"Tunggu, Han. Aku belum selesai bicara," tahan Raya. Hani pun Kembali ke tempat duduknya. Dia merasa tidak percaya dengan keterangan Raya barusan."Aku juga meragukan hasil tes itu. Aku percaya kalau kamu tidak mungkin mengkonsumsi obat-obatan terlarang," kata Hani. "Coba ceritakan kepadaku sebelum kesalahpahaman itu terjadi," lanjutnya penuh selidik. "Aku juga tidak tahu seperti apa pastinya. Hari itu aku berniat untuk pergi ke kantor Pak Aditya, tapi tiba-tiba di tengah jalan aku melihat mama Wati dan Mas Raihan kecelakaan. Pikiranku buyar, aku melupakan tujuan awal. Aku beralih menolong mama Wati dan Mas Raihan, segera membawa mereka ke rumah sakit. Setelah sadar, aku segera pergi ke kantor Pak Aditya untuk mengantarkan ponsel Pak Aditya pada sore harinya. Pak Aditya langsung marah, aku pun menyadari kesalahanku. Aku memilih mengalah dan keluar dari ruangan Pak Aditya dengan rasa penyesalan. Tapi tiba-tiba aku bertemu dengan Selin di ujung koridor kantor. Selin mengajakku untuk b
Ketika mentari sudah turun di ufuk Barat pertanda malam akan segera tiba, Raya dan Hani baru saja tiba di cafe—tempat bertemunya raya dan Selin tempo lalu. Hani segera mendatangi pihak pemilik cafe untuk meminta rekaman CCTV dua hari yang lalu, tepat di waktu yang telah disebutkan Raya.Namun nampaknya permintaan Hani seperti dipersulit. Pihak cafe tidak bisa memberikan hasil rekaman CCTV sebagaimana permintaan Hani dan Raya dengan alasan privasi.Tapi Hani tak tinggal diam. Sahabat Raya itu terus berusaha meminta izin kepada pihak cafe dengan tujuan demi mendapatkan barang bukti. Hingga setelah beberapa jam kemudian usaha Hani tidak sia-sia. Hani dan Raya akhirnya diizinkan untuk melihat rekaman CCTV di cafe tersebut dengan tujuan mencari bukti dari sebuah kejahatan. Di depan layar laptop Hani dan Raya menyaksikan dengan teliti kejadian ketika Raya dan Seline mendatangi kafe tersebut.Sialnya, tak ada barang bukti yang menyudutkan Selin. Tidak ada video yang memutar gerak-gerik Se
Ruangan Fatih benar-benar kosong. Dibawa ke mana perginya anak tunggal Aditya Fadilah itu. Ucapan Anita tadi membuat pikiran Aditya menjadi paranoid."Ada apa, Tuan?" Tiba-tiba suara sopran terdengar dari pintu kamar mandi yang baru saja dibuka. Elsa baru saja keluar dari sana sambil menggendong Fatih di pangkuannya.Seketika Aditya menoleh terkejut. Bola matanya sampai membulat sempurna. "Ngapain kamu membawa Fatih ke kamar mandi?" tanyanya sambil melayangkan tatapan nanar penuh selidik kepada Elsa yang baru saja ia kenal. "Barusan Fatih buang air besar cukup banyak, Tuan. Saya sudah membersihkannya dengan tisu basah, tapi tidak terlalu bersih. Makanya saya bersihkan di kamar mandi," jelas Elsa terlihat tenang. Akhirnya Aditya pun menghela nafas lega. Padahal dia sudah berpikir yang aneh-aneh. Merasa bersalah karena sempat berpikir negatif, Aditya akhirhya mengangguk paham, ia segera duduk di sofa empuk yang ada di ruangan Fatih.Aditya melihat Fatih yang kini sudah tenang dalam pa
Ketika malam sudah semakin larut, Aditya baru saja membuka kelopak matanya. Dia terlihat meregangkan kedua tangannya. Tidurnya yang lelap membuat dia sedikit lemas. Aditya segera beranjak dari tempat tidur. Jarum pada benda bundar yang menempel di dinding kamarnya sudah menunjukkan pukul 02.30 pagi. Beberapa jam berlalu telah Aditya lewatkan, akibat kelelahan sepulang dari rumah sakit.Aditya melangkah menuju pintu kamar. Ia segera memutar handle pintu. Tapi ternyata, pintu kamar Aditya telah dikunci. "Loh mana kuncinya?" Aditya sedikit tercengang manakala tak mendapati kunci pada lubang pintu.Aditya mengedip-ngedipkan kelopak matanya. Mengatur pandangannya yang sedikit buram. Dia juga segera menyalakan lampu di kamar, agar bisa memastikan kalau ia tidak salah lihat. Ternyata, Aditya baru sadar kalau kunci di kamarnya benar-benar telah hilang. Pintu kamar telah terkunci. Beruntung Aditya mengingat kunci serep yang tersimpan di dalam laci lemarinya. Ia segera mengambil kunci serep
