Share

3. Bayi Ettan

Penulis: Oei Monica
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-24 16:39:10

“Kami turut berduka atas meninggalnya putra Anda, Nyonya.”

Proses persalinan Arunika memakan waktu hampir dua puluh empat jam. Begitu terjaga, tahu-tahu dokter kandungan yang selama ini merawat kehamilannya berkata seperti itu.

Lelucon macam apa ini? Dia sungguh tidak percaya!

“Itu nggak mungkin ….” Arunika menggeleng. “Dokter pasti salah!”

“Itu bukan bayiku. Anakku sehat … aku baru aja lahirin dia. Aku ingin menyusuinya.”

“Dia pasti haus’kan, Dok? Karena udah berjam-jam dia belum minum ASI ku.”

Bibir coklat Dokter Darma terkatup. Bola mata kecil itu bergerak-gerak menatap wajah pucat pasiennya dari balik kacamatanya yang minus.

“Nyonya Arunika Hana,” panggil seseorang.

Arunika menoleh ke arah pintu. Sepasang netra hitam itu mendapati kehadiran  seorang perawat yang baru saja memasuki kamarnya. Ada sesuatu terbungkus dengan kain putih berada dalam gendongan. 

Arunika terus memperhatikan gerak-gerik perawat tersebut. Hingga akhirnya sang perawat berdiri di samping ranjangnya, lalu berkata, “Ini bayi Anda, Nyonya. Kami sudah memandikannya.”

Berbagai macam perasaan mendadak berkecamuk dalam benak Arunika ketika bayi yang tak menangis dan terus memejamkan mata itu berpindah ke pangkuannya. Seharusnya dia bahagia, keinginannya untuk bertemu anaknya terkabul.

Tapi yang terjadi ….

“Dokter, kenapa kulit bayiku sangat dingin? Kedua tangan dan kakinya juga kaku?” Arunika bertanya gelisah.  

“Nyonya, bayi Anda … telah meninggal.”

DEG!

Ternyata apa yang sejak tadi dikatakan Dokter Darma itu adalah kenyataan, bukan mimpi.

Tetesan air mata mendadak tumpah membasahi wajah Arunika yang tak berpoleskan tata rias. Wanita muda itu terpaku menatap wajah bayinya yang telah pasi.

“Secepat itukah dia pergi? Kupikir, dia akan ….”  

Bulir-bulir kristal itu mengucur semakin deras, seiring dengan bibir tipis Arunika yang bergetar hebat.

“Dia akan bersamaku sekarang, Dokter …. Panggil aku ibu. Kita main sama-sama … dan ….” 

***

Arunika sengaja tidak membubuhkan nama ‘Buana’ di belakang nama Ettan, karena kenyataannya bayi yang dia kandung itu bukanlah keturunan Keluarga Buana.

“Ikhlaskan dia, Nyonya.”

“Aku udah ikhlas, Dokter. Mungkin ini yang terbaik untuk Ettan.”

Allah yang memberi. Dia juga yang berhak untuk mengambil makhluk ciptaan-Nya. Arunika sudah cukup senang diberi kepercayaan untuk menjaga si jabang bayi selama sembilan bulan dalam kandungan.

Jika memang dia belum diberi kepercayaan untuk menjadi seorang ibu, dia pun pasrah. Karena dosa masa lalu yang telah dia perbuat, jauh lebih besar dari semua ini.

‘Mungkin ini adalah hukuman yang harus kuterima.’

 ***

Kata Dokter Darma, Arunika tidak perlu risau dengan segala biaya rumah sakit dan penguburan bayi Ettan. Ada donator rumah sakit baik hati, yang bersedia melunasi semua biaya tersebut. Karena donator itu juga pernah mengalami hal yang sama.

“Ternyata masih ada orang baik di dunia ini ya, Dok. Biayanya itu pasti gede banget,” ucap Arunika selepas mengantar putranya di peristirahatan terakhir.  

Dokter Darma hanya tersenyum.

“Dok, apa aku boleh ketemu sama orangnya?”

“Untuk apa?”

“Cuma ingin ngucapin terima kasih.”  

“Sayangnya, orang itu tidak bersedia untuk ditemui. Ucapan terima kasih Nyonya, pasti akan kusampaikan.”

Setelah mengucapkan terima kasih kepada Dokter Darma, maka berpisahlah mereka. Dengan berbekal beberapa lembar uang ribuan pemberian sang dokter, Arunika menaiki angkutan umum yang membawanya pulang ke rumah Keluarga Buana.

