LOGINLysandra baru saja terlelap malam itu. Satu-satunya hal untuk melarikan diri dari sakit dan lapar itu tiba-tiba saja terhenti. Sebuah tangan besar mencengkeram pergelangan tangannya dan menarik begitu keras sampai dia terlempar dari tumpukan jerami yang menjadi tempat tidurnya.
“Ayo, bangun! Malam ini keberuntungan akan berpihak padaku!” Lysandra tersentak, mata masih berkunang-kunang. Dorian, wajahnya merah dan bau alkohol murah, menyeretnya keluar dari gubuk. Udara malam yang dingin menusuk kulitnya yang hanya terbungkus kain tipis. “Tuan, mau ke mana?” tanya Lysandra, dengan suara serak karena ketakutan. “Diam! Kau akan membawa keberuntungan untukku!” Dia menyeret Lysandra melewati desa yang gelap. Hanya satu tempat yang masih terang dan berisik di ujung jalan. Sebuah kedai tua yang biasanya sepi, malam itu dipenuhi teriakan dan sorak-sorai. Tempat judi. Jantungnya berdebar kencang. Dia tahu apa artinya itu. Seorang budak sering dijadikan taruhan terakhir para penjudi yang putus asa. Dorian mendorong pintu. Asap tebal dan bau alkohol menyengat. Suara riuh para penjudi memekakkan telinga. Di tengah ruangan, di sekitar sebuah meja besar, pria-pria dengan mata lapar berkerumun. “Dorian! Kembali lagi dengan apa? Kantongmu sudah kosong tadi sore!” teriak seseorang. Dorian mendorongnya ke depan, membuat kakinya tersandung. “Aku punya ini! Budak perempuan! Masih muda, masih kuat!” Semua mata di ruangan itu beralih menatap Lysandra. Tatapan mereka mengukur, seperti menilai sapi di pasar. Malu dan takut membuat pipi Lysandra memerah. Seorang pria di seberang meja berdiri. Dia berbeda. Pakaiannya mahal, jubah beludru biru. Wajahnya tajam, dengan senyum licin yang tidak menyentuh matanya yang dingin. “Budak? Dia kurus seperti tongkat dan kotor seperti sampah,” ujar Count Vladimir dengan suara merdu namun menusuk. “Berapa nilainya?” “D-delapan keping perak!” sahut Dorian, berusaha terdengar percaya diri. Count Vladimir tertawa kecil. “Lima.” “Tujuh!” “Enam. Ambil atau tinggalkan.” Dorian menggigit bibir, lalu mengangguk cepat. “Baik! Enam!” Permainan dimulai. Mereka melempar dadu. Suara dadu berguling di atas kayu seperti detak jantungku yang kencang. Setiap lemparan, wajah Dorian semakin pucat. Dompet tipisnya semakin kempes. Lysandra berdiri di sana, terpaku. Ini seperti mimpi buruk. Nasibnya ditentukan oleh lemparan dadu dan kebodohan tuannya. Lemparan terakhir. Dadu berhenti. Count Vladimir tersenyum lebar. Dorian menjerit kutukan. “Kalah lagi, Dorian. Sepertinya malam ini bukan keberuntunganmu,” kata Count Vladimir dengan kemenangan. Matanya yang dingin kemudian beralih pada Lysandra, menyapu dari ujung kepala hingga kaki. Senyumnya berubah menjadi sesuatu yang membuat darahnya membeku. Bukan sekadar kemenangan. Ada nafsu dan kepemilikan di sana. “Nah, sekarang ... budak itu milikku.” Dorian terlihat ingin protes, tetapi tidak berani melawan seorang bangsawan. Dia hanya memandang Lysandra dengan wajah hampa, lalu menunduk. Count Vladimir memberi isyarat. Dua pengawalnya yang besar mendekati Lysandra. “Tidak!” Lysandra teriak, naluri bertahan hidupnya keluar. Dia berjalan mundur, tetapi punggungnya membentur meja. “Jangan sentuh aku!” “Diam, gadis kecil,” kata Count Vladimir, mendekat. Napasnya berbau anggur mahal. “Kau akan hidup lebih baik di mansionku. Asal kau patuh.” Pengawalnya meraih lengan Lysandra. Dia berteriak, memberontak, mencakar. Namun dengan tubuh kurus budak itu, kekuatannya sia-sia. Count Vladimir tertawa, menikmati perlawanan Lysandra. “Bawa dia ke keretaku. Malam ini, aku akan mengajarkannya sopan santun.” Para penjudi lain hanya menonton, ada yang tertawa, ada yang acuh. Tidak ada yang akan menolong seorang budak. Dengan putus asa, Lysandra diseret menuju pintu. Jalan