LOGINKaisar menoleh, separuh wajahnya masih dalam bayangan. “Kebenaran. Bukan sekaligus. Tapi sedikit demi sedikit. Dan kesetiaan. Kesetiaan mutlak sebagai seorang budak.”
Kaisar kembali ke mejanya, menatap Lysandra dengan serius. “Aku tahu kau bukan budak biasa. Aku tahu kau mungkin menyembunyikan sesuatu. Rahasia yang besar.” Dia menunjuk liontin di tanganku. Kaisar mengambil napas dalam-dalam. “Jadi, ini tawaranku. Kau tetap menjadi Lyra, budak pribadiku. Kau akan melakukan tugas yang kuberikan, termasuk mengamati tamu-tamu. Tapi kau akan melakukannya untukku.” “Dan sebagai imbalan untuk hamba?” Lysandra bertanya, berusaha keras agar suaranya tidak gemetar. “Sebagai imbalan,” ucap Xylas, “aku akan melindungi rahasiamu. Aku akan memberimu pengetahuan, akses, dan kekuatan yang kau butuhkan untuk apa pun tujuan sejatimu di kerjaan ini. Entah itu balas dendam, atau mengambil kembali sesuatu yang hilang. Tugasmu sudah jelas di sini.” Jantung Lysandra kembali berdebar kencang. Kaisar menawarkan persekutuan. ‘Bersekutu dengan Tiran Barat. Ini gila. Tapi … ini juga satu-satunya jalan yang mungkin kumiliki,’ pikir Lysandra. “Dan jika hamba menolak?” Lysandra kembali bertanya. Kaisar tersenyum. “Maka liontin ini, dan kenyataan tentang budak misterius di istanaku, akan menjadi bahan pembicaraan yang menarik. Dan aku tidak bisa menjamin keamananmu, baik dari musuh-musuhmu di luar istana ini, maupun dari mereka yang ada di dalam istana.” Lysandra menatap liontin di tangannya, lalu ke wajah Kaisar yang penuh teka-teki. Dia memberi pilihan antara menjadi pion yang dilindungi atau menjadi korban yang dibuang. Dengan hati yang berat penuh dengan perhitungan, dan sedikit harapan Lysandra mengangguk. “Baik,” katanya. “Hamba bersedia.” Kaisar Xylas mengangguk, puas. “Pilihan yang bijaksana.” Dia berbalik, menunjukkan punggungnya pada Lysandra. “Sekarang, simpan liontinmu dengan lebih baik. Dan besok, saat kau melayani utusan Kerajaan Utara, ingatlah! Kau sekarang memiliki tugas mendengarkan informasi untuk kita berdua.” *** Pagi berikutnya, Lysandra berdiri di ruang penerimaan, mengenakan seragam pelayan yang sederhana, membawa nampan dengan gelas-gelas anggur. Dia berusaha untuk melakukan tugas dengan baik, meski hatinya bergejolak. Utusan Kerajaan Utara memasuki ruangan. Bukan orang asing. Dia adalah Menteri Kehakiman lama selama pemerintahan Raja Blackwood, Lord Verian. Seorang pria yang dulu sering membawakan permen dan bercerita tentang hukum di depan Lysandra. Sekarang, dia terlihat lebih tua, lebih lelah, dan matanya … penuh dengan kewaspadaan yang dalam. Dia berbicara dengan Kaisar Xylas, basa-basi diplomatis. Lalu, tatapannya menyapu ruangan, dan berhenti sejenak pada Lysandra. Lysandra menunduk, berusaha menghindari kontak mata dengan Lord Verian. Namun saat dia mendekat untuk menawarkan anggur, Lord Verian tiba-tiba terbatuk. Saat Lysandra mengulurkan gelas, jarinya yang keriput secara tidak sengaja menyentuh pergelangan tangan Lysandra. Dan kemudian, dengan suara yang sangat pelan, dia mengucapkan dua kata yang membuat seluruh dunia Lysandra berhenti. “Putri … Lysandra?” Dunia di sekitar Lysandra mendadak hening. Dia