LOGIN
Lysandra terbangun dengan rasa sakit yang menusuk-nusuk seluruh tubuhnya.
Bukan sakit biasa. Rasa sakitnya seperti orang yang baru selesai dipukuli. Lysandra membuka matanya perlahan. Langit-langit yang dilihatnya bukan langit-langit kamarnya yang indah di istana. Dia melihat atap jerami yang lapuk dan penuh sarang laba-laba. Bau apa ini? Bau kotoran hewan, jerami basah, dan sesuatu yang asam. ‘Ini … di mana?’ pikirnya. Tiba-tiba, bayangan-bayangan ingatan asing memenuhi pikirannya. Itu bukan ingatannya. Namun ingatan milik gadis lain. Seorang budak perempuan muda. Rambut cokelat kusut. Setiap hari harus bekerja kerja keras, dipukuli, dan kelaparan. Masternya seorang pria kejam bernama Dorian. Semalam ... dia mati karena pukulan cambuk yang terlalu keras. Lysandra merinding. ‘Kalau begitu ... aku siapa sekarang?’ Dia meraba wajahnya, menatap tangannya yang kurus, kuku-kukunya patah dan tak terawat. Dan bekas luka gores di telapak tangannya. “Aku ... aku Lysandra. Putri Mahkota dari Kerajaan Utara. Tapi kenapa aku di sini?” bisiknya pada diri sendiri. Dia mengingat terakhir kali dia berada di istananya dan … “Rambut Cokelat! Masih pura-pura tidur?!” teriak seorang pria. Suara kasar itu membuatnya terkejut. Seorang pria gendut dengan wajah merah dan mata kecil berdiri di pintu gubuk. Dialah Dorian. Sebelum Lysandra bisa bereaksi, dia menyepak ke arah rusuknya dengan sepatu botnya. “Ahhh!” Lysandra menjerit kesakitan. “Bangun! Cepat bersihkan kandang! Kotoran kuda dan sapi sudah seperti gunung! Kalau tidak bersih sebelum siang, jangan harap ada makanan untukmu!” hardiknya. Lysandra menatap Dorian dengan napas memburu. Sebagai Putri Lysandra, tak ada yang berani memperlakukan dirinya seperti itu. Namun kini, dia hanyalah seorang budak rendahan. Dengan tangan mengepal, Lysandra mengikuti Dorian keluar. Matahari pagi menyilaukan pandangannya. Dia berhenti saat sampai di sebuah bangunan kayu panjang. Deretan kandang ternak milik Dorian. Baunya lebih menyengat di sana-sini. Kuda-kuda kurus dan sapi-sapi besar memandangnya. “Bersihkan itu dengan sekop! Pindahkan susu sapi segar ke gerobak itu! Kerjakan sekarang juga, jangan malas!” Dorian mendorongnya ke arah alat-alat tua yang hampir rusak. Lysandra mengambil sekop kayu yang kasar. Tangannya yang kecil di tubuh budak itu hampir tidak bisa menggenggamnya dengan baik. Namun dia harus bertahan. Dia harus tetap hidup. ‘Untuk membalas dendam pada adik tiriku yang membunuhku, dan untuk kembali ke istanaku,’ batinnya penuh keyakinan. Sepanjang pagi, dia bekerja keras. Mengangkat kotoran, memasukkan ember susu sapi ke gerobak, mendorong ke luar. Keringatnya bercucuran. Pakaian lusuh yang dipakainya basah dan kotor. Setiap otot di tubuhnya mulai kesakitan. Tepat saat matahari di atas kepala, Dorian kembali. “Dasar lambat. Tapi cukup untuk dapat makan siang,” katanya dengan nada mengejek. Dari sakunya, dia mengeluarkan sesuatu dan melemparkannya ke tanah dekat kaki Lysandra. Buk! Sebuah potongan roti. Kering, keras, dan berwarna gelap. Berdebu karena jatuh di tanah. Lysandra memandanginya. Roti itu bahkan tidak layak untuk anjing peliharaannya di istana dulu. “Apa? Menunggu disuapi?” Dorian tertawa jahat. “Ambil, atau aku berikan untuk babi!” Napas Lysandra memburu. Penghinaan itu sangat tidak pantas untuk seorang Putri Mahkota. Namun, dia harus tetap bertahan. Perlahan, Lysandra membungkuk. Tangannya yang kotor meraih roti itu. Dia berdiri lagi, memegangnya. Lalu, tanpa sadar, Lysandra menatap mata Dorian. Bukan tatapan takut seperti budak. Namun tatapan dingin. Tatapan