"Bubu... Huaaa..."Suara tangisan Fatih semakin menggelegar. Aditya tak bisa lagi membendung kegelisahannya. "Fatih!" Aditya kembali memanggil nama anaknya dengan keras."Siapa ini? Di mana anak saya?" Aditya seketika menjadi emosi. Seseorang dibalik telepon itu seperti sengaja ingin mempermainkannya."Anda jangan khawatir. Anak Anda dalam keadaan baik-baik saja. Fatih akan aman dalam penjagaan saya." Suara sopran dengan lembut berbicara dari balik telepon. Sepertinya Aditya kenal dengan suara wanita yang barusan berbicara. Itu seperti suara Elsa. Iya, Aditya sangat yakin kalau itu adalah suara Elsa, yang sedikit cempreng."Elsa! Ke mana kamu membawa Fatih pergi?" Aditya Sagara bertanya dengan tegas. "Wow! Ternyata Tuan Aditya seperti paranormal. Pintar sekali menebak kalau ini adalah saya." Elsa menertawakan. terdengar meledek. "Anda jangan khawatir, Tuan. Fatih dalam keadaan sehat dan aman dalam pangkuan saya," lanjutnya. "Brengsek! Kamu telah bermain-main dengan saya. Kembalika
Detik itu pula Selin tersadar. Sebelah tangannya masih mengusap pipi yang telah ditampar Aditya. Bola matanya membulat melihat Aditya sudah di ada di depan matanya."Mas Aditya!" Seline terkejut. "Kenapa Mas Adit menamparku?" Selanjutnya bertanya seakan melupakan ucapan sebelumnya. "Tamparan itu tidak sebanding, dengan fitnah yang telah kamu lakukan kepada Raya. Kenapa kamu tega berbuat seperti itu?" Aditya berbicara dengan hardiknya. "Apa maksudnya, Mas?" Seline masih berpura-pura tidak paham.Aditya pun berdecak kesal. "Aku sudah tahu semuanya, Selin. Aku sudah mendengar semua yang telah kamu ceritakan pada temanmu itu barusan. Aku tidak menyangka. Akibat ulah yang telah kamu lakukan, aku jadi membuat kesalahan besar," sergahnya.Merasa tak memiliki banyak waktu pagi ini, Aditya memilih menunda urusannya dengan Selin. Ia harus segera menghubungi seseorang, guna mengurus permasalahan yang lebih penting yakni mengenai Fatih."Tunggu, Mas. Ini pasti salah paham. Aku akan jelaskan." S
"Di mana penculiknya?" Aditya terlihat mengepalkan kedua telapak tangannya. "Sudah berada di dalam mobil," jawab pria berseragam serba coklat itu. "Saya ingin melihat mereka," pinta Aditya." "Silahkan." Petugas kepolisian mengantar Aditya menuju mobil yang membawa pelaku. Di dalam mobil dinas berwarna hitam itu, Aditya melihat Elsa bersama komplotannya yang sudah diborgol. Aditya tak bisa menahan emosinya. Sebelah tangan kanan segera menampar pipi Elsa dengan kencang. Plak! Wanita licik itu hanya diam menahan tamparan keras yang diterimanya dari Aditya. "Berani kamu bermain-main dengan saya! Kamu harus mendapatkan hukuman yang berat!" sergah Aditya. Dia melihat tiga orang pria bertato di samping Elsa. Ingin sekali Aditya menghajar pria bertato itu, namun polisi menahannya. Kendaraan roda empat itu langsung membawa Elsa dan komplotannya menuju kantor posisi. "Bubu..." Fatih yang kini menangis dalam pangkuan Raya, terlihat memeluk Raya dengan erat. Bayi itu