menjaga ekspresi wajahnya tetap netral saat mendengar nama itu. Kakinya membeku di tempat. Reaksinya itu naluriah, bodoh, dan membahayakan. Lysandra menoleh perlahan, tatapannya bertemu dengan mata Lord Verian yang penuh dengan pertanyaan yang tak terucap. Lord Verian menaikkan alisnya, seolah berusaha mengenali wajah di depannya. Namun kemudian, dia menggeleng. “Oh, maaf,” ucapnya dengan cepat, “Aku kira kau Putri Lysandra. Aku merasakan aura yang sama dengannya ha ha ha.” Lord Verian tersenyum kecil. Namun matanya tetap mengamati Lysandra dengan tatapan curiga. Lysandra memaksakan dirinya untuk menghela napas pelan, meniru ekspresi bingung dan sedikit tersipu seorang pelayan yang dikira bangsawan. Dia mengangguk pendek, sopan, lalu berbalik dan melanjutkan langkah dengan nampan yang sedikit goyah. Namun di dalam hatinya, badai sedang mengamuk. ‘Apakah aku dalam penampilan budak ini mirip seperti diriku sebagai Putri Lysandra?’ dia bertanya-tanya. ‘Jika seorang Lord Verian saja hampir mengenaliku, bagaimana dengan orang lain? Bagaimana dengan mata-mata Clara yang mungkin menyusup di antara rombongan dari Utara?’ pikirnya. Lysandra menyelesaikan tugas membagikan minuman dengan tangan mulai gemetar. Setiap kali dia mendekati Lord Verian, Lysandra bisa merasakan pandangan Lord Verian menatap curiga. Dia tidak mengatakan apa-apa padanya, tetapi kehadirannya terasa seperti api. Pertemuan berlanjut dengan pembicaraan tentang perdagangan dan perbatasan. Kaisar Xylas, dari tempat duduknya yang tinggi, terlihat tenang dan menguasai. Namun sekali atau dua kali, matanya yang abu-abu itu menyapu ke arah Lysandra, seolah memeriksa budaknya itu. Begitu audiensi berakhir dan para tamu dipersilakan keluar, Lysandra segera mundur ke belakang, berusaha bersandar di dinding istana yang dingin. Namun Kaisar mengangkat tangannya, sebuah isyarat kecil yang ditujukan padanya. “Lyra,” panggilnya, suaranya tetap datar. “Bawakan dokumen dari perpustakaan untukku. Yang berlabel perjanjian dagang wilayah timur.” Itu adalah alasan untuk memanggilnya mendekat. Lysandra membungkuk dan bergegas keluar, lega bisa keluar dari ruangan itu. Namun sebelum dia benar-benar pergi, Lysandra mendengar Lord Verian berbicara pada Kaisar, suaranya sengaja dikeraskan sedikit. “Budak yang menarik, Yang Mulia. Dia membuatku teringat pada seseorang. Seseorang dari masa laluku.” Lysandra membeku di ambang pintu. “Apa kau sedang membual, Verian?” tanya Kaisar dengan nada datar. “Dia hanya salah satu dari banyak budak di istanaku,” lanjutnya. “Matanya tajam, ya,” balas Lord Verian. Tidak ada jawaban dari Kaisar. Hanya keheningan. Lysandra segera pergi, berlari kecil menuju perpustakaan. Di sana, di antara rak-rak buku, dia bersandar, berusaha menenangkan napas. Lysandra tahu, Lord Verian tak berhenti menatapnya. Dia seolah sangat mencurigai. Dan dia sengaja memberi tahu Kaisar tentang kecurigaannya. “Apa Lord Verian sudah tahu siapa aku sebenarnya?” Lysandra berjalan mondar-mandir di ruang persembunyian kecilnya itu. Lalu, tiba-tiba, ketukan di pintu terdengar lagi. Ketukannya kencang. “Lyra. Kaisar memanggilmu. Sekarang.” Suara itu milik pengawal pribadi Kaisar, Frederick. Dingin dan tanpa ampun. Lysandra menghela napas. ‘Apakah ini tentang Lord Verian? Apakah Lord Verian mengatakan sesuatu? Atau apakah Kaisar mengetahui masa laluku?’ pikirnya. Dengan langkah gontai, Lysandra mengikuti Frederick menuju ruang kerja pribadi Kaisar, bukan perpustakaan. Ruangan itu lebih kecil, dan terasa lebih berbahaya. Kaisar Xylas berbalik, menatap Lysandra. Dia tidak langsung berbicara. Hanya memandang wajahnya. Lysandra tertunduk. Tangannya sedikit gemetar. “Lyra,” ucapnya Kaisar akhirnya. Lysandra memberanikan diri menatap mata Kaisar Xylas. “Aku akan memberimu tugas khusus di pertemuan nanti.” ***Kaisar lalu melangkah pergi, meninggalkan Lysandra sendiri. Lysandra masih terdiam sebelum meninggalkan ruangan itu.Saat dia melangkah pelan menuju kamarnya, tiba-tiba saja dia tergerak untuk melihat ke jendela atas istana. Ada bayangan seorang pria tinggi berdiri di sana.Kaisar Xylas.Dia sedang menunggu.Lysandra mengepalkan tangan, lalu memutuskan untuk berbalik dan berjalan menuju kamarnya. Dia tidak pergi ke taman.Lysandra memilih untuk tidak memenuhi panggilan Lord Verian. Namun, saat dia melewati koridor yang sepi, tiba-tiba ada tangan yang menariknya ke dalam ceruk gelap!Sebuah tangan menutup mulutnya.“Jangan bersuara,” bisik suara yang sangat dikenalnya berdasarkan ingatan masa lalunya.Suara Lord Verian.Dia masuk ke dalam istana!“Mereka tidak akan peduli jika aku membunuh seorang budak, ‘kan? Kau benar-benar membuatku tertarik,
Kaisar melepaskan tangan Lysandra dan berbalik, lalu kembali ke percakapan dengan utusan kerajaan lain. Seolah-olah tidak ada yang terjadi sebelumnya.Lysandra berdiri di sana selama beberapa detik, masih terpaku. Namun perintahnya jelas. Lysandra mengangguk pelan pada diri sendiri, lalu mulai berjalan membawa nampan minuman, kali ini dengan kepala sedikit lebih tegak.Namun di dalam hatinya bergejolak. Kaisar baru saja melindunginya dengan terang-terangan. Dia menjadikannya titik pusat perhatian.‘Kenapa dia melakukan itu? Untuk menunjukkan kekuasaannya? Atau … untuk memberiku kesempatan lebih baik untuk mendengarkan, karena sekarang orang-orang akan membicarakan aku, dan mungkin akan membicarakan hal lain dengan lebih bebas karena menganggapku tidak penting?’ pikirnya.Sepanjang acara, Lysandra berkeliling. Beberapa bangsawan meliriknya dengan penasaran. Beberapa lainnya, terutama teman Inggrid, memandangnya dengan tatapan pe
Esok harinya, Lysandra dipanggil ke ruang kerja Kaisar Xylas. Ruangan itu berukuran lebih kecil dibanding perpustakaan pribadinya. Kaisar tidak sendirian di sana. Seorang pria dengan jubah kelabu dan mata yang sangat waspada, berdiri di sampingnya. Dia adalah kepala mata-mata Kekaisaran Barat. “Lyra, ini Arion. Dia akan mengajarimu dasar-dasar,” kata Kaisar. “Cara mendengarkan tanpa terlihat mendengarkan. Cara mengingat percakapan. Cara mengenali pembohong.” Arion mengangguk, matanya yang tajam menatap Lysandra dari ujung kepala hingga kaki. “Kita mulai dengan tamu pertama. Utusan dari Kerajaan Utara,” ujarnya, sengaja menekankan kata itu. Kaisar meneruskan sambil mengamati reaksi Lysandra. “Dia akan tiba besok. Kau akan bertugas sebagai pelayan yang menyajikan minuman. Catat segalanya. Terutama,” dia melirik Arion, yang mengangguk pelan, “terutama jika dia menyebutkan nama Putri Lysandra yang hilang, a