seorang ratu yang akan mengingat setiap penghinaan hari itu. “Suatu saat kau akan mendapat hukuman untuk perbuatanmu,” gumam Lysandra. Dorian tersentak. Matanya berkedip. Ada sesuatu yang aneh dari budak bodohnya hari ini. “Ma... makan di luar! Lalu kerja lagi!” katanya, buru-buru pergi, seperti merasa tidak nyaman. Lysandra duduk di bangku kayu reyot di luar kandang. Dia memegang roti keras itu. Dia mengamati sekeliling. Kuda di kandang itu bisa dia jinakkan untuk melarikan diri nanti. ‘Orang itu serakah dan kejam. Mungkin nanti aku bisa memanfaatkan itu untuk keuntunganku saat ada pemeriksaan orang-orang Kerajaan ini. Tapi, apa mungkin mereka akan mengunjungi desa terpencil seperti ini?’ Dia mengangkat roti itu ke mulutnya. Giginya hampir patah saat mulai mengunyahnya. Rasanya seperti makan tanah. Namun dia tetap mengunyahnya. Lalu dia menelan roti itu. Setiap suapan roti ke mulutnya membuatnya semakin marah. ‘Tapi pertama-tama yang harus aku lakukan adalah ….’ Dia melihat ke arah Dorian yang sedang berjalan menjauh. ‘Aku harus selamat dulu di dunia kejam ini.’ Dengan gigitan pelan, Lysandra menghabiskan potongan roti terakhir itu. Dia berdiri, bersiap kembali bekerja sambil menunggu kesempatan untuk melarikan diri datang. ‘Adik tiriku, Clara. Kau kira dengan meracuniku, kau menang? Aku masih hidup. Dan aku akan kembali. Akan kuambil semua milikku, termasuk mahkota itu darimu,’ pikirnya, dengan mata menatap ke arah utara. ***Kaisar lalu melangkah pergi, meninggalkan Lysandra sendiri. Lysandra masih terdiam sebelum meninggalkan ruangan itu.Saat dia melangkah pelan menuju kamarnya, tiba-tiba saja dia tergerak untuk melihat ke jendela atas istana. Ada bayangan seorang pria tinggi berdiri di sana.Kaisar Xylas.Dia sedang menunggu.Lysandra mengepalkan tangan, lalu memutuskan untuk berbalik dan berjalan menuju kamarnya. Dia tidak pergi ke taman.Lysandra memilih untuk tidak memenuhi panggilan Lord Verian. Namun, saat dia melewati koridor yang sepi, tiba-tiba ada tangan yang menariknya ke dalam ceruk gelap!Sebuah tangan menutup mulutnya.“Jangan bersuara,” bisik suara yang sangat dikenalnya berdasarkan ingatan masa lalunya.Suara Lord Verian.Dia masuk ke dalam istana!“Mereka tidak akan peduli jika aku membunuh seorang budak, ‘kan? Kau benar-benar membuatku tertarik,
Kaisar melepaskan tangan Lysandra dan berbalik, lalu kembali ke percakapan dengan utusan kerajaan lain. Seolah-olah tidak ada yang terjadi sebelumnya.Lysandra berdiri di sana selama beberapa detik, masih terpaku. Namun perintahnya jelas. Lysandra mengangguk pelan pada diri sendiri, lalu mulai berjalan membawa nampan minuman, kali ini dengan kepala sedikit lebih tegak.Namun di dalam hatinya bergejolak. Kaisar baru saja melindunginya dengan terang-terangan. Dia menjadikannya titik pusat perhatian.‘Kenapa dia melakukan itu? Untuk menunjukkan kekuasaannya? Atau … untuk memberiku kesempatan lebih baik untuk mendengarkan, karena sekarang orang-orang akan membicarakan aku, dan mungkin akan membicarakan hal lain dengan lebih bebas karena menganggapku tidak penting?’ pikirnya.Sepanjang acara, Lysandra berkeliling. Beberapa bangsawan meliriknya dengan penasaran. Beberapa lainnya, terutama teman Inggrid, memandangnya dengan tatapan pe