Aditya tak tinggal diam. "Kalau saja Selin tidak menuduh Raya, Fatih tidak akan sakit dan tidak akan pernah diculik. Ini semua gara-gara Selin," tuduhnya. "Jaga ucapan kamu, Mas!" Selin membentak. Tak terima."Cukup! Tolong jangan berantem. Kasihan dengan Fatih yang baru saja tiba." Anita segera melerai. Kembang kempis dada Aditya menahan rasa amarah di dalam dadanya. "Tolong Mamah dan Selin pergi dari rumah saya," usirnya dengan sopan kepada sang mertua dan adik ipar."Tanpa kamu usir pun, saya memang akan pergi dari rumah ini. Tapi saya harus membawa Fatih," tegas ibunda Selin."Fatih anak saya, Mah. Tidak ada yang bisa membawa Fatih dari sini," lawan Aditya. "Tolong hargai keputusan saya, Mah. Pikiran saya tengah kacau. Tolong jangan menambah lagi," imbuhnya meminta setelah menurunkan volume suaranya. "Saya tidak peduli. Saya akan tetap membawa Fatih." Ibunda Selin tetap memaksa. Wanita paruh baya itu pun segera memerintah kepada Selin. "Selin, ambil Fatih di kamarnya. Cepat!" t
"Maksudnya untuk apa? Ini terlalu mewah untuk saya, Pak." Raya bertanya lagi. Ia melayangkan tatapannya pada Aditya.Aditya segera meraih sebelah tangan Raya lalu diusapnya dengan lembut. Perlakuan Aditya itu membuat Raya semakin salah tingkah."Saya ingin kamu menjadi ibu pengganti untuk Fatih. Bukan lagi ibu susunya," pinta Aditya, mengutarakan isi hati secara langsung."Apa!" Namun Raya malah terkejut. "Maksudnya?" Dia tercengang."Saya ingin kamu menjadi istri saya," pinta Aditya memperjelas.Seketika Raya menarik tangannya. Melepaskan tangannya dari genggaman Aditya. Dia terkesiap. Ucapan Aditya barusan bisa jadi hanya gurauan saja untuk Raya."Jangan bercanda, Pak. Itu tidak lucu." Raya mengusap pipinya sendiri. Dia menjadi gugup."Saya serius, Raya." Aditya kembali menegaskan. "Maukah kamu menjadi istri saya?"Raya kian terlihat gugup. Keringat dingin seketika membanjiri tubuh. Raya mengusap-usap tangannya sendiri. Gugup tak bisa dikendalikan."Kamu kenapa?" Aditya pun menjad
Pemilik toko bunga tersebut segera memutar rekaman CCTV yang terjadi pada kemarin sore di saat Aditya memesan bunga. Di salah satu ruangan yang hanya beberapa orang saja bisa masuk ke sana, pemilik toko, Aditya dan 3 orang saksi sudah siap menyaksikan hasil rekaman CCTV yang terjadi saat kemarin. Apa yang telah diucapkan pelayan toko, ternyata benar adanya. Dia bekerja dengan sebaik-baiknya sesuai dengan perintah Aditya. Namun keteledoran terjadi ketika Selin datang dan mengubah semuanya. Tetap saja pelayan toko yang disalahkan karena telah teledor sehingga orang lain memanipulasi keadaan. Aditya tampak mengepalkan sebelah tangannya. "Selalu saja Selin! Mengapa dia jadi menyukai kekacauan. Dia selalu saja membuatku geram," desisnya pada diri sendiri. Aditya tidak pernah menyangka kalau kejadian di toko bunga itu adalah ulah Selin. Kalau saja dia tidak menghormati mertua, mungkin Aditya sudah melabrak sang adik ipar dan membuat perhitungan dengannya. Aditya meminta maaf kepada pem
Belum sempat Raya membuka dan membaca tulisan pada secarik kertas itu, tiba-tiba suara Anita terdengar memanggil nama Raya."Raya!" Suara Anita terdengar begitu keras memanggil nama Raya. Raya segera menutup kembali kertas di tangannya itu, lalu dikembalikan pada buket bunganya. "Sebentar, Pak Aditya. Tante Anita memanggil saya, khawatir ada yang penting." Raya segera beranjak dari tempat duduknya. "Bunganya saya bawa ke kamar, nanti tulisannya saya baca di sana ya, Pak," tuturnya, kemudian pergi meninggalkan Aditya dengan membawa buket bunga di tangannya.Aditya hanya mengangguk saja sambil mengulum senyum tipis. Padahal dia sudah tidak sabar ingin mendengar jawaban Raya. Tapi mau bagaimana lagi, Aditya sudah bisa menebak pasti Fatih menangis meminta digendong oleh Raya.Akhirnya Aditya termenung sendirian di taman belakang di pinggir kolam renang. Hingga satu jam kemudian dia memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Sebelum masuk ke kamarnya, Aditya terlebih dahulu menengok Fatih.