“Aku sudah melaksanakan perintahmu. Ibu dari bayi itu sudah pulang. Tidak. Selamanya dia tidak akan pernah tahu, kalau bayinya masih hidup,” ucap Dokter Darma, yang berkata dengan seseorang dari balik ponselnya.

***

Selama dalam perjalanan pulang jantung Arunika bertalu-talu. Dia bingung, bagaimana nanti menjelaskan kepada suami dan ibu mertuanya perihal identitas bayi Ettan yang telah meninggal. 

Hari mulai gelap.

Angkutan umum menurunkan Arunika di ujung jalan. Dia masih harus berjalan kaki sekitar 200 meter lagi untuk memasuki lingkungan perumahan kelas menengah yang dihuni oleh Keluarga Buana.

“Aku pulang …,” sapanya lemah.

Nalini Buana yang sedang menonton sinteron langsung menaikkan ujung alisnya yang tipis. Wanita paruh baya itu kemudian menjatuhkan pandangannya ke perut Arunika yang telah kempis.

Nalini memang sengaja meninggalkan menantunya di rumah sakit, karena tak sabar menunggui kelahiran sang jabang bayi, begitu juga dengan Akash yang sibuk dengan urusan kantor.    

“Sudah lahiran toh. Kok nggak ngabari? Mana cucuku?” Nalini tak melihat Arunika menggendong bayi.

“Dia ….” Arunika menggigit bibirnya dalam-dalam.

“Jangan-jangan kamu ninggalin cucuku di rumah sakit karena nggak sanggup bayar?!” 

“Nggak, Bu.” Arunika menggeleng kalut. “Bukan kayak gitu ….”

“Terus mana cucuku? Kamu apain dia, kok nggak kamu bawa pulang?”

“Ba—bayiku … udah nggak ada.”

“Nggak ada gimana?!” Nalini bangkit berdiri.   

“Dia udah … meninggal.” Arunika terisak.

PLAAKKK!

“Ibu?!”

Reaksi tak terduga langsung diterima Arunika. Dia memang tidak mengharapkan sebuah pelukan, melainkan hanya sedikit kata penghiburan atau kesempatan untuk bicara . Tetapi sepertinya keinginannya itu sulit untuk terwujud.  

“Mulai hari ini jangan panggil aku IBU! Aku nggak sudi punya mantu pembawa sial kayak kamu!”

“Tapi ini bukan salahku, Bu ….”

“Enak aja kalau ngomong! Bayi baru lahir kalau sampai meninggal itu yang salah ya pasti ibunya! Kamu itu ngurus rumah nggak bisa! Lahirin anak nggak becus! Bisa’e cuma nyusahin Akash!”

Akash yang mendengar namanya disebut itu langsung masuk ke dalam rumah.

Pria berusia 32 tahun itu baru saja pulang dari kantor bersama dengan seorang wanita muda berpenampilan modis, layaknya seorang wanita karir yang merintis karirnya di sebuah perusahaan besar ibu kota.

“Ada apa lagi ini?” Akash menatap Nalini, lalu Arunika. “Oh, udah lahiran,” ucapnya setelah melihat perut istrinya yang telah kempis.

“Halah! Percuma lahiran, kalau anak udah nggak ada,” sindir Nalini.

“Nggak ada ya udah.” Akash menarik kedua sudut bibirnya lebar.

“Mas kalau ngomong kok enteng banget! Aku baru aja kehilangan bayiku. Bisa nggak sih, Mas kasih aku sedikit aja perhatian?” Mata Arunika memerah. Bukan hanya tubuhnya yang lelah, tapi hatinya juga lelah menghadapi sikap acuh Akash.

“Ya, kalau nggak ada mau gimana lagi. Memang dasar kamunya aja yang nggak bisa kasih aku keturunan. Jadi lebih baik kita cerai!” pinta Akash.

“Apa?" Arunika mengerutkan kedua alisnya. "Cerai katamu, Mas?"

“Iya, kita pisah. Aku udah siapin suratnya.” Akash langsung menyodorkan sebuah dokumen kepada Arunika. “Kamu tinggal tanda tangan.”

“Nggak, Mas!” tolak Arunika. “AKU NGGAK MAU!”

“Aru, jangan bikin aku marah sama kamu ya!?”

“Aku nggak percaya Mas lakuin ini sama aku.” Arunika mengggeleng. “Aku tau selama ini aku nggak bisa jadi istri yang sempurna di mata Mas. Tapi Mas’kan udah janji di depan makam ibuku akan bahagiain aku, akan jaga dan lindungi aku. Sekarang mana janjimu, Mas? MANA?!”

