FAZER LOGINKaisar akhirnya benar-benar pergi, langkahnya menghilang di koridor.
Lysandra menutup pintu, bersandar di baliknya, cangkir teh masih mengepul di tangannya. Kau mengingatkan aku dengan seseorang. Kata-kata Kaisar itu terus bergema di telinga Lysandra. ‘Siapakah orang yang dimaksud Kaisar? Apa hubungannya denganku? Atau ... apakah ini hanya akal-akalannya untuk membuatku lengah, untuk menjeratku dengan manipulasinya?’ pikir Lysandra. Lysandra mulai meminum tehnya. Rasanya hangat, menenangkan, tetapi juga pahit. Kaisar memberi pilihan yang sebenarnya bukan pilihan pada Lysandra. Menjadi matanya, atau menghadapi konsekuensi dari rahasia yang suatu saat bisa dia ungkap. Esok malamnya, ketukan di pintu kamarnya malam itu terdengar berbeda. Bukan ketukan pelayan yang terburu-buru, bukan pula ketukan pengawal yang tegas. Ini ketukan yang terukur, berat, dan penuh otoritas. Ketukannya hanya tiga kali, tetapi memenuhi seluruh ruangan kecil kamar Lysandra. Dan Lysandra sudah tahu siapa yang mengetuk pintu kamarnya bahkan sebelum membuka pintu. Kaisar Xylas berdiri di koridor yang sepi, diterangi hanya oleh obor dinding yang berkedip-kedip. Dia tidak mengenakan jubah kebesarannya, hanya pakaian hitam sederhana yang membuatnya terlihat seperti prajurit biasa. Ekspresi wajahnya tak terlihat di cahaya yang remang-remang. “Ikut aku,” katanya, singkat, sebelum berbalik dan berjalan tanpa menunggu jawaban Lysandra. Jantung Lysandra berdegup kencang. ‘Ini tentang apa? Tentang tugas memata-matai utusan besok? Atau … sesuatu yang lain?’ Pikirannya langsung melayang ke liontin bunga matahari yang dengan hati-hati dia sembunyikan di balik batu longgar di dekat tempat tidurku. Kaisar membawanya ke perpustakaan pribadinya, tetapi malam itu ruangan perpustakaan terasa berbeda. Hanya satu lampu minyak yang menyala di atas mejanya yang besar, menciptakan cahaya kecil dalam kegelapan malam. Kaisar menutup pintu di perpustakaan. Kini, hanya ada mereka berdua. “Duduk,” ucapnya, menunjuk ke kursi di seberang meja. Lysandra duduk, tangannya berkeringat dingin. Perasaannya tak nyaman. Kaisar duduk di posisi di seberangnya. Untuk beberapa saat, hanya ada keheningan yang menegangkan. Lalu, Kaisar mengeluarkan sesuatu dari saku pakaiannya. Dia meletakkannya di atas meja, tepat di bawah cahaya lampu, dengan gerakan yang lambat dan disengaja. Liontin bunga matahari perak. Milik Lysandra. Lambang keluarga kerajaan lamanya. Lysandra menahan napas. Darahnya seolah tak mengalir. “Aku menemukan ini,” kata Kaisar, suaranya datar, tanpa emosi. “Tersembunyi dengan cukup baik, harus kukatakan. Tapi tidak cukup baik untuk luput dari pengawasanku.” Kaisar tidak bertanya ‘apakah ini milikmu?’ padanya. Dia hanya menatap Lysandra, menunggu jawaban. “Yang Mulia, hamba …” suara Lysandra tercekat. “Berhentilah,” potongnya, suaranya rendah namun tegas. “Jangan buang waktuku dengan kebohongan lain tentang ‘melihat gambar’ atau ‘sakit perut’. Benda ini,” jarinya menunjuk liontin itu, “adalah Lambang Bunga Matahari Matahari Terbit. Lambang pribadi dari keluarga kerajaan Kerajaan Utara. Lebih spesifik lagi, dari garis keturunan langsung Sang Raja.” Setiap kata seperti pukulan bagi Lysandra. Kaisar mengetahuinya. Dia tahu persis tentang liontin itu. “Sekarang,” dia bersandar ke depan, wajahnya mendekat ke cahaya lampu. Mata abu-abunya membara dengan intensitas yang menakutkan. “Jelaskan. Bagaimana mungkin seorang ‘budak bodoh dari desa’ memiliki liontin kerajaan musuh yang disimpan seperti harta karun?” Pikiran Lysandra segera berputar kencang, mencari celah, alasan, kebohongan apa pun yang bisa digunakan. Tapi di bawah tatapan tajamnya, semua kebohongan itu tampak