LOGINUhuk!
“Di. Are you, okey?” Chalondra tampak khawatir saat melihatku pucat dengan batuk yang tersedak. Aku mengangguk-angguk sambil menahan ringisan kesakitan di tenggorokan juga dadaku yang sesak. Sementara sosok yang baru saja masuk dikawal oleh beberapa orang itu terlihat tenang tanpa ekspresi. “Selamat Pagi. Hari ini kita adakan rapat darurat penyambutan CEO kalian yang baru bisa hadir di Perusahaan ANT. Kita sambut CEO kita Alpha Benjamin Atlas dengan sang Ibunda, Thalia Dinandra Atlas. Mereka menjabat sebagai CEO dan Presiden Direktur.” Aku terdiam. Bahkan bergeming dan tertegun mendengar sederetan kalimat yang diucapkan oleh sekertaris kantor itu. Ternyata memang ini perusahaan keluarga. Semua ada di tempat ini. Pantas saja Alexa begitu ngebet dan nempel terus dengan sosok Damian. Ternyata ini tujuannya. “Selamat Pagi Semua___ Dan akhirnya hari itu juga resmi sudah ibu dan anak itu berada di perusahaan ANT menempati posisi tertinggi. Aku melihat Damian sedikit kecewa. Namun pria itu bisa berbaur dan berinteraksi dengan keluarga dekatnya itu. Bahkan dia berbincang begitu akrab dengan sosok Thalia yang tak lain ibunya Alpha. Wanita yang berusia sekitar setengah abad itu masih tampak terlihat sangat cantik dan mempesona. Bahkan aku masih ingat betul kalau wanita yang bernama Thalia Dinandra itu adalah orang lama yang pernah aku kenal. Aku tertunduk terpuruk namun beberapa detik kemudian kesadaranku pulih. Tidak aku persoalkan ke mana suami wanita yang mempunyai pengaruh nomor satu di perusahaan tempat aku bekerja. Karena itu bukan ranahku. Saat ini yang aku butuhkan kenyamanan dan ketenangan aku bekerja. Namun sepertinya semua akan sirna dan hilang. “Dior.” Panggilan itu membuatku mendongak. Melihat sosok Alexa yang sudah mendatangiku. Entah apalagi perintah yang akan dia berikan padaku. “Mau apa, Alexa?” Mungkin pertanyaanku baginya terdengar lucu. Karena pada akhirnya dia menerbitkan senyum penuh kemenangan. “Aku sudah membuktikan padamu. Kalau aku lebih unggul dan segalanya darimu. Termasuk merebut laki-laki 11 tahunmumi, ” bisiknya terang-terangan mengungkapkan skandal yang dia lakukan dengan Damian. Tanganku keduanya mengepal kuat. Memperlihatkan kulitnya yang memutih. Wajahku sudah dipastikan memerah menahan amarah besar. Namun aku tidak bisa berbuat banyak. Karena kalau aku sampai kehilangan kendali itu sama saja mempermalukan diriku sendiri. Tak ada orang yang tahu tentang hubunganku selama ini dengan Damian. Apalagi sudah 11 tahun lamanya. Aku selalu menjaga komitmen untuk menyimpan rahasia ini rapat-rapat demi karier Damian. Bodohnya aku ternyata hanya dijadikan alat kesuksesan pria itu. Setelah berbicara seperti itu Alexa melangkah pergi. “Ngomong apa dia? Selalu sirik sama kamu.” Chalondra menatap kepergian Alexa dengan mata bencinya. Aku hanya bisa menggeleng. “Sebenarnya kamu ada hubungan apa dengan sekertaris Pak Damian, Di?” Aku menelan saliva seketika saat pertanyaan itu mampir di telingaku. Chalondra menatapku. Menunggu jawaban dariku. Satu lagi yang tak pernah aku ungkapkan ke publik. Aku juga menyembunyikan hubungan status laku dengan Alexa. Itupun atas permintaan ibunya. “Nggak,” jawabku pendek membuat Chalondra heran. “Aku ke pantri dulu bikin teh hangat,” ucapku segera bangkit dari kursi kerjaku. Segera menghindari pertanyaan Chalondra berikutnya. Karena sepertinya sahabatku itu sudah curiga. Baru saja aku membuka pintu dadaku terasa nyeri dan mau pecah. Pemandangan di depanku sungguh menjijikkan. Mereka pun juga ikut terkejut. Namun terlihat ada senyum penuh ejekan kemenangan dari sudut bibir Alexa