Happy reading, guyss....
Pukul 7 malam, Hart kembali duduk di ruangan tengah setelah mandi dan bersiap, pemuda itu masih mengenakan pakaian yang sama dengan semalam.
Lalu Ali tiba, masuk bersama beberapa orang yang membawa koper pakaian.
"Kalian lama sekali, aku mulai gatal." Hart langsung beranjak menghampiri mereka.
"Tolong antar barang-barang itu ke kamarnya!" pinta Ali pada dua orang yang sebelumnya telah diminta menemaninya untuk mengambil barang-barang Hart di tempat tinggalnya dulu.
"Ikut aku." Hart mengambil salah satu koper kecil, sisanya dibawa oleh mereka.
Selesai mengganti pakaian, Hart kembali ke ruang tengah, disusul Liana dengan gaun hitam yang sebelumnya telah ia siapkan.
Mereka langsung bertolak menuju pusat kota dengan sedan hitam yang biasanya dibawa oleh Ali. Limosin putih yang sebelumnya mengantar Liana telah kembali ke rumah utama keluarga Veronica, rumah yang akan mereka tuju.
"Apakah pestanya meriah?" tanya Hart yang mulai gugup.
"Pestanya tertutup, hanya dihadiri beberapa orang penting saja untuk merayakan pencapaian salah satu perusahaan keluarga Veronica, " jelas Ali yang mulai memperlambat laju kendaraannya dan berhenti tepat di depan gerbang utama.
Penjaga membuka gerbang untuk mereka, kendaraan itu kembali melesat di tengah pekarangan yang sangat luas. Dari jauh Hart dapat melihat rumah mewah yang berdiri kokoh di depan sana.
"Wah, besar sekali," decak kagum pemuda itu.
"Tolong jaga mata dan ucapanmu nantinya, jangan sampai membuatku malu," tegur Liana yang hanya menatap ke samping sejak tadi.
"Tenanglah, Nona. Aku tidak sekolot itu." Hart menatap wajah Liana di kaca spion.
Akhirnya tiba juga mereka di depan gedongan keluarga Veronica.
"Biar aku saja." Hart menahan Ali yang hendak turun dan membuka pintu mobil untuk Liana.
"Huffft." Hart menghela napas, menatap mantap ke depan kemudian menyusul Liana.
Ia masih harus menapaki jalan lurus beberapa meter untuk sampai ke depan pintu rumah mewah itu.
Baru saja pemuda itu hendak melangkah masuk, dua orang pria berbadan besar tiba-tiba menahannya. Hart terpaksa menghentikan langkahnya, menatap telapak tangan yang menempel di dadanya dengan alis mengerut.
"Dia bersamaku," sahut Ali dari belakang, pria itu menyusul setelah memarkirkan mobilnya.
Dengan pandangan sedikit sombong, Hart menatap kedua pria raksasa di depannya bergantian. 'Lepaskan tangan kalian' begitulah makna tatapannya.
"Bergegaslah Hart, kita tak boleh jauh-jauh dari Liana," ajak Ali.
Mereka masuk, kemewahhan di dalam rumah sontak membuat Hart terkesima. Kekaguman jelas tampak dari raut wajahnya.
"Selamat malam, Pak." Seorang pemuda dengan jas hitam menyapa Ali dan membungkuk sedikit memberi hormat, hal itu juga dilakukan pengawal lain yang berbaris di sana, para pengawal junior Ali.
"Itu Liana di sana," tunjuk Hart.
Ali berhenti, dan Hart mengikuti geriknya.
"Kau lihat wanita tua yang sedang berbicara dengan Liana?" bisik Ali seraya merapikan pakaiannya.
Hart melakukan hal sama, "Ya," jawabnya.
"Kita akan ke sana, jangan bicara apa pun padanya kecuali jika ditanya, dan jawab seperlunya saja." Ali terus memandang ke arah Liana.Hart mengangguk paham, lalu mengikuti apa yang dilakukan Ali, berdiri tegak dengan pandangan lurus mengarah pada Liana.
"Ayo!" ajak Ali setelah menerima isyarat panggilan dari Liana.
Mereka mendekat, semakin dekat semakin gugup perasaan Hart. Namun, ia berusaha tetap bersikap santai.