Akash tertawa kecil. “Itu udah masa lalu, Aru. Toh ibumu juga udah almarhumah, buat apa diungkit-ungkit. Mau marah atau ngutuki aku dari liang kubur juga nggak ada gunanya.”

“MAS!” teriak Arunika.

“Cerewet kali kau jadi perempuan! Bang Akash itu sudah kebelet nikah sama aku. Sudah bosanlah dia sama kau yang kampungan dan bau jamu! Tapi bagus juga ... kalau ternyata anak kalian sudah nggak ada. Jadi aku nggak perlu repot jadi ibu tiri buat anak itu,” ucap seorang wanita yang berdiri di samping Akash.

Arunika yang sejak tadi mengabaikan kehadiran wanita itu mendadak tersadar, bahwa ada orang luar yang hadir di tengah-tengah mereka.

Secara penampilan, wanita yang memiliki kulit sawo matang itu memang telah berubah. Jauh lebih modis dan percaya diri dari sebelumnya, tetapi Arunika tidak pernah melupakan wajah serta logatnya yang masih kental.

“Kamu?!” ucap Arunika menautkan kedua aliasnya. “Minara?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Siti Aminah
dokternya kok gitu
goodnovel comment avatar
Marisa 73
ingin kusumpel mulut mertuanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Bukan Ibu Susu Biasa   13. Jangan Marahi Dia

    “Apa yang terjadi?”Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari bibir tipis Arunika. Terlambat baginya untuk menyadari, bahwa seharusnya dia tidak menanyakan hal itu kepada Kaivan. Ikut campur urusan orang lain apalagi majikan, hanya akan membawamu ke dalam masalah, nasihat Bibi Nami kala itu.Benar saja. Tak sampai tiga detik, sepasang netra hitam milik Kaivan menatap Arunika tanpa ekspresi. Lalu pria itu kembali berkutat pada layar tabletnya yang sejak tadi menyala di atas pangkuan. Seolah-olah hendak mengatakan, bahwa itu bukan urusanmu, Wanita Pembawa Masalah!Tentu saja sambutan seperti itu membuat hati Arunika dongkol bukan kepalang. Dia makin memutar posisi tubuhnya untuk menghadap pria yang duduk di kursi belakang.“Tuan Kaivan Ararya Prama!”Teriakan Arunika itu langsung membuat Januar yang duduk di sampingnya pun menoleh, tapi tidak dengan Kaivan. Pria itu masih tetap berkutat pada layar tabletnya.“Hei, aku bertanya padamu! Anda nggak tuli’kan?!”“Psstt …, Aru.” Kelopak mata Ja

  • Bukan Ibu Susu Biasa   Bab 12. Kabar Dari Rumah

    HAP!Nalini langsung terkesiap ketika Arunika berhasil menangkap pergelangan tangannya lebih dulu. Wanita paruh baya itu sungguh tak menyangka, kalau mantan menantunya yang sudah empat tahun ini selalu tunduk padanya, kini mulai berani melawan.Memang benar, Arunika mengangkat dagunya tinggi. Membuatnya mampu melihat dengan jelas, bagaimana bergetarnya sepasang netra Nalini saat membalas tatapan matanya yang penuh percaya diri. “Kayaknya penyakit pikunmu udah mulai kambuh, Nyonya,” kata Arunika.“Ka—kamu?” Nalini pun melotot. “Berani-berani'e kamu ngatai aku pikun! Dasar menantu—”“Aku bukan lagi menantumu, Nyonya,” potong Arunika cepat. “Aku udah pernah bilang’kan?! Begitu aku menandatangani surat cerai itu dan kalian mengusirku dari rumah, aku udah nggak punya hubungan apa-apa lagi dengan Keluarga Buana!”Selepas mengutarakan isi hatinya, Arunika langsung mengempaskan pergelangan tangan Nalini begitu saja. Dengan langkah kakinya yang gesit, wanita muda itu bergegas masuk ke dalam m

  • Bukan Ibu Susu Biasa   11. Kendalikan Perkututmu

    Meskipun pembalasan terhadap Garvin Nara Tama telah dilakukan, namun sampai hari ini Kaivan tidak pernah menemukan keberadaan wanita yang pernah menghangatkan ranjangnya semalam.Yang dia ingat hanyalah suara tipis melengking tinggi seperti kicauan burung parkit dan apa yang wanita itu lakukan kepadanya. Wanita tersebut meronta, memberontak hingga meninggalkan bekas cakaran pada bagian punggung, lengan serta dadanya yang sudah lama terhapus. Entah keberuntungan apa yang dimiliki oleh seorang Kaivan Ararya Prama!Karena ketika malam itu terjadi dan tiga hari berikutnya, istri Kaivan yang bernama Katrina Cantika itu sedang berada di luar kota. Artis sekaligus model papan atas itu sedang disibukkan dengan proyek film layar lebar yang didanai oleh perusahaan Kaivan. Seperti semua pria pada umumnya, Kaivan juga menyembunyikan dosanya itu dari Katrina!Dan pagi ini....Ketika jarum pendek jam dinding itu tepat berada di angka sembilan, pintu ruang laboratorium tiba-tiba terbuka.Arunika m

