberi angka dua puluh empat sesuai dengan hari ulangtahunnya hari ini. 

Sebelum tengah hari, pintu baja ruangan Jordan di gedor kencang dan terdengar suara kunci pada pintu di putar yang akhirnya terbuka.

 

Jordan bisa merasakan angin lembut berdesakan masuk melalui pintu ke ruangannya yang sejenak menyegarkan penciumannya.

 

“Apa kabar, Jordan?” sapa Langley sambil tertawa kecil dan hidungnya berjengit mencium aroma busuk di ruangan Jordan. 

“Cepat gantung dia di rantai!” perintah Langley tidak sabar pada bawahannya yang langsung menurut patuh. 

Plakk! …plakkk!!

Suara cambukan mendarat pada punggung Jordan dan membuat tubuhnya bergetar meski bibirnya telah enggan berteriak kesakitan. 

“Berteriaklah, Jordan! Atau memang kau sudah menikmati ayunan cambukku?” cetus Langley sembari tertawa kecil mengayunkan cambuk tinggi-tinggi dan sekuat tenaga mendaratkannya ke punggung Jordan.

 

Kepala Jordan tertunduk, matanya terpejam namun giginya tetap menggigit bibirnya kuat-kuat. Jordan merasa malu untuk berteriak jika semalam dia telah diberikan hadiah bertemu kedua orangtuanya oleh Tuhan melalui mimpinya. 

Jordan juga mengingat bagaimana perjuangan Yesus dalam memberikan pemahaman pada manusia dan berakhir DIA dikhianati serta mengalami penyiksaan berat. 

Melihat reaksi Jordan yang tetap tidak mau berteriak, Langley semakin beringas mencambuk punggung Jordan. Tubuh Langley sampai melompat heboh dan tertawa girang memprovokasi saat ujung cambuknya mengoyakkan pakaian lusuh Jordan hingga mengalirkan darah pada kulit punggungnya yang telah terkelupas. 

“Siram dia!” titah Langley pada anak buahnya karena Jordan tidak mengangkat wajahnya sejak dia mulai mencambuk. 

Anak buah Langley segera mengguyurkan dua ember air laut ke tubuh Jordan yang membuat bibir pemuda itu berdesis pilu. 

Punggung yang terluka dan disiram air laut asin, tentu saja membuat seluruh syaraf pada tubuh Jordan terkesiap terkejut juga sangat perih luar biasa sampai ke tulang belulangnya. 

“Ha ha ha …kau tidak bisa pura-pura kuat padaku, Jordan! Berteriak dan bernyanyilah! Panggil Tuhanmu yang Agung itu agar dia menyaksikanmu sang pezina dan pembunuh ini menebus dosanya!” ejek Langley meremehkan keyakinan Jordan. 

Langley masih terus mencambuki Jordan meski telah mengayunkan dua puluh empat kali yang dihitung oleh Jordan dalam hatinya. 

“Anda telah mencambukku lebih dari dua puluh empat kali, Langley! Berhentilah sebelum lengan Anda merasa lelah!” cetus Jordan mantap mengucapkan kata-katanya tanpa tersendat atau pun terbata. 

Mendengar ucapan Jordan, Langley yang sudah bersiap mengayunkan cambuknya sangat tinggi, tidak bisa menghentikan ujung cambuknya dari melukai punggung Jordan yang kali ini pemuda itu berteriak mengaduh pilu. Darah menyembur mengucur deras dari bekas luka cambukan di punggung Jordan yang semakin membuat Langley tertawa puas.

Bibir Langley tersenyum penuh kemenangan, dia menjatuhkan cambuknya yang dipungut oleh anak buahnya. 

“Berikan dia pakaian ganti dan bersihkan ruangan ini!” perintah Langley sambil menatap tajam kedua anak buahnya yang mengangguk cepat tanpa berbicara.

 

“Satu kali seminggu, kalian harus membersihkan ruangan ini! Memberikannya pakaian ganti dan air laut dua ember untuk dia mandi! Jika tidak, maka kalianlah yang akan menemaninya berada di sini. Paham?”

 

Langley melangkah ke arah samping Jordan dan mencengkeram dagu pemuda itu yang dia tengadahkan.

"Masih belum mau menyerah dan mengakui jika dirimu adalah pendosa terkutuk?" 

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Nuni Muslimin
tak bisa terbayang skitx
goodnovel comment avatar
lutfi08
ngeri banget deh kalau jadi Jordan
goodnovel comment avatar
Weka
serem ih itu siksa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status