yang baru saja berciuman bibir dengan Damian. “Damian,” desisku memanggil pria itu. Damian sibuk membersihkan sisa saliva yang membasahi bibir sensualnya. “Beni puas juga kalian melakukan itu di tempat umum seperti ini. Ini kantor!” Suaraku hampir tercekik. Pria itu bukan lagi terkejut. Namun tak menyangka aku akan memergoki perselingkuhannya untuk yang kedua kalinya. “Sepertinya kita jangan pernah bertemu lagi, Dam,” ucapku lantas membalikkan badan dan meninggalkan tempat itu. Ada sisa air mata yang tak ingin aku biarkan jatuh. Sudah cukup semua yang aku lakukan selama ini. Tersiksa dan menderita karena seorang Damian Atlas. “Dior!” Panggilan itu menggema di koridor pantri. Aku mempercepat langkahku agar keluar dari tempat terkutuk itu. Namun sepertinya Damian mengejarku dan akhirnya berhasil mencekalnelnganku. “Sakit!” desisku marah. Kebuasan pria itu sekarang sekali main tangan. “Aku jelaskan dulu!” “Apalagi yang mau kamu jelaskan, Damian?” “Kamu salah paham, Di. Aku sama Alexa tidak seperti yang ada dalam pikiran kamu.” Dengan sendirinya aku tertawa sinis bernada getir. Seolah aku mengejek diriku sendiri yang sedang terpuruk. “Apa yang aku lihat kemarin rupanya belum cukup membaut kamu meyakini aku, Dam. Bahkan saat ini kamu kembali menunjukkan di depan mataku perbuatan menjijikkan ini, masih kamu bilang ini salah paham. Dasar iblis!” Hatiku menciut sakit. Suaraku seolah tercekik karena isak gabus yang aku tahan. Bayangan kematian belum sempurna aku kubur jauh di dalam hatiku kini kembali ada tontonan gratis yang membuat perutku mual dan dadaku ingin meledak. “Kamu memang selama ini menganggap aku ini hanya manusia bodoh, Dam. Rupanya belum cukup kamu memanfaatkan aku.” Damian menggeliat marah saat mendengar kalimatku. “Ini alasan aku menjauh dari kamu beberapa waktu terakhir ini. Supaya kamu instropeksi diri. Tapi nyatanya sifat kamu malah semakin menjadi.” Kali ini aku tertawa lepas. Terdengar sinis membuat sosok Damian terkejut. Pria yang sudah 11 tahun aku temani dalam suka duka itu menatapku lama. Melihatku heran dan seolah takut saat perubahan itu terjadi padaku. Lebih terkejut lagi saat dia melihat ada air mata jatuh deras di pipiku. Dan percayalah aku sangat menyesal kenapa harus menangisi laki-laki seperti itu. “Damian. Kita jangan pernah bertemu lagi. Jangan ganggu aku lagi. Aku tahu kamu sudah berselingkuh dengan Alexa dalam waktu lama. Bahkan kamu menidurinya di tempat tinggal yang aku bayari.” Duar! Sudah bisa dipastikan wajah Damian memerah. Panas dan meradang. Antara malu atau tidak tahu diri. Pria itu sedikit terhenyak. Lantas menatap wajahku dengan tatapan yang aneh. Heran dan terkejut. “Tidak perlu tanya dari mana aku tahu semua, Damian. Aku tahu sudah sangat lama. Aku hanya diam. Berharap kamu bisa merubah semuanya. Namun ke sininya kamu semakin menjadi dan menggila. Jadi, mulai sekarang kita putus!” Lagi-lagi Damian terkejut. Dia tak bisa menahan langkahku lagi. Yang bisa dia lakukan hanya menatapku sampai bayangan tubuhku menghilang dari tempat itu. Bruk! “Akh!” Aku mengusap keningku yang terasa sakit karena menabrak sesuatu. “Lagi-lagi begini. Apa sudah menjadi kebiasaan kamu ceroboh seperti ini. Perasaan umur sudah tua.” Seketika aku melebarkan kedua mataku. Namun sosok di depanku itu hanya menatapku dengan dingin dan terlihat sangat tenang. Sesaat aku terlibat dalam perdebatan diam dengan sosok itu. “Ke ruanganku!” perintahnya membuatku tersadar. Bahwa mulai hari ini dia adalah atasanku. Pemimpin di Perusahaan ANT di mana aku bekerja. “Baik,” jawabku sambil menunduk dan mengikutinya dari belakang. Tampak