tipis dan rapuh. Kaisar sudah memegang bukti nyata. “Apa kau mencurinya?” tanyanya, tapi nada suaranya menunjukkan dia tidak percaya itu. “Apa benda ini diberikan oleh seseorang dari keluarga raja terdahulu?” dia melanjutkan, mengamati reaksi Lysandra. Kaisar diam sejenak, lalu mengucapkan kemungkinan yang paling berbahaya. “Atau … apakah ini peninggalan dari kehidupanmu yang sebelumnya? Sebelum kau menjadi budak ‘Rambut Cokelat’?” Udara di ruangan itu terasa seperti habis. Lysandra menatap liontin itu, lalu ke matanya yang tak kenal ampun. Dia tak mungkin mengaku sekarang. Namun tetap membohongi seorang pria yang sudah memegang kebenaran di tangannya, juga merupakan pilihan bodoh. “Hamba …” suara Lysandra parau. Dia menunduk, tak tahan menatap mata Kaisar. “Hamba tidak bisa, Yang Mulia.” “Tidak bisa?” desaknya, tapi tidak marah. Hanya penasaran. “Tidak bisa apa? Tidak bisa berbohong lagi? Atau tidak bisa mengungkapkan kebenaran?” “Hamba takut,” bisikku, dan kali ini, itu adalah kebenaran yang paling murni. Air mata mulai menggenang di mata Lysandra, bukan pura-pura. “Jika hamba berkata yang sebenarnya … hidup hamba akan berakhir.” Kaisar Xylas terdiam lama. Lalu, dengan gerakan tak terduga, dia mendorong liontin itu melintasi meja, mendekatiku. “Ambil,” perintahnya. Dengan gemetar, Lysandra mengambil liontin itu. “Aku tidak akan membunuhmu, Lyra,” ucapnya, dan namanya di mulutnya terdengar seperti sebuah pengakuan. “Tidak malam ini. Tidak karena ini.” Kaisar berdiri, berjalan ke jendela, memandang kegelapan di luar. “Tapi kau harus memberiku sesuatu sebagai gantinya.” “Apa … yang Yang Mulia inginkan?” tanyaku, suaraku masih bergetar. ***Kaisar lalu melangkah pergi, meninggalkan Lysandra sendiri. Lysandra masih terdiam sebelum meninggalkan ruangan itu.Saat dia melangkah pelan menuju kamarnya, tiba-tiba saja dia tergerak untuk melihat ke jendela atas istana. Ada bayangan seorang pria tinggi berdiri di sana.Kaisar Xylas.Dia sedang menunggu.Lysandra mengepalkan tangan, lalu memutuskan untuk berbalik dan berjalan menuju kamarnya. Dia tidak pergi ke taman.Lysandra memilih untuk tidak memenuhi panggilan Lord Verian. Namun, saat dia melewati koridor yang sepi, tiba-tiba ada tangan yang menariknya ke dalam ceruk gelap!Sebuah tangan menutup mulutnya.“Jangan bersuara,” bisik suara yang sangat dikenalnya berdasarkan ingatan masa lalunya.Suara Lord Verian.Dia masuk ke dalam istana!“Mereka tidak akan peduli jika aku membunuh seorang budak, ‘kan? Kau benar-benar membuatku tertarik,
Kaisar melepaskan tangan Lysandra dan berbalik, lalu kembali ke percakapan dengan utusan kerajaan lain. Seolah-olah tidak ada yang terjadi sebelumnya.Lysandra berdiri di sana selama beberapa detik, masih terpaku. Namun perintahnya jelas. Lysandra mengangguk pelan pada diri sendiri, lalu mulai berjalan membawa nampan minuman, kali ini dengan kepala sedikit lebih tegak.Namun di dalam hatinya bergejolak. Kaisar baru saja melindunginya dengan terang-terangan. Dia menjadikannya titik pusat perhatian.‘Kenapa dia melakukan itu? Untuk menunjukkan kekuasaannya? Atau … untuk memberiku kesempatan lebih baik untuk mendengarkan, karena sekarang orang-orang akan membicarakan aku, dan mungkin akan membicarakan hal lain dengan lebih bebas karena menganggapku tidak penting?’ pikirnya.Sepanjang acara, Lysandra berkeliling. Beberapa bangsawan meliriknya dengan penasaran. Beberapa lainnya, terutama teman Inggrid, memandangnya dengan tatapan pe