Esok harinya, Lysandra dipanggil ke ruang kerja Kaisar Xylas. Ruangan itu berukuran lebih kecil dibanding perpustakaan pribadinya. Kaisar tidak sendirian di sana. Seorang pria dengan jubah kelabu dan mata yang sangat waspada, berdiri di sampingnya. Dia adalah kepala mata-mata Kekaisaran Barat. “Lyra, ini Arion. Dia akan mengajarimu dasar-dasar,” kata Kaisar. “Cara mendengarkan tanpa terlihat mendengarkan. Cara mengingat percakapan. Cara mengenali pembohong.” Arion mengangguk, matanya yang tajam menatap Lysandra dari ujung kepala hingga kaki. “Kita mulai dengan tamu pertama. Utusan dari Kerajaan Utara,” ujarnya, sengaja menekankan kata itu. Kaisar meneruskan sambil mengamati reaksi Lysandra. “Dia akan tiba besok. Kau akan bertugas sebagai pelayan yang menyajikan minuman. Catat segalanya. Terutama,” dia melirik Arion, yang mengangguk pelan, “terutama jika dia menyebutkan nama Putri Lysandra yang hilang, a
Kaisar menoleh, separuh wajahnya masih dalam bayangan. “Kebenaran. Bukan sekaligus. Tapi sedikit demi sedikit. Dan kesetiaan. Kesetiaan mutlak sebagai seorang budak.”Kaisar kembali ke mejanya, menatap Lysandra dengan serius. “Aku tahu kau bukan budak biasa. Aku tahu kau mungkin menyembunyikan sesuatu. Rahasia yang besar.” Dia menunjuk liontin di tanganku.Kaisar mengambil napas dalam-dalam. “Jadi, ini tawaranku. Kau tetap menjadi Lyra, budak pribadiku. Kau akan melakukan tugas yang kuberikan, termasuk mengamati tamu-tamu. Tapi kau akan melakukannya untukku.”“Dan sebagai imbalan untuk hamba?” Lysandra bertanya, berusaha keras agar suaranya tidak gemetar.“Sebagai imbalan,” ucap Xylas, “aku akan melindungi rahasiamu. Aku akan memberimu pengetahuan, akses, dan kekuatan yang kau butuhkan untuk apa pun tujuan sejatimu di kerjaan ini. Entah itu balas dendam, atau mengambil kembali sesuatu yang hilang. Tugasmu sudah jelas di sini.”Jantung Lysandra kembali berdebar kencang. Kaisar menawark
Kaisar akhirnya benar-benar pergi, langkahnya menghilang di koridor. Lysandra menutup pintu, bersandar di baliknya, cangkir teh masih mengepul di tangannya. Kau mengingatkan aku dengan seseorang. Kata-kata Kaisar itu terus bergema di telinga Lysandra. ‘Siapakah orang yang dimaksud Kaisar? Apa hubungannya denganku? Atau ... apakah ini hanya akal-akalannya untuk membuatku lengah, untuk menjeratku dengan manipulasinya?’ pikir Lysandra. Lysandra mulai meminum tehnya. Rasanya hangat, menenangkan, tetapi juga pahit. Kaisar memberi pilihan yang sebenarnya bukan pilihan pada Lysandra. Menjadi matanya, atau menghadapi konsekuensi dari rahasia yang suatu saat bisa dia ungkap. Esok malamnya, ketukan di pintu kamarnya malam itu terdengar berbeda. Bukan ketukan pelayan yang terburu-buru, bukan pula ketukan pengawal yang tegas. Ini ketukan yang terukur, berat, dan penuh otoritas. Ketukannya hanya tiga kali, tetapi memenuhi seluruh ruangan kecil kamar Lysandra. Dan Lysandra sudah tahu siapa
“Lyra.”Suara Kaisar memecah lamunan Lysandra. Dia mengangkat wajah, berusaha mati-matian menjaga ekspresi agar tetap datar, namun dia tahu matanya pasti memancarkan gelombang kepanikan yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan.“Ya, Yang Mulia?” suaranya serak.“Kau kenapa?” tanya Kaisar. Kalimatnya pendek, tetapi langsung ke sasaran. Matanya tak berkedip, menangkap setiap ekspresi di wajah Lysandra yang pucat.“Hamba … sakit perut, Yang Mulia,” gumam Lysandra, tangannya secara refleks menekan perut bawah. Dia membungkuk sedikit, berpura-pura kesakitan.“Tiba-tiba … mual.” Dia berharap alasan itu terdengar seperti masalah siklus bulanan pada perempuan, sesuatu yang memalukan dan tidak mungkin dibahas lebih lanjut oleh seorang pria, apalagi seorang Kaisar.Kaisar terdiam. Namun tatapannya tak pernah benar-benar beralih dari Lysandra.“Kembalilah ke kamarmu,” ucap Kaisar, suaranya kembali datar, netral.Tidak ada nada khawatir, tidak ada kemarahan. Hanya sebuah perintah. “Jangan keluar k