"Saya pernah jatuh cinta kepada seorang wanita, saya sangat menyayanginya bahkan melebihi apapun. Wanita itu sangat baik, lembut dan penuh dengan perhatian. Tak bisa saya bayangkan hidup tanpanya, terasa takkan ada arti. Tapi, ketika rasa sayang ini yang semakin hari semakin bertambah banyak, wanita itu pergi untuk selamanya. Seketika hati saya remuk, jantung saya seakan berhenti berdegup. Saya hidup namun serasa mati, tapi wanita itu menitipkan saya seorang anak yang pintar dan tampan yakni Fatih. Awalnya saya berpikir lebih baik mati saja mengikuti jejaknya, tapi saya melihat Fatih adalah titipan Tuhan untuk saya melalui wanita yang saya sayangi. Saya berusaha menguatkan diri, berusaha untuk tegar menerima ketentuan-Nya." Aditya memulai ceritanya. Wajahnya seketika terlihat sendu. Dia bercerita apa adanya. Rasa cinta pada almarhum Sarah yang memang tidak pernah pudar hingga detik ini."Apakah wanita itu adalah almarhum ibunya Fatih?" Raya bertanya karena penasaran.Aditya mengangguk
Hari itu di kantor Fadillah group, Aditya terlihat semangat saat menyelesaikan pekerjaannya. Raut wajahnya terlihat berseri-seri. Dalam bayangannya terus saja berseliweran wajah Raya. Nampaknya Aditya memang tengah jatuh cinta.Bahkan ketika ada seorang wanita yang bekerja sebagai sekretaris di kantor, masuk ke ruangan Aditya untuk melaporkan berkas hasil meeting hari ini. "Raya!" Aditya terkejut dengan kedatangan sekretarisnya. Dia sampai mengira sang sekretaris adalah Raya. Nampaknya dia sudah gila dengan rasa cinta yang tengah menggebu di dalam dada. "Maaf, Pak. Saya bukan Raya," bantah wanita itu dengan cepat. Pada tangannya terlihat memegang beberapa file. Diletakkannya segera file itu di atas meja kerja Aditya. "Saya ingin menyerahkan dokumen hasil meeting siang tadi."Aditya segera mengerjapkan kelopak matanya. "Oh ya ampun, maaf saya tengah melamun. Saya akan segera memeriksa dokumen ini," kata Aditya seraya memijat hidungnya. Ah bener-bener sudah gila. Aditya mengetuk kepa
Raya terlihat masih berdiri di depan mata Aditya. Wanita berbulu mata lentik itu mengukir senyuman paling indah dalam pandangan Aditya.Aditya segera bangkit dari tempat tidurnya. Dia kini sudah berhadapan dengan Raya. Keduanya saling memandang satu sama lain. "Aku sangat mencintaimu Pak Aditya." Suara lembut itu berdesis tepat di dekat telinga Aditya. Bibir Raya yang penuh dengan aroma khas, masih berada di dekat telinga Aditya.Aditya seperti terkesima. Ucapan Raya barusan, membuat Aditya membeku. Lidahnya kelu seperti sulit untuk berbicara. Debaran jantungnya bahkan lebih kencang daripada biasanya. Raya sudah berada dekat sekali dengan Aditya, jarak diantara keduanya hanya beberapa sentimeter saja. Suara dag dig dug jantung terdengar semakin kencang saja."Pak Adit kenapa diam saja? Kenapa tidak jawab perasaan saya? Pak Adit tidak cinta sama saya?" Raya bertanya lagi masih dengan suara manja yang meluluhkan hati."Bukan seperti itu. Saya merasa ini seperti mimpi. Apakah ini mimpi