Esok harinya, Lysandra dipanggil ke ruang kerja Kaisar Xylas. Ruangan itu berukuran lebih kecil dibanding perpustakaan pribadinya. Kaisar tidak sendirian di sana. Seorang pria dengan jubah kelabu dan mata yang sangat waspada, berdiri di sampingnya. Dia adalah kepala mata-mata Kekaisaran Barat. “Lyra, ini Arion. Dia akan mengajarimu dasar-dasar,” kata Kaisar. “Cara mendengarkan tanpa terlihat mendengarkan. Cara mengingat percakapan. Cara mengenali pembohong.” Arion mengangguk, matanya yang tajam menatap Lysandra dari ujung kepala hingga kaki. “Kita mulai dengan tamu pertama. Utusan dari Kerajaan Utara,” ujarnya, sengaja menekankan kata itu. Kaisar meneruskan sambil mengamati reaksi Lysandra. “Dia akan tiba besok. Kau akan bertugas sebagai pelayan yang menyajikan minuman. Catat segalanya. Terutama,” dia melirik Arion, yang mengangguk pelan, “terutama jika dia menyebutkan nama Putri Lysandra yang hilang, a
Kaisar menoleh, separuh wajahnya masih dalam bayangan. “Kebenaran. Bukan sekaligus. Tapi sedikit demi sedikit. Dan kesetiaan. Kesetiaan mutlak sebagai seorang budak.”Kaisar kembali ke mejanya, menatap Lysandra dengan serius. “Aku tahu kau bukan budak biasa. Aku tahu kau mungkin menyembunyikan sesuatu. Rahasia yang besar.” Dia menunjuk liontin di tanganku.Kaisar mengambil napas dalam-dalam. “Jadi, ini tawaranku. Kau tetap menjadi Lyra, budak pribadiku. Kau akan melakukan tugas yang kuberikan, termasuk mengamati tamu-tamu. Tapi kau akan melakukannya untukku.”“Dan sebagai imbalan untuk hamba?” Lysandra bertanya, berusaha keras agar suaranya tidak gemetar.“Sebagai imbalan,” ucap Xylas, “aku akan melindungi rahasiamu. Aku akan memberimu pengetahuan, akses, dan kekuatan yang kau butuhkan untuk apa pun tujuan sejatimu di kerjaan ini. Entah itu balas dendam, atau mengambil kembali sesuatu yang hilang. Tugasmu sudah jelas di sini.”Jantung Lysandra kembali berdebar kencang. Kaisar menawark
Kaisar akhirnya benar-benar pergi, langkahnya menghilang di koridor. Lysandra menutup pintu, bersandar di baliknya, cangkir teh masih mengepul di tangannya. Kau mengingatkan aku dengan seseorang. Kata-kata Kaisar itu terus bergema di telinga Lysandra. ‘Siapakah orang yang dimaksud Kaisar? Apa hubungannya denganku? Atau ... apakah ini hanya akal-akalannya untuk membuatku lengah, untuk menjeratku dengan manipulasinya?’ pikir Lysandra. Lysandra mulai meminum tehnya. Rasanya hangat, menenangkan, tetapi juga pahit. Kaisar memberi pilihan yang sebenarnya bukan pilihan pada Lysandra. Menjadi matanya, atau menghadapi konsekuensi dari rahasia yang suatu saat bisa dia ungkap. Esok malamnya, ketukan di pintu kamarnya malam itu terdengar berbeda. Bukan ketukan pelayan yang terburu-buru, bukan pula ketukan pengawal yang tegas. Ini ketukan yang terukur, berat, dan penuh otoritas. Ketukannya hanya tiga kali, tetapi memenuhi seluruh ruangan kecil kamar Lysandra. Dan Lysandra sudah tahu siapa
“Lyra.”Suara Kaisar memecah lamunan Lysandra. Dia mengangkat wajah, berusaha mati-matian menjaga ekspresi agar tetap datar, namun dia tahu matanya pasti memancarkan gelombang kepanikan yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan.“Ya, Yang Mulia?” suaranya serak.“Kau kenapa?” tanya Kaisar. Kalimatnya pendek, tetapi langsung ke sasaran. Matanya tak berkedip, menangkap setiap ekspresi di wajah Lysandra yang pucat.“Hamba … sakit perut, Yang Mulia,” gumam Lysandra, tangannya secara refleks menekan perut bawah. Dia membungkuk sedikit, berpura-pura kesakitan.“Tiba-tiba … mual.” Dia berharap alasan itu terdengar seperti masalah siklus bulanan pada perempuan, sesuatu yang memalukan dan tidak mungkin dibahas lebih lanjut oleh seorang pria, apalagi seorang Kaisar.Kaisar terdiam. Namun tatapannya tak pernah benar-benar beralih dari Lysandra.“Kembalilah ke kamarmu,” ucap Kaisar, suaranya kembali datar, netral.Tidak ada nada khawatir, tidak ada kemarahan. Hanya sebuah perintah. “Jangan keluar k