menuju mansion Count Vladimir yang mewah dan seram. Yang artinya, penghinaan dan penderitaan yang jauh lebih mengerikan daripada menjadi budak Dorian. Tepat saat Lysandra akan dilemparkan ke dalam kereta hitamnya, sebuah suara memotong kegaduhan malam itu. “Berhenti!” Suaranya tidak keras, tetapi punya wibawa yang membuat semua orang membeku. Count Vladimir berbalik, dan wajahnya langsung pucat. Di ujung jalan, duduk di atas kuda hitam yang besar, adalah seorang pria dengan jubah gelap sederhana. Wajahnya tampan, tetapi matanya ... matanya seperti es yang bisa membekukan neraka sekalipun. Dia dikelilingi oleh prajurit-prajurit dengan baju zirah yang berbaris sempurna. “Yang Mulia Kaisar!” Count Vladimir nyaris terjatuh saat berusaha membungkuk. ‘Kaisar? Kaisar Xylas sendiri? Di sini, di desa terpencil ini?’ pikir Lysandra. Kaisar Xylas turun dari kudanya. Langkahnya tenang namun penuh kekuasaan. Dia tidak memandang Count Vladimir. Tidak juga pada Dorian yang sudah bersujud ketakutan. Matanya yang abu-abu itu, dingin dan tajam, hanya tertuju pada satu orang. Pada Lysandra. Lysandra buru-buru menunduk, jantungnya berdebar kencang sampai-sampai dia pikir semua orang bisa mendengarnya. Lysandra gemetar. ‘Kalau dia mengenaliku sebagai Putri Lysandra yang seharusnya sudah mati ... aku pasti akan dibunuh di tempat karena dianggap sebagai musuh,’ pikirnya. Tangan Lysandra masih terkunci dalam cengkeraman pengawal Count. Wajahnya penuh air mata dan debu, dengan nasib yang lebih buruk dari maut tergantung di depan mata. Kaisar Xylas mendekat, dan Lysandra menahan napas. ‘Apa yang dia mau? Apa ini akhir dari hidupku?’ batinnya. Kaisar Xylas berhenti hanya satu langkah darinya. Suaranya rendah, tetapi jelas terdengar di keheningan malam yang menakutkan itu. “Lepaskan dia.” ***Kaisar lalu melangkah pergi, meninggalkan Lysandra sendiri. Lysandra masih terdiam sebelum meninggalkan ruangan itu.Saat dia melangkah pelan menuju kamarnya, tiba-tiba saja dia tergerak untuk melihat ke jendela atas istana. Ada bayangan seorang pria tinggi berdiri di sana.Kaisar Xylas.Dia sedang menunggu.Lysandra mengepalkan tangan, lalu memutuskan untuk berbalik dan berjalan menuju kamarnya. Dia tidak pergi ke taman.Lysandra memilih untuk tidak memenuhi panggilan Lord Verian. Namun, saat dia melewati koridor yang sepi, tiba-tiba ada tangan yang menariknya ke dalam ceruk gelap!Sebuah tangan menutup mulutnya.“Jangan bersuara,” bisik suara yang sangat dikenalnya berdasarkan ingatan masa lalunya.Suara Lord Verian.Dia masuk ke dalam istana!“Mereka tidak akan peduli jika aku membunuh seorang budak, ‘kan? Kau benar-benar membuatku tertarik,
Kaisar melepaskan tangan Lysandra dan berbalik, lalu kembali ke percakapan dengan utusan kerajaan lain. Seolah-olah tidak ada yang terjadi sebelumnya.Lysandra berdiri di sana selama beberapa detik, masih terpaku. Namun perintahnya jelas. Lysandra mengangguk pelan pada diri sendiri, lalu mulai berjalan membawa nampan minuman, kali ini dengan kepala sedikit lebih tegak.Namun di dalam hatinya bergejolak. Kaisar baru saja melindunginya dengan terang-terangan. Dia menjadikannya titik pusat perhatian.‘Kenapa dia melakukan itu? Untuk menunjukkan kekuasaannya? Atau … untuk memberiku kesempatan lebih baik untuk mendengarkan, karena sekarang orang-orang akan membicarakan aku, dan mungkin akan membicarakan hal lain dengan lebih bebas karena menganggapku tidak penting?’ pikirnya.Sepanjang acara, Lysandra berkeliling. Beberapa bangsawan meliriknya dengan penasaran. Beberapa lainnya, terutama teman Inggrid, memandangnya dengan tatapan pe