Chalondra terkejut melihatku seperti itu. Kedua matanya mengisyaratkan sesuatu namun aku tidak mengerti. Lantas aku menutup pintu ruangan VIP itu dengan perlahan. Disambut dengan udara sejuk yang keluar dari air conditionar di ruangan itu. Semakin menambah sikap dinginnya sepeti pintu kulkas 7. “Apa kamu sudah mempertimbangkan saran aku. Sudah bisa memberi jawaban?” Aku terpana sesaat. Menatap wajah tampannya yang masih muda. Mulutku terkatup rapat. Lidahku tiba-tiba kelu tak mampu mengeluarkan kata-kata. Antara bingung dan takut. Tiba-tiba pria itu mendatangiku. Mendekat tanpa jeda. Membuat dadaku berdegup keras. “Dior, sadar. Dia itu atasan kamu dan usianya di bawah kamu jauh.” Hatiku sibuk berkata. “Jawab bukan bengong.” Aku menggeliat keras saat kurasakan sentilan jari di kening. “Wow. Sakit,” desisku sambil kembali mengusap keningku yang tadi tertabrak olehnya. Aku mendongak. Menatapnya dengan begitu jauh. Karena tinggi badannya hampir dua meter. Sedang aku satu meter setengah pun gak ada. “Dijawab kalau ditanyai itu.” Wajahnya menunduk dan nyaris menyentuh wajahku. Seketika aku hampir terjerembap ke belakang. Kalau tangannya tidak cepat menangkap tubuhku. Kini aku ada dalam pelukannya. Dan itu semakin membuat tubuhku panas.“Sah.” Penghulu itu mengikrarkan janji terakhir kami. Dan mulai terdengar kata sah itu aku dan Alpha resmi menjadi suami istri. Meskipun aku tahu pernikahan ini hanya sebagai syarat. Kupandangi buku nikah yang sudah ada di tanganku itu. Terasa ada sesuatu yang menggemuruh di dadaku. Aku tak menyangka secepat itu aku menikah bahkan dengan pria yang usianya beberapa tahun di bawahku. “Kenapa? Kamu menyesal?” Aku menoleh. Kulihat pria tampan itu memakai jas yang pastinya tidak murah. Bangsawan berdarah biru itu mendekatiku lantas merangkulku. Agak terkejut menyadarinya. “Kamu sudah sah menjadi istriku. Mau aku apakan itu juga sudah menjadi hakku.” Mataku terbelalak lebar. Baru saja bibirku terbuka untuk membantah perkataannya, Alpha sudah menempelkan jari telunjuk kan di tengah bibir tipisku. “Bukankah kemarin aku sudah menyuruhmu untuk membaca kontraknya sebelum kamu menandatanganinya.” “Akh!” Ada rasa kesal menjalar di dalam hatiku. Serasa aku dijebak setelah aku mendeng
BUG! Satu tinju mentah itu mendarat di wajah Damian yang membuat pria dewasa itu bukan main terkejutnya. Dia mendongak dengan wajah yang memar dan bercak darah yang keluar dari sudut bibirnya. “Alpha.” “Semenjak kapan perusahaan ini tak ada etika dan adabnya. Berani melecehkan karyawan wanitanya. Anda ingin masuk jeruji besi!” Kemarahan itu tidak main-main. Aku melihat wajah Alpha Benjamin, sang CEO perusahaan itu tak terkendali. Menakutkan dan sungguh tak terduga seorang pria yang baru saja menginjak dewasa bisa sejantan itu. Jelas aku terpesona dengan penampilannya kali ini. Dia menunjukkan di depan mataku bahwa dirinya memang benar-benar laki-laki sejati. “Ka-mu salah paham, Alpha. Tidak seperti yang kamu bilang.” Damian masih saja mencari pembelaan. Alpha seketika menatapku namun sepersekian detik kembali dengan garang ingin menghantam tubuh Damian. “Jangan!” teriakku yang rupanya mampu membuat pria itu bangkit berdiri. “Masih membela rupanya. Tak rela dia cacat