Kaisar menoleh, separuh wajahnya masih dalam bayangan. “Kebenaran. Bukan sekaligus. Tapi sedikit demi sedikit. Dan kesetiaan. Kesetiaan mutlak sebagai seorang budak.”Kaisar kembali ke mejanya, menatap Lysandra dengan serius. “Aku tahu kau bukan budak biasa. Aku tahu kau mungkin menyembunyikan sesuatu. Rahasia yang besar.” Dia menunjuk liontin di tanganku.Kaisar mengambil napas dalam-dalam. “Jadi, ini tawaranku. Kau tetap menjadi Lyra, budak pribadiku. Kau akan melakukan tugas yang kuberikan, termasuk mengamati tamu-tamu. Tapi kau akan melakukannya untukku.”“Dan sebagai imbalan untuk hamba?” Lysandra bertanya, berusaha keras agar suaranya tidak gemetar.“Sebagai imbalan,” ucap Xylas, “aku akan melindungi rahasiamu. Aku akan memberimu pengetahuan, akses, dan kekuatan yang kau butuhkan untuk apa pun tujuan sejatimu di kerjaan ini. Entah itu balas dendam, atau mengambil kembali sesuatu yang hilang. Tugasmu sudah jelas di sini.”Jantung Lysandra kembali berdebar kencang. Kaisar menawark
Kaisar akhirnya benar-benar pergi, langkahnya menghilang di koridor. Lysandra menutup pintu, bersandar di baliknya, cangkir teh masih mengepul di tangannya. Kau mengingatkan aku dengan seseorang. Kata-kata Kaisar itu terus bergema di telinga Lysandra. ‘Siapakah orang yang dimaksud Kaisar? Apa hubungannya denganku? Atau ... apakah ini hanya akal-akalannya untuk membuatku lengah, untuk menjeratku dengan manipulasinya?’ pikir Lysandra. Lysandra mulai meminum tehnya. Rasanya hangat, menenangkan, tetapi juga pahit. Kaisar memberi pilihan yang sebenarnya bukan pilihan pada Lysandra. Menjadi matanya, atau menghadapi konsekuensi dari rahasia yang suatu saat bisa dia ungkap. Esok malamnya, ketukan di pintu kamarnya malam itu terdengar berbeda. Bukan ketukan pelayan yang terburu-buru, bukan pula ketukan pengawal yang tegas. Ini ketukan yang terukur, berat, dan penuh otoritas. Ketukannya hanya tiga kali, tetapi memenuhi seluruh ruangan kecil kamar Lysandra. Dan Lysandra sudah tahu siapa
“Lyra.”Suara Kaisar memecah lamunan Lysandra. Dia mengangkat wajah, berusaha mati-matian menjaga ekspresi agar tetap datar, namun dia tahu matanya pasti memancarkan gelombang kepanikan yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan.“Ya, Yang Mulia?” suaranya serak.“Kau kenapa?” tanya Kaisar. Kalimatnya pendek, tetapi langsung ke sasaran. Matanya tak berkedip, menangkap setiap ekspresi di wajah Lysandra yang pucat.“Hamba … sakit perut, Yang Mulia,” gumam Lysandra, tangannya secara refleks menekan perut bawah. Dia membungkuk sedikit, berpura-pura kesakitan.“Tiba-tiba … mual.” Dia berharap alasan itu terdengar seperti masalah siklus bulanan pada perempuan, sesuatu yang memalukan dan tidak mungkin dibahas lebih lanjut oleh seorang pria, apalagi seorang Kaisar.Kaisar terdiam. Namun tatapannya tak pernah benar-benar beralih dari Lysandra.“Kembalilah ke kamarmu,” ucap Kaisar, suaranya kembali datar, netral.Tidak ada nada khawatir, tidak ada kemarahan. Hanya sebuah perintah. “Jangan keluar k