Esok harinya, Lysandra dipanggil ke ruang kerja Kaisar Xylas. Ruangan itu berukuran lebih kecil dibanding perpustakaan pribadinya. Kaisar tidak sendirian di sana. Seorang pria dengan jubah kelabu dan mata yang sangat waspada, berdiri di sampingnya. Dia adalah kepala mata-mata Kekaisaran Barat. “Lyra, ini Arion. Dia akan mengajarimu dasar-dasar,” kata Kaisar. “Cara mendengarkan tanpa terlihat mendengarkan. Cara mengingat percakapan. Cara mengenali pembohong.” Arion mengangguk, matanya yang tajam menatap Lysandra dari ujung kepala hingga kaki. “Kita mulai dengan tamu pertama. Utusan dari Kerajaan Utara,” ujarnya, sengaja menekankan kata itu. Kaisar meneruskan sambil mengamati reaksi Lysandra. “Dia akan tiba besok. Kau akan bertugas sebagai pelayan yang menyajikan minuman. Catat segalanya. Terutama,” dia melirik Arion, yang mengangguk pelan, “terutama jika dia menyebutkan nama Putri Lysandra yang hilang, a
Kaisar menoleh, separuh wajahnya masih dalam bayangan. “Kebenaran. Bukan sekaligus. Tapi sedikit demi sedikit. Dan kesetiaan. Kesetiaan mutlak sebagai seorang budak.”Kaisar kembali ke mejanya, menatap Lysandra dengan serius. “Aku tahu kau bukan budak biasa. Aku tahu kau mungkin menyembunyikan sesuatu. Rahasia yang besar.” Dia menunjuk liontin di tanganku.Kaisar mengambil napas dalam-dalam. “Jadi, ini tawaranku. Kau tetap menjadi Lyra, budak pribadiku. Kau akan melakukan tugas yang kuberikan, termasuk mengamati tamu-tamu. Tapi kau akan melakukannya untukku.”“Dan sebagai imbalan untuk hamba?” Lysandra bertanya, berusaha keras agar suaranya tidak gemetar.“Sebagai imbalan,” ucap Xylas, “aku akan melindungi rahasiamu. Aku akan memberimu pengetahuan, akses, dan kekuatan yang kau butuhkan untuk apa pun tujuan sejatimu di kerjaan ini. Entah itu balas dendam, atau mengambil kembali sesuatu yang hilang. Tugasmu sudah jelas di sini.”Jantung Lysandra kembali berdebar kencang. Kaisar menawark
Kaisar akhirnya benar-benar pergi, langkahnya menghilang di koridor. Lysandra menutup pintu, bersandar di baliknya, cangkir teh masih mengepul di tangannya. Kau mengingatkan aku dengan seseorang. Kata-kata Kaisar itu terus bergema di telinga Lysandra. ‘Siapakah orang yang dimaksud Kaisar? Apa hubungannya denganku? Atau ... apakah ini hanya akal-akalannya untuk membuatku lengah, untuk menjeratku dengan manipulasinya?’ pikir Lysandra. Lysandra mulai meminum tehnya. Rasanya hangat, menenangkan, tetapi juga pahit. Kaisar memberi pilihan yang sebenarnya bukan pilihan pada Lysandra. Menjadi matanya, atau menghadapi konsekuensi dari rahasia yang suatu saat bisa dia ungkap. Esok malamnya, ketukan di pintu kamarnya malam itu terdengar berbeda. Bukan ketukan pelayan yang terburu-buru, bukan pula ketukan pengawal yang tegas. Ini ketukan yang terukur, berat, dan penuh otoritas. Ketukannya hanya tiga kali, tetapi memenuhi seluruh ruangan kecil kamar Lysandra. Dan Lysandra sudah tahu siapa
“Lyra.”Suara Kaisar memecah lamunan Lysandra. Dia mengangkat wajah, berusaha mati-matian menjaga ekspresi agar tetap datar, namun dia tahu matanya pasti memancarkan gelombang kepanikan yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan.“Ya, Yang Mulia?” suaranya serak.“Kau kenapa?” tanya Kaisar. Kalimatnya pendek, tetapi langsung ke sasaran. Matanya tak berkedip, menangkap setiap ekspresi di wajah Lysandra yang pucat.“Hamba … sakit perut, Yang Mulia,” gumam Lysandra, tangannya secara refleks menekan perut bawah. Dia membungkuk sedikit, berpura-pura kesakitan.“Tiba-tiba … mual.” Dia berharap alasan itu terdengar seperti masalah siklus bulanan pada perempuan, sesuatu yang memalukan dan tidak mungkin dibahas lebih lanjut oleh seorang pria, apalagi seorang Kaisar.Kaisar terdiam. Namun tatapannya tak pernah benar-benar beralih dari Lysandra.“Kembalilah ke kamarmu,” ucap Kaisar, suaranya kembali datar, netral.Tidak ada nada khawatir, tidak ada kemarahan. Hanya sebuah perintah. “Jangan keluar k