Entah setan apa yang tiba-tiba merasuki kami. Sepasang bibir kami sudah menyatu. Saling menghisap dan mengecap. Dan sepertinya aku sangat menikmati. Demikian dengan pria berondong yang usianya jauh di bawahku itu. Bersamaan dengan tangannya yang sudah menyusup ke balik pangkal pahaku pintu diketuk seseorang. “Ada orang,” bisikku tersengal. Namun wajahku dan wajah Alpha Benjamin memerah menahan sesuatu. “Kita lanjutkan nanti,” ucapnya sambil menarik tangannya yang berada di kedua pangkal kedua pahaku. Napasku tersengal dengan dada bergemuruh hebat. Aku merapikan baju dan rok dinasku sebelum selanjutnya seseorang itu masuk ke dalam ruangan Alpha. Keterkejutan itu milikku bukan milik Alpha. Pria muda itu tampak dingin dan tenang saat menatap seseorang melangkah ke arahnya. “Aku ke sini mencari Dior. Ada kerjaan yang harus dia selesaikan di ruanganku.” Jantungku berdetak hebat dengan wajah memanas. Rupanya hal itu dapat ditangkap oleh Alpha. “Kerjaan apa yang mengharuskan Nona Dior
Uhuk! “Di. Are you, okey?” Chalondra tampak khawatir saat melihatku pucat dengan batuk yang tersedak. Aku mengangguk-angguk sambil menahan ringisan kesakitan di tenggorokan juga dadaku yang sesak. Sementara sosok yang baru saja masuk dikawal oleh beberapa orang itu terlihat tenang tanpa ekspresi. “Selamat Pagi. Hari ini kita adakan rapat darurat penyambutan CEO kalian yang baru bisa hadir di Perusahaan ANT. Kita sambut CEO kita Alpha Benjamin Atlas dengan sang Ibunda, Thalia Dinandra Atlas. Mereka menjabat sebagai CEO dan Presiden Direktur.” Aku terdiam. Bahkan bergeming dan tertegun mendengar sederetan kalimat yang diucapkan oleh sekertaris kantor itu. Ternyata memang ini perusahaan keluarga. Semua ada di tempat ini. Pantas saja Alexa begitu ngebet dan nempel terus dengan sosok Damian. Ternyata ini tujuannya. “Selamat Pagi Semua___ Dan akhirnya hari itu juga resmi sudah ibu dan anak itu berada di perusahaan ANT menempati posisi tertinggi. Aku melihat Damian sedikit kece
Kegelisahan itu jelas tampak dalam hatiku. Menimbang dan mengingat semua perkataan sosok itu. “Aku Alpha Benjamin. Usiaku 26 tahun. Baru tinggal di sini beberapa waktu lalu. Kebetulan aku adalah keponakan pria berengsek yang sudah menjadi kekasihmu 11 tahun lamanya. Aku memberimu waktu sampai besok jam empat sore untuk mempertimbangkan saran yang aku berikan padamu.” Masih terngiang semua perkataan pria muda bernama Alpha Benjamin itu. Membuat kepalaku berdenyut hebat. “Siapa sebenarnya cowok itu? Kenapa bisa tahu semua tentang aku dan Damian? Apa benar dia keponakan pria berengsek itu?” Berjuta pertanyaan itu menyerang kepalaku dan membuatnya semakin berdenyut sakit. Bahkan pria itu tahu apa yang terjadi antara aku dan Damian. Yang lebih mengherankan lagi dia menawarkan sesuatu yang tidak masuk akal sama sekali. Yang lebih membuat aku tak bisa berkata-kata. Ternyata dia adalah keponakan Damian. Itu artinya__ “Kamu ingin balas dendam bukan?” Kembali ucapan itu terngiang. Bahk
Air mata itu aku usap dengan kasar saat kedua mataku harus menerima kenyataan menyakitkan itu. Beberapa detik yang lalu kupergoki laki-laki yang sudah 11 tahun menjadi kekasihku sedang meniduri perempuan muda yang tak lain adik tiriku sendiri. Aku, Antonia Dior. Wanita yang berusia 30 tahun. Usia yang tidak muda lagi. Yang selama ini aku pertahankan demi satu laki-laki untuk menunggunya menikahiku. Namun apa yang aku dapat. Sebuah kenyataan yang memporak-porandakan mental sehatku. Dia mengkhianati kepercayaanku selama 11 tahun. Berselingkuh di belakangku dengan adik tiriku sendiri. “Argh!” Desahan itu membuat jantungku berhenti berdetak. Merasakan sakit dan nyeri yang tak ada ujungnya. Entah mengapa kakiku terasa kaku seperti lumpuh. Bahkan aku sama sekali tak bisa menggerakkannya hanya sekedar untuk berlari menjauhi tempat laknat itu. Di saat mereka sampai pada puncak kepuasan nafsu jahanam itu aku terisak. Sangat memalukan dan akhirnya waktu itu tiba juga. “Dior,” desis sala