"Nyonya," sapa Ali sedikit membungkuk pada wanita yang duduk di kursi mewah layaknya singgasana.
Lagi-lagi Hart hanya bisa mengikuti gerakan Ali.
Ialah Veronica Elisa-nenek Liana, pemilik saham dari tiga perusahaan milik keluarga Veronica, salah satunya dipimpin oleh Liana.
"Jadi kau budak Liana?"
"Budak?" batin Hart, ia tak mengerti maksud ucapan wanita itu.
Hart masih tertunduk diam.
"Hart, beliau bertanya padamu," bisik Ali di sampingnya.
Hart hanya menatap mata Ali, ia tidak tahu harus menjawab apa. Budak? Apakah kata itu hanya hiasan atau memang dalam artian yang sebenarnya.
"Iya, Oma. Dia budak aku." Akhirnya Liana yang menjawab pertanyaan itu.
"Baiklah, akan aku umumkan."
Wanita itu berdiri, " tapi aku tidak mengizinkanmu tinggal di rumah itu, Liana," tegasnya sebelum mulai berbicara pada tamu-tamunya.
"Bu-bukannya kau yang kalah? Kukira aku menang karena kamu pergi di tengah-tengah taruhan," terang Ryu. "Aku tidak kabur!" tampik Momo berteriak. "La-lalu kenapa kau mencuci piringmu?" "Ka-karena kamu berisik banget pas aku lagi sibuk. Jangan salah paham, aku cuma tidak mau kalau kau mengusik pekerjaanku," jelas Momo beralasan. Saat itu Momo memang merasa sudah kalah. Ia sadar betul kalau mulutnya sudah mengeluarkan desahan lirih. Namun, karena Ryu mengungkitnya, harga dirinya tidak terima kalau lelaki itu merasa sudah menang. "Lagi pula, kau tegang, kan?" tukas Momo lirih. Ryu tersentak, tapi berusaha tetap bersikap normal, meski bintik keringat mulai bermunculan di wajahnya. "Ja-jangan bercanda. Aku tidak tegang, kok. Ya, aku tidak tegang," kata Ryu meyakinkan. "Serius?" Momo menatap tajam seolah tak percaya. "Tentu saja! Memangnya kau lihat? Huh? Kau lihat?" Ryu akhirnya bisa mendapatkan lagi ket
"Kau mau grepe-grepe, kan? Dasar orang jahat," lirih Momo tampak lelah. "Kalau kau menang, aku akan lakukan semua pekerjaan rumah. Kalau aku menang, lakukan bagianmu," kata Ryu mengingatkan tujuan taruhan mereka. "Woi! Kau dengar?" tanya Ryu sebab tak mendapat tanggapan. "Aku capek, mau tidur. Lakukan saja, kalau punyamu sudah 'naik', bangunkan aku," lirih Momo tanpa membuka mata, berniat tidur sambil duduk. "Cih! Dia meremehkanku. Waktu itu semuanya selesai sebelum aku menyentuhmu, tapi itu tidak akan terjadi lagi. Jangan main-main denganku, aku menang kali ini meski harus bertaruh nyawa," tekad Ryu dalam hati. Ryu menaikkan lutut kiri pada sofa tepat di samping tubuh Momo, lengan kirinya bertumpu pada punggung sofa di mana Momo bersandar. Telunjuk kanan Ryu bergerak perlahan ke arah tonjolan kecil pada pusat dada kiri Momo. Gadis itu jelas tak memakai kutang, hal itu bukan lagi kejutan bagi Ryu. Kali ini ia mampu bertahan dari j
"Apa lagi kalau bukan perempuan. Ryu pasti sudah dapat pacar baru, sepertinya lebih buruk dari mantannya." "Masa, sih? Tapi aku tidak sangka kalau Ryu itu tipe lelaki yang ganti kepribadian setiap kali ganti pacar. Dulu dia selalu tepat waktu, aku rasa kita harus berterima kasih pada mantannya." Diam-diam Ryu mendengar dan menyimak pembicaraan dua wanita yang terdengar sedikit prihatin padanya. Berbaliklah ia dan menyela. "Em ... aku pastikan tidak akan terjadi lagi, soal keterlambatan itu," kata Ryu tersenyum. "Wah! Maafkan aku!" Perempuan yang membicarakannya tersentak kaget. "Harusnya aku yang minta maaf. Kalian repot gara-gara aku selalu terlambat," balas Ryu. "Ya- ya sudah. Kami mau makan siang dulu. Permisi." Kedua wanita muda itu buru-buru pergi. "Jangan dimasukkan ke hati. Yah, seharusnya kau memperhatikan kondisimu, kau terlihat kelelahan. Aku paham kau ingin membantu temanmu, tapi kamu tidak bisa melakukannya k