Malam itu sangat terkesan bagi Aditya. Dia pertama kali makan di pinggir jalan tapi dengan sajian yang sungguh lezat layaknya seperti di restoran bintang 5.Bahkan ketika sampai di rumah dan ketika Aditya sudah membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia tetap saja tidak bisa tidur. Matanya masih terbuka, menatap ke arah langit-langit kamar. Senyuman yang indah itu masih terbayang di matanya. Senyuman yang tidak bisa dilupakan itu ternyata milik Raya. "Mengapa senyuman Raya sangat mirip sekali dengan Sarah?" Aditya berbicara sendirian penuh tanda tanya. Dia gelisah, padahal waktu sudah menunjukkan pukul setengah tiga dini hari.Aditya memutuskan untuk bangun dari tempat tidurnya. Dia menggaruk kepala yang tak gatal. Matanya enggan untuk terlelap. Padahal besok pagi dia harus pergi ke kantor untuk mengurus pekerjaan yang sempat tertunda. Aditya kemudian keluar dari kamarnya, dia akan pergi ke dapur untuk mengambil air minum guna melegakan tenggorokan. Ketika telah sampai di dapu
Aditya tak jadi makan di restoran itu. Dia lebih memilih menuruti permintaan Raya untuk kembali ke mobilnya."Harusnya kamu jangan diam aja, kalau Selin kembali menghina kamu seperti itu, kamu harus lawan dia," kata Aditya kepada Raya. Dia belum menyalakan mesin mobil dan masih menenangkan hatinya yang masih terasa emosi."Untuk apa dilawan, Pak? Di mata yang membenci, kita akan selalu salah. Bagaimanapun cara kita membela diri. Apalagi kalau sampai saya melawan Non Selin, tentu saya akan semakin buruk di matanya. Biarkan saja Non Selin dengan kebenciannya pada saya, suatu saat ketika hatinya sudah terbuka, Saya yakin Non Selin akan menjadi baik pada saya," tutur Raya dengan begitu tenangnya. Tidak seperti Aditya yang masih terasa emosi akibat kelakuan adik iparnya di depan semua orang.Aditya semakin kagum kepada Raya. Dia menatap Raya begitu dalam. "Kamu memang baik, Raya. Tapi anehnya, mengapa Selin malah tidak menyukaimu," gumamnya. "Lupakan saja, Pak. Yang penting saat ini, kita
"Kenapa tidak menjawab?" Aditya bertanya lagi. Rupanya dia masih menunggu jawaban dari Raya.Raya terlihat mengatur nafasnya terlebih dahulu. "Kalau saya masih mencintai Mas Raihan, untuk apa waktu itu menggugat cerai? Saya hanya turut bersedih atas duka yang tengah dialami Mas Raihan. Bukan apa-apa, biar bagaimanapun dia pernah menjadi bagian dari hidup saya. Itu saja," jelasnya sambil menurunkan tatapan."Maafkan kalau saya telah lancang bertanya seperti itu pada kamu." Aditya menjadi tidak enak hati."Tidak apa-apa, Pak." Raya masih menunduk.Aditya segera melajukan kendaraan meninggalkan area rumah Wati.Langit terlihat sudah gelap, Raya dan Aditya masih dalam perjalanan pulang. Jarum pada benda bundar yang melilit pergelangan tangan. Aditya sudah menunjukan pukul sebelas malam. Perutnya terdengar mengaluarkan suara.Kruekkk kruekkk!Raya mendengar suara dari perut Aditya barusan. Dia menoleh. Ternyata perut Presdir setampan Aditya bisa mengeluarkan bunyi laparnya.Aditya tampak