  • Bukan Ibu Susu Biasa   10. Pembalasan Sepuluh Bulan Lalu

    Di saat Kaivan sedang menunggu proses tes kesehatan yang dilakukan Arunika. Ingatan pria itu lantas bergerak mundur ke masa lalu.Sepuluh bulan yang lalu ….Pagi itu Kaivan terbangun dalam sebuah kamar hotel yang ada di Lokapala. Dia sunggung bingung, kenapa dirinya tidak bangun di kamar pribadinya melainkan di ruangan asing yang tak pernah disinggahinya.Meskipun Kaivan adalah seorang presiden direktur, tapi sebisa mungkin dia tidak membiarkan dirinya untuk bermalam di luar rumah. Andai kata, dia memiliki pertemuan bisnis di luar negeri, maka dia akan menyewa sebuah rumah kecil atau satu unit apartemen yang sebelumnya telah terjamin tingkat kebersihan dan keamanannya.Berulang kali Kaivan memijit kening serta menggelengkan kepala untuk mengusir rasa pengar yang menghinggapi.Apa yang terjadi semalam? pikirnya.Mendadak bayangan segelas minuman beralkohol yang baru saja dia teguk, seringai seorang pria yang menatap dirinya dari atas sofa berpadu dengan cahaya lampu temaram yang mulai b

  • Bukan Ibu Susu Biasa   9. Tes Kesehatan

    KYAAAA …!Arunika hampir saja terjungkal, seandainya tangan kanannya itu tidak segera memegang bagian tepi pintu mobil yang terbuka. Padahal pria itu hanya bersuara tanpa menatap dirinya, tapi seperti yang sudah-sudah … suara bariton yang berat milik Kaivan Ararya Prama kembali mengingatkannya pada pria terkutuk itu.Membuat detak jantung Arunika berdegup tak sebagaimana mestinya.Menimbulkan titik-titik peluh yang menghiasi keningnya yang sempit, padahal cuaca di pagi hari ini tidak terlalu terik dan semilir angin Laut Segara Wetan berembus riang menyapa wajah Arunika yang memucat.Januar yang melihat hal itu lantas menghampiri. “Kamu nggak apa-apa, Aru?”“Nggak. Nggak apa-apa kok.” Arunika menggeleng lemah.Dia tak menyadari, bahwa kedua pipinya mulai semburat merah karena menahan malu. “Aku cuma terkejut. Sedikit. Kupikir di dalam mobil nggak ada orang, ehh … nggak taunya ada … tuan pemarah,” bisiknya di akhir perkataannya. Januar terkekeh mendengar Arunika menamai sahabat yang s

  • Bukan Ibu Susu Biasa   Bab 8. Salah Buka Pintu

    Permintaan telah diungkap.Janji pun usai terucap.Tak ada kata mundur untuk mengelak, apalagi mengingkarinya.Sepuluh jam yang lalu atas izin dari Katrina Cantika, Arunika mendapat tempat bermalam di rumah itu. Bukan sebuah kamar tamu dengan selimut dan kain sepreinya yang harum, melainkan sebuah ruangan kecil yang pengap dan juga lembab. Penuh dengan aroma jamur dan jaring laba-laba di keempat sudut dindingnya. Tak apa, pikir Arunika malam itu.Dengan berbekal lampu teplok berisi minyak tanah, Arunika masih sanggup untuk membersihkan ruangan yang lebih mirip seperti sebuah gudang yang letaknya di belakang bangunan utama."Sebelum kamu tidur, mandi dulu sana! Terus ganti pakaianmu sama ini.” Seorang kepala pelayan Keluarga Prama bernama Nami memberikan sesuatu kepada Arunika. “Nggak pantas kamu itu tinggal di rumah ini dengan kain jarik seperti itu.”“Aku tau, Bi.” Arunika menunduk. “Tapi cuma jarik ini yang kupunya,” ucapnya kemudian mengambil selembar handuk dan pakaian yang terli

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status