Apa-apaan ini?' Ryu tertunduk diam menahan kesal sebelum mulai bicara, "Apa kau pernah dengar tentang 'hormon gila pria'?" lirihnya bertanya. "Pernah. Itu saat mereka mendapat rangsangan tertentu, bukan?" "Kadang saat lelaki kelelahan, dia bisa tegang dengan sendirinya. Itulah yang terjadi padaku saat di kereta, itu bukan seperti kau yang membuatku tegang atau semacamnya. Dan aku bukan penjahat kelamin, kau pasti menyadari semua itu, kan?" jelas Ryu menegaskan. "Sebaliknya, orang yang terangsang itu justru kau. Kau cuma ingin memutar balikkan fakta dan menuduhku jadi tersangka. Tapi tinggal dengan orang itu ... bahkan memintaku memijatmu. Aku tak tahu mana penjahat kelamin atau yang mesum di sini! Faktanya, mungkin kau sengaja mengintipku di kamar mandi kemarin!" lanjut Ryu menuduh. Momo hanya diam saja menyimak, menahan suara tak mengatakan apa pun. Namun, bagi Ryu, hal itu justru lebih menakutkan dibanding gadis itu membalas tuduhannya
"Apa? Kok, tidak bisa?" Saat Ryu akan menjelaskan alasannya, seseorang mendorong lelaki itu dari belakang hingga ia harus menempelkan tubuhnya ke dada Momo. Paha Ryu bahkan menyusup di antara paha Momo dan menyentuh selangkangannya. Namun, Momo seolah tak peduli dan mencoba memohon lagi. "Tolonglah. Tolong biarkan aku menyewa kamarmu," pinta Momo menatap Ryu dengan wajah sedih penuh harap. Tatapan itu berdampak kuat pada mental Ryu. "Ini, kan ...? Mirip di film-film ... yang ada yang sales sedang jualan," batin Ryu. Imajinasi nakalnya mulai berkeliaran, membayangkan Momo menyerahkan tubuhnya demi mendapatkan sebuah kamar. "Sial ...! Anuku bangun. Apa dia menyadarinya. Apa dia serius, tinggal serumah dengan seorang lelaki yang bisa saja hilang kendali?" batin Ryu bertanya-tanya. Meskipun kemarin Momo terlihat sangat percaya diri, kali ini dia tampak begitu lemah. Ryu kasihan melihatnya, merasa ingin menolong, tapi membantu
"Hei, apa kau serius bilang kalau aku yang terangsang?" Nada bicara Momo terdengar berat. "Eh? Ti- tidak." Ryu coba mengelak, menarik kembali ucapannya. "Kau yakin tidak akan tegang meski kau menyentuhku?" Momo bertanya lagi. "Be- benar." Ryu menjawab singkat, mulai menyesali perkataan sebelumnya. "Baiklah. Ayo kita taruhan! Sentuh aku sepuasmu," tantang Momo. "Apa? A- apa kau bilang? Taruhan?" tanya Ryu gugup. "Aku kesal, kau ngoceh terus dari tadi dengan alasan konyol." "Bukan. Tadi itu bukan alasan." "Cukup! Ayo kita jadikan kesempatan ini untuk menyelesaikan segalanya. Aturannya mudah saja. Selama sepuluh menit, kau boleh menyentuh bagian mana saja di tubuhku. Kalau aku mulai mendesah, kau yang menang. Tapi kalau kau tegang sebelum aku mendesah, aku yang menang," tutur Momo menjelaskan. Mereka bukan pasangan kekasih, bahkan baru kenal beberapa jam yang lalu. Semua berawal di hari sebelumnya, kehidupan R